Mendengar bentakkan dari Pandu, dua orang pria itu tertawa lepas, "Hahaha!"
Salah seorang dari mereka kemudian berkata, "Kau tidak perlu tahu tentang siapa kami ini!" Salah seorang dari mereka balas membentak, kemudian melangkah mendekat ke arah Pandu.
"Kami adalah orang yang diutus untuk membinasakanmu," ucap pria berikat kepala hitam tampak jemawa.
Mendengar perkataan dari pria itu, Pandu pun lantas berkata sambil tertawa dingin, "Sekarang aku ingin tahu apa kau masih berani keras kepala?"
Bersamaan dengan itu, tangan Pandu mengayun cepat bagai kilat hendak menyambar kepala orang yang mengenakan ikat kepala hitam itu.
Namun, orang itu dengan begitu mudahnya dapat menghindari serangan dari Pandu. Sambil membentak ia langsung membalikkan tangannya dengan sangat cepat, dan sudah berbalik mencekal pergelangan tangan Pandu.
"Kau tidak akan bisa lepas dari cengkraman kami, Anak muda."
Pandu tidak banyak bicara, ia langsung mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Mencengkram keras telapak tangan orang tersebut.
Bukan kepalang kagetnya orang itu, ia merasakan lima jari-jari tangannya seperti mau patah. Sehingga, ia pun segera menarik tangannya dari cekalan tangan Pandu.
"Besar sekali kekuatan anak muda ini?" kata pria itu dalam hati.
Kemudian kawannya menghampiri. Lantas berkata, "Sebaiknya kita hadapi anak muda ini secara bersama-sama! Kita tidak mungkin bisa mengalahkannya jika bertarung satu lawan satu."
"Ya, aku pun berpikir demikian, karena pemuda ini bukanlah anak muda biasa," jawab kawannya, kemudian segera bersiap untuk kembali melakukan serangan terhadap Pandu.
Kedua pendekar itu langsung menyerang Pandu dengan sangat ganas, memburu dari berbagai arah.
Melihat pemandangan seperti itu, Pandu tak tinggal diam. Ia langsung menggetarkan tangan kanannya. Bersamaan dengan gerakan tangannya itu, meluncur satu kekuatan tenaga dalam yang tersembunyi dengan warna kuning keemasan. Cepat bagai anak panah meluncur dari busurnya menyerang ke arah dua pendekar itu.
Namun, dua orang pendekar itu ternyata bukanlah pendekar sembarangan. Mereka masih dapat menghindari serangan dari Pandu, secara bersamaan mereka meloncat ke arah yang berbeda untuk menghindari serangan jurus tenaga dalam yang Pandu kerahkan.
Salah seorang dari mereka kemudian tertawa lepas sambil berkacak pinggang, "Hahaha!"
"Kau tidak mungkin dapat mengalahkan kami dengan mudah. Justru kau sendiri yang akan kami binasakan, dan hutan ini akan menjadi kuburanmu!"
Tanpa terduga, satu pendekar lainnya langsung terbang meluncur ke arah Pandu. Satu pukulan keras hinggap di kepala Pandu hingga ia pun terjatuh tak dapat menahan gempuran tersebut.
"Mereka memang bukanlah para pendekar sembarangan. Tapi siapa sebenarnya mereka?" desis Pandu sambil menyeka darah yang mengalir di ujung bibirnya.
Di saat itu, Pandu pun melihat ada tiga bayangan hitam yang berlarian ke arah timur. Entah siapa mereka? Sehingga muncul berbagai pertanyaan dalam benak Pandu kala itu.
"Benar saja, apa yang dikatakan oleh ramaku. Ternyata hutan ini memang rawan sekali, dihuni oleh orang-orang sakti," kata Pandu dalam hati.
Dua bola matanya yang tajam terus mengamati tiga orang pendekar yang tengah berlarian. Mereka hanya tampak berupa bayangan hitam saja yang berkelebatan tersorot sinar bulan yang masuk ke celah-celah rimbunnya dedaunan pohon di hutan tersebut.
Para pendekar itu bergerak sangat gesit dan lincah, kecepatan lari mereka sangat luar biasa. Menandakan bahwa mereka bukanlah para pendekar biasa.
Setelah itu, Pandu kembali berpaling dan mengarahkan pandangannya ke wajah seorang pendekar yang baru saja memberikan pukulan keras terhadap dirinya. Kemudian, ia bangkit lagi.
"Sebenarnya kalian ini siapa? Apa kesalahanku, kenapa kalian tiba-tiba menghajarku?"
Pandu tetap bersikap tenang, dan tidak terpancing emosi oleh sikap para pendekar itu, meskipun dirinya sudah dipukul secara tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan dari Pandu, maka kedua pendekar itu tertawa lagi sambil bertulak pinggang. Lantas, salah seorang dari mereka melangkah maju mendekati Pandu.
"Perlu kau ketahui, bahwa kami memang tidak ada urusan denganmu. Tapi, kami diutus oleh Raden Andaresta untuk segera membinasakanmu!" bentak pendekar itu bersuara lantang dengan sikap jemawa.
Seakan-akan pendekar itu merasa dirinya sebagai pendekar yang memiliki kepandaian ilmu kanuragan yang tinggi, hingga berani sesumbar di hadapan Pandu.
Pandu menarik napas dalam-dalam, lalu tertawa dingin sambil terus meluruskan bola matanya yang tajam ke wajah dua pendekar itu. Akan tetapi, ia lebih fokus kepada seorang pendekar yang tengah berhadap-hadapan dengannya.
"Oh, ternyata kalian ini pengikut Andaresta yang saat ini tengah menjadi buruanku?!" bentak Pandu sambil memperkuat pijakan kakinya dalam berdiri.
Sikapnya sungguh penuh kewaspadaan, mengantisipasi pergerakan mendadak dari kedua orang itu.
"Kami akan menangkap dan menyiksamu terlebih dahulu, Anak muda. Setelah itu, baru kami akan menculik ramamu dan paman angkatmu itu!" ancam pendekar berikat kepala merah kembali sesumbar dengan suara lantangnya.
Ancaman dari pendekar itu, sontak membuat amarah Pandu semakin bergejolak, hingga memuncak di ubun-ubun kepalanya. Seakan-akan, dirinya ingin sekali menelan mentah-mentah dua pendekar tersebut yang secara terang-terangan melibatkan orang tuanya dalam persoalan itu.
"Bedebah, kau!" bentak Pandu.
* * *
Pandu semakin geram sekali melihat sikap dua pendekar yang tengah berdiri angkuh di hadapannya. "Sekadar mengingatkan. Kau ini tidak mungkin terlepas dari cengkraman kami, dan sudah dapat dipastikan bahwa malam ini adalah mimpi burukmu, Anak muda!" ucap seorang pendekar yang satunya lagi. Tanpa banyak bicara lagi, Pandu langsung menerjang dua pendekar itu dengan menggunakan tangan kosong. Akan tetapi, tangannya itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Serangan yang dilancarkan Pandu memang sangat luar biasa, jika saja mereka tidak memiliki kemampuan ilmu bela diri yang mumpuni. Maka, mereka akan binasa saat itu juga terkena pukulan tenaga dalam dari Pandu. "Kau ini masih bau kencur, tidak layak bertarung dengan kami yang sudah menguasai pengalaman di rimba persilatan!" bentak salah seorang dari dua pendekar tersebut. "Kemampuan seseorang tidak dinilai dari kematangan usia. Aku ti
Rabuta terus berlari kencang membawa Pandu mengejar ketiga pendekar itu, menerobos kegelapan malam. Hingga pada akhirnya, mereka pun telah tiba di sebuah perbukitan yang berada di balik hutan tersebut yang terkenal dengan julukan Bukit Tengkorak. "Kita sudah berhasil memancing anak muda itu," desis salah seorang dari ketiga pendekar tersebut. "Malam ini kita harus menghabisi anak muda itu di bukit ini!" sambungnya sambil tertawa lepas. Pandu terus mengamati tiga orang pendekar yang ada di hadapannya. Sejatinya, ia merasa heran dan kebingungan ketika melihat tiga orang pendekar itu, tiba-tiba saja berhenti dengan posisi membelakanginya, dan tertawa dengan begitu puas. Seakan-akan, mereka tengah merayakan sebuah kemenangan. "Aku tidak mengerti dengan maksud kalian, sebenarnya kalian ini siapa? Ada maksud apa kalian memancingku hingga tiba di bukit ini?" tanya Pandu masih duduk di atas pelana kudanya.
Dengan demikian, pendekar itu pun tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Seakan-akan, terkena oleh pengaruh jurus yang sangat dahsyat dari orang tua tersebut. Pria senja yang tiba-tiba datang itu adalah Resi Naraya—gurunya Pandu yang hendak ditemui oleh Pandu. Entah kenapa? Mendadak ia datang dan memberikan pertolongan kepada muridnya yang tengah dihadapkan dalam sebuah kesulitan. Sehingga Pandu pun hanya diam termangu sambil menatap sosok sang guru yang tengah berhadap-hadapan dengan satu orang lagi pendekar yang masih hidup itu. "Kenapa guruku bisa tahu jika aku tengah dalam kesulitan?" berkata Pandu dalam hati. Jiwa dan pikiran Pandu kala itu diselimuti rasa penasaran yang begitu tinggi terhadap gurunya yang sudah datang dan memberikan pertolongan untuknya. "Hentikan perbuatanmu, jika tidak ingin bernasib sama seperti dua kawanmu!" seru pria berusia senja yang mengenakan ju
Resi Naraya tersenyum lebar, lantas menjawab pertanyaan Pandu, "Ya, aku sudah tahu semua seluk-beluk kehidupanmu. Berhati-hatilah! Karena akan ada banyak aral melintang yang harus kau hadapi selama mengemban tugas dari raja." Mendengar perkataan dari gurunya, Pandu tersenyum. Sejatinya, ia merasa bahagia karena mendapatkan dukungan dan sentuhan nasihat baik dari orang yang sangat berjasa terhadap dirinya. "Terima kasih, Guru." Pandu meraih tangan sang resi seraya mencium tangan gurunya itu penuh rasa hormat. Pandu tidak menyadari bahwa yang tengah berhadap-hadapan dengan dirinya adalah roh halus dari Resi Naraya yang sudah meninggal dunia satu bulan yang lalu. Kemudian, Pandu kembali mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Resi Naraya yang tampak pucat seperti orang yang tengah dalam keadaan sakit. Tangannya pun mulai terasa dingin bagaikan es. Sehingga, Pandu pun merasa kaget dengan semua itu.
Pandu tampak kaget sekali mendengar keterangan dari Damara. "Guru sudah meninggal dunia?" desis Pandu mengangkat alis tinggi. "Benar, Pandu. Tadi siang ada seorang anak muda yang berasal dari desa Baliung datang ke sini. Dia adalah murid Resi Naraya, pemuda itu mengabarkan bahwa Resi Naraya sudah meninggal satu bulan yang lalu. Atas nama pengurus padepokan, ia pun meminta maaf karena tidak memberi kabar kepadamu tentang kematian Resi Naraya," terang Damara menuturkan. "Aku tidak sampai ke desa Baliung, karena dalam perjalanan aku dihadang oleh beberapa orang pendekar yang hendak mencelaki aku," kata Pandu menuturkan. "Mana mungkin guru sudah meninggal? Sedangkan dirinya baru saja menolongku dari serangan para pendekar itu," sambung Pandu tampak semakin kebingungan. Damara menarik napas dalam-dalam, lantas berpaling ke arah Ki Wira Karma. "Kakang saja yang menjelaskan kepada putramu ini!" pinta Damara merasa bingung harus berkata
Pandu dan kedua pria paruh baya itu terperanjat mendengar teriakan tersebut. Ia bergegas bangkit hendak menghampiri suara teriakan itu. Akan tetapi, orang yang tadi berteriak memanggilnya itu sudah berlari ke arahnya. "Reksa Pati, kau ini kenapa? Seperti ketakutan sekali?" tanya Pandu mengerutkan keningnya sambil menatap wajah Reksa Pati yang sudah berada di hadapannya. "Aku baru saja bertarung dengan seorang pria yang mengenakan topeng tengkorak. Tapi, orang itu menghilang setelah menghajarku," jawab Reksa Pati dengan napas terengah-engah. "Kemudian muncul suara-suara aneh yang menakutkan. Sehingga, aku pun langsung lari," sambungnya menceritakan tentang apa yang dialaminya. "Sebaiknya kau duduk dulu, Reksa!" perintah Damara kepada pemuda itu. "Iya, Paman." Reksa Pati langsung melangkah dan duduk di hadapan Wira Karma. Ia tampak kaget ketika melihat tangan Wira Karma sudah dibalut kain. "Tangan Paman kenapa?" tanya Reksa Pati tampak penasaran
Pandu menghentikan langkahnya sejenak, lalu berpaling ke arah munculnya suara tersebut. Tampak seorang pria sudah berdiri tegak di belakangnya sambil memegang sebilah golok. "Siapa orang ini? Kenapa dia mengenaliku?" Pandu bertanya-tanya dalam hati. Orang tersebut melangkah menghampiri Pandu. "Kebetulan sekali aku menemukanmu di sini," kata pria berwajah sangar itu, tersenyum lebar memandangi wajah Pandu. "Siapa kau ini, Ki Sanak?" tanya Pandu mengerutkan kening. Pandu sama sekali tidak mengenali orang tersebut. Namun, orang itu tampaknya sangat mengenal dirinya. "Aku sengaja menghentikan langkahmu di sini, karena aku mendapatkan tugas penting dari Ki Kusumo untuk membawamu ke padepokannya," jawab pria itu. Pandu menarik napas dalam-dalam, dua bola matanya menatap wajah pria itu penuh selidik."Maaf, Ki Sanak. Seandainya itu tugas penting, kenapa Ki Sanak tidak datang saja ke rumahku?" tanya Pandu. "Aku tidak tahu di mana te
Pandu tidak mengindahkan seruan dari para petani tersebut. Ia hanya tersenyum saja sambil mengamati lawannya yang sudah tidak berdaya. Beberapa saat kemudian, pria itu bangkit. Meskipun sudah dalam kondisi terluka parah, namun dirinya masih tersenyum ketika tubuhnya goyang hendak jatuh terbanting. Dari mulut dan hidungnya kembali mengeluarkan darah hitam kental. Melihat kondisi lawannya seperti itu, Pandu cepat tanggap langsung menangkap tubuh pria itu, Pandu tetap memiliki jiwa bijaksana dan belas kasihan. Ia tidak membiarkan lawannya itu jatuh lagi, karena kondisinya sudah parah mengalami luka dalam terkena pukulan keras darinya. "Tolong bantu aku mengangkat orang ini!" seru Pandu kepada para petani yang ada di tempat itu. Namun, para petani itu tampak ragu. Seakan-akan, mereka enggan membantu Pandu menolong orang tersebut. Seperti yang mereka ketahui bahwa orang itu bukanlah orang baik, sehingga para petani i