Di istana kerajaan, saat itu tengah digemparkan oleh sebuah kabar tentang peristiwa pembunuhan terhadap dua orang prajurit. Mereka terbunuh ketika melaksanakan tugas dari sang raja untuk memantau wilayah perbatasan.
Pelaku pembunuhan itu adalah Andaresta dan beberapa orang anak buahnya. Mereka sengaja melancarkan serangan tersebut, ketika dua prajurit itu terpisah dari rombongan mereka, sehingga dimanfaatkan dengan baik oleh Andaresta dan anak buahnya.
Meskipun demikian, dari pihak istana belum mengetahui dengan pasti siapa pelakunya, dan para prajurit yang ada di kepatihan Turi Yaksa Mekar tengah dipersiapkan untuk melakukan tugas menyisir ke pelosok-pelosok wilayah tersebut, guna mencari keberadaan para pelaku pembunuhan itu.
"Sebaiknya kau saja yang berangkat ke perbatasan, Panglima!" perintah sang raja mengarah kepada Panglima Durga.
"Baik, Gusti Prabu. Hamba akan melaksanakan tugas ini dengan baik," jawab Panglima Durga menjura kepada sang raja.
Demikianlah, maka keputusan itu pun langsung disahkan oleh sang raja yang tentu sudah mendapatkan persetujuan dari seluruh pejabat istana yang hadir. Karena sang raja sudah meminta saran kepada para pejabat istana sebelum memutuskannya.Demikianlah, maka sang raja langsung memerintahkan salah seorang prajurit untuk memanggil Pandu agar segera menghadap dirinya saat itu juga."Prajurit!" panggil sang raja mengarah kepada salah seorang prajurit yang tengah berjaga di pintu ruangan tersebut."Iya, Gusti Prabu," sahut prajurit itu membungkukkan badan seraya memberi hormat kepada junjungannya."Kau panggil Pandu sekarang, agar segera menghadapku!" perintah sang raja."Daulat, Gusti Prabu." Prajurit itu menjura, kemudian undur diri dari ruangan tersebut untuk segera melaksanakan titah sang raja."Beruntung sekali Pandu, baru beberapa hari saja berada di istana sudah mendapatkan kepercayaan dari sang raja untuk menjadi seorang pemimpin pasukan keam
Panglima Durga tersenyum lebar menatap wajah sang kesatria muda yang kini sudah mendapatkan kepercayaan dari sang raja untuk menjadi seorang pemimpin prajurit menggantikan posisi kedudukannya.Lalu, sang panglima menjawab lirih pertanyaan Pandu, "Benar sekali, Pandu. Di masa berdirinya kerajaan Genda Yaksa tiga kali pergantian kekuasaan hanya memiliki seorang panglima saja. Salah satunya adalah ramamu dan juga pamanmu.""Aku pun tidak menyangka bahwa raja akan memberikan kepercayaan ini kepadaku," desis Pandu meluruskan pandangannya ke wajah sang panglima. "Padahal aku ini belum memiliki pengalaman apa-apa untuk menjadi seorang pemimpin prajurit," sambung Pandu lirih.Panglima Durga tersenyum lebar sambil memegang pundak Pandu. Lalu berkata, "Kau jalankan saja tugas ini dengan baik! Percayalah Sanghyang Widhi pasti akan memberikan petunjuk dan kemampuan pada dirimu, Pandu!" tandas Panglima Durga menyemangati Pandu."Terima kasih, Panglima."Tanpa m
Setelah panjang lebar berbincang dengan pendekar bayaran tersebut, dan sudah mencapai kesepakatan. Maka, Barunda langsung pamit kepada Wiriadinata, saat itu ia langsung kembali ke istana dan segera melaporkan tugasnya kepada sang senapati. "Bagus sekali! Itu tandanya, Pandu akan segera dilenyapkan dari muka bumi ini," kata Senapati Gukurajma menanggapi laporan dari prajurit setianya itu. "Kau tenang saja! Meskipun tugas melenyapkan Pandu bukan kau sendiri yang melakukannya. Aku akan tetap menaikan jabatanmu kelak jika semua sudah tercapai segala tujuanku!" tegas sang senapati menambahkan. Senapati Gukurajma sangat yakin jika pendekar bayaran itu dapat melaksanakan tugas dengan baik. Sehingga, ia berkesimpulan bahwa Pandu akan segera binasa di tangan pendekar tersebut. "Terima kasih, Senapati. Semoga saja Wiriadinata dapat melaksanakan tugas ini dengan sempurna," ucap Barunda lirih. "Kau sudah aku percaya untuk mengemban tugas ini. Ini rahasia kita ber
Dengan cepat, Pandu meloncat tinggi menghindari sebongkah batu yang melesat hampir mengenai tubuhnya. Batu tersebut dilemparkan oleh Dumaya dengan kekuatan tenaga dalam yang sangat besar. "Dumaya benar-benar nekat melakukan tindakan seperti ini," desis salah seorang kawannya yang menyaksikan detik-detik serangan yang dilakukan oleh Dumaya terhadap sang panglima. "Kita lihat saja!. Apakah Dumaya akan berhasil memancing Panglima Pandu keluar dari tempat ini," sahut kawan yang lainnya. "Jangan memaksaku untuk melakukan tindakan tegas terhadapmu, Ki Sanak!" seru Pandu sudah kembali menginjakkan kakinya di atas tanah. "Hahaha! Aku tidak takut dengan ancamanmu itu, Panglima. Jika kau bersedia untuk bertarung denganku, maka aku akan merasa senang sekali," sahut Dumaya benar-benar bersikap benawat. Sejatinya, Dumaya mulai melancarkan aksinya untuk memancing amarah Pandu. Setelah itu, ia akan memancing Pandu untuk mengejarnya ke bibir hutan yang tidak
Pandu tidak membiarkan serangan tersebut berkembang lebih pesat lagi. Dengan segenap kekuatan yang ia miliki, Pandu terus melakukan serangan balasan terhadap Wiriadinata. Sehingga Wiriadinata mulai terdesak dan jatuh tersungkur.Dengan demikian, Pandu memanfaatkan dengan baik kesempatan itu. Kaki kanannya langsung menyapu dengan tendangan keras yang berkekuatan tinggi. Namun, Wiriadinata bergerak dengan sempurna dalam menghindari tendangan dari Pandu. Tubuhnya melesat ke udara."Hahaha...!" Wiriadinata tertawa lepas mengejek Pandu yang baru saja gagal melakukan serangan terhadap dirinya.Beberapa saat kemudian, Wiriadinata kembali menginjakkan kaki di atas tanah, maka berkatalah ia, "Kau masih belum dapat mengimbangi ilmu kesaktianku wahai, Panglima!" Wiriadinata berdiri angkuh dan bersikap jemawa seraya membusungkan dada di hadapan Pandu.Melihat sikap sombong pendekar itu, Pandu hanya tersenyum-senyum saja dalam menanggapinya. Meskipun ucapan Wiriadinat
Demikianlah, maka keempat prajurit itu pun langsung turun ke dalam arena pertempuran. Mereka sangat khawatir akan keselamatan panglima mereka. Dumaya dan Wiriadinata sepertinya sudah siap menyambut keempat prajurit tersebut, untuk bertarung dengan mereka. Meskipun mereka sudah dalam kondisi terluka parah.Beberapa saat kemudian, Pandu mencelat sambil menghunus pedangnya dan langsung menebas leher pendekar itu dengan disertai bentakkan keras. "Rasakan ini, Ki Sanak...!" Demikianlah, tubuh pendekar itu pun terjatuh ke tanah dengan berlumuran darah segar mengalir dari batang lehernya, bak seekor ayam yang baru saja disembelih tampak mengerikan tubuhnya menggigil bergelimpangan di atas tanah kemudian terperosok ke dalam jurang yang ada di pinggiran hutan tersebut. Dengan tewasnya pendekar itu, bukan berarti Pandu mendapatkan waktu jeda dalam pertarungannya. Karena dua pendekar yang sedari awal memburu dirinya mas
Wiriadinata dan Dumaya saling berpandangan. Seakan-akan mereka ragu dalam menerima tantangan tersebut. "Hai, pengecut! Kenapa kalian diam saja? Ayo, maju!" bentak Damara. "Apakah kalian takut bertarung denganku yang sudah tua ini?!" sambung Damara kembali membentak. Rupa-rupanya, kedua pendekar tersebut memang benar-benar tidak berani untuk menghadapi pendekar paruh baya itu. Bahkan, mereka pun hanya diam saja, tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Wiriadinata dan Dumaya tidak berani menyahut perkataan Damara. "Kita lebih baik lari saja, daripada kita binasa di tangan Pendekar Tapak Dewa!" bisik Wiriadinata nyalinya mulai ciut tidak berani bertarung dengan Damara. "Terserah kau saja! Aku pun tidak mau mati konyol di tempat ini," jawab Dumaya balas berbisik. Demikianlah, maka Dumaya pun langsung melompat tinggi menerobos semak -belukar masuk ke dalam hutan, disusul oleh Wiriadinata se
Beberapa saat kemudian, Ki Kusumo yang merupakan sang pemilik padepokan tersebut sudah tiba bersama empat orang pengawalnya. Sontak semua yang ada di pendapa padepokan itu menjura hormat kepada guru besar mereka. "Terimalah salam hormat kami, Guru," ucap para pendekar itu secara bersamaan.Mereka tampak ajrih dan bersikap hormat terhadap guru besar padepokan tersebut. Ki Kusumo hanya mengangguk sambil tersenyum lebar, kemudian langsung duduk bersebelahan dengan Demang Ageng Piruka. Dua bola matanya bergulir mengamati satu-persatu orang-orang yang ada di hadapannya. "Apakah kalian masih bersemangat untuk melakukan pemberontakan terhadap pihak kerajaan?" tanya Ki Kusumo. "Siap, Guru...!!!" sahut para pendekar itu serentak. Ki Kusumo tampak semringah mendengar sahutan dari para pendekar tersebut. Itu mendadakan bahwa gagasan yang telah lama ia rancang sudah mendapatkan dukungan penuh dari para pend