Xu Jianhong kembali ke Yamen dengan tangan kosong dan pikiran yang lebih kosong lagi. Interogasi yang seharusnya profesional berubah menjadi bencana kuliner di restoran yang paling trauma dengan kehadiran Baili Zhiyu.
Di atas meja kerjanya, sebuah catatan terlipat rapi menanti dengan keanggunan yang mencurigakan. Tulisan tangan Baili Zhiyu, elegan seperti kaligrafi master. Tetapi isinya berpotensi lebih berbahaya dari pedang tajam.Xu Jianhong menatap catatan tersebut dengan kecurigaan yang mendalam. Apakah ini laporan penyelidikan? Review kuliner yang akan menghancurkan restoran lain? Ataukah permohonan naik gaji untuk Menteri Keuangan yang akan membuatnya kehilangan kepala?Frustrasi yang menumpuk selama berhari-hari akhirnya meledak tanpa ia sempat membuka catatan tersebut."AIYO! Langit, mengapa engkau begitu kejam padaku!"Teriakan Xu Jianhong menggelegar ke seluruh Yamen seperti guntur di musim hujan.Lima pengawal yang sedSementara itu di tempat lain, Zhiyu berdiri diam di tengah ruangan yang asing tetapi terasa familiar. Cahaya obor di tangannya bergetar pelan, memantulkan bayangan di dinding batu yang bersih dan rapi.Aroma harum menyusup ke inderanya."Dupa?" gumamnya lirih sambil mengerutkan kening.Ia menghirup dalam-dalam, berusaha mengidentifikasi aroma yang mencengkeram perhatiannya. Aroma ini tidak asing baginya. Bukan dupa biasa yang digunakan di kediaman atau restoran. Ada sesuatu yang lebih sakral, lebih dalam."Ini... dupa untuk persembahan dan doa," gumamnya lagi, nyaris seperti mengingat sesuatu yang jauh terkubur dalam memorinya.Ia mengangkat obor lebih tinggi, membiarkan cahaya kuningnya menyapu seluruh ruangan. Sebuah kamar pribadi yang sederhana, tapi sangat rapi dan bersih. Tempat ini jelas dirawat dengan baik, meski sepertinya tidak dihuni secara permanen.Zhiyu mulai berkeliling dengan langkah hati-hati. Di sudut ruangan, se
Hēi Mou melangkah mendekati gerbang Mansion Baili dengan langkah yang mantap, diikuti oleh dua sosok yang langsung membuat suasana berubah drastis. Udara malam tiba-tiba terasa lebih berat dan tegang.Jenderal Shén Luan, Pemimpin Pasukan Jinyiwei, dan Xie Zun, pemimpin pasukan bayangan pribadi milik Xiǎo Zeyan, muncul dengan aura wibawa yang tidak bisa disembunyikan.Pasukan bayangan itu dikenal dengan nama yang tidak pernah diterima secara resmi oleh pemerintahan kerajaan. Pasukan Angin Malam Berselimut Teh, karena mereka lebih sering muncul dari balik kedai teh daripada dari markas militer resmi."Yang Mulia!" Xie Zun segera mendekati Xiǎo Zeyan dan memberi hormat dengan sikap yang sangat formal, kontras sekali dengan penampilan Zeyan yang masih mengenakan jubah tidur kusut dan rambut yang mencuat ke segala arah.Jenderal Shén Luan menghela napas pelan sambil memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. Matanya melirik ke arah pasukan Jinyiwei yang
Zeyan bergerak lincah, menghindari para pengejarnya dengan kelincahan yang mengejutkan dirinya sendiri. Ia melompati pagar dengan gerakan yang hampir seperti seorang pendekar terlatih, meskipun dalam keadaan mengenakan jubah tidur yang sangat tidak praktis untuk aktivitas semacam ini.Ia mendarat sempurna di sebuah lorong sempit yang remang-remang, diapit oleh dua dinding batu tinggi yang membuatnya merasa seperti berada di dasar jurang."Sepertinya ini berada di antara dua mansion yang bersebelahan..." gumamnya sambil menatap dua sisi atap yang hampir bersentuhan, hampir tidak ada celah langit yang terlihat di atas kepalanya.Ia berjalan santai menelusuri gang sempit itu sambil mengatur napas, berharap bisa keluar tanpa insiden lain yang akan memperumit petualangan malamnya yang sudah cukup merepotkan.Namun, begitu ia muncul di ujung gang dan kembali ke jalan utama...Pasukan Jinyiwei sedang berpatroli malam dengan formasi yang rapi.
Zeyan dan Luó Jìng saling berpandangan, lalu menatap sepasang sepatu sutra merah bermotif bebek Mandarin di hadapan mereka. Sepatu itu tampak begitu dekat hingga mereka bisa melihat detail sulaman yang rumit.Mereka mendongakkan kepala perlahan, mengikuti garis kaki yang mengenakan sepatu tersebut.Di hadapan mereka berdiri seorang wanita berhanfu merah beraksen hitam, matanya membelalak ketakutan. Wajahnya pucat, mulutnya terbuka setengah, bersiap mengeluarkan teriakan kedua.Ia hendak berteriak lagi dengan volume yang mungkin bisa membangunkan seluruh penghuni mansion.Tetapi Luó Jìng ternyata lebih gesit dari yang ia kira sendiri.Dengan gerakan seperti refleks kucing, ia melompat dan membekap mulut wanita itu. Tangannya bergerak cepat, tidak percaya bahwa ia baru saja melakukan sesuatu yang begitu berani.Zeyan bergegas berdiri sambil merapikan jubahnya yang sudah berantakan sejak petualangan dimulai. Jubah tidur, tentu saja.
Sementara itu di lorong yang lain, Zeyan dan Luó Jìng berjalan dengan hati-hati menelusuri lorong sempit yang pengap dan lembab. Udara terasa berat di paru-paru mereka, sementara aroma tanah basah dan lumut memenuhi hidung.Langkah mereka bergema pelan, menyatu dengan tetesan air yang jatuh beraturan dari langit-langit batu. Suara itu menciptakan irama monoton yang hampir membuat Zeyan mengantuk, sebuah pencapaian yang luar biasa mengingat situasi mereka yang berbahaya."Luó Jìng! Kira-kira lorong ini mengarah ke mana?"Zeyan mengangkat obor tinggi-tinggi, cahayanya menari di dinding berlumut sambil menciptakan bayangan-bayangan aneh yang bergoyang. Ia berharap pertanyaannya akan dijawab dengan kepastian yang meyakinkan."Entahlah, Tuan Muda. Saya juga baru sekali ini melalui jalur ini," sahut Luó Jìng dengan nada yang terdengar panik dan sedikit menyesal.Zeyan menghentikan langkahnya seketika. Alisnya terangkat dengan ekspresi yang sang
Wei Xuan berlari dengan napas terputus-putus di lorong yang remang-remang. Suara langkah kaki para pengejar dari Toko Tujuh Bunga Tak Hidup menggema di belakangnya, semakin mendekat dengan niat membunuh yang tidak disembunyikan lagi."Sial." Wei Xuan mengumpat pelan sambil melirik ke belakang. Setidaknya ada delapan orang yang mengejarnya, masing-masing membawa senjata yang berkilat tajam di bawah cahaya lentera yang redup.Perkelahian pun tak terhindarkan ketika salah satu pengejar berhasil menyusulnya di tikungan lorong. Wei Xuan memutar tubuh dengan gesit, pedangnya bergerak cepat dalam sapuan horizontal yang memaksa lawannya mundur. Meski jumlah mereka banyak, Wei Xuan bukan tandingan yang mudah. Dalam sekejap, lebih dari separuh pengejarnya sudah tumbang dengan berbagai luka menganga.Namun, situasi tidak membaik. Semakin lama, semakin banyak orang yang datang dari arah yang berlawanan, mengepungnya dari kedua sisi lorong.Wei Xuan sadar sepe