Share

Bab 3-Lovesick Lovesign

Gerbong kereta mewah berhenti—dengan lapisan emas dengan kayu kualitas terbaik dari gunung Hamerra, yang dapat bertahan ratusan tahun. Kendaaran yang ditarik empat kuda tersebut telah terparkir rapi di tempatnya, sementara Sang Duke sudah berjalan tergesa menuju ruangannya, meski begitu tatapan mata sayu dan lelah tidak dapat membohongi jika dia sudah bekerja keras tanpa mempedulikan kesehatan fisik sendiri.

Selepas pulang dari perjalanan jauh untuk menggarap pekerjaan di wilayah lain, Edmund tidak langsung menuju kamar untuk beristirahat, ia justru membuka lembaran papyrus di atas meja kerja, meneliti dan membaca satu per satu, mengabaikan kaca mata dengan lensa penuh embun tersebut.

Pintu ruangan berukuran tiga meter itu memang tidak tertutup rapat, membuat para pegawainya di luar dapat melihat betapa tekun sekaligus gila kerja pria itu. Hal baiknya, dia semakin berjaya memakmurkan Harbetor, tapi kesulitan membina hidupnya sendiri, "Seharusnya, paling tidak ada istri yang bisa membuat Yang Mulia terhibur, dia benar-benar lelah dan kesepian," celetuk Earl Martin dengan suara lirih hampir seperti bisikan. Namun para penjaga lain seketika menoleh padanya.

"Duke Edmund punya segalanya, mau sepuluh istri pun bisa didapatkan, tapi dia tidak melakukan itu dan tetap teguh pada keputusannya untuk menyendiri. Mungkin memang tidak berniat menikah," balas Kolonel jenderal Luke Stewart, entah sejak kapan pria itu berada di dekatnya sambil membawa jepretan kertas. Dia memberikannya pada Earl Martin, "Surat keputusan, semua perlu ditandatangani."

Earl Martin mencibir, ia mulai tidak suka dengan Luke setelah kejadian bersama Lady Caley tempo hari. Meskipun seorang kolonel, tapi perilakunya cukup kejam dan kasar—menurut yang ia dengar dari para junior anggota militer. Pria itu juga kelihatan gemar menjelekkan orang lain.

"Earl Martin kebetulan kau datang," sapa Edmund ramah, ketika sang Earl tersebut membuka lebar pintu ruangannya, "Aku ingin mengubah tanah miring di kaki pegunungan barat menjadi ladang bunga matahari, tanahnya tandus dan bagus. Kita juga bisa membuat penduduk di sana mendapat penghasilan tambahan, biji bunga matahari sangat mahal untuk di ekspor," dia berbicara lancar dan semangat, berbanding terbalik dengan wajahnya yang kusut.

"Tapi itu jauh dari pemukiman, hampir satu kilo metar dan aksesnya sulit. Bagaimana Yang Mulia bisa sampai di tempat itu?" Earl Martin menarik kursi di depan tempat duduk Sang Duke.

"Hanya perlu memperbaiki jembatan roboh itu dan menambah esir di jalanan agar tidak becek jika hujan," rupanya pria itu sedang mempersiapkan keinginannya. Di meja, terdapat salah satu lembaran kertas bergambar ladang bunga matahari.

Namun ada yang aneh, tempat itu sepi penduduk kebanyakan merantau ke kota untuk mencari pekerjaan, sementara itu tidak ada akses menuju kaki gunung Hamerra, dua tahun lalu jembatan gantung di sana roboh karena tertimpa ombak sungai yang membludak kala banjir, "Tidak, maksudku... jembatannya kan roboh dan belum diperbaiki sama sekali, bagaimana Yang mulia memeriksa tanah di sana?"

"Ada jalan lain, tapi lebih jauh," Edmund seketika mengalihkan perhatian, dia segera merabut lembaran surat di tangan sang Earl dan buru-buru menandatangani setiap kolom yang tersedia, "Hari ini aku harus menyelesaikan propaganda militer di perbatasan, ada pihak yang sedang berusaha menghancurkan kemakmuran Harbetor."

"Jadi hari ini kau akan pergi lagi?"

"Iya, sampai dua minggu paling singkat," Edmund kembali mengangkat kepala, saat baru saja menyelesaikan dua lembar tanda tangan, "Ah, bagaimana roti yang ku belikan untuk Lady Caley?"

Melihat raut sang Duke yang kelihatan menunggu rekasi menyenangkan, Earl Martin menggigit bibir khawatir, bagaimana kalau pria itu kecewa? "Dia... mengembalikannya kemari. Rumor tentang hubungan kalian semakin meluas di publik, ku kira Lady Caley tidak menerima hal itu sehingga dia menolak pemberianmu, Yang Mulia."

"Katakan padanya, aku mengirimi kue itu untuk pertemanan kami, bukan maksud lain," Edmund justru tertawa, padahal Earl Martin sudah khawatir jika pria itu sakit hati, rupanya dia jauh lebih bijaksana, "Hari ini belikan pai keju, dan katakan hal itu padanya. Supaya tidak menolak lagi."

•••

"Ibu tidak waras?!" Sam spontan membentak, namun ia kembali menurunkan kepala setelah sang ibu menunjukkan pelototan mata, "Apa—bagaimana, aduh, aku akan malu sekali kalau harus bersanding dengan pria seusia ayah. Bagaimana kalau ibu saja? Atau jangan-jangan, kue bolu itu memang untuk ibu, bukan aku."

Ibu berdecak, "Hei dengar, pikirkan nama baikmu setelah ini, kau mengacaukan lukisan Dolyn, ayahnya pasti tidak akan diam saja, keluarga mereka kalau sudah kecewa bisa-bisa membuat kita sengsara. Kau tak akan mendapat pesanan lukisan lagi, Sam," lebih baiknya lagi, kalau memang benar sang Duke tertarik pada putrinya, Samantha tidak perlu bekerja terlalu keras meraih hati pria itu, dia sudah mendapatkannya bahkan sebelum berusaha. Sia-sia jika gadis itu mengajukan penolakan, "Kalau mereka tahu kau punya hubungan dengan Duke Edmund, tidak akan ada yang berani buka suara."

"Tapi aku tidak mau..." Lirih Sam, dia mendadak berdiri sambil membenarkan pakaian, "Ya sudah, ayo segera pindah rumah ke tepi hutan yang jauh dari semua orang. Hidup kita akan lebih tenang di sana," Sam hanya memikirkan bagaimana caranya untuk terus hidup dan tak ada seorang pun mencibir, dengan siapapun ia menikah nanti. Sam bahkan belum lepas dari gelar remaja, karena itu pula ia tidak siap untuk membangun rumah tangga—sekalipun dengan pria muda yang kaya raya nan tampan bak pangeran dari surga.

Helaan napas keluar dari bibir ibu, "Samantha, kalau begitu persiapkan dirimu, kita hanya akan makan seadanya, paling mewah mungkin ubi rebus, kau tidak bisa memakai gaun semewah ini lagi. Lalu tidak ada perhiasan, anting dan kalungmu sudah tidak berguna," Telunjuknya kemudian menuding adik-adiknya yang berada di halaman depan rumah, mereka belum bisa percaya harus pindah dari rumah bergelar kediaman baron-baroness ini, "Coba lihatlah adik-adikmu, mereka masih kecil dan akan segera mendaftar sekolah, Samuel juga tidak mungkin putus di tengah jalan kan? Ayo Sam, jangan pikirkan dirimu sendiri."

"Astaga, bu! Tapi kau mengorbankanku!" Sentak Sam tidak terima, karena ibu menudingnya seolah semua hal ini berakibat fatal berkat dirinya.

"Ibu tidak mengorbankanmu sama sekali, hanya ingin kebahagiaan yang terbaik untukmu, putriku," balas wanita itu seraya mendekati sang sulung untuk memeluk, tapi segera saja ditepis.

"Aku akan menemukan kebahagiaanku sendiri, kita tidak boleh bergantung pada orang lain dan mengemis demi derajat yang tinggi. Aku tidak akan melakukannya, karena ayah pasti kecewa di sana."

Ibu kembali menghela napas, "Lalu apa yang akan kau perbuat sekarang?"

Sam merogoh saku, terdapat selembar kertas lusuh—bertuliskan informasi lomba perburuan yang dilaksanakan akhir tahun, "Perburuan di hutan akan segera diadakan, seperti tahun-tahun sebelumnya hadiahnya masih sama yaitu kemakmuran dan kekayaan seumur hidup. Aku akan ikut!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status