Share

10. Doaku

Penulis: Viand Wahyudi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-31 16:44:11

-kegelisahanku-

           “Aldi.” Sapa ibu saat diriku terduduk sendiri di teras rumah.

           “Iya buk,” jawabku.

           “Kamu kenapa masih di sini, udah jam segini kok belum berangkat?” tanya ibu.

           “Iya buk, mungkin lima menit lagi.” Jawabku.

           “Emm begitu, oh ya Di, ntar usai pulang kerja kamu mampir ke mpok Mina ya, seperti biasa ambil pesanan ibuk.” Pinta ibu.

           “Ohh iya buk. Ya sudah kalau begitu Aldi berangkat kerja sekarang aja ya.” Tukasku.

           “Ya Di, hati-hati saat di jalan ya.” Jawabnya.

          Kumulai menaiki motor dan mulai melaju. Saat di persimpangan, dari kejauhan kusempat melihat mobilnya Aisy yang mengarah kepadaku. Saat posisinya mulai mendekat, kusempat mengamati akan dirinya yang ada di dalam mobil tersebut. Dan entah tak tahu kenapa, ternyata di dalam mobil itu bukan hanya ada Aisy, melainkan ada seorang cowok yang menemaninya di saat dia mengemudi.

           “Itu kan Aisy, mengapa dia bisa sama cowok lain ya.” Batinku.

          Kukembali melanjutkan perjalanan, dan kucoba untuk menenangkan pikiran sejenak. Namun entah tak tahu kenapa, semakin jauh ku melaju semakin kuat ingatanku tentangnya. Rasa khawatir serta gelisah sudah pasti kurasa, semua tidak lain hanya tentang dirinya. Entah mungkin dalam beberapa hari kedepan, kuharus mencari tahu, siapakah sosok lelaki yang tadi ada di sampingnya itu, karena aku takut jika lelaki tersebut adalah orang yang akan selalu memanfaatkan diri Aisy.

          Entah kenapa hatiku terus merasa gelisah, di mana kegelisahan ini mulai meracuni hari-hariku. Ingin kuberlari jauh, agar terlepas dari bayangannya yang semu, namun apalah daya jika keadaan telah menolak. Jika saja dirinya bisa mengerti akan diriku, kuyakin dia pasti melihat dan mendengar akan tangisan hatiku yang haus akan kasih sayang. Dan sampai saat ini pun aku masih belum menemukan cara dan juga jalan agar dia bisa tahu perasaanku yang sebenarnya.

          Terkadang di setiap malam, air mata ini selalu jatuh tak tertahan karena melihatnya terdiam. Karena cukup berat dari apa yang ingin kukatakan kecuali jika hal ini kuadukan pada Tuhan di waktu sepertiga malam.

-pertengkaran itu-

          Aku baru saja keluar dari masjid ini setelah mengisi sebuah ceramah. Dan kumulai menaiki motor menuju ke rumah. Entah kenapa, sudah dua hari ini kumasih terpikirkan oleh dirinya, semakin sering kumengingatnya, semakin gelisah hari-hari yang kulalui. Sejak terakhir kali aku melihat Aisy bersama lelaki itu, rasa curiga mulai terasa. Bahkan di saatku sedang menjalani aktifitas apapun, rasa cemas sudah pasti datang, membuatku bertekad untuk mulai mencari tahu akan keberadaan Aisy sekarang.

          Saat berada di persimpangan jalan, aku tidaklah belok ke arah rumah, melainkan ke arah di mana kumasih ingin menikmati udara dingin di malam ini. Dan tanpa sengaja, ku kembali berpapasan dengan Aisy. Aku tidaklah cuek begitu saja, karena rasa curigaku terhadapnya sudah mulai meninggi. Dan selagi diriku masih punya banyak waktu, kusempatkan saja untuk membuntutinya sejenak. Kuterus mengikutinya kemanapun dirinya pergi karena rasa khawatir pada hatiku mulai berlebih.

          Kini kumulai tiba di tempat ini, tempat di mana Aisy biasa menikmati malam-malamnya bersama teman-temannya. Kumulai berjalan mengamati keadaan sekitar. Dengan perlahan kumulai masuk ke tempat hiburan malam itu, sekedar menengok apakah Aisy ada di dalam sana. Kumulai mengamati keadaan sekitar, namun kutak melihat akan diri Aisy, mungkin dia sedang ke toilet. Namun, setelah agak lama kumenunggu, kumasih saja belum menemukan sosok diri Aisy. Lebih baik kusegera keluar saja, mungkin saja Aisy sedang berada di luar.

          Kukembali berjalan mengambil motor yang terparkir di basement, tanpa ada banyak waktu, tak sengaja kumelihat Aisy dengan cowok lain. Kuyakin, mungkin saja itu adalah pacarnya. Kumulai mengamati perbincangan mereka dari kejauhan, dan sepertinya mereka sedang beradu mulut dan mulai bertengkar. Saat diriku menyaksikan hal itu, sepertinya kumulai sedikit merasa marah juga akan hal itu, karena ku tak tega melihat Aisy di maki-maki oleh lelaki itu. Tak lama kemudian, pertengkaran mereka mulai meluap, amarah cowok itu semakin meninggi lalu menampar Aisy dengan keras. Atas kejadian itu, tanpa banyak pikir kulangsung berlari ke arah mereka lalu kutonjok pria itu dengan keras hingga terjatuh.

Blukkkkk.

           “Hei, kamu jangan pernah main tangan ya sama adikku.” Ucapku pada pria itu.

           Tanpa harus membalas ucapanku, cowok itu langsung berdiri dan meninggalkan kita berdua di sini.

           “Aisy, kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku.

           “Aduhhhh, ngapain juga sih kamu ke sini? Kamu ngikutin aku ya.” Jawabnya.

           “Nggak Aisy, aku cuma sedikit khawatir dengan keadaan kamu, makanya kusempetin waktu untuk mencari keberadaan kamu sekarang.” Tukasku.

           “Aduhh Aldi pliss deh, kamu itu nggak usah terlalu sok perhatian sama aku ya.” Bantahnya.

           “Iya Aisy maaf, tapi apa salahnya jika aku berniat untuk melindungi kamu ke mana pun kamu pergi.” Tukasku kembali.

           “Aldi cukup!. Mending sekarang kamu pergi dan jangan pernah sekali-kali datang ke tempat ini.” Serunya.

           “Ya sudah, aku pergi sekarang, tapi kamu cepat pulang ya, kasihan ibumu di rumah. Assalamualaikum Ais.” Ucapku kembali.

           Kuterpaksa harus pulang sendiri dengan perasaan yang sedikit sedih. Betapa tidak, Aisy dengan keras menyuruhku pulang sementara dia tidak ingin pulang. Atas pertengakaran yang baru saja terjadi antara dia dengan cowoknya, membuatku semakin khawatir akan keadaannya. Entah apa jadinya nanti jika dirinya terus-terus tenggelam dalam pergaulan yang tak diridhoi Allah. Mungkin kuhanya bisa berdoa atas kebaikannya, semoga Allah melindungi Aisy ke mana pun dirinya pergi.

          “Aldi, kamu dari mana aja, jam segini kok baru pulang?” tanya ibu saat diriku baru sampai di rumah pada pukul sebelas malam.

           “Iya buk, tadi Aldi masih jenguk teman yang lagi sakit.” Jawabku dengan sedikit berbohong.

           “Ohhh kirain ke mana, ya sudah kamu makan dulu sana, masih ada banyak makanan di meja.” Pinta ibu.

           “Ya buk.” Jawabku.

          Lalu aku pun terduduk di dekat meja makan ini, dengan perlahan kumulai menikmati makanan ini. Namun entah kenapa, baru saja diriku memakan tiga suapan nasi, tiba-tiba diri ini merasa nggak mood yang mau makan, padahal kumerasa lapar. Entahlah, mungkin saja diriku sedang banyak pikiran, terutama soal perdebatanku dengannya di waktu tadi. Sampai saat ini, ku masih saja berpikir tentang apa yang harus kulakukan agar Aisy bisa berubah walau hanya sedikit, memang hal tersebut tidaklah mudah, namun apa salahnya jika diriku harus mencoba untuk terus menasihatinya.

          Kumasih menyempatkan diri untuk memandang bulan dari sudut jendela, dan hal seperti ini sudah sering kulakukan sebelum diriku tidur. Kusengaja memandangi bulan itu, karena di malam inilah bulan selalu menjadi saksi di mana saat ini Aisy berada. Bulan juga pasti tahu apa yang dilakukan Aisy saat ini, kekhawatiranku mulai menjadi-jadi seketika kumulai tahu bahwa setiap malam dirinya selalu saja jarang pulang. Rasa cemas, resah dan gelisah seolah telah menjadi teman malamku, yang selalu saja datang dengan membawa berita-berita tentang Aisy, yang membuat diri ini semakin sedih.

          Bukan juga soal Aisy yang membuatku prihatin, namun ini juga menyangkut soal ayahnya. Kurasa beliau pasti merasakan kesedihan daripada aku, apalagi sekarang beliau juga mulai sakit-sakitan. Namun apapun yang terjadi kuakan tetap berjuang, dan apapun akan kulakukan demi bisa mengembalikan Aisy seperti sedia kala. Mulai besok pagi, sepertinya diriku akan bekerja lebih keras lagi, kuyakin semua masa lalu itu juga akan kembali selama dirinya masih punya hati.

-doa-

          Satu malam pun telah berlalu, di pagi ini juga kumulai menyempatkan diri untuk datang ke rumahnya. Dan aku yakin, dia pasti sudah pulang.

           “Ibuk, Aldi berangkat dulu yaa.” Ucapku pada ibu saat beliau sedang menyapu.

           “Kok pagi amat Di, sarapan dulu sana.” seru ibu.

           “Nggak usah dulu buk, soalnya Aldi lagi buru-buru. Tapi Aldi udah bawa bekal dua kok.” Jawabku.

           “Yaudah Di, hati-hati di jalan ya.” Imbuh ibu.

          Saat diriku telah tiba di depan rumahnya, kumulai memandangi keadaan sekitar, namun sayangnya ku tak melihat mobilnya. Dan kumulai merasa, sepertinya Aisy masih belum pulang. Tak lama akan hal itu tiba-tiba ibunya mulai keluar sambil menuntun suaminya duduk di teras.

           “Assalamualaikum ibuk.” Ucapku saat tiba di hadapan beliau.

           “Walaikum salam Aldi, tumben pagi-pagi udah ke sini.” Gumam beliau.

           “Iya buk, Aldi cuma mau ngasih nasi jagung kesukaan ibuk.” Jawabku.

           “Aduhh Aldi makasih ya, tapi jangan terlalu sering-sering seperti ini, ibuk kan jadi nggak enak sama kamu.” Tukas beliau.

           “Tidak apa-apa kok buk, lagipula juga tidak setiap hari. Oh iya, Aisy ke mana yah buk?” tanyaku dengan iseng.

           “Hemm, kalau soal Aisy jangan ditanya deh, sudah jadi kebiasaan tuh anak, jarang pulang ke rumah.” Jawab beliau dengan cukup kesal.

           “Sabar dulu ya buk, Aisy mungkin juga masih banyak urusan di luar sana.” tambahku.

           “Iya tapi dia sudah terlalu sering loh seperti ini, ibuk jadi makin jengkel sama tuh anak.” Jawab beliau dengan sedikit amarah.

           “Sudah cukup ibuk, nggak baik benci sama anak. Lebih baik ibuk dan bapak istirahat aja ya, biar Aldi yang nanti akan mencari Aisy.” Jawabku.

          Ayahnya di rumah mulai melemah, ibunya merasa cemas dan diriku merasa khawatir lebih sementara Aisy belum menyadari akan hal itu. Aku tak mengerti jika ini semua harus terjadi. Kutak bisa pergi dan menyerah begitu saja, apalagi kedaan orang tuanya juga seperti itu, sebisa mungkin kuharus mencari cara. Dan satu hal yang tidak akan pernah kutinggalkan hanyalah berdoa atas kebaikannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Panggil Aku Aisyah   25. Wanita Termulia Sepanjang Zaman

    -Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke

  • Panggil Aku Aisyah   24. Meniti Ilmu di Pesantren

    -sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca

  • Panggil Aku Aisyah   23. Hijrah

    -hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt

  • Panggil Aku Aisyah   22. Keajaiban

    -ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa

  • Panggil Aku Aisyah   21. Wujud Balas Budiku

    -kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.

  • Panggil Aku Aisyah   20. Mimpiku

    -aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status