Share

10. Doaku

-kegelisahanku-

           “Aldi.” Sapa ibu saat diriku terduduk sendiri di teras rumah.

           “Iya buk,” jawabku.

           “Kamu kenapa masih di sini, udah jam segini kok belum berangkat?” tanya ibu.

           “Iya buk, mungkin lima menit lagi.” Jawabku.

           “Emm begitu, oh ya Di, ntar usai pulang kerja kamu mampir ke mpok Mina ya, seperti biasa ambil pesanan ibuk.” Pinta ibu.

           “Ohh iya buk. Ya sudah kalau begitu Aldi berangkat kerja sekarang aja ya.” Tukasku.

           “Ya Di, hati-hati saat di jalan ya.” Jawabnya.

          Kumulai menaiki motor dan mulai melaju. Saat di persimpangan, dari kejauhan kusempat melihat mobilnya Aisy yang mengarah kepadaku. Saat posisinya mulai mendekat, kusempat mengamati akan dirinya yang ada di dalam mobil tersebut. Dan entah tak tahu kenapa, ternyata di dalam mobil itu bukan hanya ada Aisy, melainkan ada seorang cowok yang menemaninya di saat dia mengemudi.

           “Itu kan Aisy, mengapa dia bisa sama cowok lain ya.” Batinku.

          Kukembali melanjutkan perjalanan, dan kucoba untuk menenangkan pikiran sejenak. Namun entah tak tahu kenapa, semakin jauh ku melaju semakin kuat ingatanku tentangnya. Rasa khawatir serta gelisah sudah pasti kurasa, semua tidak lain hanya tentang dirinya. Entah mungkin dalam beberapa hari kedepan, kuharus mencari tahu, siapakah sosok lelaki yang tadi ada di sampingnya itu, karena aku takut jika lelaki tersebut adalah orang yang akan selalu memanfaatkan diri Aisy.

          Entah kenapa hatiku terus merasa gelisah, di mana kegelisahan ini mulai meracuni hari-hariku. Ingin kuberlari jauh, agar terlepas dari bayangannya yang semu, namun apalah daya jika keadaan telah menolak. Jika saja dirinya bisa mengerti akan diriku, kuyakin dia pasti melihat dan mendengar akan tangisan hatiku yang haus akan kasih sayang. Dan sampai saat ini pun aku masih belum menemukan cara dan juga jalan agar dia bisa tahu perasaanku yang sebenarnya.

          Terkadang di setiap malam, air mata ini selalu jatuh tak tertahan karena melihatnya terdiam. Karena cukup berat dari apa yang ingin kukatakan kecuali jika hal ini kuadukan pada Tuhan di waktu sepertiga malam.

-pertengkaran itu-

          Aku baru saja keluar dari masjid ini setelah mengisi sebuah ceramah. Dan kumulai menaiki motor menuju ke rumah. Entah kenapa, sudah dua hari ini kumasih terpikirkan oleh dirinya, semakin sering kumengingatnya, semakin gelisah hari-hari yang kulalui. Sejak terakhir kali aku melihat Aisy bersama lelaki itu, rasa curiga mulai terasa. Bahkan di saatku sedang menjalani aktifitas apapun, rasa cemas sudah pasti datang, membuatku bertekad untuk mulai mencari tahu akan keberadaan Aisy sekarang.

          Saat berada di persimpangan jalan, aku tidaklah belok ke arah rumah, melainkan ke arah di mana kumasih ingin menikmati udara dingin di malam ini. Dan tanpa sengaja, ku kembali berpapasan dengan Aisy. Aku tidaklah cuek begitu saja, karena rasa curigaku terhadapnya sudah mulai meninggi. Dan selagi diriku masih punya banyak waktu, kusempatkan saja untuk membuntutinya sejenak. Kuterus mengikutinya kemanapun dirinya pergi karena rasa khawatir pada hatiku mulai berlebih.

          Kini kumulai tiba di tempat ini, tempat di mana Aisy biasa menikmati malam-malamnya bersama teman-temannya. Kumulai berjalan mengamati keadaan sekitar. Dengan perlahan kumulai masuk ke tempat hiburan malam itu, sekedar menengok apakah Aisy ada di dalam sana. Kumulai mengamati keadaan sekitar, namun kutak melihat akan diri Aisy, mungkin dia sedang ke toilet. Namun, setelah agak lama kumenunggu, kumasih saja belum menemukan sosok diri Aisy. Lebih baik kusegera keluar saja, mungkin saja Aisy sedang berada di luar.

          Kukembali berjalan mengambil motor yang terparkir di basement, tanpa ada banyak waktu, tak sengaja kumelihat Aisy dengan cowok lain. Kuyakin, mungkin saja itu adalah pacarnya. Kumulai mengamati perbincangan mereka dari kejauhan, dan sepertinya mereka sedang beradu mulut dan mulai bertengkar. Saat diriku menyaksikan hal itu, sepertinya kumulai sedikit merasa marah juga akan hal itu, karena ku tak tega melihat Aisy di maki-maki oleh lelaki itu. Tak lama kemudian, pertengkaran mereka mulai meluap, amarah cowok itu semakin meninggi lalu menampar Aisy dengan keras. Atas kejadian itu, tanpa banyak pikir kulangsung berlari ke arah mereka lalu kutonjok pria itu dengan keras hingga terjatuh.

Blukkkkk.

           “Hei, kamu jangan pernah main tangan ya sama adikku.” Ucapku pada pria itu.

           Tanpa harus membalas ucapanku, cowok itu langsung berdiri dan meninggalkan kita berdua di sini.

           “Aisy, kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku.

           “Aduhhhh, ngapain juga sih kamu ke sini? Kamu ngikutin aku ya.” Jawabnya.

           “Nggak Aisy, aku cuma sedikit khawatir dengan keadaan kamu, makanya kusempetin waktu untuk mencari keberadaan kamu sekarang.” Tukasku.

           “Aduhh Aldi pliss deh, kamu itu nggak usah terlalu sok perhatian sama aku ya.” Bantahnya.

           “Iya Aisy maaf, tapi apa salahnya jika aku berniat untuk melindungi kamu ke mana pun kamu pergi.” Tukasku kembali.

           “Aldi cukup!. Mending sekarang kamu pergi dan jangan pernah sekali-kali datang ke tempat ini.” Serunya.

           “Ya sudah, aku pergi sekarang, tapi kamu cepat pulang ya, kasihan ibumu di rumah. Assalamualaikum Ais.” Ucapku kembali.

           Kuterpaksa harus pulang sendiri dengan perasaan yang sedikit sedih. Betapa tidak, Aisy dengan keras menyuruhku pulang sementara dia tidak ingin pulang. Atas pertengakaran yang baru saja terjadi antara dia dengan cowoknya, membuatku semakin khawatir akan keadaannya. Entah apa jadinya nanti jika dirinya terus-terus tenggelam dalam pergaulan yang tak diridhoi Allah. Mungkin kuhanya bisa berdoa atas kebaikannya, semoga Allah melindungi Aisy ke mana pun dirinya pergi.

          “Aldi, kamu dari mana aja, jam segini kok baru pulang?” tanya ibu saat diriku baru sampai di rumah pada pukul sebelas malam.

           “Iya buk, tadi Aldi masih jenguk teman yang lagi sakit.” Jawabku dengan sedikit berbohong.

           “Ohhh kirain ke mana, ya sudah kamu makan dulu sana, masih ada banyak makanan di meja.” Pinta ibu.

           “Ya buk.” Jawabku.

          Lalu aku pun terduduk di dekat meja makan ini, dengan perlahan kumulai menikmati makanan ini. Namun entah kenapa, baru saja diriku memakan tiga suapan nasi, tiba-tiba diri ini merasa nggak mood yang mau makan, padahal kumerasa lapar. Entahlah, mungkin saja diriku sedang banyak pikiran, terutama soal perdebatanku dengannya di waktu tadi. Sampai saat ini, ku masih saja berpikir tentang apa yang harus kulakukan agar Aisy bisa berubah walau hanya sedikit, memang hal tersebut tidaklah mudah, namun apa salahnya jika diriku harus mencoba untuk terus menasihatinya.

          Kumasih menyempatkan diri untuk memandang bulan dari sudut jendela, dan hal seperti ini sudah sering kulakukan sebelum diriku tidur. Kusengaja memandangi bulan itu, karena di malam inilah bulan selalu menjadi saksi di mana saat ini Aisy berada. Bulan juga pasti tahu apa yang dilakukan Aisy saat ini, kekhawatiranku mulai menjadi-jadi seketika kumulai tahu bahwa setiap malam dirinya selalu saja jarang pulang. Rasa cemas, resah dan gelisah seolah telah menjadi teman malamku, yang selalu saja datang dengan membawa berita-berita tentang Aisy, yang membuat diri ini semakin sedih.

          Bukan juga soal Aisy yang membuatku prihatin, namun ini juga menyangkut soal ayahnya. Kurasa beliau pasti merasakan kesedihan daripada aku, apalagi sekarang beliau juga mulai sakit-sakitan. Namun apapun yang terjadi kuakan tetap berjuang, dan apapun akan kulakukan demi bisa mengembalikan Aisy seperti sedia kala. Mulai besok pagi, sepertinya diriku akan bekerja lebih keras lagi, kuyakin semua masa lalu itu juga akan kembali selama dirinya masih punya hati.

-doa-

          Satu malam pun telah berlalu, di pagi ini juga kumulai menyempatkan diri untuk datang ke rumahnya. Dan aku yakin, dia pasti sudah pulang.

           “Ibuk, Aldi berangkat dulu yaa.” Ucapku pada ibu saat beliau sedang menyapu.

           “Kok pagi amat Di, sarapan dulu sana.” seru ibu.

           “Nggak usah dulu buk, soalnya Aldi lagi buru-buru. Tapi Aldi udah bawa bekal dua kok.” Jawabku.

           “Yaudah Di, hati-hati di jalan ya.” Imbuh ibu.

          Saat diriku telah tiba di depan rumahnya, kumulai memandangi keadaan sekitar, namun sayangnya ku tak melihat mobilnya. Dan kumulai merasa, sepertinya Aisy masih belum pulang. Tak lama akan hal itu tiba-tiba ibunya mulai keluar sambil menuntun suaminya duduk di teras.

           “Assalamualaikum ibuk.” Ucapku saat tiba di hadapan beliau.

           “Walaikum salam Aldi, tumben pagi-pagi udah ke sini.” Gumam beliau.

           “Iya buk, Aldi cuma mau ngasih nasi jagung kesukaan ibuk.” Jawabku.

           “Aduhh Aldi makasih ya, tapi jangan terlalu sering-sering seperti ini, ibuk kan jadi nggak enak sama kamu.” Tukas beliau.

           “Tidak apa-apa kok buk, lagipula juga tidak setiap hari. Oh iya, Aisy ke mana yah buk?” tanyaku dengan iseng.

           “Hemm, kalau soal Aisy jangan ditanya deh, sudah jadi kebiasaan tuh anak, jarang pulang ke rumah.” Jawab beliau dengan cukup kesal.

           “Sabar dulu ya buk, Aisy mungkin juga masih banyak urusan di luar sana.” tambahku.

           “Iya tapi dia sudah terlalu sering loh seperti ini, ibuk jadi makin jengkel sama tuh anak.” Jawab beliau dengan sedikit amarah.

           “Sudah cukup ibuk, nggak baik benci sama anak. Lebih baik ibuk dan bapak istirahat aja ya, biar Aldi yang nanti akan mencari Aisy.” Jawabku.

          Ayahnya di rumah mulai melemah, ibunya merasa cemas dan diriku merasa khawatir lebih sementara Aisy belum menyadari akan hal itu. Aku tak mengerti jika ini semua harus terjadi. Kutak bisa pergi dan menyerah begitu saja, apalagi kedaan orang tuanya juga seperti itu, sebisa mungkin kuharus mencari cara. Dan satu hal yang tidak akan pernah kutinggalkan hanyalah berdoa atas kebaikannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status