“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
‘Sang Hyang Widhi! Inikah hidup untuk hamba? Berakhir begini saja? Hamba harus mati di usia muda tanpa keluarga! Inikah keadilanmu, Gusti Sang Hyang Widhi?’ Di detik-detik terakhir kehidupannya, Arjanuwanggabrata menyeru kepada Dewata di hatinya. Meski begitu, dia masih sempat berbisik lirih, “Tapi … hamba puas karena bisa mati bersama perempuan yang hamba cintai. Tuan Putri Sarnika, maafkan hamba yang tidak berguna menjaga Tuanku. Ndoro Putri adalah cinta sejatiku … selamanya.” Namun, Arjanuwanggabrata seperti mendengar suara lembut tuan putri di sampingnya, “Tuan Panglima, aku bahagia bisa mati bersamamu. Hari ini sungguh sebuah kebahagiaan terbesar dalam hidupku.” Hah? Zap! Mata Arjanuwanggabrata segera membuka dengan cepat disertai helaan napas keras dan jantung berdegup kencang, seakan-akan dia baru terjaga dari mimpi mengerikan. Yang dia ingat terakhir kalinya hanyalah pelukan tuan putri pada lengannya dan bisikan Beliau, lalu sinar merah terang membutakan dan menutup penge
Sang panglima masih berjuang mencerna berbagai informasi yang datang seperti air bah di kepalanya. Dari perubahan nama menjadi Juna , dan juga tempat tinggalnya saat ini.Dia ada di negara Nusantara, bertempat di kota Samanggi dan ada di tahun 2017 Masehi! Bukan menggunakan penanggalan Jawa Purwa seperti yang dia ketahui.Karena masih bingung, Juna memilih memejamkan matanya sambil terus mengolah informasi aneh yang ada di kepalanya. Dia biarkan orang-orang di sekitarnya berceloteh sesuka hati dan menganggap dia sedang beristirahat.Juna butuh asupan informasi sebanyak mungkin akan kehidupan Arjuna andaikan benar jiwanya masuk ke dalam raga orang lain yang kebetulan saja elemen nama dan wajahnya hampir mirip.‘Hm jadi saat ini tidak menggunakan penanggalan Jawa Purwa, melainkan penanggalan Masehi. Aku tak paham, tapi tak apa, berikan saja semuanya!’ seru Juna. Dulu, dia hidup di tahun 134 Jawa Purwa.Mengenai penanggalan Masehi, mungkin nanti dia akan mencari tahu mengenai itu, entah
Kemudian, giliran informasi mengenai latar belakang Arjuna muncul. ‘Hm, Arjuna anak yatim piatu sejak remaja. Orang tuanya berkawan baik dengan orang tua Lenita. Makanya, dia dibawa ke rumah Hartono, diasuh dan disekolahkan sampai tamat SMA, dan bisa bertemu dengan Lenita.’‘Arjuna bertemu Nita dan jatuh cinta sampai tergila-gila dengan wanita kasar itu, kemudian bersikeras mendekati Nita padahal aku rasa Nita tidak menyukainya.’ Juna langsung memiliki penilaian sendiri mengenai sikap Lenita pada Arjuna. Dia merasa iba akan itu, sekaligus mencemooh kebodohan pemilik raga terdahulu.‘Hn, Arjuna payah itu terus mengejar Nita, sampai akhirnya suatu hari, Nita merayu dia dan mereka bercinta, lalu Nita dinyatakan hamil, tapi kemudian keguguran.’ Juna menghela napas ketika dia diberikan adegan ketika Lenita keguguran.Sekali lagi, ingatan Juna mengenai kehidupan lamanya di era kuno terbayang tanpa bisa dia hentikan.‘Di sini sungguh tak enak. Baru datang saja aku sudah ingin kembali. Tapi,