Big big thx utk kalian semua yg udh ngikutin kisahnya babang Juna. Maaf kalo ada salah eja atau salah narasi dan dialog. Thx utk semua dukungan kalian. Nantikan cerita lainnya dariku, yak! Atau mungkin akan ada sekuel mengenai kisah anak2nya Juna? He he, auk deh! BTW, happy new year 2024! Semoga tahun depan mjd tahun baik utk kita semua, amin!
‘Sang Hyang Widhi! Inikah hidup untuk hamba? Berakhir begini saja? Hamba harus mati di usia muda tanpa keluarga! Inikah keadilanmu, Gusti Sang Hyang Widhi?’ Di detik-detik terakhir kehidupannya, Arjanuwanggabrata menyeru kepada Dewata di hatinya. Meski begitu, dia masih sempat berbisik lirih, “Tapi … hamba puas karena bisa mati bersama perempuan yang hamba cintai. Tuan Putri Sarnika, maafkan hamba yang tidak berguna menjaga Tuanku. Ndoro Putri adalah cinta sejatiku … selamanya.” Namun, Arjanuwanggabrata seperti mendengar suara lembut tuan putri di sampingnya, “Tuan Panglima, aku bahagia bisa mati bersamamu. Hari ini sungguh sebuah kebahagiaan terbesar dalam hidupku.” Hah? Zap! Mata Arjanuwanggabrata segera membuka dengan cepat disertai helaan napas keras dan jantung berdegup kencang, seakan-akan dia baru terjaga dari mimpi mengerikan. Yang dia ingat terakhir kalinya hanyalah pelukan tuan putri pada lengannya dan bisikan Beliau, lalu sinar merah terang membutakan dan menutup penge
Sang panglima masih berjuang mencerna berbagai informasi yang datang seperti air bah di kepalanya. Dari perubahan nama menjadi Juna , dan juga tempat tinggalnya saat ini.Dia ada di negara Nusantara, bertempat di kota Samanggi dan ada di tahun 2017 Masehi! Bukan menggunakan penanggalan Jawa Purwa seperti yang dia ketahui.Karena masih bingung, Juna memilih memejamkan matanya sambil terus mengolah informasi aneh yang ada di kepalanya. Dia biarkan orang-orang di sekitarnya berceloteh sesuka hati dan menganggap dia sedang beristirahat.Juna butuh asupan informasi sebanyak mungkin akan kehidupan Arjuna andaikan benar jiwanya masuk ke dalam raga orang lain yang kebetulan saja elemen nama dan wajahnya hampir mirip.‘Hm jadi saat ini tidak menggunakan penanggalan Jawa Purwa, melainkan penanggalan Masehi. Aku tak paham, tapi tak apa, berikan saja semuanya!’ seru Juna. Dulu, dia hidup di tahun 134 Jawa Purwa.Mengenai penanggalan Masehi, mungkin nanti dia akan mencari tahu mengenai itu, entah
Kemudian, giliran informasi mengenai latar belakang Arjuna muncul. ‘Hm, Arjuna anak yatim piatu sejak remaja. Orang tuanya berkawan baik dengan orang tua Lenita. Makanya, dia dibawa ke rumah Hartono, diasuh dan disekolahkan sampai tamat SMA, dan bisa bertemu dengan Lenita.’‘Arjuna bertemu Nita dan jatuh cinta sampai tergila-gila dengan wanita kasar itu, kemudian bersikeras mendekati Nita padahal aku rasa Nita tidak menyukainya.’ Juna langsung memiliki penilaian sendiri mengenai sikap Lenita pada Arjuna. Dia merasa iba akan itu, sekaligus mencemooh kebodohan pemilik raga terdahulu.‘Hn, Arjuna payah itu terus mengejar Nita, sampai akhirnya suatu hari, Nita merayu dia dan mereka bercinta, lalu Nita dinyatakan hamil, tapi kemudian keguguran.’ Juna menghela napas ketika dia diberikan adegan ketika Lenita keguguran.Sekali lagi, ingatan Juna mengenai kehidupan lamanya di era kuno terbayang tanpa bisa dia hentikan.‘Di sini sungguh tak enak. Baru datang saja aku sudah ingin kembali. Tapi,
‘Tsk! Menyedihkan! Kehidupanmu begitu menyedihkan, Arjuna. Akan aku ubah itu, tenang saja. Akan aku kembalikan harga dirimu sebagai lelaki!’ Juna seakan menjanjikan itu pada Arjuna. Dia sendiri merasa geram ketika mengetahui ada perempuan yang memperlakukan lelaki dengan cara demikian.Setidaknya, Juna mengharapkan sikap hormat yang pantas dari Lenita yang merupakan seorang istri. Jika ini di zamannya, Lenita sudah diceraikan begitu menyebut suaminya bodoh atau tolol.“Huh! Kali ini Mama maafkan, ya!” Suara Leila kembali tertangkap pendengaran Juna. Wanita itu belum selesai mengomel, “Mama tak suka ada yang bersikap kurang ajar pada Mama!” Leila memang temperamen, terlihat dari cara dia berkata-kata pada Juna. Atau hanya pada Juna saja?“Mamih, ini ….” Terdengar suara lain di pintu. Itu adalah Hartono, ayah dari Lenita. Beliau masuk ke kamar anaknya. “Kenapa aku mendengar suara mengomel Mamih? Terdengar sampai ke ruang tengah, loh! Masih ada banyak orang di sana, Mih! Tak enak kalau d
Juna tak mungkin habis akal atau dia tak akan diangkat sebagai panglima oleh rajanya. Dia berkata pada Lenita, “Bagaimana mungkin aku bukan Juna? Aku ini Juna, suamimu! Aku Arjuna Prasojo, itu sudah jelas!”Dahi Lenita masih berkerut tanda dia belum merasa yakin dan ikut melipat kedua lengan di depan dada seperti yang dilakukan Juna, wajahnya masih menyiratkan kecurigaannya. “Kalau memang kau Juna, kenapa kau berbeda sekali dengan suami yang aku kenal sebelum kau bangkit dari mati suri?”“Tega sekali kau meragukan suamimu, Len?” Juna menampilkan raut wajah kecewa.“Nah! Kau bahkan memanggilku Len dan bukannya Nita!” Lenita seakan menemukan celah terbesar.“Memangnya aku tak boleh mengganti nama panggilan untuk istriku? Sejak kapan ada peraturan begitu? Undang-undang yang mana? Pasal berapa?” Jangan remehkan Juna yang sudah mengambil seluruh ingatan Arjuna sehingga dia jadi lebih paham akan tata cara dan istilah mengenai kehidupan di era modern ini.“Yah, memang tidak ada, tapi tetap s
Juna melirik jam di pergelangan tangan kirinya, dan berkata dalam hati, ‘Bukankah ini sudah masuk ke jam kerja? Lalu kenapa mereka masih bersantai di sana?’Karena itu, Juna menghampiri dua pekerja tadi dan mau tak mau menegur mereka, “Kenapa kalian ada di sini dan tidak bekerja?”Juna belum mengetahui siapa nama karyawan tersebut tapi dia tidak ingin mengungkapkannya agar tidak ketahuan bahwa dia bukan Arjuna, apalagi di memori pemilik raga sebelumnya juga tidak nampak data mengenai mereka.“Pekerjaan kami sudah selesai.” Salah satu dari karyawan menjawab santai sembari membanting rokoknya di lantai dan memadamkan menggunakan alas sepatunya.Melihat itu, Juna mengernyitkan kening, tak suka. “Bersihkan.” Suaranya terdengar tenang tapi tegas.“Hah?” Orang itu menoleh ke Juna dengan sikap meremehkan.“Kubilang, bersihkan lantai yang baru saja kau kotori!” Juna menaikkan sedikit suaranya. Kemudian, dia menatap ke arah CCTV di atasnya, dia sudah tahu fungsi benda tersebut dan berkata ke o
Ketika mobil kembali ke rumah, Hartono dan Wenti terkesima melihat bagasi mobil sudah dipenuhi tumpukan map.“Itu … apa, Jun?” tanya Hartono ketika menyaksikan menantunya sibuk mengeluarkan satu demi satu ikatan map dari bagasi.“Ini laporan keuangan dan dokumen penting lainnya, Pa. Tadi aku memeriksa di kantor, tapi karena terlalu banyak, aku ingin melanjutkan memeriksa di rumah. Tak apa, kan?” Juna menatap mertuanya.“O—oh! Tentu saja boleh! Ha ha ha! Mana mungkin Papa melarang kamu yang ingin serius mengelola perusahaan?” Hartono tertawa senang diikuti Wenti yang tersenyum lebar di sampingnya. “Pak Atmo! Iwang!” Beliau memanggil pekerja rumah.Segera, lelaki berusia 57 tahun dan 32 tahun datang dengan sikap hormat di depan Hartono.“Ya, Tuan?” Atmo mengangguk diikuti Iwang.“Kalian bantu Juna membawa barang-barang itu ke kamar atau manapun dia inginkan!” perintah Hartono.“Baik, Pak!” Atmo dan Iwang mengangguk dan melaksanakan perintah majikan mereka.“Ini hendak dibawa ke mana, Ma
Alangkah terkejutnya Lenita mendengar sahutan dari suaminya. Dengan suara melengking, dia berkata, “Kau hendak memecat mereka? Kau berani, Juna?!” Kilatan amarah muncul di matanya beserta kedua tangan berkacak pinggang.Tingkahnya benar-benar sudah seperti tokoh antagonis di serial drama televisi. Lenita tak terima suaminya bersikap berani terhadap dirinya. Juna itu harus selalu di bawah kakinya! Itu nasehat yang selalu ditekankan oleh ibunya untuk mengendalikan sang suami dan Lenita setuju mengenainya.Namun, kenapa sekarang justru berantakan semenjak Juna terbangun dari mati suri?Mental panglima yang kokoh mana mungkin gentar hanya dari bentakan seorang istri durhaka? Oleh sebab itu, Juna tak segan membalas dengan ucapan, “Tentu saja berani! Kalau mereka bekerja tidak sesuai kemauanku dan menjadi hambatan di perusahaan, maka aku sebagai pemimpin, sudah selayaknya menertibkan semua pekerjaku.” Kemudian, dia menoleh ke Hartono di belakang, “Bukankah ini prinsip yang seharusnya dimili