Panik! Ex an Traumfrau, dann verrückt!

Panik! Ex an Traumfrau, dann verrückt!

Por:  Clara WagnerActualizado ahora
Idioma: Deutsch
goodnovel4goodnovel
No hay suficientes calificaciones
30Capítulos
12vistas
Leer
Agregar a biblioteca

Compartir:  

Reportar
Resumen
Catálogo
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP

Drei Jahre Ehe - und ich war zufrieden mit meinem Leben. Mein Mann, Felix Weber, war nicht nur attraktiv und wohlhabend, sondern auch unglaublich liebevoll, geduldig und immer ausgeglichen. In all den Jahren hatten wir nie wirklich gestritten, nie ein böses Wort miteinander gewechselt. Bis zu dem Tag, an dem ich ihn sah - den sonst so ruhigen und kontrollierten Felix. Er hatte eine Frau, offensichtlich seine große Liebe aus der Vergangenheit, an die Wand gedrängt. Mit einer Stimme, die vor Zorn und Schmerz bebte, „Du hast damals selbst entschieden, einen anderen zu heiraten! Mit welchem Recht kommst du jetzt zu mir?“, fragte er sie. Erst da begriff ich: Wenn er jemanden wirklich liebt, dann tut er das mit einer brennenden, ungezähmten Leidenschaft. Ich zog mich zurück, ließ mich scheiden und verschwand - spurlos. Bald darauf hörte ich Gerüchte, dass Sebastian den Verstand verloren haben soll. Angeblich habe er jede Ecke der Stadt durchforstet, als würde er die ganze Welt auf den Kopf stellen, nur um mich zu finden. Dieser selbstbeherrschte, disziplinierte Mann, verrückt - und das ausgerechnet wegen mir, seiner unscheinbaren Ex-Frau? Es schien absurd. Doch dann traf ich ihn wieder. Ich stand an der Seite eines anderen Mannes, als er plötzlich vor mir auftauchte. Ohne Vorwarnung packte er mein Handgelenk, seine Augen voller Verzweiflung, fast wahnsinnig. Mit einer Stimme, die kaum noch zu ihm zu gehören schien, flüsterte er: „Lena, ich habe einen Fehler gemacht. Bitte komm zurück zu mir.“ Und in diesem Moment wurde mir klar: Die Gerüchte hatten nicht übertrieben. Sebastian war wirklich außer sich.

Ver más

Capítulo 1

Kapitel 1

“Pa, pokoknya semua yang berkaitan dengan masa lalu Bara harus hilang. semua data semua akses, tutup rapat,” ucap Martha pada Sastro.

“Mama tenang aja. Sekarang ini Bara sudah jadi orang yang baru dengan ingatan yang baru, jangan khawatir,” ucap Sastro.

•••

Rumah besar itu nggak banyak berubah. Sofa abu-abu yang empuk, karpet Persia, lukisan kedua orangtuanya masih tergantung rapi di lorong, dan Mama—seperti biasa—udah sibuk ngatur katering buat nyambut anak semata wayangnya pulang dari Amerika setelah lima tahun.

“Aku kangen Indonesia,” ucap Bara pelan sambil nyender ke sofa ruang keluarga.

“Kamu tambah ganteng, Bara...” suara Mama Martha terdengar lembut untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

“Mama juga sekarang makin cantik,” jawab Bara sambil mencium tangan wanita itu.

Mereka makan malam dengan keluarga dekat. Tawa, cerita, foto-foto jaman dulu yang “aman” buat ditunjukin. Tapi Bara... hatinya tetap kayak ruang gelap yang belum keisi.

Dia ketawa, iya. Tapi setiap malam, ada suara-suara aneh di kepalanya. Suara kereta mainan, musik boneka yang berputar, atau... tawa anak kecil.

Dan kadang, suara itu muncul tiba-tiba waktu dia lagi sendiri.

Malam itu, Bara bangun tengah malam. Selimut di tubuhnya dia lempar karena terasa “gatal”—padahal itu linen mahal impor. Tangannya meraih botol kecil di laci: obat penenang.

Satu tablet. Dia telan tanpa air. Napasnya berat.

“Ayo tidur... besok balik ke kantor,” batinnya.

•••

Hari pertama di kantor, suasananya gegap gempita. Semua staf berdiri rapi di depan lobby kantor megah itu.

“Selamat datang, Pak Bara,” sambut Dani, sekretaris pribadinya yang baru.

Bara tersenyum. Matanya menyapu ruangan.

Dia berdiri tegap, suit hitam, dasi navy, jam tangan titanium yang berkilau di bawah cahaya.

“Hai semuanya. Saya tahu, saya terlihat asing buat kalian. Tapi percayalah, saya akan jadi CEO yang tetap bisa diajak bercanda,” katanya, bikin semua orang ketawa ringan.

Beberapa senior staf manggut-manggut, sementara yang muda-muda bisik-bisik.

“Gila... itu CEO kita? Ganteng banget, sumpah,” bisik seorang analis wanita di barisan belakang.

Meeting berjalan lancar. Bara lebih banyak mendengar, mencatat, dan memandangi sekeliling. Wajah-wajah asing. Tapi semua begitu profesional. Dia bisa kontrol semua—kecuali kekosongan di kepalanya.

Waktu makan siang tiba, Bara mutusin buat makan keluar. Dia nyetir sendiri, nyari sesuatu yang... nostalgic.

“Ah, ayam goreng Mekdi,” katanya sambil senyum tipis.

Dia parkir, masuk ke Mekdi terdekat, dan pesan seperti dulu di Amrik:

1 Big Mac, 2 chicken wings, 1 fries ukuran besar, 1 Coke dingin.

Bara ambil nampannya, cari meja dekat jendela. Tapi baru dua langkah...

DUGH!

Sesuatu—atau lebih tepatnya seseorang—menabrak lututnya dengan cukup keras. Nampan di tangan Bara oleng, dan Coke-nya tumpah ke baju jasnya.

“Oh no!” teriak suara cempreng kecil.

Bara mendongak. Di depannya... seorang anak perempuan. Gemoy. Rambut tebalnya dikuncir dua. Bajunya seragam TK warna pink. Pipinya merah. Dan... hidungnya mancung banget.

“Sorry, Uncle... aku nggak sengaja karena aku dikejar monster,” katanya sambil menunjuk temannya yang pake topeng Spiderman dan pura-pura jadi monster.

Bara bukannya marah... malah bengong.

Anak itu kayak—familiar.

“It’s okay... Uncle nggak marah. Tapi sebagai hukumannya, nama kamu siapa?” tanya Bara sambil berjongkok, nyari kontak mata.

“Aku namanya Nola tapi dipanggil Ola,” jawabnya sambil senyum, lalu sibuk benerin pin nama di bajunya.

“Ola...?” Bara ngulang pelan. Dadanya sesak seketika. Suara itu. Senyum itu. Nama itu.

Sesuatu di dalam dirinya menggeliat. Panas. Nyeri. Tapi hangat juga.

“Uncle namanya siapa?” tanya Ola sambil ngelap iler di dagunya pake punggung tangan. Spontan Bara ngakak kecil.

“Uncle Bara,” jawabnya.

“Hihi... nama Om mirip nama boneka kucing dirumah aku loh...”

“oh really? pasti kamu senang banget sama boneka kucing itu, kan,” ucap Bara sambil tersenyum.

Nola ngangguk-angguk. Tapi sebelum Bara bisa nanya lebih lanjut, suara perempuan dari tempat main anak-anak terdengar.

“Nola! Ayo makan, Sayang!”

“Oh, itu Miss aku!” kata Nola sambil bangkit berdiri. Tapi sebelum lari, dia ngelepas jepit rambut pink di kepalanya.

“Ini buat Uncle. Artinya aku seneng temenan sama kamu. Bye Uncle...” katanya sambil melenggok gaya peragawati mini, terus lari ke arah gurunya.

Bara berdiri mematung.

Di tangannya... jepit rambut kecil. Pink. Bentuk bintang. Dia ketawa pelan, masih bengong.

“Ola... Nola...” gumamnya lagi.

Ada sesuatu dalam dirinya yang runtuh perlahan. Tapi bukan sakit... lebih kayak rindu yang nggak punya nama.

Sejak pertemuan itu... dia tahu. Dia pernah memiliki Nola. Atau... Nola pernah memiliki dia.

•••

Bara duduk sendiri di pojok dekat jendela, satu tangan megang Big Mac yang tinggal separuh, satu lagi menyangga dagunya. Matanya nggak lepas dari sekumpulan bocah TK yang lagi main di area anak.

Ada yang nangis karena rebutan boneka. Ada yang nyanyi lagu anak-anak sambil nari lucu banget. Tapi yang paling menarik perhatian Bara adalah—Nola.

Anak kecil itu duduk di kursi merah kecil. Di depannya, tiga anak cewek lain berbaris manis sambil menyodorkan wajah ke arah Nola yang sibuk buka tas mini warna ungu muda.

Expandir
Siguiente capítulo
Descargar

Último capítulo

Más capítulos

Comentarios

Sin comentarios
30 Capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status