“Maaf, Pak. Emm... Bb-Bang Keenan maksud saya,” cicit Lily dengan suara seraknya.
“Kali ini aku maafkan.” Keenan menatapnya dengan tajam. “Dengar baik-baik, Lily. Aku tak suka kau memanggilku dengan nada yang tinggi. Jadilah penurut kalau mau aku memperlakukan kalian dengan baik.”
Wanita itu mengangguk tanpa suara. Lalu kembali berjalan berdampingan dengan Keenan menuju mobil. Tempat di mana putranya kini sudah berada.
“Pa, kita mau ke mana?” tanya Farel ketika keduanya sudah berada di masing-masing sisi kanan kirinya.
“Kau tunggu saja. Nanti juga akan sampai,” jawab Keenan dengan wajah dingin dan datarnya. Hal itu membuat Farel menunduk dan tak lagi berkata-kata.
“Hei, tadi papa bilang apa, hemm? Dia mau kasih kejutan loh. Jadi jangan diganggu dulu,” bisik Lily seraya mengusapi puncak kepala anaknya. “Papa begitu karena dia takut keceplosan bicara, Sayang.”
“Oh. Iya,” sahut Farel bernada pelan.
Keenan yang tadinya membuang pandangan ke arah luar melirik Farel yang tampak bersedih. Dalam sekejap dia sudah melingkarkan tangannya ke pundak bocah usia empat tahunan itu. Lantas menarik kedua sudut bibirnya sekilas.
“Papa tidak marah. Hanya tadi kami kelelahan karena sibuk menyiapkan sesuatu.” Lily masih berusaha menghibur hati putranya.
“Iya, Ma. Aku saja yang tidak sabar,” ucap Farel yang akhirnya bisa tersenyum manis.
Suasana kembali hening ketika pembicaraan kedua ibu dan anak itu berhenti di sana. Hingga sekitar satu jam kemudian mobil yang dikemudikan oleh sang sopir berhenti di sebuah rumah mewah. Gerbang bewarna hitam yang menjulang tinggi terbuka otomatis ketika kendaraan roda empat tadi mulai mendekat.
Farel sontak mengangakan mulutnya. Berdecak kagum ketika melihat bagian halaman depan yang penuhi tanaman hias dengan warna hijau mendominasi. Sementara Lily menahan napas. Sungguh rumah megah tersebut membuatnya semakin bergidik ngeri.
“Rumahnya bagus, Ma. Kenapa Mama takut?” tanya Farel ketika menoleh ke arahnya. Sontak ucapan tadi membuat Keenan cepat meliriknya juga.
“Eh? Iya kok, Sayang. Mama hanya kaget saja,” jawab Lily sekenanya.
“Langsung antarkan kami ke taman belakang!” titah Keenan yang langsung diiyakan oleh sopirnya.
Keenan turun terlebih dahulu. Disusul oleh Lily dan Farel yang kemudian mengikuti ayunan tubuh pria dingin itu mengarah ke taman.
“Happy Birthday! Happy Birtday, Farel!!”
Farel mematung ketika melihat belasan teman bermainnya yang sudah muncul dari balik persembunyian mereka. Bocah itu mengerjap pelan sembari memandangi semuanya.
“Bukankah mereka adalah temanmu?” tanya Keenan yang akhirnya mengeluarkan suara juga.
“Iya, Pa,” sahut Farel yang kemudian tersenyum senang. Lantas terkekeh lalu memeluk Keenan tanpa canggung. “Makasih ya, Pa kejutannya. Aku suka.”
Keenan bergumam pelan. Satu tangannya terjulur untuk mengusap punggung Farel sebentar. “Nikmatilah pestanya.” Dia hendak memacu langkah untuk menjauh, tetapi Lily lekas mencekal tangannya.
“Abang, bukankah Abang adalah papanya?” gumamnya dengan suara tertahan. “Jadi mari kita lanjutkan acaranya.”
“Maksudmu?”
Acara potong kue sudah digelar. Di mana Lily dan Keenan mendampingi Farel untuk merayakan ulang tahun tadi secara seremonial. Berlanjut ke acara makan bersama. Pun kehadiran badut sebagai hiburan menambah suasana semakin meriah.
Kini Lily duduk berdampingan dengan Keenan. Keduanya menonton belasan bocah tersebut yang tengah menikmati pesta kecil. Namun, tentu sangat bermakna bagi buah hatinya itu.
“Hemm, bagaimana caranya Abang bisa membawa teman-teman Farel kemari?” tanya Lily setelah hampir setengah jam tidak ada pembicaraan di antara mereka. Sayang. Keenan sama sekali tak ingin menjawab. Jadilah ibu satu anak itu kembali membungkam bibirnya.
Hingga lima menit kemudian, dia menoleh ke arah Lily dengan tatapan datar seperti biasa. “Terlalu mudah bagiku untuk melakukan itu semua. Aku bisa melakukan apa saja.”
Tentu. Benar sekali apa yang diucapkan oleh Keenan barusan. Meskipun tidak tahu siapa sosok suami yang baru dinikahinya tersebut, tetapi dia paham bahwa Keenan adalah orang yang berkuasa. Wajahnya terlalu bersilau kalau dianggap hanya sebagai manusia biasa.
“Permisi, Nyonya.”
“Eh?” Tari tersenyum canggung usai mendengar seruan dari arah samping. Bagaimana tidak. Setelah lima menit suasana hening, kini ada seseorang yang tiba-tiba datang mengajaknya bicara.
“Jelaskan peraturan yang ada di rumah ini. Jangan sampai dia membuat kesalahan,” ucap Keenan. Lantas dia bangkit dari posisi duduknya. Lalu melirik Lily. “Pestanya harus selesai tepat jam lima sore.”
Keenan pergi meninggalkan Lily yang masih bergeming di tempatnya. Atensi wanita itu segera teralihkan oleh seorang pelayan usia paruh baya yang ada di hadapannya tersebut.
“Jangan takut, Nyonya. Tuan Keenan tidak akan marah kalau Anda menurut.”
“I-iya,” jawab Lily setengah terbata.
“Maaf kalau saya lancang. Nyonya kemari sebagai apa ya?” tanya wanita tersebut dengan tatapan meragukan. Pasalnya dia juga tidak tahu kenapa Lily dan putranya hadir di rumah itu.
Lily pun jadi bingung hendak menjawab apa, hingga saat dia akan membuka mulut Keenan tiba-tiba sudah hadir di sampingnya.
“Dia istriku.”
"ISTRI? KAPAN ...MENIKAHNYA??"
Suara barusan membuat Lily terhenyak seketika. Dalam sekejap kehadirannya sudah menjadi fokus semua orang yang ada di ruang tengah itu. Sementara Keenan sama sekali tak peduli."Keenan, kau jangan membual." Wanita dengan baju kekurangan bahan yang berdiri di hadapannya tersebut begitu meradang. "Dia hanya pembantu baru di rumah ini 'kan? Kalian ... tidak mungkin menikah. Kau hanya berbohong!!" Keenan memutar balas bola matanya. Lantas segera merengkuh cepat tubuh Lily. "Apanya yang tidak mungkin? Dia adalah istriku. Kami baru saja menikah. Apa kau tuli, heh?""Terus, kau anggap apa aku??" sentak sang wanita menggeram marah. Dia tersenyum miring ketika melirik ke arah istri Keenan itu. "Ini sungguh tidak lucu. Kau tahu bahwa kita adalah pasangan yang serasi." "Itu hanya menurutmu." Setelahnya Keenan menarik lengan sang istri meninggalkan wanita tersebut. Keduanya berjalan menuju kamar utama dan diikuti oleh seorang kepala pelayan yang tadi menyapa mereka. Warna putih, abu-abu dan hi
“Awwh!!” Wanita itu meringis saat tangannya dicengkeram kuat lalu disentakkan dengan kasar. Dia menggeram lalu menoleh ke arah si pelaku. “Kee-nan?”“Ini rumahku!” Keenan menatap tajam sang wanita lalu menariknya cepat ke luar dari kamar.“Keenan, ayolah. Sandiwara apa yang kau lakukan, heh? Aku tahu bahwa kau ditekan untuk segera menikah, tetapi mengapa harus dengan janda beranak satu pula? Lihat aku!” Dengan penuh rasa percaya diri wanita berambut perak itu mendekatkan. “Aku bisa jadi istrimu.”Sayangnya Keenan malah tertawa sumbang. “Lisna, berhentilah mengada-ngada. Lebih baik kau pulang sekarang.”“Aku serius. Aku kurang apa coba? Oh astaga. Jangan-jangan kau ini dipelet oleh perempuan itu.”Keenan mendengkus pelan lalu berucap. “Aku sedang tidak mau berdebat denganmu. Pergilah.” Sementara di dalam kamarnya Farel tengah mendengarkan penjelasan dari Lily terkait dengan insiden barusan.“Enggak pa-pa, Sayang. Tante yang tadi mungkin sedang kesal. Jadi ya berbicara asal
Farel terkesiap lalu mematung dalam sekejap. Sementara Lily lekas menahan tangan Keenan yang sudah mengepal erat.“Apa yang kau lakukan??” tanya Keenan dengan suara yang menahan geram. Tadinya dia hendak kembali ke ruang kerja. Namun, suara bising dari kamar Farel mengacaukan rencananya.Bocah usia empat tahun itu menunduk seraya meremas jari-jarinya sendiri. “A-aku hanya main rumah-rumahan.”“Dia hanya bermain. Tolong jangan memarahinya,” bisik Lily. Wanita itu menggeleng pelan dengan bola mata yang nyaris berhenti berkedip ketika Keenan mulai mengayunkan langkahnya. Tepat saat hampir mendekati Farel, suami dinginnya tersebut berhenti lalu mengambil posisi bersidekap.“Apa ranjangmu tidak nyaman?” tanyanya kemudian. “Kau tidak suka gambarnya?” Farel menggeleng. “Atau warnanya?” Lagi-lagi sang bocah menggeleng pelan. Keenan lantas mengernyit heran. Kepalan tangannya pun mulai mengendur.“Enggak ada yang salah kok. Semua yang ada di sini Farel suka,” gumam Lily
“Mbok Jum??” Lily yang barusan ke luar dari kamar dikejutkan oleh kehadiran ketua pelayan yang sudah berdiri di belakangnya. “Mbok nyariin siapa?”“Eh he.” Wanita paruh baya itu mengusap pelan tengkuknya sambil tersenyum keki. “A-anu. Tuan Keenan. Apa Tuan sudah bangun ya?”“Mungkin. Ranjangnya sudah rapi begitu.” Lily menjawab sekenanya. Jelas penuturan barusan membuat Mbok Jum mengernyit seraya membolakan mulutnya. Memangnya tadi malam sepasang pengantin baru tersebut tidak menghabiskan malam bersama? Itulah yang ada di dalam benaknya. Baru saja hendak bertanya lebih lanjut, suara derap langkah kaki membuat mereka lekas menoleh.“Tuan?”“Sudah jam berapa ini, Mbok? Kenapa telat membawakan teh untukku??” Tatapan Keenan begitu mengintimidasi. Membuat Mbok Jum menunduk karena merasa bersalah.“Maaf, Tuan. Saya pikir tadi malam Tuan dan Nyonya—““Apa??” potong Keenan cepat. “Jangan banyak bicara. Lakukan saja tugas Mbok di sini dengan benar.” Setelahn
Lily memejamkan mata sembari meremas kain yang ada di hadapannya. Belum lagi napas yang mulai terengah-engah. Sayang. Ketakutan wanita cantik itu tampaknya tak beralasan. Terlebih lagi karena dia sekarang baik-baik saja. Bahkan pinggangnya direngkuh erat oleh sebuah lengan kekar yang masih menempel di sana.“B-bang Keenan?” ringisnya dengan bola mata refleks melebar seketika.“Lain kali jangan ceroboh.” Keenan buru-buru berdiri tegak lalu melepas kaitan tangannya dari tubuh Lily.“Makasih ya.” Suaminya itu tak berniat membalas meskipun hanya dengan anggukan kepala. Lily pun bergegas menutup pintu kamarnya.“Huffh!”” Napasnya terembus kasar ketika mengingat kejadian barusan. Kalau saja Keenan tak cepat menahannya, maka sekarang entah tangan, kaki atau bokongnya yang sakit akibat terjatuh ke lantai marmer tadi. Saat ini putranya tengah bersiap-siap di kamar. Sementara Lily sedang was-was menunggui Keenan yang tengah mandi sejak lima menit
“Eh?” Lily menyipitkan matanya.“Iya,” sahut Farel cepat. “Tadi mama bilang di sana kalau aku sekolahnya cuma tiga bulan, hemm?” Sorot mata polos tersebut tampak menyudutkan Lily. Tahu bahwa putranya sedang menanti jawaban.“Enggak gitu, Sayang. Mama cuma mau mastiin kamu betah atau enggak di sekolah ini. Jadi dicoba dulu selama tiga bulan. Kalau dirasa kamu happy ya ... lanjut.” Farel mengangguk sembari memasukkan segala perlengkapan sekolahnya ke tempat semula. Lantas menyerahkan tangannya untuk digamit sang mama meninggalkan pelataran sekolah. Kini keduanya sudah kembali ke rumah. Perjalanan yang ditempuh tidak terlalu jauh memang. Hanya lima belas menit jika menggunakan kendaraan roda dua.“Minggu depan kamu ‘kan sekolah. Besok mama juga udah balik kerja. Nanti kalau ada waktu kita jengukin kakek dan nenek ya.”“Iya, Ma. Kenapa kita tinggal terpisah? Di sini banyak kamar kosong. Mirip hotel seperti yang pernah kita datangi,” cengir Farel menampa
Lily mendesis pelan usai menegakkan tubuhnya kembali. Langkahnya jadi terseok-seok karena terjatuh barusan. Sayang. Mobil tadi justru semakin mendekat. Bahkan sudah menghadang jalannya.“Kenapa kau malah lari??”Suara dingin dan datar tersebut membuatnya lekas mendongak. “Bang Keenan?”“Kenapa? Kau kira aku siapa, hah? Penculik?” ujar Keenan yang sudah bersidekap sembari menatapnya dengan sinis.“Maaf, aku pikir tadi—““Masuklah. Jangan membuang waktuku lebih banyak lagi,” potong Keenan cepat. Pria itu lantas segera melangkah ke dalam mobil. Sementara sang sopir membukakan pintu yang satunya lagi untuk Lily. Hah. Wanita itu merutuk di dalam hati. Dia lupa bahwa sang suami punya banyak kendaraan mewah. Makanya dia tak mengenali warna dan plat mobil yan baginya belum familiar.“Hari ini aku masuk shift sore. Jadinya pulang tengah malam,” cicit Lily menjelaskan kenapa dia bisa berada di jalanan sekarang. Namun, Keenan hanya diam tanpa merespon perkataannya tadi. Jadilah ia ke
Beruntung Lily mengatakannya dengan suara pelan. Jadi tidak ada yang mendengar. Perempuan itu kini menyipitkan mata untuk melihat sosok sang pemegan saham terbesar di perusahaan roti tempatnya bekerja sekarang. “Gimana? Ganteng ‘kan?” bisik Nina dari belakang. “Namanya Pak Keenan, bukan atasan kita yang kamu bilang kemarin-kemarin. Kalau itu sih aku juga enggak mau. Dih amit-amit ya.” “Oh hiya,” gumam Lily sambil manggut-manggut. Tak pelak menundukkan kepala begitu manajer mereka kembali berbicara pada Keenan. “Sebenarnya yang bekerja di bagian ruangan baking yang ini ada empat orang, Pak. Sama seperti yang di depan tadi, tetapi kebetulan dua orang sedang cuti,” ucap sang manajer. “Lily, Nina. Ini Pak Keenan. Mungkin kalian baru melihat. Beliau adalah orang yang paling berkuasa di sini.” “Malam, Pak!” sapa mereka kompak. Keenan hanya mengangguk sebagai respon. Dia menatap Lily sekilas dengan mata mendelik lalu segera memalingkan wajah. Hah. Sungguh dia tak menyangka jika sang