Share

7. Terlalu Mudah Bagiku

“Maaf, Pak. Emm... Bb-Bang Keenan maksud saya,” cicit Lily dengan suara seraknya.

“Kali ini aku maafkan.” Keenan menatapnya dengan tajam. “Dengar baik-baik, Lily. Aku tak suka kau memanggilku dengan nada yang tinggi. Jadilah penurut kalau mau aku memperlakukan kalian dengan baik.”

Wanita itu mengangguk tanpa suara. Lalu kembali berjalan berdampingan dengan Keenan menuju mobil. Tempat di mana putranya kini sudah berada.

“Pa, kita mau ke mana?” tanya Farel ketika keduanya sudah berada di masing-masing sisi kanan kirinya.

“Kau tunggu saja. Nanti juga akan sampai,” jawab Keenan dengan wajah dingin dan datarnya. Hal itu membuat Farel menunduk dan tak lagi berkata-kata.

“Hei, tadi papa bilang apa, hemm? Dia mau kasih kejutan loh. Jadi jangan diganggu dulu,” bisik Lily seraya mengusapi puncak kepala anaknya. “Papa begitu karena dia takut keceplosan bicara, Sayang.”

“Oh. Iya,” sahut Farel bernada pelan.

            Keenan yang tadinya membuang pandangan ke arah luar melirik Farel yang tampak bersedih. Dalam sekejap dia sudah melingkarkan tangannya ke pundak bocah usia empat tahunan itu. Lantas menarik kedua sudut bibirnya sekilas.

“Papa tidak marah. Hanya tadi kami kelelahan karena sibuk menyiapkan sesuatu.” Lily masih berusaha menghibur hati putranya.

“Iya, Ma. Aku saja yang tidak sabar,” ucap Farel yang akhirnya bisa tersenyum manis.

            Suasana kembali hening ketika pembicaraan kedua ibu dan anak itu berhenti di sana. Hingga sekitar satu jam kemudian mobil yang dikemudikan oleh sang sopir berhenti di sebuah rumah mewah. Gerbang bewarna hitam yang menjulang tinggi terbuka otomatis ketika kendaraan roda empat tadi mulai mendekat.

            Farel sontak mengangakan mulutnya. Berdecak kagum ketika melihat bagian halaman depan yang penuhi tanaman hias dengan warna hijau mendominasi. Sementara Lily menahan napas. Sungguh rumah megah tersebut membuatnya semakin bergidik ngeri.

“Rumahnya bagus, Ma. Kenapa Mama takut?” tanya Farel ketika menoleh ke arahnya. Sontak ucapan tadi membuat Keenan cepat meliriknya juga.

“Eh? Iya kok, Sayang. Mama hanya kaget saja,” jawab Lily sekenanya.

“Langsung antarkan kami ke taman belakang!” titah Keenan yang langsung diiyakan oleh sopirnya.

            Keenan turun terlebih dahulu. Disusul oleh Lily dan Farel yang kemudian mengikuti ayunan tubuh pria dingin itu mengarah ke taman.

“Happy Birthday! Happy Birtday, Farel!!”

            Farel mematung ketika melihat belasan teman bermainnya yang sudah muncul dari balik persembunyian mereka. Bocah itu mengerjap pelan sembari memandangi semuanya.

“Bukankah mereka adalah temanmu?” tanya Keenan yang akhirnya mengeluarkan suara juga.

“Iya, Pa,” sahut Farel yang kemudian tersenyum senang. Lantas terkekeh lalu memeluk Keenan tanpa canggung. “Makasih ya, Pa kejutannya. Aku suka.”

Keenan bergumam pelan. Satu tangannya terjulur untuk mengusap punggung Farel sebentar. “Nikmatilah pestanya.” Dia hendak memacu langkah untuk menjauh, tetapi Lily lekas mencekal tangannya.

“Abang, bukankah Abang adalah papanya?” gumamnya dengan suara tertahan. “Jadi mari kita lanjutkan acaranya.”

“Maksudmu?”

            Acara potong kue sudah digelar. Di mana Lily dan Keenan mendampingi Farel untuk merayakan ulang tahun tadi secara seremonial. Berlanjut ke acara makan bersama. Pun kehadiran badut sebagai hiburan menambah suasana semakin meriah.

 Kini Lily duduk berdampingan dengan Keenan. Keduanya menonton belasan bocah tersebut yang tengah menikmati pesta kecil. Namun, tentu sangat bermakna bagi buah hatinya itu.

“Hemm, bagaimana caranya Abang bisa membawa teman-teman Farel kemari?” tanya Lily setelah hampir setengah jam tidak ada pembicaraan di antara mereka. Sayang. Keenan sama sekali tak ingin menjawab. Jadilah ibu satu anak itu kembali membungkam bibirnya.

            Hingga lima menit kemudian, dia menoleh ke arah Lily dengan tatapan datar seperti biasa. “Terlalu mudah bagiku untuk melakukan itu semua. Aku bisa melakukan apa saja.”

            Tentu. Benar sekali apa yang diucapkan oleh Keenan barusan. Meskipun tidak tahu siapa sosok suami yang baru dinikahinya tersebut, tetapi dia paham bahwa Keenan adalah orang yang berkuasa. Wajahnya terlalu bersilau kalau dianggap hanya sebagai manusia biasa.

“Permisi, Nyonya.”

“Eh?” Tari tersenyum canggung usai mendengar seruan dari arah samping. Bagaimana tidak. Setelah lima menit suasana hening, kini ada seseorang yang tiba-tiba datang mengajaknya bicara.

“Jelaskan peraturan yang ada di rumah ini. Jangan sampai dia membuat kesalahan,” ucap Keenan. Lantas dia bangkit dari posisi duduknya. Lalu melirik Lily. “Pestanya harus selesai tepat jam lima sore.”

            Keenan pergi meninggalkan Lily yang masih bergeming di tempatnya. Atensi wanita itu segera teralihkan oleh seorang pelayan usia paruh baya yang ada di hadapannya tersebut.

“Jangan takut, Nyonya. Tuan Keenan tidak akan marah kalau Anda menurut.”

“I-iya,” jawab Lily setengah terbata.

“Maaf kalau saya lancang. Nyonya kemari sebagai apa ya?” tanya wanita tersebut dengan tatapan meragukan. Pasalnya dia juga tidak tahu kenapa Lily dan putranya hadir di rumah itu.

Lily pun jadi bingung hendak menjawab apa, hingga saat dia akan membuka mulut Keenan tiba-tiba sudah hadir di sampingnya.

“Dia istriku.”

"ISTRI? KAPAN ...MENIKAHNYA??"

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status