Teguran tadi membuat sepasang suami istri baru tersebut mematung seketika. Keduanya saling memandang dengan tatapan entah. Hingga beberapa detik kemudian Keenan mengulurkan tangan kanannya pada Lily.
“Nah begitu. Jangan lupa diambil buat dokumentasi ya,” kata Pak Penghulu pada orang suruhan Keenan yang tengah memegang kamera.
Sementara itu Lily menempelkan dahinya ke arah punggung tangan Keenan. Tak pelak sang pria pun mendekatkan bibir ke telinganya.
“Aku bersedia menjadi papa untuk anakmu, tetapi jangan pernah berharap agar aku menganggapmu layaknya seorang istri.” Ucapan yang hanya bisa didengar oleh Lily saja karena jarak mereka yang sangat dekat.
CUP!!
Suami barunya itu mengecup singkat dahinya. Lantas kembali memundurkan tubuh menjauhi Lily.
Penderitaannya bukan berakhir. Malahan bertambah hanya karena status baru yang sekarang ia sandang. Sebagai istri dari seorang pria yang bahkan tidak dikenal sama sekali. Bodoh. Tentu saja. Namun, nalurinya sebagai seorang ibu mengalahkan kewarasan yang ada.
Akad nikah yang berlangsung singkat tadi sudah berakhir. Lily mendongakkan kepala ketika pamannya memanggil.
“Paman enggak tahu harus ngomong apa di akhirat nanti, Ly. Almarhum ayahmu pasti marah karena paman enggak bisa buat kamu bahagia. Langkah yang kamu ambil keliru, Nak,” ucap pamannya dengan wajah sendu. “Suami barumu itu kayaknya kejam sekali. Paman enggak yakin kalian bisa bahagia. Dia—”
“Sudah bicaranya?” potong Keenan yang sudah muncul entah dari mana. “Sekarang dia adalah istriku. Mulai sekarang dia dan anak itu akan tinggal bersamaku. Pergilah!”
“Hei, jaga bicaramu!” sentak sang paman. Dia menggeleng pelan karena tak habis pikir kalau pria yang menikah dengan keponakannya sekarang jauh lebih buruk dari suami yang pertama.
Keenan tersenyum miring. Lantas menarik paksa lengan Lily agar segera melangkah menuju mobil. “Hapus air matamu.”
“Kau jahat. Tidak punya hati. Dia pamanku!” sentak Lily yang masih memberontak. Sayangnya Keenan menggeram. Menekan lengannya hingga wanita itu meringis kesakitan.
“Jangan banyak membantah atau kau akan lebih menderita lagi,” tukas Keenan. Sama sekali tak peduli dengan air mata istrinya tersebut.
“Jangan sakiti Lily.”
Keenan menoleh ke arah pria paruh baya tersebut. “Apa yang kulakukan tergantung pada keponakanmu ini. Jadi mulai sekarang berhentilah untuk ikut campur!”
Kini mereka sudah berada di dalam mobil. Lily masih terisak seraya memandangi sang paman yang masih berdiri mematung menatap ke arahnya. Dia mengangguk pelan lalu memaksakan senyum. Menggerakkan bibirnya seolah mengatakan bahwa dia akan baik-baik saja.
“Kita mau ke mana?” tanya Lily ketika mobil yang dikendarai oleh sopir mulai melaju meninggalkan gedung KUA.
Keenan tak menjawab. Pria itu sibuk berbicara dengan seseorang lewat panggilan telepon. Hingga lima menit kemudian barulah dia menoleh ke arah Lily.
“Anakmu suka yang jenis apa?” Tangannya menurunkan ponsel. Menunjukkan katalog online dengan beragam bentuk kue dan warnanya. “Cepat pilihkan!!”
“Untuk apa?”
Keenan berdecak sebal. “Kau hanya perlu tunjuk. Jangan banyak bertingkah!” Lily menghela napas pelan lalu memilih salah satu dari yang ada di sana. “Berapa usianya?”
“Empat tahun,” jawab Lily pelan.
Setelahnya tidak ada ada lagi pembicaraan di antara mereka. Hingga setengah jam kemudian mobil yang dikemudikan oleh sang sopir kembali terparkir di area rumah sakit.
“Mulai sekarang panggil aku ‘abang’ di depan anakmu. Aku adalah papa baru untuknya,” tukas Keenan sebelum ke luar dari mobil. “Aku jalan duluan. Kau cepatlah berganti pakaian.”
Lily mengangguk tanpa suara. Dia tak ubahnya seperti boneka yang dengan mudah dikendalikan oleh Keenan.
“Jangan pasang wajah murung kalau kau tak mau anakmu menjadi gila,” ucap Keenan ketika keduanya sedang berjalan menuju ruang rawatan Farel.
Tepat saat pintu tersebut terbuka, wajah tampan putranya sudah terlihat ceria. “Mama! Papa!”
Keenan tersenyum tipis lalu mendekat ke arah bocah usia empat tahun tersebut. Satu tangannya kini mendarat di puncak kepala Farel. “Kita pulang sekarang. Apa kau sudah siap, hemm?”
“Tentu saja,” sahut Farel cepat. “Mama dan papa punya kejutan apa?”
Mulut mungil Lily menganga setengah. Tak tahu juga hendak menjawab apa karena sampai sekarang dia masih memikirkan pernikahannya yang baru saja terjadi.
“Masih rahasia. Jadi kau belum boleh tahu.” Keenan yang menjawab sambil memandang ke arah Lily yang tampak kebingungan. “Mamamu juga tidak tahu. Ini urusanku.”
“Kau??” Lily lekas menutup mulutnya rapat-rapat saat melihat tatapan dingin Keenan. Lantas segera menunduk karena tahu bahwa dia sedang bersalah.
Sekarang Farel sudah berada di dalam mobil. Sementara Lily dan Keenan masih mengurusi administrasi kepulangan bocah itu.
“Kau sudah berbuat kesalahan.” Keenan mencengkeram erat lengan kanannya. Tak peduli jika tindakannya tadi akan menyakiti sang istri.
“Maaf,” cicit Lily seraya melirik ke arah lengannya.
“Kau harus panggil apa padaku tadi, hemm?”
“A-abang,” jawab Lily dengan suara seraknya. “Maaf.”
“Kau harus dihukum.”
“Maaf, Pak. Emm... Bb-Bang Keenan maksud saya,” cicit Lily dengan suara seraknya. “Kali ini aku maafkan.” Keenan menatapnya dengan tajam. “Dengar baik-baik, Lily. Aku tak suka kau memanggilku dengan nada yang tinggi. Jadilah penurut kalau mau aku memperlakukan kalian dengan baik.” Wanita itu mengangguk tanpa suara. Lalu kembali berjalan berdampingan dengan Keenan menuju mobil. Tempat di mana putranya kini sudah berada. “Pa, kita mau ke mana?” tanya Farel ketika keduanya sudah berada di masing-masing sisi kanan kirinya. “Kau tunggu saja. Nanti juga akan sampai,” jawab Keenan dengan wajah dingin dan datarnya. Hal itu membuat Farel menunduk dan tak lagi berkata-kata. “Hei, tadi papa bilang apa, hemm? Dia mau kasih kejutan loh. Jadi jangan diganggu dulu,” bisik Lily seraya mengusapi puncak kepala anaknya. “Papa begitu karena dia takut keceplosan bicara, Sayang.” “Oh. Iya,” sahut Farel bernada pelan. Keenan yang tadinya membuang pandangan ke arah luar melirik Farel yang t
Suara barusan membuat Lily terhenyak seketika. Dalam sekejap kehadirannya sudah menjadi fokus semua orang yang ada di ruang tengah itu. Sementara Keenan sama sekali tak peduli."Keenan, kau jangan membual." Wanita dengan baju kekurangan bahan yang berdiri di hadapannya tersebut begitu meradang. "Dia hanya pembantu baru di rumah ini 'kan? Kalian ... tidak mungkin menikah. Kau hanya berbohong!!" Keenan memutar balas bola matanya. Lantas segera merengkuh cepat tubuh Lily. "Apanya yang tidak mungkin? Dia adalah istriku. Kami baru saja menikah. Apa kau tuli, heh?""Terus, kau anggap apa aku??" sentak sang wanita menggeram marah. Dia tersenyum miring ketika melirik ke arah istri Keenan itu. "Ini sungguh tidak lucu. Kau tahu bahwa kita adalah pasangan yang serasi." "Itu hanya menurutmu." Setelahnya Keenan menarik lengan sang istri meninggalkan wanita tersebut. Keduanya berjalan menuju kamar utama dan diikuti oleh seorang kepala pelayan yang tadi menyapa mereka. Warna putih, abu-abu dan hi
“Awwh!!” Wanita itu meringis saat tangannya dicengkeram kuat lalu disentakkan dengan kasar. Dia menggeram lalu menoleh ke arah si pelaku. “Kee-nan?”“Ini rumahku!” Keenan menatap tajam sang wanita lalu menariknya cepat ke luar dari kamar.“Keenan, ayolah. Sandiwara apa yang kau lakukan, heh? Aku tahu bahwa kau ditekan untuk segera menikah, tetapi mengapa harus dengan janda beranak satu pula? Lihat aku!” Dengan penuh rasa percaya diri wanita berambut perak itu mendekatkan. “Aku bisa jadi istrimu.”Sayangnya Keenan malah tertawa sumbang. “Lisna, berhentilah mengada-ngada. Lebih baik kau pulang sekarang.”“Aku serius. Aku kurang apa coba? Oh astaga. Jangan-jangan kau ini dipelet oleh perempuan itu.”Keenan mendengkus pelan lalu berucap. “Aku sedang tidak mau berdebat denganmu. Pergilah.” Sementara di dalam kamarnya Farel tengah mendengarkan penjelasan dari Lily terkait dengan insiden barusan.“Enggak pa-pa, Sayang. Tante yang tadi mungkin sedang kesal. Jadi ya berbicara asal
Farel terkesiap lalu mematung dalam sekejap. Sementara Lily lekas menahan tangan Keenan yang sudah mengepal erat.“Apa yang kau lakukan??” tanya Keenan dengan suara yang menahan geram. Tadinya dia hendak kembali ke ruang kerja. Namun, suara bising dari kamar Farel mengacaukan rencananya.Bocah usia empat tahun itu menunduk seraya meremas jari-jarinya sendiri. “A-aku hanya main rumah-rumahan.”“Dia hanya bermain. Tolong jangan memarahinya,” bisik Lily. Wanita itu menggeleng pelan dengan bola mata yang nyaris berhenti berkedip ketika Keenan mulai mengayunkan langkahnya. Tepat saat hampir mendekati Farel, suami dinginnya tersebut berhenti lalu mengambil posisi bersidekap.“Apa ranjangmu tidak nyaman?” tanyanya kemudian. “Kau tidak suka gambarnya?” Farel menggeleng. “Atau warnanya?” Lagi-lagi sang bocah menggeleng pelan. Keenan lantas mengernyit heran. Kepalan tangannya pun mulai mengendur.“Enggak ada yang salah kok. Semua yang ada di sini Farel suka,” gumam Lily
“Mbok Jum??” Lily yang barusan ke luar dari kamar dikejutkan oleh kehadiran ketua pelayan yang sudah berdiri di belakangnya. “Mbok nyariin siapa?”“Eh he.” Wanita paruh baya itu mengusap pelan tengkuknya sambil tersenyum keki. “A-anu. Tuan Keenan. Apa Tuan sudah bangun ya?”“Mungkin. Ranjangnya sudah rapi begitu.” Lily menjawab sekenanya. Jelas penuturan barusan membuat Mbok Jum mengernyit seraya membolakan mulutnya. Memangnya tadi malam sepasang pengantin baru tersebut tidak menghabiskan malam bersama? Itulah yang ada di dalam benaknya. Baru saja hendak bertanya lebih lanjut, suara derap langkah kaki membuat mereka lekas menoleh.“Tuan?”“Sudah jam berapa ini, Mbok? Kenapa telat membawakan teh untukku??” Tatapan Keenan begitu mengintimidasi. Membuat Mbok Jum menunduk karena merasa bersalah.“Maaf, Tuan. Saya pikir tadi malam Tuan dan Nyonya—““Apa??” potong Keenan cepat. “Jangan banyak bicara. Lakukan saja tugas Mbok di sini dengan benar.” Setelahn
Lily memejamkan mata sembari meremas kain yang ada di hadapannya. Belum lagi napas yang mulai terengah-engah. Sayang. Ketakutan wanita cantik itu tampaknya tak beralasan. Terlebih lagi karena dia sekarang baik-baik saja. Bahkan pinggangnya direngkuh erat oleh sebuah lengan kekar yang masih menempel di sana.“B-bang Keenan?” ringisnya dengan bola mata refleks melebar seketika.“Lain kali jangan ceroboh.” Keenan buru-buru berdiri tegak lalu melepas kaitan tangannya dari tubuh Lily.“Makasih ya.” Suaminya itu tak berniat membalas meskipun hanya dengan anggukan kepala. Lily pun bergegas menutup pintu kamarnya.“Huffh!”” Napasnya terembus kasar ketika mengingat kejadian barusan. Kalau saja Keenan tak cepat menahannya, maka sekarang entah tangan, kaki atau bokongnya yang sakit akibat terjatuh ke lantai marmer tadi. Saat ini putranya tengah bersiap-siap di kamar. Sementara Lily sedang was-was menunggui Keenan yang tengah mandi sejak lima menit
“Eh?” Lily menyipitkan matanya.“Iya,” sahut Farel cepat. “Tadi mama bilang di sana kalau aku sekolahnya cuma tiga bulan, hemm?” Sorot mata polos tersebut tampak menyudutkan Lily. Tahu bahwa putranya sedang menanti jawaban.“Enggak gitu, Sayang. Mama cuma mau mastiin kamu betah atau enggak di sekolah ini. Jadi dicoba dulu selama tiga bulan. Kalau dirasa kamu happy ya ... lanjut.” Farel mengangguk sembari memasukkan segala perlengkapan sekolahnya ke tempat semula. Lantas menyerahkan tangannya untuk digamit sang mama meninggalkan pelataran sekolah. Kini keduanya sudah kembali ke rumah. Perjalanan yang ditempuh tidak terlalu jauh memang. Hanya lima belas menit jika menggunakan kendaraan roda dua.“Minggu depan kamu ‘kan sekolah. Besok mama juga udah balik kerja. Nanti kalau ada waktu kita jengukin kakek dan nenek ya.”“Iya, Ma. Kenapa kita tinggal terpisah? Di sini banyak kamar kosong. Mirip hotel seperti yang pernah kita datangi,” cengir Farel menampa
Lily mendesis pelan usai menegakkan tubuhnya kembali. Langkahnya jadi terseok-seok karena terjatuh barusan. Sayang. Mobil tadi justru semakin mendekat. Bahkan sudah menghadang jalannya.“Kenapa kau malah lari??”Suara dingin dan datar tersebut membuatnya lekas mendongak. “Bang Keenan?”“Kenapa? Kau kira aku siapa, hah? Penculik?” ujar Keenan yang sudah bersidekap sembari menatapnya dengan sinis.“Maaf, aku pikir tadi—““Masuklah. Jangan membuang waktuku lebih banyak lagi,” potong Keenan cepat. Pria itu lantas segera melangkah ke dalam mobil. Sementara sang sopir membukakan pintu yang satunya lagi untuk Lily. Hah. Wanita itu merutuk di dalam hati. Dia lupa bahwa sang suami punya banyak kendaraan mewah. Makanya dia tak mengenali warna dan plat mobil yan baginya belum familiar.“Hari ini aku masuk shift sore. Jadinya pulang tengah malam,” cicit Lily menjelaskan kenapa dia bisa berada di jalanan sekarang. Namun, Keenan hanya diam tanpa merespon perkataannya tadi. Jadilah ia ke