"Kak Mery?"
Mery menoleh, sementara Arga membuang napas berat.
"Eh, Syifa? Sini-sini, duduk sama kakak." Mery menepuk space kosong di sampingnya.
Syifa tengah berdiri tidak jauh sambil merekah senyum. Gadis berkepang itu kemudian mendekat bersama boneka teddy bearnya.
Arga hanya bisa menghela berat, padahal sore ini ia berniat menghabiskan waktu bersama Mery. Tapi, enyahlah niat itu karena ada Syifa di sini.
"Kak Mery lagi pacaran ya di sini? Hayo ngaku ... " goda Syifa, matanya memicing, sementara Arga terkekeh.
Pipi Mery memerah malu. "Eng ... enggak kok. Kakak mampir aja tadi beli es-krim. Terus karena capek, kita milih duduk deh."
"Oh. Terus kakak ini ... siapa sih namanya? Aku lupa nih. Oh iya, Kak Arga, ya, kan? Yang sering nganter Kak Mery pulang."
Arga mengangguk, diacaknya gemas rambut Syifa. Gadis bergaun pink itu tersenyum lalu mengambil duduk di antara keduanya. Arga nyaris saja protes karena Syifa berdesakan antara ia dan Mery. Arga pun pasrah dan menggeser sedikit duduknya.
"Ganggu bentar nggak papa, nih? Soalnya papa lagi bicara sama temennya," kata Syifa.
Mery menaikkan alis lalu menatap Arga yang menghembuskan napas berat. "Nggak papa, kok. Terus Syifa sendirian aja ke sini? Nggak takut dicariin sama papa?"
Syifa menggeleng. "Syifa udah bilang mau jalan-jalan bentar, nanti balik lagi. Jadi, papa nggak bakal nyariin."
"Oh."
"Kak Mery nggak mau main lagi ya sama, Syifa? Udah jarang banget lho Kak Mery ke rumah," tanya Syifa, nadanya terdengar kecewa.
"Kak Mery lagi ujian, makanya nggak ada waktu buat main." Kali ini Arga yang menjawab, cowok itu mengusap lembut rambut Syifa. "Syifa harus ngerti ya."
Syifa mengangguk. Ia menatap Arga lamat-lamat. "Terus kenapa sama Kakak, Kak Mery ada waktu? Katanya ujian," tanya Syifa polos. Arga pun bingung menjelaskannya bagaimana pada seorang bocah seperti Syifa.
Mery hanya tersenyum menatap Arga, sebelum akhirnya Mery bersuara. "Syifa nggak mau jalan-jalan?"
"Jalan-jalan?" tanya Syifa. "Kemana emang?"
"Ya sini-sini aja, daripada duduk mulu, kan bosan. Yuk!" ajak Mery.
Anggukan pasti dari Syifa, ia segera turun dan menggandeng tangan Mery. Namun Arga, mengerucutkan bibir sesaat ia ditinggalkan begitu saja. Tapi, Mery sempat memberi isyarat lewat delikan mata agar Arga ikut dengannya.
Mereka pun berjalan bersisian, Syifa berada di tengah Arga dan Mery. Membuat Arga yang tadinya ingin menggenggam tangan cewek itu mengurungkan niatnya. Kini, Arga hanya bisa menyembunyikan tangan di saku celana seraya melihat-lihat sekeliling taman yang penuh bunga.
"Kak Mery liat tuh, bunganya cantik banget. Boleh dipetik nggak ya?" tanya Syifa.
"Nggak boleh," jawab Arga.
"Tapi kenapa di telinga kak Mery ada bunga tuh? Nemunya dimana?"
Mampus. Dua kali, Arga dibuat kicep oleh Syifa. Sementara Mery tertawa mengejek Arga. Cowok itu mengusap leher salah tingkah. Au ah. Jika bukan anak kecil, Arga usir dari tadi dah.
"Gue nemunya di jalan," jawab Arga datar.
"Kok bisa mirip banget ya?" Kepolosan Syifa membuat Arga mengusap wajahnya frustasi. Cowok itu akhirnya memilih jalan beberapa langkah lebih dulu.
"Yah, kakaknya duluan," ucap Syifa.
"Nggak papa, kita jalan aja lagi."
★★★
Di sisi lain, Arga mendesah cepat, kesunyian menyusuri jalan sendiri membuatnya bosan. Sementara Mery dan Syifa sedang cekikikan geli entah karena apa di belakangnya. Dua cewek berbeda usia itu nampak senang menikmati perjalanannya.
Arga sesekali melirik mereka, sesekali pula berdecak sebal sebab nggak ada Mery di sampingnya. Bosan, Arga mengedar pandang, dan menemukan beberapa pria berumur 20 tahunan sedang bermain gitar.
Satu ide brilian tiba-tiba muncul di benak Arga, tanpa buang waktu, ia menghampiri kumpulan pria itu.
"Bang, boleh minjem gitarnya, nggak?" Arga bertanya pada salah satu pria berjaket kulit. "Bentar aja, Bang."
"Yah, gue make ini."
"Emang buat apa?" tanya teman pria berjaket kulit yang memakai kacamata itu.
Arga tidak menjawab, malah mendelik ke arah cewek berseragam SMA sama dengannya, Mery.
Pria itu tertawa singkat, ia menepuk pundak Arga. "Woah. Buat itu, hahaha, gue ngerti lah. Nih ambil. Buat aja cewek lo kesemsem."
Arga tersenyum. Ia menerima gitar berwarna coklat dari pria itu. "Thanks, Bang. Nih gue bayar." Arga hendak mengeluarkan uang dari saku seragam namun ditahan oleh tangan pria itu.
"Nggak usah. Gua ngerti kok. Cepet dah sana samperin cewek lo."
Arga mengangguk lagi, tanpa membuang waktu ia menarik satu kursi kayu kosong ke tengah lapangan luas tak jauh dari taman. Pastinya, tak jauh dari Mery dan Syifa berada.
Berlatar belakang air mancur, menambah suasana semakin berkesan, apalagi ketika petikan gitar mengalihkan perhatian beberapa pengunjung menatapnya. Bersamaan pula, suara indah milik Arga mengalun.
Kau begitu sempurna... 🎼🎼
Di mataku kau begitu indah..
Kau membuat diriku akan s'lalu memujamu....
Arga menjeda, bersamaan setelahnya, beberapa pengunjung mendekat dan mengelilinginya. Begitu pula untuk Mery dan Syifa, kedua cewek itu bergegas menyalip demi menghampirinya.
Arga tersenyum ketika mendapati Mery tengah menatap lurus ke arahnya. Arga yakin, Mery terkejut, tapi dapat ia lihat pipi cewek itu merona malu. Arga memilih melanjutkan nyanyiannya.
Di setiap langkahku... 🎼🎼
Ku 'kan s'lalu memikirkan dirimu..
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu...
Penonton kian banyak membentuk lingkaran, Arga semakin semangat melanjutkan nyanyiannya.
Janganlah kau tinggalkan diriku 🎼🎼
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa
Kau adalah darahku...
Kau adalah jantungku...
Kau adalah hidupku...
Lengkapi diriku...
Oh sayangku, kau begitu...
Sempurna.. Sempurna...
Lagu berakhir, bersamaan setelahnya tepukan tangan begitu meriah, terutama Mery, cewek itu menatapnya tanpa henti. Hati Arga berdesir hangat.
"Kak Mery, kak Dian nyanyi itu buat Kakak deh. Syifa yakin," ujar Syifa. Entah kenapa mendadak air mata Mery menetes begitu saja. Mungkin ia terlalu bahagia.
Melihat Mery meneteskan air mata, Arga lekas menaruh gitarnya dan menghampiri cewek itu.
"Ry, kenapa nangis? Suara aku nggak bagus? Maaf, Ry. Aku emang nggak bakat nyanyi. Tapi, lagu tadi beneran tulus buat kamu." Arga mengusap air mata Mery dengan ibu jari. Penonton lantas saling berpandangan dan bersorak cie-cie.
Mery mengusap air matanya, tak peduli banyak orang ia langsung memeluk Arga.
"Aku enggak nangis, Ga. Ini air mata bahagia. Btw, makasih lagunya. Aku suka. Suara kamu ternyata juga bagus banget."
Arga tersenyum membalas pelukan Mery lalu mengacak gemas rambut cewek itu. "Sama-sama, Ry. Aku cuman belum siap kita pisah."
"Kalau gitu kak Dian nyanyi lagi aja? Betul nggak penonton?" sergah Syifa, penonton tanpa pikir panjang bersorak lagi.
"LAGI! LAGI! LAGI!"
Mery mengurai pelukan, sementara Arga mengusap turun rambutnya lalu berbicara pada penonton.
"Kalau begitu, saya hanya akan menyanyi jika pacar saya ikut juga."
"IKUT! IKUT! IKUT!"
"Kak Mery ayo dong, Kak. Nyanyi bareng Kak Dian. Entar Syifa ikut deh." Syifa menarik ujung seragam Mery.
Ya, mau gimana lagi. Mery akhirnya menyetujui. Dian pun mengganti posisi dengan duduk di kursi panjang tidak jauh dari mereka.
Sekarang, tiga orang di kursi panjang itulah yang akan membuat suasana taman di sore hari ini semakin ceria. Petikan gitar terdengar, tepukan tangan Syifa mengajak penonton, sebelum bernyanyi Arga lebih dulu berbisik di telinga Mery.
"Ini khusus buat kamu. Jadi, siapin hati ya, Ry. Jangan nangis, aku nggak mau liat kamu nangis."
Mery menggangguk, lantas Arga memulai nyanyiannya seraya menatap mata coklat milik Mery.
Kau begitu sempurna..
Di mataku kau begitu indah.
Kau membuat diriku akan s'lalu memujamu...
Di setiap langkahku..
Ku 'kan s'lalu memikirkan dirimu..
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu...
Janganlah kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa
Kau adalah darahku..
Kau adalah jantungku...
Kau adalah hidupku...
Lengkapi diriku...
Oh sayangku, kau begitu...
Sempurna.. Sempurna...
- P a r a c e t a l o v e-
"Mery, sudah siap?" tanya Arga yang berada di ambang pintu kamar mereka. Cowok itu sudah selesai bersiap-siap untuk menemani Mery check up sore ini."Belum, Ga. Tunggu bentar lagi." Mery mendelik sekilas Arga, tangannya sibuk memilah pakaian yang berjejer di kasur. Sesekali gadis itu mencocokkan bajunya di cermin. Lagi-lagi, Mery dibuat heran karena banyak dress kesukaannya menjadi terasa sesak saat dipakai. Padahal, sebagian dari dress itu baru ia beli minggu kemarin.Mery mendengus, satu lagi dress putih yang ia coba terasa sesak dibagian lengan. Ditambah bagian perutnya terlihat lebih menonjol. Sadar akan sesuatu, Mery membulatkan mata lalu memekik heboh. "HUWAA ARGA AKU GENDUTANNNN," teriaknya.
Mery menjilat bibir bawahnya ketika melihat isi kulkas, banyak sekali es krim, donat, pancake dan makanan dingin yang lain tersusun rapi di dalam sana. Ya, siapa lagi yang membelikannya kalo bukan Arga. Suaminya itu selalu menyiapkan persediaan makanan bahkan sebelum habis.Mery menyipitkan matanya sambil mengetuk telunjuk ke dagu, memilih makanan mana yang akan ia bawa ke ruang tamu. Semuanya tampak enak dan membangkitkan jiwa rakusnya. Rasanya Mery ingin membawa kulkasnya sekalian, jadi dia tidak perlu capek-capek bolak-balik ke ruang makan."Kamu mau yang mana sih, nak? Enak semua ini," tanya Mery sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. Ia terkikik, seolah bayi dalam perutnya bisa menjawab pertanyaanya.Efek ngidam membuat nafsu makannya melonjak. Bahkan, setiap jam Mery merasa lapar, ia ingin makan nasi lagi tapi takut perutnya yang sudah buncit ini makin tambah buncit. Sehingga Mery takut bayinya nanti kesesakan d
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Hari dimana dua insan yang saling mencintai akan hidup bersama melalui ikatan yang sah. Saling menyayangi. Saling menjaga apa pun keadaannya. Mereka adalah Mery dan Arga. Waktu bergulir begitu cepat. Perasaan, baru kemarin mereka bertemu di sekolah yang sama, lalu lama-kelamaan perasaan cinta perlahan tumbuh di hati keduanya. Dan hari ini, Mery mengambil keputusan untuk menerima Arga menjadi pasangan hidupnya. Dulu, Mery membenci cowok itu karena sifatnya yang begitu gengsi, dingin, galak, judes dan menyebalkan. Tapi sekarang, ia mencintai semua yang ada pada diri Arga. Toh, hati manusia tidak ada yang tahu, 'kan? Cinta Mery akan bertambah atau berkurang? Semua itu hanya diketahui oleh Tuhan. Yang pasti, Mery akan mencintai dan menyayangi Arga semampu dan setulus hatinya.
"Aku memang pengen punya pacar lagi. Tapi ceweknya kamu. Mau?"Deg. Perkataan itu sukses membuat Mery mematung di tempat. Pipinya bersemu merah bak kepiting rebus. Kedua sudut bibirnya bergetar menahan senyuman. Andai dia berada di kasur, Mery pasti guling-guling saking senangnya.Jantungnya sendiri? Jangan ditanya lagi. Jedag-jedug tidak karuan. Mery bungkam. Lidahnya dibuat kelu untuk mengucap satu kata pun."Mery. Mau nggak? Atau permintaan aku kurang jelas?" tanya Arga sebab Mery belum menjawab permintaannya.Dengan mata terpejam, Mery berbalik menatap Arga yang masih duduk. "Ih iya-iya! Aku mauuu!Aku mau kita balikannn!"Arga mengulum senyum melihat tingkah gadis itu. "Bukan balikan. Tapi jadi pacar aku lagi. Anggap kita nggak pernah jadi mantan. Setuju?""Kenapa gitu?" Mery membuka matanya."Karena... aku mau kita mulai awal yang baru. Dan ja
Mery mengecek sekali lagi penampilannya di cermin. Siang ini dia akan pergi ke studio milik Arga. Mery sangat berharap cowok itu mau diajak balikan olehnya. Nyaris satu bulan mereka memiliki kedekatan, namun statusnya hanya teman. Entah, Arga yang memang tidak ingin menjalin hubungan lagi dengannya atau dirinya yang terlalu banyak berharap.Akan tetapi, Mery tidak akan menyerah. Dia harus berusaha meraih hati Arga lagi meskipun rasanya susah."Oke, perfect!" gumam Mery. Senyum mengembang di wajah cantiknya. Gadis itu memakai rok sebatas lutut dan juga kaos.Di tengah kesibukannya memoles bedak, Aileen tiba-tiba muncul
Arga galau. Ia masih tak percaya hubungannya berakhir secepat ini. Apalagi dengan cara bertengkar hebat kemarin sore. Semalaman, cowok itu hanya bisa tidur kurang lebih dua jam. Selebihnya Arga menggunakan waktu tidurnya untuk melamun, sesekali memandangi kalung MeryDian di genggaman tangannya.Tidak sedikitpun Arga berniat menghubungi Mery, pasalnya ia ingin memberikan waktu gadis itu menenangkan diri.Mungkin, Mery benar. Mereka sudah tidak cocok lagi. Sehingga hubungan ini tidak pantas dilanjutkan.Arga meringkuk di kasurnya seperti orang kedinginan. Jangan katakan ia lemah. Karena cowok itu sekarang sedang,menangis dalam diam.☆☆☆Mery sesegukan. Setelah mendengar semua fakta yang diceritakan Marina tentang Aileen dan Arga. Gadis itu tak dapat menahan air matanya. Mery terguncang, sy
Mery terus berlari. Ia tak peduli pada Arga yang mengejar dan meneriaki namanya di belakang. Air mata gadis itu bercucuran. Ia bahkan tak segan menabrak bahu siapa pun yang menghalanginya.Tiba di luar apartemen, Mery semakin mempercepat langkahnya. Pandangannya memburam oleh air mata. Tanpa gadis itu sadari bahwa di depannya adalah jalan besar. Mery pun menerobos jalan itu dan ternyata..."MERY!!"Sempat mengira ia akan tetabrak, beruntung tangan Mery diraih cepat oleh Arga, sehingga tubuh cewek itu berakhir dalam dekapannya.Mery yang syok hanya pasrah ketika Arga memeluk lalu memarahinya."KAMU GILA?! KAMU HAMPIR AJA KETABRAK, RY!" tanya Arga membentak. "BISA NGGAK SIH KAMU NGGAK USAH LARI-LARI?! KALO AKU TELAT SEDIKIT AJA KAMU UDAH DITABRAK TRUK ITU, MERY!""Biarin! Biarin aku mati, Ga! Memang siapa
Jika hubungan yang tidak cocok terus dipaksakan, maka hanya akan menimbulkan kesakitan.•••Ada satu hal yang membuat Arga bisa menghembuskan napas lega sekarang, yaitu kabar bahwa Aileen diperbolehkan pulang. Meski begitu, Aileen belum pulih penuh. Ia masih butuh perawatan."Aku pulangnya kemana?" tanya Aileen pada Marina. Gadis itu duduk di kursi roda. Sementara Marina mengemas semua pakaian Aileen ke dalam tas miliknya. "Ke rumah tante?"Dipanggil seperti itu, Marina lantas menoleh. Ia tersenyum samar. "Hari ini kamu tinggal di apartemen kamu dulu ya. Besok baru deh kita tinggal bareng-bareng.""Bedua?"Marina menggeleng. Satu tangannya tergerak mengusap rambut Aileen. "Nambah satu lagi. Mery. Dia, 'kan adik kamu," ujarnya lembut.Aileen langsung membuang muka. Tidak suka.
Setidaknya, katakan jika kamu sudah bosan. Supaya aku tidak mengharapkan yang lebih lagi. Karena itu menyakitkan.-Ignore-•••Mery lelah.Bukan lelah batinnya saja, tapi hatinya lebih.Gadis itu menyandarkan punggung ke sandaran kursi bertepatan ketika mobil Dirga berhenti di depan pagar rumahnya.Dirga paham, Mery sedang kecewa. Ia tahu betapa sakitnya diabaikan oleh orang yang kita cinta secara perlahan."Ry," panggil Dirga.Sejurus kemudian Mery menoleh. Senyum paksa terukir di bibir mungilnya."Thanks udah nganterin, Kak," ucap Mery. Sebelum turun, dia melepas jaket Dirga namun ditahan oleh cowok itu."Pake aja, lagian masih gerimis. Jarak antara mobil gue sama teras rumah lo lumayan jauh tuh," titah Di