Share

6-Aku Rindu Kamu yang Dulu

Kata rindu itu nyata, tidak bisa disembunyikan, tidak bisa dihilangkan, ia hanya ingin kamu melepaskan semua rasa yang pernah ada, agar semua kenangan itu tertulis kembali dalam sebuah cerita.

-Paracetalove-

•••

Perasaan canggung kembali menghampiri ketika Mery duduk di boncengan motor Arga. Ia berdehem singkat, suasana jalan begitu padat, berpotensi bagi mereka berdua telat.

Entah itu saat Arga merem motornya secara mendadak, atau tiba-tiba melaju dengan kecepatan tinggi. Perasaan canggung sekaligus bimbang itu kembali. Pagi ini keduanya berangkat bersama, meski jauh dalam lubuk hati mereka, ada rasa bersalah mendera.

Sebab kini, tangan Mery ragu-ragu meraih ujung seragam Arga untuk berpegangan. Bersamaan itu pula Arga merem mendadak, membuat jidat Mery mentok di bahu lebar cowok itu.

"Auh," ringis Mery mengelus jidat.

Arga berbalik lalu mengernyit menatap Mery. "Kenapa?" 

Pertanyaan itu datar, Mery menerka jika tidak ada unsur khawatir di sana. Ia memilih menggeleng pelan.

"Nggak papa."

Kernyitan Arga semakin dalam, kala ia menemukan tangan Mery bergetar, sambil memainkan sisi rok. Cewek itu mencuri pandangan.

Arga membuang napas berat, tanpa aba-aba dia meraih kedua tangan Mery lalu melingkarkan di perutnya.

"Aku nunggu kamu ngelakuin ini, dan ternyata… harus cowok ya yang selalu peka?"

★★★

"Mery awas jatuh, jangan lari!" Arga berusaha menyeimbangkan langkah dengan Mery, baru saja sampai di parkiran, melihat kondisi koridor sudah sepi cewek itu bergegas turun dari motor menuju kelas.

"Mery, kamu denger nggak?! Jangan lari aku bilang! Keramiknya licin, bisa jatuh!" tegas Arga. "Mery, kalo kenapa-napa gimana?!"

Mery tidak peduli, dia terus berlari, dalam pikirannya saat ini hanyalah bagaimana caranya masuk kelas tanpa telat. Namun sial, tiba di depan papan mading, cewek itu nyaris jatuh jika sebuah tangan tidak cepat menahan bahunya.

"MERY!"

Arga mengenyit dalam, ekspresi tidak sukanya muncul, ini bukan sinetron India, dimana si cowok akan bertatapan dengan si cewek lumayan lama, lalu jatuh cinta. Ini Arga, cowok beriris coklat itu justru emosi.

"Kenapa dikasih tau susah banget?! Ini koridor sekolah, bukan jalanan aspal Mery! Coba tadi aku telat dikit aja, kamu pasti terluka!" jelas Arga.

Mery menepis tangan cowok itu dari lengannya. Kaget dengan perubahan Arga yang tiba-tiba. "Apaan sih?! Kok jadi marah-marah? Lengan aku sakit dicekal kayak gitu. Aku larinya nggak kenceng tadi, lantainya yang licin. Kamu juga, nggak usah teriak-teriak, aku ngerti kok, aku bukan anak kecil."

Arga bersedekap, dia membuang napas berat. "Terus tadi apa? Kalau aku telat datang, mungkin pantat kamu udah mendarat di lantai."

Mery membuang muka sambil mengerucutkan bibir. "Au ah, bete! Aku nggak suka ya kamu terlalu protektif."

Arga berdecak seb. "Siapa yang protektif? Tadi itu—"

"Bomat. Aku nggak pernah suka dikekang, aku masih punya kebebasan. Aku pacar kamu bukan berarti aku harus nurutin semua permintaan kamu!" potong Mery. Detik setelahnya Arga masih bisa mengontrol diri.

"Tadi itu bukan permintaan aku cuma takut—"

"Terus apa?! Aku males Ga sama sikap kamu yang kayak gini, kadang perhatian, kadang ngebentak. Kamu bisa nggak sih jadi satu orang yang tetap. Aku capek! Aku capek kalau setiap detik harus selalu beradaptasi sama sikap kamu." Mery kesal, dia mengeluarkan semua isi hatinya. Mengapa Arga begitu berbeda? 

Mery merindukan Arga yang dulu, yang dia kenal sebelum Hana kembali di antara mereka. 

"Maksud kamu apa, Ry? Aku ngekang kamu? Itu salah, Aku cuma ngasih perhatian sama kamu, aku nggak mau kamu terluka. Sikap aku juga tergantung sama kamu, kamu ngelawan aku bakal ngebentak. Kamu menurut aku bakal diam," ujar Arga. 

Aktivitas mereka memancing para siswa keluar kelas, bahkan ada yang mengintip di balik daun pintu.

"Terus kalau kamu salah? Apa aku nggak boleh marah? Aku punya hak ngelakuin itu." Mery tidak mau kalah.

Arga memegang kedua pundak Mery, berusaha meredam amarah yang akan membeludak di batinnya kini.

"Salah aku dimana?! Coba sebutin."

"Kamu beda, kamu bukan Arga yang aku kenal, dan kamu terlalu protektif, aku nggak suka, Ga. Aku masih mau bebas," sahut Mery, detik selanjutnya Arga menghela napas, dia memejamkan mata sejenak lalu membukanya lagi.

"Aku rindu kamu yang dulu, Ga. Dulu kamu nggak ngekang aku kayak gini."

"Ngekang gimana sih? Aku itu perhatian Mery."

"Tapi perhatian kamu itu—"

"Oke fine, kamu mau bebas, kan?"

Mery menggangguk, dilihatnya dada Arga naik turun, cowok itu menggigit bibir bawahnya sampai berdarah. 

Mengacak rambut frustasi, Arga tersenyum meski darah menetes ke dagunya, lalu bersedekap menatap Mery.

"Aku kasih waktu kamu bebas buat mikir, mau pertahanin hubungan kita? Atau enggak?"

★★★

"Baiklah, waktu tinggal lima menit, silahkan kalian cek ulang lembar jawabannya sebelum dikumpul."

Suara itu milik Pak Yoshi—pengawas ujian hari ini. Beliau menaikkan kacamata setelah mengetuk meja dua kali. Semua siswa lantas gelagapan, trik licik pun hadir tanpa diingini. Ada yang pura-pura batuk lalu melempar kertas jawaban.

Ada yang berdehem guna memberikan kode pada teman. Di saat semuanya sibuk mengharapkan keajaiban, seorang cewek justru melamun sambil memutar pulpen di tangan.

"Shtt, Ry. Lo nomer 26 udah nggak? Gue lupa nih. Bagi jawaban dong," bisik Raya dari belakang.

Namun tidak ada jawaban.

"Yaelah, Ry. Mendadak dungu lo? Cepetan nih, kepepet."

Masih tidak ada jawaban.

"Yaudah gue pake cara lain, siap-siap ya, Ry."

Pluk.

"Aduh," ringis Mery saat gumpalan kertas mengenai kepalanya. Menoleh ke belakang, ia mendapati Raya nyengir.

"Sorry."

"Apaan, sih lo?!"

"Cielah, pelan-pelan, bego. Entar ketahuan, baperan amat. Kertas jawaban lo dong, geseran dikit Biar gue bisa nyontek."

Tanpa pikir panjang, mendengus, Mery sedikit menggeser lembar jawabannya ke kanan. Dia dalam mode badmood saat ini, jadi tidak mau ambil pusing permintaan Raya.

Entahlah, setelah ucapan Arga tadi seperti ada sesuatu yang menusuk hatinya.

★★★

"Yan, geseran dikit dong elah, gue di ujung nih, jatoh entar lo yang tanggung jawab." Arlan ngomel-ngomel, sambil membawa semangkuk bakso di tangannya.

Arga tidak menjawab, dia terus menatap kosong ke depan. Dengan tangan terus mengaduk segelas orange juice, cowok itu seperti manekin hidup.

Arlan dan Kevin saling berpandangan, mereka hanya bisa menghembuskan napas berat. Dengan cepat, Kevin menoyor kepala Arga hingga cowok itu terhuyung ke samping.

"Sakit, bangsat!"

"Etdah, sorry, Bos. Elo sih dipanggil nggak nyahut. Geseran dikit, Arlan mesum mau duduk," ucap Kevin.

Arga bergegas menggeser duduk sementara Arlan melotot, lalu duduk di samping Kevin.

"Ada masalah lagi?" tanya Kevin.

Dengusan pelan respon Arga, tanpa kedip dia menatap seorang cewek yang sedang mengantri bakso berjarak lima meter darinya.

"Gue bingung nih ya, kenapa lo bedua sering banget ribut akhir-akhir ini. Beda banget sebelum Hana meninggal, lo bedua so sweet, suap-suapan sering di kantin. Dan sekarang…" Kevin menggantung kalimatnya.

"Menurut lo gue berubah?" tanya Arga tiba-tiba.

"180°, kalo kata gue. Gue lebih sering liat lu bedua ributin hal sepele dibanding romantisan kayak dulu. Ye nggak, Lan?" tanya Kevin, satu tangannya merangkul bahu Arga sementara tangan lainnya menyikut Arlan.

"Hm," sahut Arlan singkat.

"Tuh, kan bener gue. Jones-jones gini gue ngerti soal cinta. Haha."

"Gila lu, Vin?" cibir Arlan.

"Enggak, kurang belaian aja."

"Si goblok!"

Kevin terkekeh, ia menyugar rambut ke belakang, sekarang mereka jadi bahan tontonan karena Kevin melempar kedipan centil pada meja seberang.

"Eh, ada Mery," celetuk Kevin. Menyadari Mery ada di sebelah Arlan, sepertinya cewek itu kesulitan mencari tempat duduk, Kevin inisiatif bergeser mendekati Arlan. "Duduk sini dong, pas banget nih di sebelah ada pacar. Ayo suap-suapan, kalau abang Aga nggak mau yaudah suapin gue aja."

Mery terdiam, ia menggigit bibir bawah ragu, Arga masih tidak bereaksi apa pun. Cewek itu menghela napas, lalu menggeleng.

"Nggak usah, deh. Gue makan di kelas aja," jawab Mery, belum juga dia melangkah Arlan menahan tangannya.

"Atau mau gue suapin pake mulut?" tanya Arlan.

Brak!

Arga menggebrak meja kantin menimbulkan suara begitu nyaring, seisi kantin refleks menatapnya. Termasuk Mery, tangannya mendadak bergetar mendapati tangan Arga terkepal dan wajah memerah.

Dengan gerakan cepat, Arga berdiri dari duduknya lalu menghampiri Mery, merebut bakso dari tangan cewek itu.

"Ikut gue, kita makan di taman belakang."

Mery mematung sesaat, sedikit ragu dengan perubahan Arga yang begitu tiba-tiba. Tadi tidak bereaksi apa-apa, tapi lihat sekarang, dia seperti singa kelaparan kalau sedang marah.

Enggan membuat suasana runyam, Mery pun mengikuti langkah Arga menuju taman belakang.

"Lo gila tadi, Lan ngomong gitu? Lihat dong reaksi bos kayak apa?" ujar Kevin cemas. "Lo bedua bisa berantem lagi."

"Kalau itu yang bisa buat dia nurunin gengsi buat Mery, gue oke-oke aja," sahut Arlan, ia menyeruput kuah bakso. Saking kenyangnya Arlan bersendawa nyaring.

"Ih jorok! Arlan mesum!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status