***
Setelah mendengarkan penjelasan dari mereka, aku mulai memfokuskan agenda hari ini untuk mengunjungi beberapa orang, salah satunya Lucas, anak dari Anggota Dewan Luqman.
Kuraih pakaian sederhana di dalam lemari kayu, sebuah setelan sweater berwarna abu dengan celana jeans hitam, ditambah topi dan kaca mata membuatku seolah-olah bertransformasi menjadi orang yang berbeda.
Aku dengan Lucas sudah beberapa kali bertemu di berbagai kesempatan, umurnya yang tidak terpaut terlalu jauh denganku membuat perbincangan kami terasa mengalir layaknya anak muda.
Kini, fasilitas seperti mobil, penjagaan, dan senjata tidak kumiliki. Semuanya aku tinggalkan agar identitasku tidak diketahui dengan mudah oleh kepolisian, hal yang sama juga kuperintahkan kepada seluruh jajaranku di Cincin Hitam.
Setelah dirasa semua rapi, kulangkahkan kaki ini menjauhi kamar dan membuka pintu rumah sederhana tersebut.
Cuaca di siang hari itu begitu terik, bahkan panas dari sinar matahari sampai menembus sweaterku. Baru saja aku berjalan beberapa meter, wajah dan seluruh tubuhku sudah banjir keringat.
Letak rumah Luqman berada di jalanan utama Ibukota Jakarta. Untuk sampai ke sana, aku perlu menaiki dua bus dan satu kereta MRT. Hitung-hitungan sudah kulakukan agar uang yang kubawa tidak kurang.
Aku melintasi beberapa pos jaga polisi, mereka hanya tersenyum ketika aku meliriknya pelan dari balik kaca mata. Mereka sama sekali tidak menyadari identitasku yang sebenarnya.
Cukup lama aku berada di perjalanan, pada akhirnya aku sampai di daerah sekitar rumah Luqman. Sama halnya dengan apa yang aku duga, halaman depan rumah Luqman sudah diberi garis polisi, beberapa anggota kepolisian berjaga di tempat itu.
Aku mendengar sedikit percakapan “rahasia” dari arah samping kananku, mereka berbicara dengan lirih melalui sebuah talky walkie yang tersambung dengan seseorang di tempat lain.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya seorang pria, dari nama bajunya, ia dikenal dengan nama Supriyadi.
“Aku hanya warga di sekitar sini.”
“Baiklah, jangan pergi melewati garis polisi,” titah Supriyadi, ia berjalan menjauhiku dan pergi menemui seorang rekannya yang berjaga di tempat lain.
Pembunuhan yang terjadi dua hari yang lalu membuat bekas darah dari Luqman masih membekas di lantai halaman rumahnya, noda darah yang cukup banyak dan berceceran di mana-mana.
Dari apa yang kulihat, kuduga kalau Luqman dibunuh dengan cara dibredeli dengan senjata api, diseret dari dalam rumah dan mereka menyiksa pria itu di tempat ini hingga tewas.
Apa sebenarnya yang mereka inginkan dari Luqman?, batinku setelah melihat kekejaman yang mereka buat.
Dari arah samping kanan, terdengar suara sapaan seorang pemuda yang mengejutkanku. Ia berjalan dengan langkah besar seraya memapah seorang anak kecil yang berada dalam pegangannya.
“Revan, kapan kamu datang kemari? Bukankah kamu sedang ada urusan bisnis di Singapura?” tanya pemuda yang kukenali dengan nama Lucas tersebut.
Gadis kecil yang bersamanya tak lain adalah adik Lucas, Alisha. Gadis itu sebenarnya lama bermukim di Yogyakarta. Namun, karena kematian ayahnya ia memutuskan untuk tinggal di Jakarta untuk sementara.
“Aku turut berduka cita atas kepergian ayahmu,” ucapku dengan pelan, Lucas berterima kasih dan mengajakku untuk masuk ke rumahnya.
Sudah sejak enam bulan yang lalu aku menginjakan kaki di rumah tersebut. Arsitektur dan ornament rumah yang terlihat minimalis dan modern, membuat pandanganku melihat ke isi ruangan terasa luas.
“Di mana Nyonya Sanjaya?” tanyaku, wanita yang aku maksud adalah istri dari Luqman, aku biasanya menyebutnya begitu karena sikap seganku padanya.
“Oh Ibu, dia sedang ada di lantai atas. Sejak kematian Ayah, ia tidak ingin keluar dari kamarnya,” ucap Lucas.
Aku bisa merasakan perasaan sedih dan kehilangan berat yang ditunjukan melalui wajah Lucas. Pria itu mencoba tegar dan kuat karena tidak ada lagi orang yang bisa menguatkan mental orang di rumah ini selain dirinya.
“Kamu adalah orang kuat. Aku yakin, kamu yang akan mengembalikan keceriaan di rumah ini lagi.” Aku berjalan mendekati Lucas dan menyemangati pria itu, ia hanya tersenyum sambil kembali mengajakku masuk lebih dalam.
Berbeda dengan keadaan di luar halaman, noda darah yang berada di dalam rumah sudah dihilangkan sejak kematian Luqman. Ini mungkin saja terjadi, mengingat para penghuni rumah pasti tidak nyaman dengan noda darah tersebut.
“Lucas, aku ingin tahu detail tentang kejadian itu.”
Ia berbalik dan menatapku dengan sayu, tak lama, ia menyuruh adik kecilnya untuk pergi ke lantai atas dan menunggu di kamarnya. Alisha hanya mengangguk polos dan segera menaiki anak tangga.
“Apa yang kamu ingin ketahui? Kupikir berita sudah menjelaskan secara gamblang tentang kejadian itu,” ucap Lucas, datar.
“Ada sesuatu yang harus kuketahui, ini berkaitan tentang sebuah organisasi,” kataku mencoba meyakinkan Lucas. Namun, tak mudah meyakinkan orang yang tengah berduka.
“Organisasi?”
“Kau tahu, aku punya dendam yang sama dengan pelaku pembunuh Luqman, karena ayahmu sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri,” jawabku, membuat kedua mata Lucas membelalak kaget.
Lucas tersenyum mendengar ucapan yang sangat menenangkan dariku, “Terima kasih.”
Ia mempersilakanku duduk di atas sofa, selagi menunggu minuman disajikan, aku buka ponsel milikku dan melihat satu pesan masuk dari Reno, isi pesan mengatakan kalau ia akan datang menjemput jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
“Silakan.” Lucas meletakan gelas minuman kepadaku dan aku langsung menerimanya dengan senang hati, tubuh yang berkeringat ini seketika lenyap ketika kesegaran minuman dingin itu membasahi kerongkonganku.
“Sebelum ayahku dibunuh, ia sempat menerima tamu dari komisi dewannya. Aku tidak mendengar perbincangan mereka karena kupikir itu perbincangan biasa anggota dewan.”
Lucas mulai menjelaskan apa yang didengar sebelum kejadian pembunuhan terjadi, ia tidak melewatkan satu hal pun yang ia tahu kepadaku.
“Dan setelah selesai pertemuan. Aku mendengar lagi kalau Ayah sempat beradu argumen dengan salah satu pria, ia adalah Budi Santoso,” sambung Lucas.
Aku hanya menyimak di setiap perkataan yang terlontar dari Lucas. Beberapa nama yang aku dapatkan darinya segera kuhubungkan satu sama lain, butuh kemampuan khusus untuk mengetahui track record dari orang-orang ini. Namun, aku tidak khawatir mengingat banyak anggotaku yang memiliki kemampuan tersebut.
Budi Santoso, apa aku harus mulai dari dia terlebih dahulu?, batinku memperhatikan nama pria itu di secarik kertas yang aku pegang.
“Setelah itu, pada malam hari, beberapa orang berpakaian hitam dengan penutup wajah mendobrak pintu kamar tidur orang tuaku dan menyeret Ayah ke lantai dasar, mereka menusuk tubuh, meninju dan—”
“Sudah, jangan dilanjut.”
Aku menghentikan ucapan Lucas karena kupikir itu sangat berat untuk diceritakan olehnya, pria itu segera mengangguk dan kini suasana di antara aku dengannya hening.
Waktu menunjukan pukul 12 siang, kupikir anggota kepolisian yang berada di depan rumah pergi beristirahat. Namun, dugaan itu tak sepenuhnya tepat.
Aku pergi keluar setelah berpamitan dengan Lucas. Kulihat seorang wanita tengah berjongkok dekat dengan noda darah di lantai halaman rumah Luqman. Rambut panjang yang diikat model pony tail, wajah yang sangat kukenal dengan segaram detektif yang begitu memukau.
“Tiara?”
Wanita itu, kekasihku sontak memandang ke depan ketika suara sapaan memanggilnya. Ia kaget bukan main karena melihat keberadaanku di tempat tersebut.
“Revan? Sedang apa kamu di sini?”
Loh? Kok ada Tiara di TKP? Lalu bagaimana sikap wanita itu ketika tahu Revan keluar dari rumah Luqman? Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan lupa tambahkan ke pustaka baca kalian dan comment di kolom komentar. Author pengen tahu pendapat kalian kaya gimana baca ceritaku:)
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres