Share

Pembunuhan anggota Dewan

***

Pertemuan para pemimpin mafia se-Asia Tenggara itu berakhir ketika Pemimpin Perhimpunan Mafia Asia, Dong Yon Ji, pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Kuarahkan pandangan mata ini ke jam dinding besar yang berdetak dengan suara nyaring, waktu menunjukan pukul 7 malam waktu Singapura.

Kaki ini langsung menopang tubuhku yang berdiri berbarengan dengan para pemimpin lain. Nyonya Missa sedari tadi terus saja melirikku dengan tatapan vulgarnya, kurasa ia terus melakukannya ketika Dong sedang berbicara selama pertemuan.

“Apa kita akan pergi malam ini atau besok saja, Tuan Revan?” tanya Reno.

Ia berjalan dan berdiri tepat di sampingku. Aku masih memerhatikan gerak dari Nyonya Missa yang sungguh menggoda batin. Harus kuakui dia memang wanita menarik, tapi kepribadiannya membuatku muak melihatnya.

“Apa aku mengganggumu, Tuan Revan?” tanya Reno, wajahnya menyadariku yang sedari tadi terus menatap Nyonya Missa.

“Tidak, justru kau menyelamatkanku dari nenek sihir itu,” ungkapku.

Segera kuraih dokumen yang tadi diberikan selama pertemuan dan memberikan benda itu kepada Reno.

“Simpanlah. Jangan sampai hilang.”

Reno mengangguk dengan tegas, ia menggenggam benda itu dengan sekuat tenaga seolah-olah dokumen tersebut setara dengan nyawa Reno. Kulangkahkan kaki ini keluar dari ruang pertemuan dan terpancar jelas sinar rembulan yang menenangkan.

Langit biru yang begitu cerah selalu mengingatkanku akan kenangan dulu bersama dengan Tiara. Aku penasaran, apa yang sedang dia lakukan malam ini?

Reno segera menghampiriku dan mengatakan kalau mobil yang mengantarkanku ke hotel sudah siap. Ketika aku dan anak buahku hendak berjalan menuju mobil tersebut, langkah kaki ini terhenti mendengar sebuah pernyataan kasar terlontar dari seorang pria di belakangku.

“Baru saja menjadi seorang pemimpin mafia di Indonesia sudah arogan seperti itu, apa kini standar mafia di tempat itu sudah begitu rendah sehingga tidak ada orang lagi yang bisa menjadi pemimpin?” hina pria tersebut.

Ia bertubuh cukup besar, tapi tidak terlalu atletis. Aku mengenalnya dengan sebutan Mafia Tanah Tandus. Tampaknya ia terpancing dan kesal ketika Dong dengan jelas menyapa dan memujiku di depan umum.

Kubalikan tubuh ini dan menatap dengan tajam pria dengan goresan luka di dahinya. Pria itu dengan tersenyum menengadahkan kepalanya seolah-olah dialah raja di tempat ini.

“Haruskah kubunuh dia, Tuan?” tanya Reno, ia sudah bersiap untuk memegang revolver yang berada di sarung senapannya.

“Tidak, dia akan berguna satu hari nanti. Akan sangat disayangkan jika kita menyia-nyiakan nyawa dia hanya karena ejekan murahan, kan?” tanyaku.

Emosi yang sudah bergejolak di hati Reno perlahan reda ketika kupegang pundak pria tersebut. Segera kami pergi dari tempat tersebut dan mulai tak mengacuhkan apa yang pria berbadan besar itu terus katakan.

Perjalanan menuju hotel yang dituju cukup jauh dan panjang. Sembari menunggu, kuraih ponsel dari saku celana dan kubuka untuk melihat berita terbaru.

Aku hanya bisa tercengang dengan mulut menganga, rentetan berita terhangat dari salah satu media terpercaya menampilkan berita tentang pembunuhan Anggota Dewan, Lukman Sanjaya.

Banyak spekulasi liar yang muncul di laman media tersebut, mulai dari spekulasi mengenai pemilu presiden hingga bermainnya kartel mafia di belakang oligarki pemerintahan.

Apa yang sebenarnya terjadi?, batinku dengan wajah yang begitu tegang dan tak kuasa menahan perasaan sedih, kesal, dan marah.

Lukman Sanjaya dulu adalah teman dari ayahku. Ia sering mampir ke rumah hanya untuk sekedar berbincang hangat hingga membicarakan hal-hal berbau politik. Aku teringat dengan kata-kata beliau yang mengatakan kalau pemerintah sudah “rusak”.

“Reno … kita pulang ke Indonesia sekarang,” perintahku.

Reno tanpa banyak membantah, segera ia alihkan arah mobil itu menuju bandara, untungnya posisi mobilku kini begitu dekat dengan bandara sehingga bisa sampai dengan cepat.

Aku menunggu di ruang lobi bandara ketika Reno pergi untuk memesan tiket. Aku masih membuka dan membaca berita tentang pembunuhan anggota dewan satu persatu, hingga bisa kutarik benang merah kalau ada seseorang yang menjebak Cincin Hitam seolah-olah organisasiku dalang pembunuhan tersebut.

Reno datang dan menyerahkan tiket penerbangan kepadaku, “Pesawat take off 30 menit lagi.”

“Baiklah, sebaiknya kita bergegas.” Aku langsung berdiri dan berjalan menuju garbarata yang menghubungkan bandara dengan pesawat.

Kulihat tiket tersebut, Reno sengaja memilihkan tiket kelas satu kepadaku, dan tampaknya seluruh anggotaku justru berada di kelas ekonomi ketika kulihat satu persatu dari mereka mulai duduk.

First class menjadi hal yang istimewa bagi sebuah maskapai, bisa dibilang penumpang tersebut adalah orang penting atau orang kaya yang menjadi prioritas istimewa maskapai. Aku sudah terbiasa dengan suguhan pelayanan ekstra dari kelas utama ini.

Kukira perjalanan ini hanya akan ditemani oleh seorang pelayan bar wanita saja, terkejutnya aku melihat seorang wanita yang duduk berdampingan denganku. Ia dengan cuek meminta minuman beralkohol kepada pelayan bar tersebut.

“Apa kau tidak memesan? Pria yang membosankan!” ketus wanita tersebut.

“Tidak sopan!” bentakku dengan suara datar, ternyata ucapanku terdengar oleh wanita tersebut yang justru berkata dan bertindak lebih galak daripadaku.

“Apa kau bilang?! Beraninya kamu bicara seperti itu padaku!” ancam wanita tersebut, matanya tampak seperti tengah teler berat karena minuman alkohol yang ia tengguk.

Tiba-tiba, tubuhnya terjatuh dan bersandar padaku. Matanya terpejam dan terdengar celotehan tentang ibunya dan sebagainya, pasti ini efek dari alkohol yang disajikan bartender.

“Minuman apa yang kamu berikan padanya?” tanyaku kepada bartender tersebut.

“Eh, itu hanya vodka biasa,” ujar bartender tersebut.

Ingin sekali kutertawakan wanita malang yang berada dalam dekapanku ini, tetapi wajah dan keharumannya membuatku tak tega untuk mencelanya lebih jauh. Setidaknya aku perlu ruangan khusus untuk dia bisa beristirahat dengan tenang.

Untungnya, benefit menjadi penumpang first class di maskapai itu adalah berhak menggunakan kamar kecil berukuran 2x1 yang hanya memuat satu orang saja. Aku letakan wanita itu di atas kasur dan mulai menyelimutinya agar tidak kedinginan.

“Yaampun, kau ceroboh sekali!” gumamku.

Cukup bingung dengan apa yang terjadi di depanku, seorang wanita yang berlagak kuat minum alkohol dan pada akhirnya terjatuh karena keangkuhannya sendiri.

“Ada apa dengannya?” tanya salah satu pramugari.

“Dia mabuk alkohol,” ucapku singkat.

Aku berusaha untuk meminta data mengenai wanita tersebut dan dengan siapa dia kemari kepada pramugari, tetapi mereka tidak bisa memberikannya dengan alasan kerahasiaan penumpang.

Mau tidak mau, karena hanya ada aku di kelas satu. Aku harus menjaga wanita itu agar tidak terjadi apa-apa, akan berbahaya juga jika kutinggalkan dalam keadaan seperti itu.

“Kau … apa kau pangeranku?” tanya wanita itu mengigau.

“Aku bukan pangeranmu,” ujarku dengan tegas.

Aku masih berdiri di samping kasur tersebut, aku terus membuka ponselku dan membaca berita yang berkaitan dengan pembunuhan Dewan Lukman Sanjaya. Aku perlu memeriksa anggotaku setibanya di Indonesia, karena hanya itulah aku bisa mengambil kesimpulan dari apa yang terjadi.

Aku terus terfokuskan kepada tersangka yang ditangkap oleh kepolisian, pria itu mengenakan cincin berwarna hitam yang identik dengan organisasiku. Aku tidak bisa mengenalinya dengan jelas mengingat wajah pria itu yang tertutup topeng tersangka.

Siapa sebenarnya dia ini? Apa dia salah satu dari anggotaku?, batinku terus bertanya-tanya maksud dan tujuan dari pria itu apa untuk membunuh Lukman Sanjaya.

Tak lama, wanita di sampingku mulai tersadar. Ia menatapku dengan tatapan yang kaget dan menghinakan, seolah-olah aku adalah penjahat kelamin yang sewaktu-waktu siap menerkam.

“PERGI DARI SINI!” teriak wanita itu dengan kencang, ia melempariku dengan barang-barang yang ada di sekitarnya.

Aku terpaksa keluar dan menjauh dari wanita tersebut, dan sebaiknya memang begitu. Aku bisa terlibat masalah besar jika terus berdekatan dengannya, setidaknya dia sudah siuman sehingga wanita itu bukan lagi tanggung jawabku untuk terus menemaninya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status