Rapat pemegang saham berlangsung keesokan harinya, Dhea duduk di jajaran para manajemen perusahaan dipimpin oleh Bram berhadapan langsung dengan para dewan direksi dan pemegang saham. Sementara rapat sendiri dipimpin Anggara sebagai komisaris utama. Pihak lawan dari mulai rapat sudah terang-terangan menyerang manajemen Bram, sebagai presiden direktur, dia memang bertanggung jawab atas jalannya perusahaan sehingga perusahan akan selalu untung dan memberikan dividen yang banyak untuk pemegang saham. Ajisaka yang mewakili para direksi menuntut agar Bram menyerahkan Star Teknologi dibawah naungan Aditama grup. Seperti yang Bram katakan pada Dhea kemarin, mereka benar-benar menyerang sampai ke privasi Bram. Mereka bahkan mengancam jika Bram tidak menyerahkan perusahan itu akan mencopot dari jabatan Presdir. Tentu saja orang-orang yang berambisi menduduki jabatan Bram sekarang semangat sekali membuat narasi untuk menjatuhkannya. "Bagaimana, Pak Bram? Sebaiknya anda mempertimbangkan masal
Kedatangan Anggara ke perusahaan Star Teknologi, menjadi berita yang santer terdengar. Ketika malam hari, Bram akhirnya bertanya pada Dhea, apa yang ayahnya lakukan di sana."Sepertinya dia hanya meninjau perusahaan itu dan ingin melihat apa yang kamu produksi di sana," jawab Dhea "Cuma itu?""Sepertinya iya, dia sangat kagum melihat apa yang kamu buat di sana, dia bilang baru pertama kali melihat sebuah aplikasi yang diperjual belikan.""Apa ayah mengatakan sesuatu? atau berpesan sesuatu?""Apa, ya? Oh ya, dia bilang aku harus terus menjadi pendukung Abang. Seberapa profesionalnya aku, kedudukanku akan tetap lemah karena aku tidak menengah saham di Aditama grup. Jadi aku harus waspada, karena akan banyak yang merebut kedudukanku.""Yah, itu benar ... yang ayah katakan benar. Tetapi Dhea tenang saja, ada Abang yang kan selalu mendukungmu.""Iya, aku percaya."Pagi harinya, Dhea dan Bram bekerja seperti biasanya. Dhea juga melihat dan menilai para pekerja baru dan memberi sedikit pemb
Sania menunggunya di food court di sebuah mall. Dia sedang ingin ditemani belanja sambil makan malam. Karena Bram juga menelponnya akan pulang malam, maka Dhea juga ijin untuk menemani Sania berbelanja."Bagaimana hubunganmu dengan Kak Bram?""Baik, kenapa memangnya?" "Syukurlah kalau baik. Sebaiknya, kamu membeli beberapa pakaian tidur seperti itu, jika ingin rumah tanggamu tetap harmonis."Sania menunjuk sebuah gaun tidur dan beberapa lingerie seksi yang terpajang di bagian dalam toko. "Ah, tidak. Aku tidak berani memakainya." Dhea mengibaskan tangannyaDalam hati dia mengeluh, tidak memakai seperti itu saja suaminya selalu menyerangnya, apalagi memakai seperti itu? bisa habis dia tidak bisa bangun dua hari dua malam."Ayolah, Dhea. Biar kamu cepat dapat momongan, biar aku cepat dapat keponakan," rayu Sania."Aku belum punya anak karena selama ini pakai pil KB. sekarang sudah kulepas, semoga cepat dapat momongan.""Makanya, ini salah satu cara berikhtiar." Dhea tetap menolak, han
Bram yang tubuhnya sudah rileks, kembali tegang ketika mendengar cerita istrinya."Apa lelaki itu tampak gugup?""Gugup? pas sudah mendapat nomorku, dia terburu-buru pergi."Bram sungguh tidak tenang mendengar perkataan istrinya, pasalnya dia baru juga mendengar dari Adi, jika orang dalam perusahaan ada yang ingin menjatuhkan kedudukan Bram, selama ini yang dia incar bukan perusahaan Star Teknologi, tetapi kedudukan Bram dan saham mayoritas di Aditama grup. Bram percaya apa yang dikatakan Adi, tetapi dia tidak bisa melihat masa depan dan juga tidak bisa memprediksi apa yang akan dilakukan oleh lawan, hingga mendengar cerita Dhea barusan. Perasaannya menjadi gusar.******Pagi yang menjelang, kedua pasangan suami istri itu bangun tidur dan beraktifitas seperti biasanya, Dhea seperti biasa sebelum berangkat kerja menyiapkan sarapan terlebih dahulu untuk suami dan juga dirinya. Bram yang biasanya hanya menonton, kini berinisiatif membantunya, lelaki itu sibuk membuatkan teh manis, entah
"Masalahnya, ternyata Pak Anggara sudah tiada ketika di perjalanan_""APA?!" Bram tidak sadar telah mencengkeram kerah baju Adi sehingga lelaki itu menegang. Dhea sendiri terkejut sambil mengucapkan istighfar."Innalilahi wa innailaihi Raji'un ..." gumam Dhea sambil mengelus dadanya."Apa kau bilang? maksudmu papa sudah meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit?!" Bram mengulang perkataan Adi dengan suara yang bergetar "I.. iya, Pak." Bram menghempaskan tubuh kokoh Bram membuat lelaki itu terhuyung ke belakang. Dia spontan berlari ke ruangan UGD, tidak dihiraukan tatapan beberapa orang yang penasaran kenapa lelaki gagah itu berlari sekencang itu, Dhea dan Adi yang berada di belakangnya juga ikut berlari menyusulnya.Sampai di ruang UGD, sudah ada ibu tirinya yang tengah menangis dan meraung, di sebelahnya ada Siska dan Wulandari yang terus menghibur Nirmala. Setelah Bram datang, beberapa kerjanya juga berdatangan, mereka tampak begitu gusar dengan insiden yang baru saja menimpa Ang
"Nenek, begini ... mungkin apa yang akan Dhea katakan ini mengejutkan nenek, tetapi nenek harus kuat, yakinlah jika apa yang terjadi semua sudah menjadi ketetapan Allah."Dhea menghirup napas kuat, sementara nenek Hartina hanay bengong tidak mengerti apa yang akan dibicarakan oleh cucu menantunya ini. Dhea sendiri kebingungan bagaimana mengatakan pada nenek, bagaimana memilih kata-kata yang tepat."Kamu mau bicara apa?" "Nenek, tadi pagi ada kejadian ... ada sebuah kecelakaan. Apa Anggara kecelakaan, Nenek. Dan dia tidak selamat, jenazahnya sebentar lagi datang ...."Dhea mengatakan semua itu dengan lemah lembut, tetapi perkataan Dhea seperti petir yang menyambar pada siang bolong di telinga nenek Hartina. Mengatakan ayah mertuanya kecelakaan sepertinya lebih baik daripada mengatakan dibunuh, itu terdengar sangat kejam."Apa maksudmu ... apa kamu akan bilang kalau anakku Anggara sudah mati sekarang?" bibir tua itu bergetar mengatakan kata-kata tersebut, sudut matanya tiba-tiba mengab
Adi mendekatkan mulutnya ke telinga Bram, sehingga membuat lelaki itu memiringkan kepalanya untuk mendengar dengan seksama."Ada polisi yang mencari anda, ini tentang kematian tuan Anggara, mereka mengatakan sudah menemukan pelakunya, tetapi hal yang sangat mengejutkan pengakuan pelakunya itu," bisik Adi dengan hati-hati"Di mana mereka?" tanya Bram dengan suara pelan juga. Karena di pemakaman masih ada beberapa orang yang tengah bergerak keluar, dia tidak ingin apa yang akan dibicarakan bocor ke dunia luar, apapun itu kasus pembunuhan ayahnya harus dia dulu yang mengetahui seluk beluknya, dan dia dulu yang berhak memberi ijin semua akan disebar atau tetap disembunyikan."Mereka menunggu di pintu gerbang," jawab Adi membuat Bram mengernyit meminta kejelasan."Aman, Pak. Mereka tidak memakai seragam dinas."Setelah Adi mengatakan hal itu, Bram bergegas menemui pihak kepolisian tersebut yang sudah menunggu di depan gerbang pemakaman. "Selamat siang, Pak Bram! Saya Ipda Komarudin."Bra
"Kami sudah menyelidiki, di parkiran Star Teknologi ada cctv, di sana terlihat sekali siapa yang tengah bicara dengan pelaku, dia adalah istri anda.""APA?!" Tentu saja perkataan Iptu Anwar seperti petir di siang bolong bagi Bram. Dhea dalang dibalik wafatnya ayahnya? tidak mungkin!"Anda bercanda? tidak mungkin istri saya dalang dibalik semua ini. Ini pasti ada yang salah, ada yang menjebak istri saya," ujar Bram dengan suara bergetar, bukan hanya itu tangan lelaki itu juga gemetar mendengar kabar dahsyat ini."Itu pengakuan pelaku, saya masih harus menyelidiki lebih lanjut. Hanya saja kejahatan ini bukan kejahatan yang ringan, ini kriminal berat. Jadi saya harus menahan istri anda, Pak Bram.""Saya yakin istri saya tidak bersalah, jadi bisakah istri saya menjadi tahanan kota saja, selagi penyelidikan berjalan?""Bukan masalah itu. Jika istri anda bukan pelakunya, justru keberadaannya di luar akan lebih berbahaya untuk keselamatannya. Jadi mau tidak mau saya harus menahannya. Karena