Share

2. Kencan buta

"Selamat malam. Maaf saya terlambat. Apa Anda sudah menunggu lama?”

Dhea hampir saja akan meninggalkan kursi yang dia duduki selama satu jam ini ketika mendengar suara bariton yang terdengar menggelitik telinganya. 

Gadis itu mendongakkan kepalanya melihat seraut wajah yang tidak pernah dibayangkannya. 

Dia pernah melihat penampilan seperti itu di sebuah film, penampilannya seperti bos mafia, memakai jas hitam, kemeja putih, dan dasi hitam belang putih. Tatapan mata pria itu setajam elang, dengan bola mata berwarna cokelat tua. Hidungnya bangir dan wajahnya ditumbuhi cambang dan kumis tipis–seperti baru tumbuh kembali setelah dicukur. Ada beberapa helai uban di antara rambutnya yang hitam.

Lelaki itu langsung duduk di hadapan Dhea, mengamati penampilan gadis di hadapannya dan sedikit terkejut. Lelaki itu menyeringai tipis, membuat Dhea sedikit jengah. Tatapan lelaki tersebut sungguh mengandung misteri.

"Maaf. Apakah kamu sudah menunggu lama?" ujar lelaki itu lagi dengan suara yang sedikit lembut.

"Lumayan!” jawab Dhea. Ia terdengar cukup kesal. Ia kemudian melanjutkan dengan terus terang, “Saya sudah menunggu Anda satu jam lamanya, bahkan saya sudah berencana untuk pergi dari sini barusan." 

Lelaki itu sedikit terkejut dengan perkataan gadis di depannya. Ia pikir, gadis di depannya ini terlihat kalem dari penampilannya, tetapi kenapa kata-katanya begitu pedas?

"Bukankah perjanjiannya kita bertemu pukul delapan malam? Ini baru pukul delapan lewat lima menit," ucap lelaki itu sambil memperlihatkan jam mewah di lengan kirinya.

"Jam delapan? Tapi kata Intan jam tujuh? Tahu gitu saya tidak akan datang lebih cepat," gerutu Dhea lagi.

Lelaki itu tampak sedikit bingung mendengar perkataan Dhea, tetapi dia hanya bisa memaklumi. Mungkin Intan yang gadis ini maksud adalah orang yang menjadi perantara pertemuan gadis ini.

"Baiklah, maaf. Mungkin ada sedikit miskomunikasi di sini,” kata lelaki itu. Ia kemudian mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, saya Satria Bramantyo. Biasa dipanggil Bram."

Dhea tampak ragu-ragu saat menerima jabat tangan dari pria matang di hadapannya.

"Saya Dhea Annisa Putri, biasa dipanggil Dhea." Akhirnya gadis itu pun menyambut uluran tangan Bram.

Sejujurnya, Dhea cukup terpesona dengan sikap tenang lelaki di hadapannya ini. Walaupun Dhea menyambut kedatangan pria ini dengan ketus, tetapi lelaki ini bersikap sabar dan kalem.

Dari mana Afkar mengenal lelaki ini? Lelaki ini jauh lebih tua dan matang dibandingkan suami Intan yang baru berusia dua puluh tujuh tahun itu. Afkar bahkan lebih muda dibandingkan mantan kekasih Dhea. 

"Apakah Dhea sudah memesan makanan?" tanya lelaki itu dengan sopan.

"Belum," jawab Dhea singkat.

Bram segera memanggil pelayan dan memesan makanan.

"Ayo, silakan pesan, apa pun yang Dhea suka," ujar Bram sembari memberi buku menu ke hadapan Dhea.

Dhea menerima buku menu itu, tetapi dia cukup bingung dengan menu yang ada di sana. Dia belum pernah memakan makanan seperti ini, karena memang belum pernah ke kafe mahal seperti ini. Gadis itu bergidik melihat harga makanan di sana, paling murah tiga ratus ribu untuk satu porsi. 

Busyet! Gadis itu menggelengkan kepala, merasa takjub, heran, dan penasaran. Kira-kira seenak apa memangnya makanan semahal ini?

"Hm, saya bingung dengan menu di sini, belum pernah ke sini soalnya.” Akhirnya Dhea berkata jujur. Wajahnya tampak polos. “Silakan Abang saja yang pilih."

Bram menatap Dhea dengan tatapan tak biasa. Bukan karena apa, baru kali ini dia dipanggil “abang” oleh seseorang dan rasanya itu aneh. Namun, lebih aneh lagi, hal tersebut cukup memberi nuansa hangat. 

Biasanya Bram akan dipanggil “pak” jika di kantor atau oleh koleganya. dipanggil “kakak” oleh adik-adik atau sepupunya yang lebih muda. Tapi “abang”? Dia bukan orang Melayu, dia  berdarah campuran Jawa, Aceh, dan Belanda.

Bram hanya berdehem dengan canggung menutupi perasaan aneh tersebut, dia tidak pernah gugup bertemu dengan presiden sekalipun, tetapi gadis kecil ini, kenapa bisa membuatnya   jadi begini? dengan gerakan pelan, tangannya melambai ke arah pelayan demi menutupi perasaan tak nyaman ini.

"Pelayan!" panggil Bram 

"Iya, Pak. Mau pesan apa?"

"Beri kami makanan yang paling direkomendasikan di kafe ini," ujar Bram 

Pelayan itu mengangguk. "Baik, Pak. Minumannya apa?"

"Minumannya juga beri minuman yang kalian unggulkan di sini.”

"Baik, Pak. Sebentar, ya?"

Setelah pelayan itu pergi, perhatian Bram kembali terarah pada gadis di hadapannya.

"Aku juga tidak pernah ke cafe ini, tidak apa-apa kan kalau aku memesan seperti itu?" ujar pria itu kemudian.

"Oh, tidak apa-apa, Bang. Saya juga penasaran sama menu unggulan di Cafe ini," jawab Dhea sambil tersenyum.

Bram mengangguk. "Dhea, berapa usiamu? Sepertinya masih muda, ya?" tanyanya kemudian.

"Oh, saya sudah dua puluh tiga tahun, Bang."

"Dua puluh tiga tahun?" Bram tampak terkejut.

Gila! Apa yang akan dipikirkan ibu tirinya nanti? Gadis muda belia seperti ini bisa apa sih? 

Namun, apa pun yang terjadi nanti, lebih baik begini daripada menerima perempuan yang direkomendasikan oleh wanita ular itu.

"Iya, kalau Abang berapa umurnya?" tanya Dhea balik.

"Ternyata kamu masih sangat muda, ya? Apa kamu masih kuliah?" Bukannya menjawab pertanyaan Dhea, Bram malah bertanya balik.

Dhea menggeleng. "Tidak, saya sudah bekerja, Bang. Kalau Abang berapa usianya?" Ia bertanya lagi.

"Sepertinya saya tidak akan cocok dengan kamu. Usia saya jauh di atas kamu, sangat jomplang,” sahut Bram tanpa menjawab pertanyaan Dhea lagi. “Terus terang saja, saya melakukan kencan buta ini bukan untuk main-main. Saya serius untuk mencari istri, untuk menikah. Kamu tentu belum siap untuk menikah secepatnya, bukan?"

Dhea hanya melongo mendengar perkataan lelaki di hadapannya. 

Apa sih sebenarnya yang dipikirkan lelaki ini? Tentu saja Dhea bersedia melakukan kencan buta ini karena memang dia sudah siap menikah! Lantas apa tujuannya melakukan kencan buta ini, jika bukan untuk itu? Hanya untuk bersenang-senang? Tentu tidak, kan? 

Yah, walaupun Intanlah yang menyarankan semua ini agar Dhea bisa move on dari sang mantan, tetapi Dhea juga sudah kapok berpacaran. 

Sungguh, memang hubungan yang tidak halal itu akan tetap membawa sengsara di dunia maupun di akhirat. Jadi Dhea memang bertekad untuk segera menikah dan mengakhiri masa lajangnya.

"Usia saya memang masih muda, tapi ya kan tidak terlalu muda juga,” ujar Dhea kemudian. “Saya sudah masuk usia legal untuk menikah. Saya juga sudah menyelesaikan pendidikan saya, walaupun hanya diploma, dan sekarang saya juga bekerja. Saya datang kemari karena tahu betul tujuannya, saya sudah siap untuk berumah tangga."

Lelaki di hadapan Dhea itu tersenyum, entah apa makna senyumannya, Dhea sendiri tidak tahu apa yang dipikirkan lelaki itu. Mungkin ada sedikit senyum meremehkan melihat Dhea yang masih begitu muda dan lugu di mata lelaki itu.

"Lagi pula, bersikap dewasa itu tidak mengenal usia, Bang,” tambah Dhea. “Banyak orang yang umurnya sudah tua, tapi masih bersikap seperti anak-anak, banyak juga anak muda yang sikapnya malah lebih dewasa dari orang yang umurnya lebih tua."

"Yah, berarti kamu sudah siap menikah, ya?” Bram menegakkan punggungnya. “Kalau begitu, siap-siaplah. Dalam waktu satu minggu ini kita akan menikah.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status