Share

Pasangan Kencan Butaku Ternyata Bos di Tempat Kerja
Pasangan Kencan Butaku Ternyata Bos di Tempat Kerja
Author: Nainamira

1. Melepaskan Masa Lalu

"Ibu tidak mau besanan dengan orang gila!"

Dhea meremas jemarinya sendiri, menahan sakit yang berkecamuk di dalam dada mendengar wanita paruh baya di depannya menghina sang ibu. Kalau dia sendiri yang dihina, dia masih bisa tahan. Namun, ini ibunya yang dikata-katai, sosok yang telah membesarkannya sejak kecil.

Gadis ini tiba-tiba merasa enggan bergabung ke dalam keluarga ini.

"Ibu, Bu Paramitha itu bukan orang gila, Dia hanya mengalami trauma masa lalu karena suami dan kedua anaknya meninggal karena kecelakaan. Dia ke rumah sakit jiwa hanya untuk menghilangkan traumanya itu," bantah lelaki muda yang duduk di sebelah Dhea.

Dhea melirik ke samping diam-diam. Lelaki ini yang berkali-kali menyakinkannya untuk meminta restu dari kedua orang tuanya, agar hubungan mereka bisa berlanjut ke pelaminan setelah tiga tahun. 

Selama itu pulalah pria ini mengejar-ngejar Dhea karena menganggap Dhea merupakan sosok ideal untuk menjadi istrinya.

Namun, ternyata kedua orang tua pria ini tidak berpikir hal yang sama.

"Semua orang di lingkungan ini tahu, kalau ibu wanita ini adalah pasien rumah sakit jiwa. Ibu malu, tahu! Apa gak ada perempuan lain selain perempuan ini? Kalau kau gak bisa cari perempuan yang baik bobot, bibit, dan bebetnya, biar Ibu yang cariin!"

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik karena perawatan mahal itu menyampirkan kerudung pasminanya sambil mencebik ke arah sang putra itu.

Dhea menelan salivanya yang terasa pahit saat mendengar penghinaan terang-terang di hadapannya ini. Sebenarnya dia sungguh tidak sanggup menghadapi kedua orang tua kekasihnya ini, tetapi ia mencoba tenang. 

"Bu, Dhea ini gadis yang baik, pintar dan cerdas. Aku juga sangat mencintainya, kenapa mempermasalahkan ibunya? Yang akan hidup bersamaku itu Dhea nantinya, Bu."

Lelaki di samping Dhea mencoba merendahkan suaranya untuk membujuk kedua orang tuanya, dia yakin dengan kelembutan, kedua orang tuanya yang terpelajar itu akan luluh.

Namun, sang ibu justru mendengus.

“Kamu nggak tahu kalau penyakit jiwa itu keturunan?” sergah wanita paruh baya itu. “Bisa saja nanti perempuan ini atau anak kalian mengidap penyakit yang sama! Kamu mau keluarga kita nanti–”

“Ibu!”

Si wanita paruh baya itu terbelalak, tidak menyangka putranya itu meninggikan suara padanya. “K-kamu berani membentak Ibu, Nak?”

Lalu, dengan berapi-api, wanita itu menunjuk-nunjuk Dhea. “Ini pasti gara-gara kamu, perempuan sial! Belum jadi istri saja sudah bisa memengaruhi anak saya buat membentak orang tuanya! Bagaimana kalau sudah menikah? Bisa-bisa dia jadi anak durhaka!”

Dhea menarik napas dalam-dalam, mencoba menstabilkan emosi dan suaranya mendengar tudingan tidak berdasar tersebut. Kepalanya terasa pusing, telinganya bahkan berdenging. Bahkan perdebatan sengit antara orang tua dan putranya itu seolah-olah terlihat seperti adegan video gerak lambat yang tidak bersuara.

Hingga akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk berdiri.

“Cukup,” ucap Dhea dengan suara tegas, tetapi cukup lirih. Ia mengedarkan pandangan pada wanita paruh baya di depannya, kemudian pria di samping wanita itu, dan lelaki yang sebelumnya telah melamar Dhea. Ia kemudian melanjutkan, “Maafkan saya karena sudah lancang menerima pinangan putra Bapak dan Ibu. Setelah obrolan ini, saya memutuskan untuk tidak lagi bersedia menjadi bagian dari keluarga ini. Saya permisi.”

Dhea melangkah keluar tanpa memedulikan sumpah serapah di belakangnya karena tidak terima kata-kata Dhea yang seakan merendahkan putra mereka. Ia juga tidak memedulikan panggilan pria yang berjanji akan membuat Dhea bahagia di pernikahan mereka. 

Ia hanya berharap bahwa ia tidak akan pernah bertemu dengan keluarga itu lagi.

Namun, satu tahun kemudian, ketika Dhea memilih untuk menghadiri sebuah acara pernikahan teman SMA-nya di sebuah hotel bintang lima, Dhea melihatnya lagi.

Lelaki itu duduk di pelaminan dengan senyum semringah, berdampingan dengan gadis cantik yang sudah dikenal Dhea saat SMA dulu.

Dhea sengaja datang saat resepsi meskipun kawannya memintanya hadir ketika akad. Mana mungkin ia sanggup. Meskipun ia yang memutuskan hubungan, tetapi ialah yang sulit untuk melupakan.

“Dhea! Ayo ke sini!”

Para temannya mengajak Dhea untuk menyalami kedua pengantin. Sebenarnya ia enggan, hanya ingin mengisi buku tamu, kemudian pulang. Apalagi karena orang tua Aryan, pria itu, menatapnya tajam dan tidak suka sejak tadi. Namun, teman-temannya menariknya agar turut serta bersama mereka.

Mungkin karena mendengar nama Dhea disebut, Aryan, menoleh dan bertatapan dengan Dhea.

Suasana membeku untuk sesaat ketika mata mereka beradu pandang. Tidak bisa ditampik, ada perasaan rindu pada lelaki itu selama setahun ini Dhea pendam, tapi kini harus ia relakan.

"Dhea! Akhirnya kamu datang, Dhe!" Itu suara Marlina, si pengantin wanita, tampak begitu antusias ketika akhirnya ia berhadapan dengan Dhea.

Dhea tersenyum. "Lina, selamat ya,” ucapnya sembari memeluk teman SMA-nya tersebut, meski dengan canggung

Gadis itu kemudian bergeser ke samping untuk menyalami pengantin pria. “Selamat ya, Bang–”

"Kamu datang sendiri, Dhe?” tanya lelaki itu memotong kalimat Dhea. Lalu, saat keduanya masih bersalaman, ia melanjutkan dalam bisikan yang di telinga Dhea terdengar meremehkan, “Kamu belum punya pengganti Abang? Siapa suruh waktu itu kamu tidak mau kembali pada Abang." 

***

"Sudah kubilang jangan datang! Kamu kenapa ngeyel banget sih, Dhe!"

Dhea hanya tersenyum menanggapi perkataan perempuan di seberang telepon ini. Dari kemarin sepupunya ini sudah mewanti-wanti agar dia tidak datang ke pernikahan Aryan, tetapi Dhea tetap nekad.

Kini, gadis itu tengah berdiri di luar aula resepsi. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan mantan kekasihnya tersebut dan hanya tersenyum. Tidak ia sangka–setelah kedua orang tuanya, Aryan kini turut meremehkan Dhea.

"Aku gak enak sama Marlina kalau gak datang, nanti pasti digosipin di grup alumni kalau aku belum bisa move on dari suaminya."

"Lah, emang kamu belum bisa move on kan dari lelaki itu!"

Dhea menghela napas. "Ngaco. Aku belum punya pasangan bukan berarti belum bisa move on dari dia."

"Kamu baik-baik saja, kan?"

"Iya, aku baik-baik saja."

Kini terdengar suara Intan, sepupunya di seberang saluran telepon, menghela napas. Kemudian, gadis itu melanjutkan, "Sebaiknya kamu cepat cari pasangan deh, Dhe! Rawan dituduh Marlina kamu tuh! Dia kan iri banget sama kamu sejak dulu.”

"Iya, tadi saja Bang Aryan juga tanya-tanya aku sudah punya pengganti dia atau belum. Nggak pantas nggak sih nanya gitu pas di nikahannya sendiri?"

"Nah, kan ... apa  kubilang!?” Intan mendengus. “Sudahlah! Kamu aku jodohin sama temannya Mas Afkar aja. Jangan nolak! Nanti alamat ketemuan dan waktunyanya aku kirim.”

Sepupunya itu kembali berusaha menjodohkan Dhea dengan teman suaminya.

"Tan, tapi aku–”

Namun, sebelum Dhea menolak rencana Intan, sepupunya, telepon sudah diputus secara sepihak. Tidak lama kemudian, ponselnya berdenting, tanda sebuah pesan masuk.

[Kafe Cassanova. Pukul tujuh malam. Jangan telat!]

Gadis itu menghela napas panjang. Sekarang sudah pukul 5.00 sore. Rasanya, Dhea bisa langsung pergi ke kafe setelah ini.

Namun, saat gadis itu sampai di sana tepat pukul 7.00 malam, isi kafe tersebut kebanyakan pasangan mesra dan geng perempuan cantik yang sedang bergosip. Sama sekali tidak ada tanda-tanda pria yang harus Dhea temui malam itu.

[Temannya Mas Afkar kayaknya kejebak macet. Biasa, jam pulang kantor. Sabar menunggu ya!]

Sebuah pesan dari Intan ia terima kemudian, membuat Dhea langsung cemberut. Ia duduk di salah satu kursi dan mulai menunggu.

Akan tetapi, bahkan ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, belum ada pria yang menghampiri mejanya. Gadis itu mulai dongkol karena sudah membuang waktu selama setengah jam. Apalagi, perutnya sudah lapar.

Dhea tidak mau walau hanya pesan minuman, harga makanan dan minuman di sini sangat mahal. Uangnya sangat sayang kalau untuk dibelikan makanan mahal seperti ini. Harga satu porsi makanan di sini bisa untuk makan tiga hari nasi rames di warteg dekat kontrakannya. Jadi sejak tadi, gadis itu sama sekali belum memesan apa pun.

"Mana sih, orangnya? Lama banget! Ini sudah hampir jam delapan malam. Bener-bener ngaret!” gerutu Dhea. “Belum jadi suami sudah begini, apalagi nanti kalau jadi suami? Bisa-bisa di sia-siakan aku."

Gadis itu akhirnya hanya mentertawakan perkataannya sendiri. 

Jadi suami? Ngimpi kali! 

Ini baru pertemuan buat kenalan saja, masih jauh untuk menikah, makhluk yang diajak kencan buta kali ini saja belum terlihat wujudnya.

Tiba-tiba, bahunya ditepuk oleh seseorang, disusul suara bariton yang menyapa gendang telinga Dhea.

"Selamat malam. Maaf saya terlambat. Apa Anda sudah menunggu lama?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status