"Ibu tidak mau besanan dengan orang gila!"
Dhea meremas jemarinya sendiri, menahan sakit yang berkecamuk di dalam dada mendengar wanita paruh baya di depannya menghina sang ibu. Kalau dia sendiri yang dihina, dia masih bisa tahan. Namun, ini ibunya yang dikata-katai, sosok yang telah membesarkannya sejak kecil.
Gadis ini tiba-tiba merasa enggan bergabung ke dalam keluarga ini.
"Ibu, Bu Paramitha itu bukan orang gila, Dia hanya mengalami trauma masa lalu karena suami dan kedua anaknya meninggal karena kecelakaan. Dia ke rumah sakit jiwa hanya untuk menghilangkan traumanya itu," bantah lelaki muda yang duduk di sebelah Dhea.
Dhea melirik ke samping diam-diam. Lelaki ini yang berkali-kali menyakinkannya untuk meminta restu dari kedua orang tuanya, agar hubungan mereka bisa berlanjut ke pelaminan setelah tiga tahun.
Selama itu pulalah pria ini mengejar-ngejar Dhea karena menganggap Dhea merupakan sosok ideal untuk menjadi istrinya.
Namun, ternyata kedua orang tua pria ini tidak berpikir hal yang sama.
"Semua orang di lingkungan ini tahu, kalau ibu wanita ini adalah pasien rumah sakit jiwa. Ibu malu, tahu! Apa gak ada perempuan lain selain perempuan ini? Kalau kau gak bisa cari perempuan yang baik bobot, bibit, dan bebetnya, biar Ibu yang cariin!"
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik karena perawatan mahal itu menyampirkan kerudung pasminanya sambil mencebik ke arah sang putra itu.
Dhea menelan salivanya yang terasa pahit saat mendengar penghinaan terang-terang di hadapannya ini. Sebenarnya dia sungguh tidak sanggup menghadapi kedua orang tua kekasihnya ini, tetapi ia mencoba tenang.
"Bu, Dhea ini gadis yang baik, pintar dan cerdas. Aku juga sangat mencintainya, kenapa mempermasalahkan ibunya? Yang akan hidup bersamaku itu Dhea nantinya, Bu."
Lelaki di samping Dhea mencoba merendahkan suaranya untuk membujuk kedua orang tuanya, dia yakin dengan kelembutan, kedua orang tuanya yang terpelajar itu akan luluh.
Namun, sang ibu justru mendengus.
“Kamu nggak tahu kalau penyakit jiwa itu keturunan?” sergah wanita paruh baya itu. “Bisa saja nanti perempuan ini atau anak kalian mengidap penyakit yang sama! Kamu mau keluarga kita nanti–”
“Ibu!”
Si wanita paruh baya itu terbelalak, tidak menyangka putranya itu meninggikan suara padanya. “K-kamu berani membentak Ibu, Nak?”
Lalu, dengan berapi-api, wanita itu menunjuk-nunjuk Dhea. “Ini pasti gara-gara kamu, perempuan sial! Belum jadi istri saja sudah bisa memengaruhi anak saya buat membentak orang tuanya! Bagaimana kalau sudah menikah? Bisa-bisa dia jadi anak durhaka!”
Dhea menarik napas dalam-dalam, mencoba menstabilkan emosi dan suaranya mendengar tudingan tidak berdasar tersebut. Kepalanya terasa pusing, telinganya bahkan berdenging. Bahkan perdebatan sengit antara orang tua dan putranya itu seolah-olah terlihat seperti adegan video gerak lambat yang tidak bersuara.
Hingga akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk berdiri.
“Cukup,” ucap Dhea dengan suara tegas, tetapi cukup lirih. Ia mengedarkan pandangan pada wanita paruh baya di depannya, kemudian pria di samping wanita itu, dan lelaki yang sebelumnya telah melamar Dhea. Ia kemudian melanjutkan, “Maafkan saya karena sudah lancang menerima pinangan putra Bapak dan Ibu. Setelah obrolan ini, saya memutuskan untuk tidak lagi bersedia menjadi bagian dari keluarga ini. Saya permisi.”
Dhea melangkah keluar tanpa memedulikan sumpah serapah di belakangnya karena tidak terima kata-kata Dhea yang seakan merendahkan putra mereka. Ia juga tidak memedulikan panggilan pria yang berjanji akan membuat Dhea bahagia di pernikahan mereka.
Ia hanya berharap bahwa ia tidak akan pernah bertemu dengan keluarga itu lagi.
Namun, satu tahun kemudian, ketika Dhea memilih untuk menghadiri sebuah acara pernikahan teman SMA-nya di sebuah hotel bintang lima, Dhea melihatnya lagi.
Lelaki itu duduk di pelaminan dengan senyum semringah, berdampingan dengan gadis cantik yang sudah dikenal Dhea saat SMA dulu.
Dhea sengaja datang saat resepsi meskipun kawannya memintanya hadir ketika akad. Mana mungkin ia sanggup. Meskipun ia yang memutuskan hubungan, tetapi ialah yang sulit untuk melupakan.
“Dhea! Ayo ke sini!”
Para temannya mengajak Dhea untuk menyalami kedua pengantin. Sebenarnya ia enggan, hanya ingin mengisi buku tamu, kemudian pulang. Apalagi karena orang tua Aryan, pria itu, menatapnya tajam dan tidak suka sejak tadi. Namun, teman-temannya menariknya agar turut serta bersama mereka.
Mungkin karena mendengar nama Dhea disebut, Aryan, menoleh dan bertatapan dengan Dhea.
Suasana membeku untuk sesaat ketika mata mereka beradu pandang. Tidak bisa ditampik, ada perasaan rindu pada lelaki itu selama setahun ini Dhea pendam, tapi kini harus ia relakan.
"Dhea! Akhirnya kamu datang, Dhe!" Itu suara Marlina, si pengantin wanita, tampak begitu antusias ketika akhirnya ia berhadapan dengan Dhea.
Dhea tersenyum. "Lina, selamat ya,” ucapnya sembari memeluk teman SMA-nya tersebut, meski dengan canggung
Gadis itu kemudian bergeser ke samping untuk menyalami pengantin pria. “Selamat ya, Bang–”
"Kamu datang sendiri, Dhe?” tanya lelaki itu memotong kalimat Dhea. Lalu, saat keduanya masih bersalaman, ia melanjutkan dalam bisikan yang di telinga Dhea terdengar meremehkan, “Kamu belum punya pengganti Abang? Siapa suruh waktu itu kamu tidak mau kembali pada Abang."
***
"Sudah kubilang jangan datang! Kamu kenapa ngeyel banget sih, Dhe!"
Dhea hanya tersenyum menanggapi perkataan perempuan di seberang telepon ini. Dari kemarin sepupunya ini sudah mewanti-wanti agar dia tidak datang ke pernikahan Aryan, tetapi Dhea tetap nekad.
Kini, gadis itu tengah berdiri di luar aula resepsi. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan mantan kekasihnya tersebut dan hanya tersenyum. Tidak ia sangka–setelah kedua orang tuanya, Aryan kini turut meremehkan Dhea.
"Aku gak enak sama Marlina kalau gak datang, nanti pasti digosipin di grup alumni kalau aku belum bisa move on dari suaminya."
"Lah, emang kamu belum bisa move on kan dari lelaki itu!"
Dhea menghela napas. "Ngaco. Aku belum punya pasangan bukan berarti belum bisa move on dari dia."
"Kamu baik-baik saja, kan?"
"Iya, aku baik-baik saja."
Kini terdengar suara Intan, sepupunya di seberang saluran telepon, menghela napas. Kemudian, gadis itu melanjutkan, "Sebaiknya kamu cepat cari pasangan deh, Dhe! Rawan dituduh Marlina kamu tuh! Dia kan iri banget sama kamu sejak dulu.”
"Iya, tadi saja Bang Aryan juga tanya-tanya aku sudah punya pengganti dia atau belum. Nggak pantas nggak sih nanya gitu pas di nikahannya sendiri?"
"Nah, kan ... apa kubilang!?” Intan mendengus. “Sudahlah! Kamu aku jodohin sama temannya Mas Afkar aja. Jangan nolak! Nanti alamat ketemuan dan waktunyanya aku kirim.”
Sepupunya itu kembali berusaha menjodohkan Dhea dengan teman suaminya.
"Tan, tapi aku–”
Namun, sebelum Dhea menolak rencana Intan, sepupunya, telepon sudah diputus secara sepihak. Tidak lama kemudian, ponselnya berdenting, tanda sebuah pesan masuk.
[Kafe Cassanova. Pukul tujuh malam. Jangan telat!]
Gadis itu menghela napas panjang. Sekarang sudah pukul 5.00 sore. Rasanya, Dhea bisa langsung pergi ke kafe setelah ini.
Namun, saat gadis itu sampai di sana tepat pukul 7.00 malam, isi kafe tersebut kebanyakan pasangan mesra dan geng perempuan cantik yang sedang bergosip. Sama sekali tidak ada tanda-tanda pria yang harus Dhea temui malam itu.
[Temannya Mas Afkar kayaknya kejebak macet. Biasa, jam pulang kantor. Sabar menunggu ya!]
Sebuah pesan dari Intan ia terima kemudian, membuat Dhea langsung cemberut. Ia duduk di salah satu kursi dan mulai menunggu.
Akan tetapi, bahkan ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, belum ada pria yang menghampiri mejanya. Gadis itu mulai dongkol karena sudah membuang waktu selama setengah jam. Apalagi, perutnya sudah lapar.
Dhea tidak mau walau hanya pesan minuman, harga makanan dan minuman di sini sangat mahal. Uangnya sangat sayang kalau untuk dibelikan makanan mahal seperti ini. Harga satu porsi makanan di sini bisa untuk makan tiga hari nasi rames di warteg dekat kontrakannya. Jadi sejak tadi, gadis itu sama sekali belum memesan apa pun.
"Mana sih, orangnya? Lama banget! Ini sudah hampir jam delapan malam. Bener-bener ngaret!” gerutu Dhea. “Belum jadi suami sudah begini, apalagi nanti kalau jadi suami? Bisa-bisa di sia-siakan aku."
Gadis itu akhirnya hanya mentertawakan perkataannya sendiri.
Jadi suami? Ngimpi kali!
Ini baru pertemuan buat kenalan saja, masih jauh untuk menikah, makhluk yang diajak kencan buta kali ini saja belum terlihat wujudnya.
Tiba-tiba, bahunya ditepuk oleh seseorang, disusul suara bariton yang menyapa gendang telinga Dhea.
"Selamat malam. Maaf saya terlambat. Apa Anda sudah menunggu lama?”
"Selamat malam. Maaf saya terlambat. Apa Anda sudah menunggu lama?”Dhea hampir saja akan meninggalkan kursi yang dia duduki selama satu jam ini ketika mendengar suara bariton yang terdengar menggelitik telinganya. Gadis itu mendongakkan kepalanya melihat seraut wajah yang tidak pernah dibayangkannya. Dia pernah melihat penampilan seperti itu di sebuah film, penampilannya seperti bos mafia, memakai jas hitam, kemeja putih, dan dasi hitam belang putih. Tatapan mata pria itu setajam elang, dengan bola mata berwarna cokelat tua. Hidungnya bangir dan wajahnya ditumbuhi cambang dan kumis tipis–seperti baru tumbuh kembali setelah dicukur. Ada beberapa helai uban di antara rambutnya yang hitam.Lelaki itu langsung duduk di hadapan Dhea, mengamati penampilan gadis di hadapannya dan sedikit terkejut. Lelaki itu menyeringai tipis, membuat Dhea sedikit jengah. Tatapan lelaki tersebut sungguh mengandung misteri."Maaf. Apakah kamu sudah menunggu lama?" ujar lelaki itu lagi dengan suara yang sed
“Dalam waktu satu minggu, kita akan menikah.”Dhea terkejut. Ia bingung mendengar ucapan lelaki ini. "Apa? Maksudnya apa?" tanyanya."Kita akan menikah seminggu lagi. Besok aku akan mengadakan lamaran pada orang tuamu,” ucap Bram lagi. "Bersiaplah, oke?”"Hei, Bang. Aku memang siap untuk menikah, tapi gak secepat itu juga, Bang.” Dhea sekarang jadi panik. Satu minggu adalah waktu yang teramat singkat untuk menyiapkan sebuah pernikahan yang akan ditempuh seumur hidup.“Kita harus saling mengenal dulu, kalau cocok baru lanjut. Aku mana bisa menikah tanpa mengetahui latar belakangmu dulu,” lanjut Dhea. “Aku sama sekali tidak tahu bagaimana sifatmu, keluargamu ... banyak yang harus dipertimbangkan, Bang.""Yah, maklum. Kamu masih kecil, belum punya banyak pengalaman.” Bram tersenyum tipis. “Apa kamu pikir orang yang berpacaran itu adalah ajang saling mengenal lebih lanjut dan mengetahui latar belakang dan sifat pasangan dengan jujur dan apa adanya? Semua itu hanya omong kosong.” Dhea men
[Dhea! Maaf ya, barusan teman Mas Afkar telepon, katanya mobilnya pecah ban. Dia meminta menunda pertemuan.]Hah? Apa? Jadi temannya Afkar tidak jadi datang? Jadi siapa yang duduk di hadapannya ini? Apakah orang nyasar? Mata Dhea menatap ke arah Bram dengan bingung dan curiga, dia menelisik penampilan Bram sekali lagi, lelaki yang tengah diamatinya tengah asik memotong dan memakan daging. Haruskah dia memberitahu lelaki itu jika dia seharusnya janji ketemu dengan lelaki lain? Bukan dirinya?Sesaat kemudian pandangan Bram mengarah ke depan, di mana posisi Dhea berada, dengan geragapan gadis itu mengalihkan pandangannya agar tidak kepergok tengah mengamati lelaki itu."Bagaimana, Dhea? Apakah kau akan mengenalkan dirimu secara terperinci?" tanya lelaki itu masih dengan suara lembut.Mendengar suara lelaki itu yang cukup menggoda, membuat Dhea bimbang untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Mungkinkah sebenarnya lelaki ini seharusnya juga tengah melakukan temu janji dengan perempuan lain?
"Dhea! Dhe, ini ibumu pingsan di ruko Tante, Dhe! Sekarang Tante sama Om Ridwan sedang dalam perjalanan membawa ibumu ke rumah sakit." “Apa!?” Mata Dhea membelalak. Yang menghubunginya ternyata adalah rekan bisnis katering ibunya. "Ibu pingsan, Te? Dibawa ke rumah sakit mana, Tante?" tanya Dhea dengan panik. Gadis itu bahkan sampai berdiri saat bicara di teleponnya. Tangannya sudah menggenggam tasnya, seperti siap untuk pergi. “Rumah sakit umum daerah? Aku ke sana ya, Tante!” Bram yang dari tadi memang tengah mengamati gadis muda di hadapannya itu mengernyit melihat kepanikan di wajah gadis itu, spontan saja sikap waspada dan empati di dalam dirinya tersulut, seolah ada yang membangkitkan. Lelaki itu ikut berdiri mengikuti pergerakan Dhea, sikap cemas pada gadis itu juga menular padanya. "Abang, maaf. Pertemuan ini kita sudahi, ya? Ibuku dibawa ke rumah sakit, aku harus langsung ke sana. Maaf ya, Bang!" "Ayo, biar saya antar!" Dhea menghentikan langkahnya menatap Bram seolah ti
"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?" Bram menghentikan langkahnya ketika melihat gadis di sampingnya juga berhenti dengan wajah yang terlihat marah."Maaf, tapi aku melakukan itu demi kebaikan dan kesembuhan ibumu," jawab Bram dengan suara yang tenang dan tatapan mata melembut."Tapi kalau ibu dirawat di Jakarta, siapa yang akan menjaganya? Aku di sini bekerja. Lagipula biaya pengobatannya juga pasti mahal," keluh gadis itu."Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu.""Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus m
Part 7"Dia .. dia calon suami Dhea, Bu.""Selamat malam, Ibu. Perkenalkan, Saya Bram. Calon suami putri ibu." Bram mengulurkan tangannya.Paramitha menyambut uluran tangan Bram, namun tak ada senyum di wajahnya. Reaksi yang ditunjukkan oleh Paramita membuat Dhea menjadi gugup, dia tahu pasti ibunya terkejut, memang selintas Bram terlihat masih berusia dibawah tiga puluh tahunan, namun jika diamati lebih dalam, mungkin ibunya bisa menebak jika pria itu jauh lebih tua darinya."Maaf, Bang. Ibuku tidak pernah tersenyum lagi sejak delapan tahun ini, maksudku ... Aku sudah cerita sama Abang, kan?" ujar Dhea pelan, mencoba memberi pengertian pada lelaki itu."Ya, aku paham. Kalau begitu aku pulang dulu, besok aku akan kembali lagi untuk menjemput kalian, dokter sudah mengijinkan ibumu pulang besok. Jangan pergi dulu sebelum aku jemput," ujar Bram dengan suara pelan."Iya, baiklah. Terima kasih sebelumnya," ujar Dhea mencoba tersenyum walau masih terasa kaku."Aku pulang dulu," ujar Bram sa
Dhea masuk ke kamar perawatan ibunya dengan perasaan yang gamang, masih ragu di dalam hatinya kalau dia menerima ajakan nikah pria yang bisa dibilang seusia pamannya, jarak mereka lima belas tahun. Tapi tidak juga, jarak Intan dan kakak pertamanya, Bang Andra juga jauh, malah tujuh belas tahun. Intan anak ke empat, karena memiliki tiga putra maka paman sepupunya, Om Muhtar menginginkan anak perempuan, ketika Andra kelas dua SMA, Intan baru lahir. Dilihat ibunya sudah tertidur dengan nyenyak, mungkin pengaruh obat juga yang membuat wanita paruh baya itu lekas tertidur. Dhea duduk di sofa dengan mrnselonjokan kakinya yang terasa letih. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas, dia cukup terkejut ternyata dayanya mati. Dia segera mengecas baterainya agar bisa nyala kembali, untung saja dia selalu membawa charger ke manapun dia pergi. Kemudian dia tinggalkan untuk melakukan salat isya, untung juga dia selalu membawa mukena lipat ke manapun dia pergi. Setelah salat isya, daya ponselnya su
"Eh, Tan. Baju ini pas banget buat aku. Ini baju kapan?" Intan menoleh ke arah pintu kamar mandi yang sudah terbuka, pertanyaannya tadi belum sempat dijawab oleh bibinya, kini di depannya Dhea sudah siap untuk berangkat kerja. "Itu bajuku waktu magang dulu, waktu aku masih kurus. Ambil saja untukmu, dengan aku juga sudah gak muat." "Jangan dong, nanti kalau kamu sudah lahiran siapa tahu kurus lagi," ujar Dhea yang tengah merapikan riasannya. Intan hanya tersenyum sambil mengelus perutnya yang tengah isi tiga bulan. "Aku pergi, ya? Aku minta tolong jagain ibu, ya? Aku akan usahakan pulang cepat." "Kami kayak sama siapa aja, Bi Mitha itu juga Bibiku. Aku sudah ijin sama mas Afkar untuk menjaganya hari ini. Nanti Mama juga akan ke sini." "Oke, kalau gitu terima kasih. Bu ... Dhea berangkat kerja dulu, kalau ada apa-apa cepat kabari, ya?" Dhea mencium punggung tangan ibunya dan mencium pipi wanita tua itu. "Iya, kamu gak usah kuatir, kerja aja yang benar." "Ayo, aku antar samp