“Dalam waktu satu minggu, kita akan menikah.”
Dhea terkejut. Ia bingung mendengar ucapan lelaki ini. "Apa? Maksudnya apa?" tanyanya.
"Kita akan menikah seminggu lagi. Besok aku akan mengadakan lamaran pada orang tuamu,” ucap Bram lagi. "Bersiaplah, oke?”
"Hei, Bang. Aku memang siap untuk menikah, tapi gak secepat itu juga, Bang.” Dhea sekarang jadi panik. Satu minggu adalah waktu yang teramat singkat untuk menyiapkan sebuah pernikahan yang akan ditempuh seumur hidup.
“Kita harus saling mengenal dulu, kalau cocok baru lanjut. Aku mana bisa menikah tanpa mengetahui latar belakangmu dulu,” lanjut Dhea. “Aku sama sekali tidak tahu bagaimana sifatmu, keluargamu ... banyak yang harus dipertimbangkan, Bang."
"Yah, maklum. Kamu masih kecil, belum punya banyak pengalaman.” Bram tersenyum tipis. “Apa kamu pikir orang yang berpacaran itu adalah ajang saling mengenal lebih lanjut dan mengetahui latar belakang dan sifat pasangan dengan jujur dan apa adanya? Semua itu hanya omong kosong.”
Dhea mengernyit.
Sementara itu, Bram melanjutkan, “Orang kalau lagi pacaran itu ya pasti yang ditampilkan yang baik-baik dan manis-manis saja, mana mau menunjukan kelemahan dan kekurangannya, bisa ilfeel lah pasangannya. Makanya jangan tertipu, kita bisa mengenal kepribadian kita masing-masing setelah menikah, dalam waktu yang panjang dan tidak terbatas."
"Tapi, kita baru ketemu belum ada satu jam, tetapi sudah membahas pernikahan. Ini bukannya terlalu singkat? Aku juga tidak kenal siapa Abang selain nama Abang saja," keluh Dhea sambil menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan mata tak percaya.
"Oke, kukenalkan lagi secara lengkap. Namaku Satria Bramantyo, biasa dipanggil Bram. Status lajang, Anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahku orang Jawa, ibuku aceh-belanda. Memiliki usaha kecil-kecilan di bidang bangunan, usiaku sekarang tiga puluh delapan tahun."
Bram menatap Dhea dengan serius, sedangkan Dhea malah melongo ketika mendengar usia pria ini, tiga puluh delapan tahun?
Tua banget! Selisih lima belas tahun dengannya.
"Bagaimana?" ujar lelaki itu sambil mengangkat satu alisnya.
Sebelum Dhea menjawab, ternyata pelayan sudah datang membawa pesanan mereka. Dhea menatap steak daging, kentang goreng dan minumannya mango Thai.
"Silakan, Mas, mbak ...," ujar pelayan itu dengan ramah.
Dhea menatap makanan itu dengan nanar. Dia tidak biasa makan makanan western seperti ini, dia menganggap makanan seperti ini hanya cemilan, mungkin pulang dari sini dia akan membeli nasi uduk di pengkolan dekat rumah kontrakannya.
Bram memotong daging di hadapannya dengan elegan, bahkan garpu dan pisaunya tidak bersuara sama sekali. Sedang Dhea beberapa kali terpeleset memotong daging dipiringnya.
Bram memotong daging dengan potongan kecil-kecil, kemudian menyodorkan ke arah Dhea, mengambil daging yanv ada di hadapan Dhea.
"Makanlah ini, sudah aku potong-potong," ujar Bram.
Dhea hanya terpaku menatap potongan daging yang begitu rapi di atas piring, bahkan bentuk awalnya tidak berubah.
"Kenapa cuma dilihatin saja? Ayo dimakan!" Bram berucap masih dengan suara yang lembut.
"Terima kasih," cicit Dhea dengan wajah memerah. Dia malah bengong kembali melihat piring di hadapannya.
"Hei. Kenapa? Apa kamu tidak suka?" Kini lelaki itu bertanya.
"Eh, iya ... Tidak! Akan kumakan." Dhea mengambil alat makan pada akhirnya.
Tentu saja apa yang dilakukan lelaki itu membuat gadis ini sungguh terkesan. Tindakan kecil pria itu meninggalkan penilaian positif.
Dhea bukan pertama kali memakan steak seperti ini, bersama mantannya dulu juga sering ditraktir makanan western ini, tetapi perlakuan mantan Dhea tidak semanis ini. Mantan pacar Dhea bahkan tidak mengetahui kesulitan Dhea dalam memotong daging tersebut.
Daging ini begitu lembut masuk ke mulutnya, tanpa harus bersusah payah mengunyahnya. Sausnya juga enak dan lezat, perpaduan rasa manis, asam, asin dan pedas.
"Aku sudah memperkenalkan diri, sekarang giliran kamu, Dhea," ujar Bram dengan santainya kemudian.
Tring … Tring ….
Tiba-tiba notifikasi pesan di ponsel Dhea berdering, dari layar terpampang nama Intan, namun Dhea sedikit penasaran dengan pesan dari sepupu tercintanya itu.
"Maaf, Bang. Saya baca pesan ini dulu, ya?" ujar Dhea meminta izin, Bram hanya mengangguk.
Buru-buru gadis itu langsung membuka aplikasi telepon warna hijau, betapa terkejutnya dia membaca pesan sepupunya ini. Matanya bahkan sampai melotot.
[Dhea! Maaf ya, barusan teman Mas Afkar telepon, katanya mobilnya pecah ban. Dia meminta menunda pertemuan. Bagaimana kalau besok di cafe yang sama?]
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora