Share

3. Salah Pasangan?

“Dalam waktu satu minggu, kita akan menikah.”

Dhea terkejut. Ia bingung mendengar ucapan lelaki ini. "Apa? Maksudnya apa?" tanyanya.

"Kita akan menikah seminggu lagi. Besok aku akan mengadakan lamaran pada orang tuamu,” ucap Bram lagi. "Bersiaplah, oke?”

"Hei, Bang. Aku memang siap untuk menikah, tapi gak secepat itu juga, Bang.” Dhea sekarang jadi panik. Satu minggu adalah waktu yang teramat singkat untuk menyiapkan sebuah pernikahan yang akan ditempuh seumur hidup.

“Kita harus saling mengenal dulu, kalau cocok baru lanjut. Aku mana bisa menikah tanpa mengetahui latar belakangmu dulu,” lanjut Dhea. “Aku sama sekali tidak tahu bagaimana sifatmu, keluargamu ... banyak yang harus dipertimbangkan, Bang."

"Yah, maklum. Kamu masih kecil, belum punya banyak pengalaman.” Bram tersenyum tipis. “Apa kamu pikir orang yang berpacaran itu adalah ajang saling mengenal lebih lanjut dan mengetahui latar belakang dan sifat pasangan dengan jujur dan apa adanya? Semua itu hanya omong kosong.” 

Dhea mengernyit.

Sementara itu, Bram melanjutkan, “Orang kalau lagi pacaran itu ya pasti yang ditampilkan yang baik-baik dan manis-manis saja, mana mau menunjukan kelemahan dan kekurangannya, bisa ilfeel lah pasangannya. Makanya jangan tertipu, kita bisa mengenal kepribadian kita masing-masing setelah menikah, dalam waktu yang panjang dan tidak terbatas."

"Tapi, kita baru ketemu belum ada satu jam, tetapi sudah membahas pernikahan. Ini bukannya terlalu singkat? Aku juga tidak kenal siapa Abang selain nama Abang saja," keluh Dhea sambil menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan mata tak percaya.

"Oke, kukenalkan lagi secara lengkap. Namaku Satria Bramantyo, biasa dipanggil Bram. Status lajang, Anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahku orang Jawa, ibuku aceh-belanda. Memiliki usaha kecil-kecilan di bidang bangunan, usiaku sekarang tiga puluh delapan tahun."

Bram menatap Dhea dengan serius, sedangkan Dhea malah melongo ketika mendengar usia pria ini, tiga puluh delapan tahun? 

Tua banget! Selisih lima belas tahun dengannya. 

"Bagaimana?" ujar lelaki itu sambil mengangkat satu alisnya.

Sebelum Dhea menjawab, ternyata pelayan sudah datang membawa pesanan mereka. Dhea menatap steak daging, kentang goreng dan minumannya mango Thai. 

"Silakan, Mas, mbak ...," ujar pelayan itu dengan ramah.

Dhea menatap makanan itu dengan nanar. Dia tidak biasa makan makanan western seperti ini, dia menganggap makanan seperti ini hanya cemilan, mungkin pulang dari sini dia akan membeli nasi uduk di pengkolan dekat rumah kontrakannya. 

Bram memotong daging di hadapannya  dengan elegan, bahkan garpu dan pisaunya tidak bersuara sama sekali. Sedang Dhea beberapa kali terpeleset memotong daging dipiringnya. 

Bram memotong daging dengan potongan kecil-kecil, kemudian menyodorkan ke arah Dhea, mengambil daging yanv ada di hadapan Dhea.

"Makanlah ini, sudah aku potong-potong," ujar Bram.

Dhea hanya terpaku menatap potongan daging yang begitu rapi di atas piring, bahkan bentuk awalnya tidak berubah. 

"Kenapa cuma dilihatin saja? Ayo dimakan!" Bram berucap masih dengan suara yang lembut. 

"Terima kasih," cicit Dhea dengan wajah memerah. Dia malah bengong kembali melihat piring di hadapannya.

"Hei. Kenapa? Apa kamu tidak suka?" Kini lelaki itu bertanya.

"Eh, iya ... Tidak! Akan kumakan." Dhea mengambil alat makan pada akhirnya. 

Tentu saja apa yang dilakukan lelaki itu membuat gadis ini sungguh terkesan. Tindakan kecil pria itu meninggalkan penilaian positif.

Dhea bukan pertama kali memakan steak seperti ini, bersama mantannya dulu juga sering ditraktir makanan western ini, tetapi perlakuan mantan Dhea tidak semanis ini. Mantan pacar Dhea bahkan tidak mengetahui kesulitan Dhea dalam memotong daging tersebut. 

Daging ini begitu lembut masuk ke mulutnya, tanpa harus bersusah payah mengunyahnya. Sausnya juga enak dan lezat, perpaduan rasa manis, asam, asin dan pedas.

"Aku sudah memperkenalkan diri, sekarang giliran kamu, Dhea," ujar Bram dengan santainya kemudian.

Tring … Tring ….

Tiba-tiba notifikasi pesan di ponsel Dhea berdering, dari layar terpampang nama Intan, namun Dhea sedikit penasaran dengan pesan dari sepupu tercintanya itu.

"Maaf, Bang. Saya baca pesan ini dulu, ya?" ujar Dhea meminta izin, Bram hanya mengangguk.

Buru-buru gadis itu langsung membuka aplikasi telepon warna hijau, betapa terkejutnya dia membaca pesan sepupunya ini. Matanya bahkan sampai melotot.

[Dhea! Maaf ya, barusan teman Mas Afkar telepon, katanya mobilnya pecah ban. Dia meminta menunda pertemuan. Bagaimana kalau besok di cafe yang sama?]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status