Share

6. Apakah calon suamimu itu Aryan?

"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?" 

Bram menghentikan langkahnya ketika melihat gadis di sampingnya juga berhenti dengan wajah yang terlihat marah.

"Maaf, tapi aku melakukan itu demi kebaikan dan kesembuhan ibumu," jawab Bram dengan suara yang tenang dan tatapan mata melembut.

"Tapi kalau ibu dirawat di Jakarta, siapa yang akan menjaganya? Aku di sini bekerja. Lagipula biaya pengobatannya juga pasti mahal," keluh gadis itu.

"Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu."

"Nanti aku akan menyewa perawat yang menemani dan merawatnya, kita bisa menjenguknya kalau diakhir pekan. Soal biaya Dhea tidak usah memikirkannya, setelah kita menikah, ibumu menjadi tanggung jawabku. Sekarang yang penting ibu sembuh dulu, ya? Kita harus mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk ibu."

Mendengar perkataan lelaki di hadapannya, tak bisa ditahan air mata lolos dari netra almond gadis itu. Ternyata Tuhan maha baik, dia dipertemukan dengan lelaki baik seperti ini, walaupun pertemuan mereka belum ada dua jam, kenapa rasanya sudah tidak asing lagi, bahkan aroma tubuh lelaki itu yang tercium samar seperti sudah begitu akrab di indera penciumannya. 

"Terima kasih, Bang."

"Tidak usah berterima kasih, aku ini calon suamimu, sudah kewajibanmu memikirkan masalahmu juga," ujar Bram sambil mengusap bulir bening di pipi mulus gadis itu.

"Dhea, sudah ketemu dokternya?" tanya Rini yang tengah menunggu di depan kamar bersama suaminya.

"Sudah, Tante."

"Lekas temui ibumu, dia sudah menunggumu. Tante dan Om pulang dulu, ya?"

"Oh iya, Tante. Terima kasih banyak sudah membawa ibu ke rumah sakit."

"Iya, semoga ibu kamu lekas sembuh ya? Oh iya, ini siapa?" Rini yang dari tadi menahan penasaran pada lelaki yang datang bersama Dhea akhirnya menanyakannya juga.

"Ini a__"

"Halo, Tante, Om. Saya Bram, calon suaminya Dhea."

 Bram langsung saja memotong perkataan Dhea, membuat gadis itu melongo hingga matanya melotot ke arah lelaki itu. Bram sudah menduga, Dhea pasti tidak akan mengatakan jika dia adalah calon suaminya.

"Oh ya? Wah, tidak menyangka kalau Dhea sudah punya calon suami, perasaan Tante baru kemarin membantu Dhea mengucir dua rambutnya," ujar Rini dengan tertawa.

****

Setelah Rini pergi, Bram menyuruh Dhea masuk menemui ibunya, sementara dia akan pergi ke bagian administrasi.

"Ibu, kenapa ibu masih bekerja di tempat Tante Rini? Dhea kan sudah bilang agar ibu berhenti bekerja, ibu sedang sakit. Dhea mohon, Bu. Ibu berhenti bekerja, pikirkan kesembuhan ibu, Dhea sangat kuatir ibu jatuh pingsan seperti ini. Dhea hanya punya ibu di dunia ini, Dhea mohon jangan membuat Dhea kuatir."

Dhea menangis melihat kondisi ibunya yang pucat pasi dengan jarum infus dan selang oksigen di hidungnya.

"Dhea, maafkan ibu. Ibu hanya tidak tega melihat Dhea bekerja keras sendirian," ujar Paramitha dengan suara lemah.

"Ibu tidak perlu mengkuatirkan Dhea mulai saat ini. Dhea akan menikah, Bu. Mungkin Minggu depan Dhea akan menikah, ibu harus fokus pada kesembuhan, ya?"

"Kamu akan menikah? Menikah dengan Aryan?"

Dhea terdiam. Paramitha bukanlah orang gila, dia hanya mengalami trauma berat, atau yang biasa disebut PTSD. Jika trauma itu datang, maka tubuh Paramitha akan menggigil ketakutan, berteriak-teriak. Apabila melihat api atau melihat mobil yang berjalan kencang, tubuh Paramitha akan kejang-kejang. 

Jika teringat almarhum suaminya ataupun kedua anaknya Paramitha akan menangis kencang, berteriak dan meratap. Kadang ketika Dhea pulang terlambat, Paramitha akan menelponnya bahkan menerornya agar lekas pulang, dia takut jika Dhea tidak kembali seperti  suami dan kedua anaknya.

"Bukan, Bu. Bukan Aryan."

Paramitha memicingkan matanya, bukankah anaknya ini tengah dekat dengan anak tetangganya yang bernama Aryan? Pemuda baik hati yang selalu menemaninya dan menghiburnya? Bahkan sering membawakannya makanan enak? Paramitha lupa jika selama setahun ini dia tidak pernah lagi melihat Aryan.

"Ibu mau melihatnya? Dhea akan  kenalkan pada calon suami Dhea. Dia ikut ke sini juga, sekarang sedang mengurus administrasi perawatan Ibu."

Dhea meraih tangan Paramitha dan mengelusnya dengan lembut.

"Kenapa bukan Aryan? Aryan kemana?" desis Paramitha.

"Aryan sudah menikah dengan wanita lain, Bu."

"Dhea! Jadi kamu dikhianati? Pemuda sebaik Aryan tidak mungkin mengkhianatimu?" Paramitha cukup histeris mendengar perkataan Dhea. Rasanya tidak mungkin Aryan melalakukan semua itu.

"Tidak ada pengkhianatan, Bu. Kita putus baik-baik. Keluarga Aryan tidak setuju jika Dhea menjadi menantunya. Maka kami putus, Dhea tidak sanggup jika tidak diterima oleh keluarganya," ujar Dhea dengan lemah lembut.

Paramitha menatap Dhea dengan prihatin, dielusnya pipi anak gadisnya itu. 

"Benar, keputusanmu sudah benar, sangat sakit jika kita tidak diterima oleh keluarga pasangan kita."

Paramitha bukan bicara omong kosong, dia sudah merasakan sendiri. Suaminya dulu terpaksa pergi meninggalkan keluarganya yang kaya raya demi menikahi gadis yatim piatu seperti dirinya. Dia juga tidak ingin putrinya mengalami semua itu.

Tok .. tok ...

"Masuk!" perintah Dhea.

Seraut wajah tampan menyembul di balik pintu, tatapan mata elang itu melembut ketika menatap wanita tua yang terbaring di ranjang UGD.

Di belakang lelaki itu menyusul dokter Adrian dan dua orang perawat.

"Selamat malam, Bu. Bagaimana kondisi Ibu?" tanya dokter Adrian dengan ramah.

"Baik, Dok."

"Kita pindah ke ruang perawatan ya, Bu. Setelah kondisi ibu pulih, diperbolehkan pulang. Ibu harus banyak-banyak istirahat untuk berobat ke Jakarta."

"Ha? Berobat ke Jakarta, Dok?" tanya Paramitha dengan heran.

"Iya, Bu. Ayo, Sus. Dibantu ibunya untuk pindah."

Pramita tidak bisa melakukan protes, karena memang tidak diberi kesempatan. Dokter Adrian juga segera pergi setelah memerintah para perawat memindahkannya ke ruang perawatan yang membuat mata tuanya terbelalak. Ruang perawatan kelas VVIP di lantai paling atas rumah sakit ini. Wanita tua itu mengedarkan pandangan untuk melihat dan bertanya pada putrinya, tetapi gadis itu tidak terlihat sampai para perawat selesai merapikan kondisinya dan menyiapkan segala kebutuhannya.

"Kenalkan, ini suster Halimah. Suster ini yang akan merawat Ibu selama berobat ke Jakarta."

Dhea manatap lelaki di hadapannya dengan tidak percaya, secepat ini dia bisa mencari seorang perawat?

"Saya Halimah, Mbak. Mbak tenang saja, saya akan menjaga ibu anda dengan baik di sana."

Pandangan Dhea beralih pada wanita muda yang dari raut wajahnya sepertinya lebih tua darinya. Dia menyunggingkan senyum pada wanita itu.

"Saya Dhea, Sus. Terima kasih kesediaan suster untuk menjaga ibu saya selama berobat ke Jakarta nanti," ujar Dhea sambil mengulurkan tangan.

Dhea harus beramah tamah dan berbaik-baik pada wanita ini, karena nasib ibunya juga akan tergantung pada wanita ini juga nantinya.

"Baik, saya permisi dulu untuk menjalankan tugas," ujar Halimah sambil mengangguk hormat.

"Baiklah, nanti sekiranya akan berangkat, suster akan kami hubungi," kata Bram

"Abang serius mau membawa ibuku ke rumah sakit Dharmais?" tanya Dhea setelah suster Halimah berlalu dari hadapan mereka.

"Apa aku terlihat main-main?" tanya Bram dengan tatapan serius.

Dhea yang mendapat tatapan tajam itu menjadi gugup tidak karuan.

"Eng, ya mak_ maksudku hanya untuk meyakinkan saja."

"Sekarang, Ayo temui ibumu. Aku juga harus meminta izin untuk menikahi putrinya."

Dhea mendadak menjadi bodoh dan linglung, sungguh lelaki di depannya itu bukanlah lawannya. Lelaki itu berjalan dengan santai dan tegap, ketenangannyaseperti tidak terpengaruh apapun, sementara dia yang harus selalu menahan napas dan gugup tidak karuan.

Sampai mereka di kamar perawatan Paramitha, wanita tua itu langsung memanggil Dhea, dia sudah duduk dengan menyandar pada dashboard ranjang.

"Ibu sudah baikan?"

"Sudah. Dhea ... kenapa ibu dirawat di kamar seperti ini? BPJS ibu kan cuma meng-cover kelas tiga?" tanya Paramitha dengan perasaan gelisah.

"Ini ... Yang membiayai pengobatan ibu adalah calon suami Dhea," jawab Dhea sambil menoleh ke belakang.

Di sana Bram berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana, menatap kedua wanita beda generasi itu dengan tatapan serius.

"Dia .. dia calon suami Dhea, Bu."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Khadijah Annisa
mantul ceritanya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status