Share

5. Melihat kondisi calon ibu mertua

"Dhea! Dhe, ini ibumu pingsan di ruko Tante, Dhe! Sekarang Tante sama Om Ridwan sedang dalam perjalanan membawa ibumu ke rumah sakit."

“Apa!?”

Mata Dhea membelalak. Yang menghubunginya ternyata adalah rekan bisnis katering ibunya.

"Ibu pingsan, Te? Dibawa ke rumah sakit mana, Tante?" tanya Dhea dengan panik. Gadis itu bahkan sampai berdiri saat bicara di teleponnya. Tangannya sudah menggenggam tasnya, seperti siap untuk pergi. “Rumah sakit umum daerah? Aku ke sana ya, Tante!”

Bram yang dari tadi memang tengah mengamati gadis muda di hadapannya itu mengernyit melihat kepanikan di wajah gadis itu, spontan saja sikap waspada dan empati di dalam dirinya tersulut, seolah ada yang membangkitkan. Lelaki itu ikut berdiri mengikuti pergerakan Dhea, sikap cemas pada gadis itu juga menular padanya.

"Abang, maaf. Pertemuan ini kita sudahi, ya? Ibuku dibawa ke rumah sakit, aku harus langsung ke sana. Maaf ya, Bang!"

"Ayo, biar saya antar!"

Dhea menghentikan langkahnya menatap Bram seolah tidak percaya, namun lelaki itu sudah menyambar sebuah kunci di atas meja dan mendahului Dhea berjalan. Tanpa banyak bertanya, Dhea mengikuti langkah lelaki itu, pikirannya yang tengah kalut tidak bisa memikirkan hal lain selain kondisi ibunya sekarang.

****

Bram mengemudi dengan kecepatan sedang, sesekali diliriknya gadis muda di sampingnya. Walau mengkuatirkan kondisi ibunya, Dhea meminta lelaki itu tidak perlu mengebut. Bram menghela napas berat, dia memahami kondisi gadis di sampingnya yang selama perjalanan hanya diam dalam kecemasan.

Selintas dia memikirkan pertemuan dengan gadis ini yang belum ada satu jam ini, Benarkah keputusannya untuk menikahi gadis ini? Ah, sebenarnya dia tidak terlalu peduli. Siapapun yang akan ditemuinya pada kencan buta kali ini harus menjadi istrinya, dia sudah sangat bosan mendengar permintaan kakek, ayah serta ibu tirinya untuk menikah. 

Usianya memang sudah tiga puluh delapan tahun, sudah pantas menyandang status sebagai bujang lapuk. Itu karena bukannya dia tidak laku, tetapi entah kenapa waktu cepat sekali berlalu, kesibukannya mengurus usaha benar-benar mengesampingkan kehidupan pribadinya termasuk menikah.

"Temui gadis itu di Edelweis Restauran. Mau gak mau kau harus ke sana, Bram. Dia gadis yang baik, sangat cocok untuk menjadi istrimu, pendidikannya tinggi dan dari keluarga terhormat. Ingat, gadis di meja nomor 34! Jangan telat, temu janjinya jam delapan malam!" ultimatum Nirmala, ibu tirinya masih tergiang di kepalanya tadi siang.

Bram yang sedang sibuk meeting hari itu sungguh tidak terlalu memperhatikan apa yang dibicarakan ibunya, dia hanya mendengar ibu tirinya itu menyuruhnya menemui seorang gadis di Edelweis Restauran. Sungguh dia malas menemui gadis yang sudah diatur oleh Nirmala, perempuan yang sangat dibencinya di dalam hati, walaupun di hadapan wanita itu dia harus pura-pura patuh seperti anak berbakti.

"Bang, itu rumah sakitnya! Sepertinya kelewat."

Bram segera menginjak pedal rem secara mendadak. Lamunannya tadi benar-benar membuatnya tidak fokus menyetir, hingga tempat tujuannya terlewat. Lelaki itu harus memutar arah kembali hingga akhirnya bisa parkir dengan mulus di halaman rumah sakit tersebut.

"Saya turun dulu, apa Abang ingin mampir sebentar melihat kondisi ibuku?" tanya Dhea.

"Tentu saja aku harus melihat kondisi calon ibu mertuaku, bukan?"

Setelah mengatakan itu Bram langsung turun, Dhea yang masih kesulitan melepas sabuk pengamannya merasa hangat mendengar perkataan lelaki itu, kenapa dia begitu manis?

"Ayo, lekas turun!" Bram membukakan pintu untuk Dhea berbarengan gadis itu akan turun.

Dhea berjalan dengan cepat ke ruang UGD, disampingnya Bram mengikutinya dengan ketat.

"Tante Rini! Bagaimana kondisi ibu, Tante?" Dhea langsung mencerca pertanyaan tatkala melihat teman ibunya tengah duduk di ruang tunggu.

"Dhea! Ibu kamu masih di dalam, sedang ditangani oleh dokter. Kamu sabar, ya? Semoga ibu kamu tidak kenapa-kenapa."

Rini langsung memeluk Dhea dan menguatkannya.

"Kenapa ibu bisa pingsan, Tante?"

"Tadi waktu lagi mengemas catering, tiba-tiba ibumu pingsan."

"Jadi ibu masih kerja di tempat Tante?"

"Iya, setiap hari ibumu memang kerja di tempat catering Tante, Dhe! Memangnya kenapa?"

Dhea mengusap wajahnya dengan sedikit frustasi. Kenapa ibunya masih saja sibuk bekerja keras? Dhea sudah bilang pada Paramita, ibunya. Jika gadis itu sudah mendapat pekerjaan, walaupun masih training selama tiga bulan, tetapi gajinya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari mereka berdua. Melihat kondisi penyakit Paramitha yang serius, tentu Dhea tidak ingin terjadi apa-apa pada ibunya itu, hal seperti inilah yang dia kuatirkan selama ini.

"Dhea, memangnya ada apa?" Rini mengulangi pertanyaannya ketika tidak ada jawaban dari gadis itu.

"Siapa keluarga ibu Paramitha?" Suara seorang perawat terdengar dari pintu UGD yang terbuka. Membuta Dhea urung menjawab pertanyaan Rini.

"Saya, Sus! Saya anaknya!"

"Pasien sudah sadar ya, Mbak. Sudah boleh dijenguk, hanya saja dokter Adrian meminta keluarga pasien menemui beliau."

"Kalau begitu, kamu temui dokter itu, Dhe! Biar Tante yang menemani ibumu, sekalian Tante mau pamitan."

"Terima kasih, Te."

Dhea bergegas pergi ke ruangan dokter Adrian, Bram mengikuti ke mana saja gadis itu berjalan.

"Abang mau ke mana?" 

"Menemanimu bertemu dengan dokter. Aku juga ingin tahu kondisi ibu mertuaku," ujar lelaki itu mantap.

Dhea hanya menelan Saliva setiap kali lelaki itu menyebut ibu mertua dengan yakin, bagaimanapun Dhea masih sangat asing dengan lelaki itu dan perkataannya.

"Ibu Paramita sudah harus di operasi, kanker di ususnya sudah mulai menjalar. Itu akan berbahaya jika sudah menyebar di mana-mana," terang dokter Adrian.

"Sebenarnya ibu saya terkena kanker di lambung apa usus, Dok?" Dhea tentu saja heran, waktu diperiksakan di rumah sakit swasta, ibunya didiagnosa terkena kanker lambung.

"Ibu anda terkena kanker usus besar atau kanker kolorektal. Sekarang sudah memasuki stadium tiga, masih banyak peluang untuk sembuh. Setelah operasi baru kita lakukan kemoterapi agar sel kanker mati dan tidak berkembang."

"Apa operasinya bisa memakai BPJS, Dok?"

Tentu saja hal yang paling dipikirkan oleh Dhea saat ini adalah dana. 

"Tentu saja bisa, hanya saja obat-obatan dan fasilitas operasi tergantung pada kelas mana ibu anda di BPJS."

"Saya akan merujuk ibu saya ke rumah sakit Dharmais. Apa anda bisa memberi surat rujukan?" 

Bram yang dari tadi hanya menyimak percakapan dokter dan Dhea, tiba-tiba saja berkata dengan tatapan mata serius, membuat Dhea bingung mau bersikap seperti apa.

"Demi kesembuhan pasien, dengan senang hati saya akan memberi surat rujukan. Rumah sakit Dharmais memang khusus untuk penderita kanker, tentu pengobatan di sana lebih lengkap dan lebih baik."

"Baiklah, Minggu depan saya akan membawanya ke sana. Tolong dokter siapkan surat rujukannya, sekarang saya akan menemui ibu kami dulu. Terima kasih sebelumnya," ujar Bram sambil mengulurkan tangan dan menjabat dokter itu dengan erat.

Speechless, Dhea tidak bisa berkata apa-apa, tiba-tiba saja pikirannya nge-blank. Setelah mereka berada di luar, kesadarannya kembali. Dia menoleh ke arah lelaki yang tengah berjalan pelan mensejajarkan langkah dengannya, kenapa lelaki ini mengambil keputusan sendiri tentang ibunya? Kenapa tidak merundingkan dengannya terlebih dulu? Rasa kesal tiba-tiba menghinggapinya.

"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status