"Dhea! Dhe, ini ibumu pingsan di ruko Tante, Dhe! Sekarang Tante sama Om Ridwan sedang dalam perjalanan membawa ibumu ke rumah sakit."
“Apa!?”
Mata Dhea membelalak. Yang menghubunginya ternyata adalah rekan bisnis katering ibunya.
"Ibu pingsan, Te? Dibawa ke rumah sakit mana, Tante?" tanya Dhea dengan panik. Gadis itu bahkan sampai berdiri saat bicara di teleponnya. Tangannya sudah menggenggam tasnya, seperti siap untuk pergi. “Rumah sakit umum daerah? Aku ke sana ya, Tante!”
Bram yang dari tadi memang tengah mengamati gadis muda di hadapannya itu mengernyit melihat kepanikan di wajah gadis itu, spontan saja sikap waspada dan empati di dalam dirinya tersulut, seolah ada yang membangkitkan. Lelaki itu ikut berdiri mengikuti pergerakan Dhea, sikap cemas pada gadis itu juga menular padanya.
"Abang, maaf. Pertemuan ini kita sudahi, ya? Ibuku dibawa ke rumah sakit, aku harus langsung ke sana. Maaf ya, Bang!"
"Ayo, biar saya antar!"
Dhea menghentikan langkahnya menatap Bram seolah tidak percaya, namun lelaki itu sudah menyambar sebuah kunci di atas meja dan mendahului Dhea berjalan. Tanpa banyak bertanya, Dhea mengikuti langkah lelaki itu, pikirannya yang tengah kalut tidak bisa memikirkan hal lain selain kondisi ibunya sekarang.
****
Bram mengemudi dengan kecepatan sedang, sesekali diliriknya gadis muda di sampingnya. Walau mengkuatirkan kondisi ibunya, Dhea meminta lelaki itu tidak perlu mengebut. Bram menghela napas berat, dia memahami kondisi gadis di sampingnya yang selama perjalanan hanya diam dalam kecemasan.
Selintas dia memikirkan pertemuan dengan gadis ini yang belum ada satu jam ini, Benarkah keputusannya untuk menikahi gadis ini? Ah, sebenarnya dia tidak terlalu peduli. Siapapun yang akan ditemuinya pada kencan buta kali ini harus menjadi istrinya, dia sudah sangat bosan mendengar permintaan kakek, ayah serta ibu tirinya untuk menikah.
Usianya memang sudah tiga puluh delapan tahun, sudah pantas menyandang status sebagai bujang lapuk. Itu karena bukannya dia tidak laku, tetapi entah kenapa waktu cepat sekali berlalu, kesibukannya mengurus usaha benar-benar mengesampingkan kehidupan pribadinya termasuk menikah.
"Temui gadis itu di Edelweis Restauran. Mau gak mau kau harus ke sana, Bram. Dia gadis yang baik, sangat cocok untuk menjadi istrimu, pendidikannya tinggi dan dari keluarga terhormat. Ingat, gadis di meja nomor 34! Jangan telat, temu janjinya jam delapan malam!" ultimatum Nirmala, ibu tirinya masih tergiang di kepalanya tadi siang.
Bram yang sedang sibuk meeting hari itu sungguh tidak terlalu memperhatikan apa yang dibicarakan ibunya, dia hanya mendengar ibu tirinya itu menyuruhnya menemui seorang gadis di Edelweis Restauran. Sungguh dia malas menemui gadis yang sudah diatur oleh Nirmala, perempuan yang sangat dibencinya di dalam hati, walaupun di hadapan wanita itu dia harus pura-pura patuh seperti anak berbakti.
"Bang, itu rumah sakitnya! Sepertinya kelewat."
Bram segera menginjak pedal rem secara mendadak. Lamunannya tadi benar-benar membuatnya tidak fokus menyetir, hingga tempat tujuannya terlewat. Lelaki itu harus memutar arah kembali hingga akhirnya bisa parkir dengan mulus di halaman rumah sakit tersebut.
"Saya turun dulu, apa Abang ingin mampir sebentar melihat kondisi ibuku?" tanya Dhea.
"Tentu saja aku harus melihat kondisi calon ibu mertuaku, bukan?"
Setelah mengatakan itu Bram langsung turun, Dhea yang masih kesulitan melepas sabuk pengamannya merasa hangat mendengar perkataan lelaki itu, kenapa dia begitu manis?
"Ayo, lekas turun!" Bram membukakan pintu untuk Dhea berbarengan gadis itu akan turun.
Dhea berjalan dengan cepat ke ruang UGD, disampingnya Bram mengikutinya dengan ketat.
"Tante Rini! Bagaimana kondisi ibu, Tante?" Dhea langsung mencerca pertanyaan tatkala melihat teman ibunya tengah duduk di ruang tunggu.
"Dhea! Ibu kamu masih di dalam, sedang ditangani oleh dokter. Kamu sabar, ya? Semoga ibu kamu tidak kenapa-kenapa."
Rini langsung memeluk Dhea dan menguatkannya.
"Kenapa ibu bisa pingsan, Tante?"
"Tadi waktu lagi mengemas catering, tiba-tiba ibumu pingsan."
"Jadi ibu masih kerja di tempat Tante?"
"Iya, setiap hari ibumu memang kerja di tempat catering Tante, Dhe! Memangnya kenapa?"
Dhea mengusap wajahnya dengan sedikit frustasi. Kenapa ibunya masih saja sibuk bekerja keras? Dhea sudah bilang pada Paramita, ibunya. Jika gadis itu sudah mendapat pekerjaan, walaupun masih training selama tiga bulan, tetapi gajinya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari mereka berdua. Melihat kondisi penyakit Paramitha yang serius, tentu Dhea tidak ingin terjadi apa-apa pada ibunya itu, hal seperti inilah yang dia kuatirkan selama ini.
"Dhea, memangnya ada apa?" Rini mengulangi pertanyaannya ketika tidak ada jawaban dari gadis itu.
"Siapa keluarga ibu Paramitha?" Suara seorang perawat terdengar dari pintu UGD yang terbuka. Membuta Dhea urung menjawab pertanyaan Rini.
"Saya, Sus! Saya anaknya!"
"Pasien sudah sadar ya, Mbak. Sudah boleh dijenguk, hanya saja dokter Adrian meminta keluarga pasien menemui beliau."
"Kalau begitu, kamu temui dokter itu, Dhe! Biar Tante yang menemani ibumu, sekalian Tante mau pamitan."
"Terima kasih, Te."
Dhea bergegas pergi ke ruangan dokter Adrian, Bram mengikuti ke mana saja gadis itu berjalan.
"Abang mau ke mana?"
"Menemanimu bertemu dengan dokter. Aku juga ingin tahu kondisi ibu mertuaku," ujar lelaki itu mantap.
Dhea hanya menelan Saliva setiap kali lelaki itu menyebut ibu mertua dengan yakin, bagaimanapun Dhea masih sangat asing dengan lelaki itu dan perkataannya.
"Ibu Paramita sudah harus di operasi, kanker di ususnya sudah mulai menjalar. Itu akan berbahaya jika sudah menyebar di mana-mana," terang dokter Adrian.
"Sebenarnya ibu saya terkena kanker di lambung apa usus, Dok?" Dhea tentu saja heran, waktu diperiksakan di rumah sakit swasta, ibunya didiagnosa terkena kanker lambung.
"Ibu anda terkena kanker usus besar atau kanker kolorektal. Sekarang sudah memasuki stadium tiga, masih banyak peluang untuk sembuh. Setelah operasi baru kita lakukan kemoterapi agar sel kanker mati dan tidak berkembang."
"Apa operasinya bisa memakai BPJS, Dok?"
Tentu saja hal yang paling dipikirkan oleh Dhea saat ini adalah dana.
"Tentu saja bisa, hanya saja obat-obatan dan fasilitas operasi tergantung pada kelas mana ibu anda di BPJS."
"Saya akan merujuk ibu saya ke rumah sakit Dharmais. Apa anda bisa memberi surat rujukan?"
Bram yang dari tadi hanya menyimak percakapan dokter dan Dhea, tiba-tiba saja berkata dengan tatapan mata serius, membuat Dhea bingung mau bersikap seperti apa.
"Demi kesembuhan pasien, dengan senang hati saya akan memberi surat rujukan. Rumah sakit Dharmais memang khusus untuk penderita kanker, tentu pengobatan di sana lebih lengkap dan lebih baik."
"Baiklah, Minggu depan saya akan membawanya ke sana. Tolong dokter siapkan surat rujukannya, sekarang saya akan menemui ibu kami dulu. Terima kasih sebelumnya," ujar Bram sambil mengulurkan tangan dan menjabat dokter itu dengan erat.
Speechless, Dhea tidak bisa berkata apa-apa, tiba-tiba saja pikirannya nge-blank. Setelah mereka berada di luar, kesadarannya kembali. Dia menoleh ke arah lelaki yang tengah berjalan pelan mensejajarkan langkah dengannya, kenapa lelaki ini mengambil keputusan sendiri tentang ibunya? Kenapa tidak merundingkan dengannya terlebih dulu? Rasa kesal tiba-tiba menghinggapinya.
"Kenapa Abang mengambil keputusan sendiri?"
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar