Ainsley melahap makanannya dengan gembira. Ternyata makanan di restoran ini sangat enak. Tekstur dagingnya sangat empuk dan Ainsley suka."Kau tidak makan?" tanya Ainsley mendongak ke Austin yang malah menatapnya sambil menopang dagu."Aku sudah kenyang hanya dengan menatap wajahmu," lagi. Untuk yang kesekian kalinya Ainsley membiasakan dirinya mendengar kata-kata manis Austin yang menurutnya tidak benar-benar dari hati itu. Siapa yang tahu coba kalau lelaki itu sebenarnya adalah playboy yang sangat hebat merayu wanita. Sayangnya tidak mempan untuk Ainsley. Gadis itu memilih menghabiskan makanannya dulu sebelum ke pembicaraan utama mereka."Jadi, apa alasanmu menemuiku?" tanya Austin. Ia sungguh ingin tahu. Ainsley cepat-cepat menelan makanan terakhir di mulutnya lalu menatap lelaki itu dengan raut wajah serius. Sebenarnya ia malu sekali meminta bantuan dari pria yang terus-terusan ditolaknya dan ingin ia hindari itu. Tapi mau bagaimana lagi. Pikirannya sudah buntu dan hanya Austin mu
Ainsley menatap penampilannya di kaca. Dua minggu sudah lewat semenjak Austin datang ke rumahnya dan melamar didepan orangtuanya.Kini hari itu tiba. Kesepakatan waktu dimana dirinya akan menikahi lelaki itu. Gadis itu menatap malas dirinya yang kini sudah lengkap dengan gaun pengantin. Ia masih berat menikah dengan pria yang tidak ia cintai.Tapi mau bagaimana lagi, uang sepuluh milyar sudah keluar dari kantong lelaki itu. Demi pengobatan papanya tentu saja.Mulai hari ini Ainsley harus rela menjadi istri Austin, CEO kejam, suka berbuat semaunya, mesum dan entah apalagi itu. Ia kembali menatap dirinya di cermin. Ternyata dia cantik juga kalau sudah di poles make up begini."Ainsley, kau sudah siap? Ayo keluar. Pengantin prianya sudah datang." Dara, muncul dari balik pintu dengan gaun berwarna jingga. Gaun yang sengaja di pilihkan mama tirinya buat para sahabatnya yang akan menjadi pengiring hari ini.Mungkin hanya Austin, papa, mama dan ketiga sahabatnya itu yang sangat senang dengan
Karena tidak tahan lagi dan sudah merasa kecapean, Ainsley pamit pergi duluan kepada kedua orang tuanya sesaat setelah para sahabatnya pergi. Lagipula kamar pengantin hanya di hotel itu. Ia tidak perlu bilang ke Austin karena ia melihat lelaki itu sibuk berbincang-bincang dengan beberapa tamunya. Ainsley tidak mau mengganggu. Apalagi ia tahu Austin pasti tidak akan membiarkannya pergi lebih dulu. Jadi lebih baik menggunakan kesempatan di saat pria itu sedang sibuk.Ainsley memasuki kamar pengantin dan langsung berganti pakaian dengan gaun tidur warna putihmiliknya. Ia lalu duduk dengan ragu di atas ranjang. Dalam hati ia berpikir untuk mengunci kamar biar Austin tidak bisa masuk atau tidak. Tapi...Austin pasti akan marah besar kalau sampai dia melakukannya. Namun ia juga takut. Bagaimana kalau pria itu langsung meminta jatah malam pertama padanya. Ainsley belum siap. Ia takut."Atau aku kunci saja pintunya?" ujar gadis itu pada dirinya sendiri. Ia masih berpikir ragu-ragu. Telunjukn
Pagi-pagi sekali Austin dan Ainsley sudah berada di bandara Soekarno Hatta. Papa dan mama Ainsley akan berangkat ke Singapura hari ini. Tentu saja sebagai anak Ainsley ingin ikut mengantar kepergian sang papa.Sebenarnya Ainsley sudah menolak dengan halus saat Austin mau mengantarnya. Dengan alasan sebagai bos perusahaan besar lelaki itu pasti sibuk. Sayangnya Austin bersikeras mau mengantarnya. Kalau masalah pekerjaan katanya gampang. Bisa dia atur. Hasilnya, Ainsley tidak bisa menolak alasan pria yang mau ikut bersamanya itu."Mereka sudah datang."papa Ainsley yang tengah berdiri di sebelah Deisy mengalihkan pandangannya ke putri kandungnya yang datang bersama menantunya. Deisy ikut menatap mereka.Pandangan Deisy bertemu dengan Ainsley. Dari kemarin ia sedang tidak ingin melihat gadis itu. Karena ia masih tidak terima Ainsley menikah dengan Austin. Sekarang status gadis itu berubah. Dan ia punya suami dengan latar belakang yang kuat seperti Austin, yang membuat banyak perempuan iri
"Gimana, gimana? Ceritakan pengalamanmu menjadi istri Austin!" seru Fina antusias. Mereka sekarang berada di kantin kampus.Ainsley memutar bola matanya malas. Apa yang mau di ceritakan coba."Bagaimana malam pertama kalian? Enak nggak? Pasti kamu ketagihan kan." timpal Dara sambil menyenggol bahu Ainsley dengan tatapan menggoda. Ainsley hampir tersedak mendengarnya. Astaga, memangnya mereka tidak ada pembicaraan lain apa selain hal-hal yang berbau dewasa begitu."Bisa tidak kita bahas yang lain saja?" tawar Ainsley. Ia sedang tidak mau membahas kehidupan pernikahannya. Apalagi hal-hal pribadi seperti itu. Lagipula tidak ada yang terjadi antara dirinya dan Austin. Ia akui Austin cukup setia memenuhi janjinya untuk tidak menyentuh gadis itu dulu. Meski dua malam ini mereka tidur sekamar, Austin tetap bisa menahan diri. Hanya saja, Ainsley tidak tahu sampai kapan pria itu akan bertahan. Dan kapan dirinya benar-benar siap di sentuh oleh lelaki itu. Tidak mungkin dirinya menghindar terus.
"Kenapa menelponku?" Ainsley bertanya dengan nada cukup ketus. Bukannya Austin sudah berjanji tidak akan mengganggunya kalau dirinya sedang di kampus? Dasar suami menyebalkan. Tapi sebenarnya secara kebetulan lelaki itu menelpon di waktu yang tepat. Ia jadi punya alasan untuk menghindar dari Alfa. Entah kenapa sekarang Ainsley merasa sangat canggung bicara dengan seniornya itu."Kau di mana?" tanya Austin di telpon.Ainsley memutar bola matanya malas. Pertanyaan yang tidak penting. Pria itu jelas tahu dirinya ada di kampus."Menurutmu?" terdengar gelak tawa Austin dari seberang."Maksudku di kampus bagian mana?"pertanyaan itu langsung membuat Ainsley refleks memandang kiri-kanan muka belakang. Jangan-jangan Austin sekarang berada di kampus dan tengah mengamati gerak-geriknya lagi. Kalau benar, awas saja."Jangan bilang kau sedang mencariku sayang." gumam Austin lagi karena cukup lama Ainsley tidak menjawabnya."Kau mengikutiku ke kampus?" tanya Ainsley. Lagi-lagi ia mendengar suara g
Di ruang depan, mereka melewati sebuah cermin besar. Ainsley melirik bayangannya dan kaget sendiri melihat penampilannya yang kusut. Memangnya apa yang ia lakukan sampai penampilannya cepat sekali berubah. Padahal mereka bahkan belum sampai sehari keluar dari rumah. Ralat, hotel."Kenapa kau tidak bilang tadi kalau gayaku kusut begini?" celoteh Ainsley yang kini duduk di sebuah sofa besar ruangan tengah sambil merapikan rambutnya yang berantakan.Austin terkekeh. Ia memberikan segelas air yang di ambilnya dari dapur tadi ke Ainsley. Gadis itu mengambil dan meminumnya sambil terus menatap Austin yang sekarang duduk di depannya."Kau tetap cantik di mataku." kata pria itu. Tangannya lalu terangkat merapikan rambut Ainsley.Ainsley mendengus pelan. Ciri-ciri pria playboy di matanya yah seperti Austin ini."Berapa banyak wanita yang sudah kau rayu?" entah kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Ia ingin tahu.Austin menghentikan kegiatannya dan menatap sang istri."Aku tid
Sepulang kampus, Ainsley duduk di ruang tengah rumah Austin yang menghadap langsung ke kolam berenang. Ia melihat-lihat ke sekelilingnya. Ruangan ini begitu besar. Bahkan semua ruangan yang ada di rumah ini besar-besar semua. Gadis itu jadi merinding.Menurut Ainsley rumah kalau terlalu besar itu malah rasanya jadi angker. Itulah sebabnya kenapa dirinya tidak menyukai rumah besar. Tapi apa boleh buat, ia harus rela tinggal di rumah ini sekarang.Samar-samar Ainsley mendengar ada suara langkah kaki yang masuk ke ruangan itu. Karena pikiran negatif tentang rumah angker gadis itu jadi tidak berpikir panjang. Ia langsung menutup matanya kuat-kuat."Argh...!"Ainsley berteriak keras ketika Austin berhenti tepat didepannya dan memegangi bahunya. Tangannya memukul-mukul ke udara.Austin sendiri merasa heran apa yang terjadi dengan gadis itu."Ainsley, ini aku." gumam Austin namun sepertinya Ainsley belum sadar sama sekali. Austin menarik napas pelan lalu kembali memegangi bahu Ainsley kuat.