Gyaaaa.... romantis banget kan? Siapa mau punya cowok kayak Axel? Shirei sih mau yang kayak Mike aja. [plak]
Mysha menolaknya. Axel mengetuk-ngetukkan jari kesal di lengan sofa hitam berbalut kulit halus. Punggungnya diistirahatkan pada busa empuk sementara tangannya yang lain mengusap dagunya yang sengaja dicukur rapi. Dia sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian. Dengan satu set tuxedo hitam, kemeja putih dan vest serta dasi berwarna perak, membuat penampilan Axel makin gagah. Tidak sia-sia memiliki koneksi butik dan make up artist papan atas. Semua keinginan Axel dapat disediakan dalam sekejap. Pria itu menghela napas, melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Mereka akan terlambat. Mengutuki kekeraskepalaan Mysha yang menolak memakai gaun yang sudah dia pesan, pemilik butik terpaksa mengepas ulang pilihan gadis itu. Padahal, Axel yakin Mysha sangat cocok memakai gaun perak yang sudah disediakan. Gaun itu akan menonjolkan lekuk tubuhnya. CEO itu menelan ludah untuk memadamkan gairah yang sudah tersulut. Akhir-akhir ini pikirannya dipenuhi oleh Mysha
Mysha terjebak diantara Axel dan Michael, merasa tak nyaman melihat aura permusuhan kedua pria itu karena dirinya. Ia sungguh tak ingin terjadi keributan apa pun. Dengan takut-takut, Mysha memegang bahu Axel, berusaha menenangkan pria itu. Namun, Axel justru menepis tangan Mysha lalu membuatnya menyingkir hingga tersisa Axel dan Michael yang saling berhadapan. Mata kedua pria tampan itu berkilat menantang. Amarah yang bergelora seolah membakar tempat yang mereka pijak. Axel melayangkan tinjunya. Telapak tangan Axel yang terkepal hanya berjarak beberapa inci dari wajah Michael ketika seorang pria gagah berambut lebat berwarna cokelat menangkap tinjunya. "Hentikan! Sadarlah, kalian mulai menarik perhatian orang-orang. Apa kalian berani mempertaruhkan nama besar CLD karena ulah kalian?!" seru pria itu dengan suara dalam yang ditahan. Axel dan Michael menoleh ke arah sumber suara. "Will...?!" seru mereka bersamaan. Axel menurunkan tinjunya, meski masih menyimpan kekesalan. Ia tadi b
Tak memedulikan Michael yang masih berbincang dengan William, Axel kembali membimbing tangan kiri Mysha untuk menggandeng lengan kukuhnya. Alih-alih Axel merengkuh pinggul seksi Mysha, ia memilih membelai punggung tangan perempuan yang menggenggam lengannya gugup. Pria dengan daya pikat luar biasa itu berusaha membuat Mysha merasa nyaman meski ia ingin meletakkan jemarinya di tempat yang lain. "Ayo kita pamit. Tidak nyaman jika nanti Michael berulah lagi. Sebaiknya kita undur diri." Mysha tak bisa fokus apa yang dikatakan Axel saat pertama kali menyapa sang Pemilik Pesta. Perempuan itu berusaha bersikap tenang, tapi jantungnya sama sekali tidak bisa sejalan dengan keinginan. Bagaimana Mysha bisa kalem jika ia merasakan setiap gerakan otot yang disembunyikan Axel dalam balutan tuxedo mahalnya? Mysha tak bisa menghentikan khayalanan yang semakin membuatnya tanpa sadar menggenggam lengan Axel makin kuat. Membayangkan Axel perlahan membuka tuxedo-nya lalu memperlihatkan setiap lekuk tu
Akhirnya Mysha merasakan bibir itu menciumnya. Rasanya seperti yang dia bayangkan, lembut dan manis. Seketika itu segenap pengunjung memberi tepuk tangan meriah pada kedua pengantin yang telah sah menjadi suami istri. Mereka melepaskan kecupan dan wanita itu bisa merasakan Axel merengkuh pinggulnya lembut. Dia sedang menatap suaminya ketika sebuah suara menusuk ke dalam telinga. Mysha berusaha mengabaikan tapi suara itu makin keras, menganggu momen yang sudah dinanti seumur hidup .... Bunyi alarm melengking dari telepon selular membuat Mysha membuka mata kalang kabut. Terkesiap, berusaha mengumpulkan kesadaran, napasnya memburu. Namun sisa mimpinya masih terasa jelas. Apa yang aku pikirkan? Mysha melirik ke arah jas Axel yang tergantung di depan lemari bajunya, rapi dengan plastik pembungkus bertuliskan nama laundry yang mencucinya. Baju itu menemaninya sepanjang akhir pekan, mungkin itu yang membuat dirinya bermimpi yang tidak-tidak. Mysha meraba bibirnya, ciuman itu terasa nyata,
"Kau sedang tidak enak badan?" Axel menatap Mysha yang tampak hanya memainkan pisau dan garpunya di atas daging steak Kobe yang lembut. Wanita itu tersentak dan kembali fokus memotong secuil daging dan menyuapkannya ke mulut. Harus diakui, steak yang harganya bisa menanggung jatah makan Mysha seminggu penuh itu sangat enak. Kelembutan yang sesuai dengan kematangan sempurna. Namun, semua kelezatan itu sama sekali tak membuat wanita berambut keperakan itu bahagia. Ada perasaan resah bergelayut di batinnya. Axel membawanya pergi cukup jauh ke sebuah restoran dengan gaya khas Amerika di era Koboi. Pria itu bahkan mem-booking sebuah ruangan privat khusus untuk mereka. Mobil mewahnya dijaga oleh dua body guard berbadan besar di tempat parkir. Mysha tak bisa percaya bagaimana Axel rela repot-repot mencarikan restoran yang sesuai dengan seleranya. Daging steak ini pun dipesan khusus karena mereka biasanya hanya menggunakan daging sapi grade A di sini. "Kalau steak-nya tak sesuai dengan sel
Mysha menahan napasnya ketika mendapati tatapan Axel yang terluka. Dadanya kembali berdebar melihat ekspresi lain yang ditunjukkan oleh pria itu, memberi rasa pedih seakan dia juga merasakan luka Axel. Wanita itu menelan ludah, berusaha menata kata untuk membalas. "Ti-tidak, Sir. Saya tidak sedang menghindari Anda." Tangan Mysha saling meremas di pangkuannya, berusaha menenangkan diri. Dia menimbang-nimbang apakah pantas dia mengutarakan ganjalan dalam dada, atau memilih tetap bungkam dan menganggap semua kenangannya dengan Axel hanyalah mimpi. Terdengar desahan dari sampingnya, begitu putus asa, membuat Mysha menoleh. "Kau kembali berbicara terlalu formal, Mysh. Kau sedang membangun jarak ...." Axel benar. Mysha baru menyadari perubahan sikapnya. Kesunyian turun di antara mereka makin pekat, masing-masing disibukkan oleh pikiran dalam kepala, sampai akhirnya Axel membuka suara. "Apa kau mendengarkan ocehan Mike di pesta?" Mysha tergelagap. Pertanyaan Axel tepat menghunjam benak
Tanpa menjawab apa-apa, Axel memutus sambungan telepon. "Shit!" Ia memukul badan mobil sebagai sasaran kekesalannya. Axel terpaksa kembali ke kantor meski sebenarnya ingin sekali pulang ke apartemen untuk memukul heavy bag sampai hilang semua amarah di dada. Tidak mungkin ia ikut cuti setengah hari seperti Mysha, William tak akan mempercayainya. Axel berusaha menenggelamkan diri dalam pekerjaan yang sudah menantinya. Semakin sibuk maka semakin sedikit otaknya berpikir hal-hal lain yang memang ingin diabaikan. Sayang, kenyataannya Axel justru menjadi sulit berkonsentrasi. Kalimat terakhir Olivia terus terngiang di kepalanya. Mau tak mau membuat CEO tampan itu mengingat-ingat lagi kebersamaan terakhirnya bersama wanita berkaki jenjang itu. Sejujurnya Axel menikmati saat-saat bersama Olivia. Wanita itu sangat pas dengan seleranya. Penampilan fisiknya bisa dibilang sempurna, 9 dari 10 menurut penilaian Axel, otaknya cukup berisi, dan supel sehingga menyenangkan diajak bicara. Wanita y
Mysha menatap layar ponselnya yang masih juga gelap. Tidak ada tanda-tanda Axel mencoba menghubunginya. Baru kali ini Mysha merasakan sesuatu yang tak bisa ia pahami. Keinginan untuk bicara, berbagi, dan bahkan sekadar melihat sosok Axel Delacroix. Kepala Mysha dipenuhi pikiran buruk. Apa ia melakukan sesuatu yang menyinggung Axel hingga pria itu tak lagi mempedulikannya? Apa Axel kini telah menemukan wanita lain yang lebih baik sehingga Mysha sudah tak lagi berarti baginya? Padahal barusan Axel mengatakan akan membuktikan dirinya. Apakah itu hanya ilusi? Suara denting menyentak wanita itu. Dengan tergesa disambarnya ponsel yang cukup canggih itu mendekat. "Kujemput pukul tujuh besok." Dahi Mysha mengerut. Hanya pesan singkat dari Axel yang mampir ke ponselnya. Padahal biasanya pria itu akan menelepon dan memperdengarkan suara baritonnya yang tetap memukau bahkan dari seberang saluran telepon. Pikira