🍓🍓🍓
Mak Saidah memiliki tujuh bersaudara. Ia anak yang kedua, uda sulungnya sudah meninggal dunia begitu juga dengan saudara yang ketiga sampai kelima adalah perempuan, juga telah wafat semua saat balita. Tinggal Mak Saidah dan adik bungsunya yang masih hidup. Selisih umur mereka terpaut jauh yaitu dua puluh lima tahun karena Mukhtar adalah buah salek yang dilahirkan ketika ibunya sudah berusia kepala empat.
Mukhtar menikah tidak lama setelah putrinya melahirkan cucunya Rayya, memperistri anak tengkulak di nagari tetangga, lalu mendapatkan gala adat Palindih Kayo. Setelah sekian bulan tidak pulang, ia kembali bertandang ke rumah gadang.***Sementara di halaman, si pemilik suara bas tersebut masih tetap memanggil-manggil. Memastikan keberadaannya di rumah.“Ni … o, Uni. Lai di rumah?”Mak Saidah bimbang ketika hendak membuka pintu, masih heran karena apa maksud Mukhtar Palindih Kayo mencarinya, tak biasanya begitu dia jarang pulang, lebih banyak menghabiskan hari-hari di rumah istrinya.“I--yo, loi. Masuklah!” Mak Saidah mengisyaratkan bahwa dia ada di rumah.Ketika ia hendak membukakan pintu adiknya tersebut sudah menerobos terlebih dulu. Oleh karena terburu-buru, Mukhtar Palindih Kayo melibas kebiasaan. Seorang saudara laki-laki di Minang, jika bertamu ke rumah saudara perempuan dianjurkan untuk menunggu dulu di halaman.Apabila dia beruntung akan langsung dipersilakan ke rumah. Jika menunggu, maka Sang Mamak boleh berdehem-dehem sebanyak yang ia butuhkan hingga dipersilakan masuk oleh tuan rumah.
Hal itu karena menjaga etika pada iparnya sebagai urang sumando di rumah gadang, tetapi karena keperluan yang mendesak Mukhtar langsung masuk dan duduk di anjuangan. Sedangkan Mak Saidah bergegas mengambil secangkir kopi dan sepiring kudapan.“Minumlah dulu, Palindih,” ujar Mak Saidah mempersilakan adiknya yang kerap disapa dengan gelar Palindih.“Ya, Ni,” sahutnya lantas menyeruput kopi yang dihidangkan.“Mana cucu, Ni?” tanya Palindih sambil memperhatikan ke sekeliling ruangan yang sepi.“Ado, Anton pergi main, Rayya sedang tidur dengan ibunya, lagi demam sekarang,” jawab Mak Saidah. "Ooo, demam nan kecil, saya dengar sering sakit,” Palindih ingin memperlihatkan perhatiannya, meskipun jarang berkunjung, masih sering mananyakan kehidupan saudaranya.“Iyo, cemas saya dengan kondisinya … sudah berobat, moga cepat sembuhnya.” Mak Saidah mendoakan kesembuhan, ia gelisah dengan kondisi cucu perempuannya yang sering sakit, pada relung hatinya ada kesedihan yang mendalam.Kemudian Palindih seolah-olah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Mak Saidah mendengarkan dengan saksama.Ternyata adiknya sedang mencalonkan diri jadi Wali Nagari di Batu Gading. Saat ini sedang butuh bantuan karena segenap usaha sudah dilsayakan, tetapi masih kalah dengan lawan yang mempunyai pengaruh besr di kalangan masyarakat menengah yang cadiak.
Sehingga posisinya bertambah kuat, selain orang asli yang berpendidikan, dia juga seorang alim. Sedangkan kelebihan Palindih hanya berasal dari keluarga mertua, istrinya berasal dari keluarga kaya. Pendukungnya sering melakukan titipan amplop, sehingga dari kalangan bawah banyak yang terpedaya untuk memilihnya.
Akan tetapi, apa yang telah dilakukannya tidaklah cukup. Posisi Mukhtar Palindih Kayo hanya sebagai urang sumando, bukan asli dari Batu Gading. Tentu orang akan condong pada calon yang betul-betul berasal dari nagari tersebut. Hal itu membuat Palindih mati akal, sampai berniat ingin mengalahkan lawan secara halus. Indak kayu janjang dikapiang. Seperti itulah prinsipnya, sebagai anak bungsu istimewa dari keluarga berkecukupan. Jarang pintanya yang tak dapat semua dengan mudah dikabulkan. Namun, sepeninggal orang tuanya hanya Mak Saidah, kakaknya tempat menyampaikan semua yang ia inginkan.“Ni, untuk menjadi Wali Nagari ini saya butuh bantuan, saya yakin kamu bisa membantu. Masalahnya lawan sangat kuat dan berpengaruh, orang berpendidikan lagi alim. Dak dapat cara lain. Tolong saya! Ni. Beri sedikit panaruah tu, cukup yang lemah saja.” Palindih menginginkan Mak Saidah membantu mengalahkan lawan mainnya dengan menggunakan racun.Sementara Mak Saidah sendiri tidak dapat mengabulkan spontan berdiri karena terperanjat mendengar ucapan Mukhtar Palindih Kayo. Sejenak dia seperti orang gelisah, mengingat keinginan sang suami, yaitu membinasakan barang peninggalan yang berharga dari niniak-nya itu.“Palindih, Uni dak bisa menggunakannya lagi. Sudah cukup, kesudahannya hidup kita jadi binasa.” Mak Saidah tidak menanggapi keinginan adiknya, ia sudah bertekad untuk tidak menggunakan barang haram jadah itu lagi, karena sekali digunakan, akan minta jatah lagi, kalau tidak satu persatu anggota keluarga akan menjadi tumbal dan binasa.“Sekali ini, Uni,” pinta Palindih memohon-mohon.“Jika sudah jadi Pak wali, saya dak akan meminta apa pun lagi, saya akan membantu setiap saat Uni butuh bantuan. Tolonglaaah,” bujuknya. Palindih berusaha merayu-rayu kakaknya dengan janji akan diperhatikan dan dibantu, tetapi Mak Saidah tidak bergeming sama sekali.“Dak bisa, Palindih. Apa kamu nggak melihat keadaan kami? Hidup menderita, tidak ada yang beres. Untuk apa guna harta kalau kami seperti ini!” jelas Mak Saidah dengan suara yang meninggi. Ia tidak ingin lagi melihat keluarganya dan anak-anaknya tidak beres dan merana. Harta yang diagungkan keluarganya tidak dapat membeli kesehatan dan kebahagian untuk mereka.“Tapi ... apa Uni tak iba melihat saya? Saya saudara tungga babeleng yang masih hidup. Pada saya jua Uni bertumpu,” tegas Palindih tak mau kalah. Dia tetap berupaya meluluhkan hati kakaknya demi mencapai keinginan. Namun, Mak Saidah menggeleng, ia juga bersikukuh tidak setuju. Mukhtar Palindih Kayo putus asa dengan sikap teguh kakaknya, ada sedikit penyesalan karena sudah mengabaikan saudaranya selama ini dan hidup enak di rumah mertua. Kini, saat ia butuh bantuan, kakaknya tak menghiraukannya.“Pulang … pergilah pulang! Jan di sini juga!. Kalau hal itu tak dapat saya mangabulkan,” tegas Mak Saidah pada adiknya.Palindih yang kecewa menggumpulkan jari-jarinya di balik sarung yang melingkar di tubuhnya, meremas-remas kepalan tangan menahan amarah di hati, tak ingin gegabah sebab keinginannya belum terkabul.“Baiklah kalau begitu, saya pulang.” Mukhtar Palindih Kayo mengundurkan diri dari anjungan tanpa menghabiskan kopi yang masih tersisa setengah di cangkir. Ia menghela napas, beberapa kali menggangguk-anggukkan lantas pergi tanpa berkata-kata lagi.Melangkah dengan cepat sehingga lantai papan rumah berderit-derit karena rentak kakinya yang kuat. Ia menuruni tangga dengan dua kali lompat tampak sekali ia sangat marah dan ingin segera pergi.
Begitu cepatnya adiknya berjalan, Mak Saidah hanya bisa melihat sekilas sarung yang dikenakan lelaki itu. Ia termenung menatap bayangan yang sudah hilang membawa kekecewaan. Tapi apa boleh buat, ia tidak dapat membenarkan permintaan itu meskipun bisa saja ia mengabulkannya.***Keributan yang terjadi membangunkan Maiza yang sedang terlelap. Penasaran dengan siapa yang berkunjung, ia mengintip dari tirai pintu. Samar-samar ia mendengar percakapan antara amak dengan Mak Etek-nya Maiza pun ikut terkejut, darahnya berdesir.Hawa dingin seolah-olah berhembus di tengkuknya, bulu remangnya berdiri sekujur badan menjadi basah oleh keringat dingin. Tak percaya mendengar obrolan mereka hanya bisa menguping. Setelah kepergian mamaknya Maiza keluar dari bilik, menyusul Mak Saidah yang masih melamun di sudut jendela.
“Mak, datang Mak Etek? Apa maksud kedatangannya?” Maiza bertanya maksud kedatangan mamaknya. Berpura-pura tidak tau dan tidak mendengar pembicaraan itu.“Dak ada, nanya kabar saja,” jawab Mak Saidah. Ia menarik nafas dalam berkali-kali. Tidak menatap ke Maiza karena tsayat akan terlihat kebohongan dari raut wajahnya.“Sebenarnya, Mak? Apa tidak ada maksud yang lain?” tanya Maiza lagi, memastikan kalau Mak Saidah baik-baik saja, tidak ada yang terjadi antara kakak beradik itu."Iyo." Mak Saidah menjawab singkat. Ia tidak ingin Maiza membahasnya lagi. Mak Saidah beranjak ke kamarnya, meninggalkan anak perempuannya duduk sendiri di kursi rotan dengan segudang keingintahuan membuncah di kepalanya. Sementara Mak Saidah merasa lelah, ingin merebahkan tubuhnya yang sudah mulai tua di kasur. Matanya tak bisa terpejam, obrolan yang barusan terjadi mengganggu pikiran lantas mendesah, gelisah. Kemudian, Mak Saidah berbaring di samping suaminya. Hendak menceritakan kegundahan hatinya.“Daaa,” panggilnya, tetapi tidak ada sahutan. Diam. Mak Saidah bangkit untuk mengecek suaminya. Ada sesak yang tak dapat diungkapkan hanya dapat memanggil nama."Uda … Uda …."“Kehilangan orang yang dicintai adalah pukulan terberat dalam hidup.”🌹🌹🌹“Da,” panggil Mak Saidah, tetapi tidak ada sahutan dari suaminya.Mak Saidah bangkit untuk mengecek suaminya, memperhatikan gerakan napas. Namun, yang dia rasakan hanya kehampaan, tidak ada embusan udara dan dada yang naik turun, hanya sunyi.“Uda … Uda ….” Mak Saidah memekik panik.Ia mengguncang-guncang tubuh yang sudah kaku, berharap lelaki yang telah mendampinginya lebih dari setengah abad itu membuka mata, melempar senyum hangat di sudut bibir. Bangun lagi dari kematian adalah sebuah keniscayaan, tak akan mungkin.“Jagolah, Uda ….” Mak Saidah meraung-raung membangunkan sang suami. Keinginannya sehidup semati menjadi muskil sang kekasih telah dahulu keharibaan-Nya.Tinggal-lah Mak Saidah sendiri sebagai tulang rusuk kenangan yang akan m
“Musuh pantang dicari, ketemu musuh pantang lari.”🌹🌹🌹“Maiza,” panggil Mak Saidah.“Maiza, kemarilah.” Mak Saidah melambai-lambaikan tangan pada Maiza yang sedang memasak di dapur. Ia tidak mendengar panggilan dari amaknya tersebut.“Anton, panggilkan Ibu kamulah!” perintah Mak Saidah pada cucunya yang sedang bermain kelereng di dekatnya."Yo, Nek," jawab bocah lelaki itu lalu berlari ke dapur menemui ibunya yang sedang mengaduk santan gulai.“Bu, Nenek imbau,” panggil Anton pada ibunya.“Eh yo. Ibu naik lai,” sahut Maiza, lantas dia menaiki anak tangga yang menghubungkan rumah gadang dengan dapur.Sesampainya di rumah Maiza duduk di dekat amaknya. Ia memijit-mijit lengan yang kurus hanya kulit berbalut tulang.“Maiza, saya bermimpi, Abak kamu datang berpakaian sarugo, mancaliak ka amak, mukan
“Apa yang engkau tanam hari ini, itulah yang dituai di kemudian hari.”🌹🌹🌹Mendengar cerita yang dituturkan oleh amaknya, ada rasa bangga yang tumbuh di hati Maiza. Betapa tidak? Keluarganya adalah keturunan orang baik dan berada. Nenek moyang mereka juga pejuag sekaligus tokoh masyarakat.Sampai saat ini nama baik itu sering diceritakan dari orang tua ke anak-anak.Ia ingin ketika Anton dan Rayya sudah besar kelak dapat meniru semangat pendahulunya. Ia ingin sekali menceritakan kisah yang sama supaya anak-anaknya mengenal nenek moyang mereka. “Hebat ya, Nek. Kakek kita seorang pejuang. Dengar tuh, Anton … Rayya. Kita contoh semangat kakek kita,” ujar Maiza mengajari anaknya.
“ Langgengnya sebuah hubungan disebabkan karena saling jujur dan terbuka”Hari-hari Maiza tidak seperti sebelumnya, ia seperti orang yang sedang kalimpasingan, tidur gelisah duduk resah berjalan pun gundah hatinya, wajahnya yang elok berubah murung, sudah seminggu larut dalam pikirannya sendiri. Sampah bekas makanan anak-anak belum dibersihkan. Dapur juga diabaikannya tidak sekali dua kali piring kotor menumpuk dalam panci.Pakaiannya tampak lusuh karena sudah dari kemarin dikenakan, kodek bermotif batik yang membentuk di pinggangnya juga sudah kotor oleh tumpahan minum Rayya. Hal yang dilakukan Maiza hanyalah berkurung diri dalam bilik atau bercengkerama dengan kedua anaknya. Pakiah yang melihat perubahan mood
“Berbaiklah saat ini dengan saudarakarena mereka adalah tempat kamu mengadu di masa depan.”🌹🌹🌹“Pakiah …,” ujar Mak Uwo Tini, Mak Saidah dan Mak Palindih serempak berdiri.“U--da, dah lama U--da di sana?” tanya Maiza gagap, ia menelan saliva membasahi tenggorokan yang kering.Sementara Pakiah masuk ke dalam rumah, duduk dengan tenangnya lalu bersikap bijaksana padahal amarah membara dalam jiwa. Wajahnya memerah dari biasanya, sorot mata yang tajam seakan akan memotong-motong lawan bicara. Melihat suaminya tidak menanggapi, ia beranggapan kalau suaminya tidak mendengar pembicaraan mereka. Kemudian Maiza beranjak ke dapur, membuatkan secangkir teh.
“Akar penyakit adalah hati yang kurang bersyukur."🌹🌹🌹Usai perdebatan yang terjadi tempo hari dengan Mak Palindih dan Mak Uwo Tini, Pakiah mengajak Maiza pergi jalan-jalan, tujuannya ke Pakan Rabaa. Tiga lembar uang bergambar monyet berjuntai diberikan pada istrinya untuk belanja. Maiza sangat bahagia dengan sikap Pakiah yang kembali ramah, tidak kaku seperti sebelumnya.“Uda, adik minta maaf soal kejadian kemarin.” Maiza menyalami punggung tangan Pakiah.“Sudah uda maafkan. Sekarang ayo kita bawa anak bermain. Biar dapat angin segar. Cepatlah berkemas.” Pakiah menyuruh Maiza bersiap-siap.Kemud
“Kasih orang tua sepanjang masa, Kasih anak sepanjang jalan ke surgayaitu doa anak yang saleh” 🌹🌹🌹Perawat membawa Rayya ke ruang penanganan. Maiza dan Pakiah juga ikut serta. Maiza sangat tersiksa melihat Rayya terbaring di kasur yang beralaskan perlak selebar satu meter itu. Tubuh mungil yang tergolek lemas karena suhu tubuhnya masih panas, jari-jarinya yang kecil terkulai di tepi ranjang. Ibu siapa yang tidak teriris melihat putrinya yang semakin pucat. Naluri keibuan mengatakan, biarlah ia menjadi pengganti, tidak tahan melihat Rayya yang menderita.Perawat datang bersama seorang dokter muda. Langkah mereka cepat sehingga hentakan sepatu yang keras membuat lantai semen itu mengeluarkan lengkingan.&ld
“Orang munafik, manis di luar, busuk di dalam.”🌹🌹🌹Mendekati waktu senja Maiza dan Anton telah sampai di Pakan Rabaa. Tidak ada lagi oto cigak baruak yang mangkal. Alamat ia dan anaknya berjalan sejauh tiga kilometer. Ketika azan Maghrib berkumandang, Maiza dan anaknya masih melatih kaki untuk kuat berjalan. Ketika seperempat jalan sudah ditempuh mereka berpapasan dengan Tukang Angkat yang mengendarai becak, si Tukang Angkat menawarkan Maiza dan Anton pulang bersama. Maiza menjadi lega dia tidak sendiri di kegelapan yang hanya ditemani remang-remang cahaya bintang.Sesampainya di rumah, disambut oleh Mak Saidah. Perempuan tua itu tidak melihat keberadaan menantu dan c