Share

Cawan Putih

“Simpanan terbaik adalah amal saleh.”

🌹🌹🌹

Batu Batuah, sebuah Nagari  yang terletak di pinggang gunung Marapi yang menjulang, karena struktur tanah yang tidak beraturan. Nagari Batu Batuah terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi dan lurah yang landai.

Saat siang hari hawanya sejuk serta berawan, tetapi sangat dingin kala malam hari. Di tengah pemukiman, terletak surau bagonjong. 

Orang sekitar menyebutnya bagonjong karena surau tersebut atapnya yang lancip dan runcing seolah akan membelah langit. Di depan tempat itu ada kolam air yang berisi ikan mas dan mujair.

Gemericik air yang mengalir deras mengairi sawah dan ladang. Tidak perlu irigasi karena kekayaan air sudah dilimpahkan Sang Pencipta melalui sarasah  dari puncak merpati yang tertinggi di Gunung Marapi, sumber air pegunungan yang sangat jernih. 

Rumah gadang Maiza berada di dataran rendah yang cukup luas. Berbatas dengan Nagari Batu Gading yang teletak di kaki gunung. Ketika hendak mendaki ke bukit terdapat gerbang kampung yang bersebelahan dengan rumahnya. Tidak ada pepohonan yang menghalang pancaran sinar, hingga siang harinya cukup mendapat panas matahari.

Maiza menikah muda, yaitu pada usia tujuh belas tahun karena satu-satunya anak perempuan juga sebagai penerus suku di keluarganya. Suaminya Iskandar Pakiah Bandaro, lima tahun lebih tua darinya.

Setahun sesudahnya dia dikaruniai seorang anak laki-laki, suaminya memberi nama Antoni Iskaniza, artinya Anton anak dari Iskandar dan Maiza. Rumah tangga mereka semakin bahagia setelah kedatangan si putra sulung.

Pakiah, panggilan familiar Iskandar, sangat bersemangat mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Subuh hari sudah bangun, pergi ke parak mencari rumput makan ternak, kembali ke rumah hanya untuk minum kopi dan makan sepotong roti, kadang menyempatkan waktu untuk bermain dengan Anton yang sudah berumur enam bulan itu.

Setelah puas, ia pun kembali bekerja menanam sayur lobak bunga yang mulai bertunas di ladang. Sedangkan Maiza, sang istri tercinta menanak nasi dan menumis sayuran, menyiapkan gulai ayam. Jam sembilan, Pakiah pasti pulang untuk makan pagi.

Bersama Maiza, tinggal abaknya yang bernama Jalal dan amaknya yang bernama Mak Saidah. Hidup mereka berkecukupan, orang tua Maiza memiliki lahan sawah dan ladang yang luas peninggalan Niniak Muyang Samandeh.¹

Maiza sebagai satu-satunya anak perempuan penerus suku, menjadi pewaris harato pusako keluarga tanpa ada gangguan. Ia bersama suaminya Pakiah, hanya tinggal berusaha dan menikmati hasilnya saja. Setiap enam bulan hasil panen sawah memenuhi lumbung padi, dua bulan sekali hasil tanam sayur di ladang juga sudah dipesan oleh toke.  

Tak hanya itu dengan tangan dingin si Pakiah, ternak sapi, ayam dan bebek juga berkembang. Secara ekonomi mereka sudah berkecukupan.

Meskipun begitu, abaknya Maiza tidak lagi kuat, ia sudah uzur dan pikun saat memasuki usia tujuh puluhan. Sehingga tanggung jawab Maiza, selain sebagai seorang istri dan ibu, juga sebagai anak yang ikut membantu mengurus abaknya.

Kekayaan tidak menjamin kebahagiaan. Kehidupan sempurna Maiza berkurang karena putra sulungnya sering sakit-sakitan, dari bayi sudah mengidap sambok,  Bidan kata karena terminum air ketuban. Tidak sedikit pengeluaran untuk membeli obat dengan harapan segera sembuh. Beruntung umur Anton panjang, paik darahnya  kata tetua. 

Saat berusia tiga tahun dan sudah mempunyai adik, yang baru sebulan dilahirkan. Namanya Rayya Iskaniza. Kondisi Rayya mirip seperti udanya,  semenjak dilahirkan juga sering demam. Ia tidak cukup mendapat ASI eksklusif karena sudah diajarkan makan serutan pisang tinalun. Jika sudah panas, Maiza membawa anak keduanya itu ke rumah Bidan, yang terletak di samping SDN Batu Gading lebih kurang setengah kilo dari rumahnya. Hingga sudah berlangganan dengan Bidan Penti, perempuan kepala tiga keturunan Jawa yang sudah lama menetap di Batu Gading.

***

“Assalamualaikum.” Suara Maiza terdengar dari luar, ia sudah pulang dari rumah Bidan.

“Waalaikumussalam. Gimana kabar anakmu?” tanya Mak Saidah padanya anaknya dan langsung mengintip Rayya yang masih tidur dalam pangkuan.

Rasa cemas si nenek itu malah melebihi ibu si bayi, sampai Maiza langsung dicecar dengan pertanyaan.

“Tolong buka ikatnya, Mak. Sudah capek bahu saya,” pinta Maiza dengan raut muka lelah. Mak Saidah langsung membuka ikatan kain panjang yang melilit di bahunya, lalu mengeluarkan cucunya yang sedang tidur meringkuk disana.

Udara menyapu wajah mungil Rayya, sontak membuat gadis kecil itu terbangun, lantas merengek mencari ibunya. Mak Saidah pun menggendong cucunya itu dan membawanya melihat-lihat pemandangan melalui jendela.

“Antoklah antok … cucu enek go. Kulik manih di parak ugang, siap manongih golak godang ….” ²

Sekeras ia berusaha menenangkan bayi itu tetap ibulah yang dibutuhkan. Sementara Maiza yang terkapar karena kelelahan kembali bangkit, mengambil makanan untuk Rayya, tetapi putrinya tidak selera makan, menepis suapan yang diberikan ibunya. Maiza mengganti makanan dengan biskuit yang diberikan Bidan Pen. Rayya segera meraihnya, perlahan ia memakan kue kering itu sampai tandas.

“Biar amak jaga Rayya. Pergilah makan!” perintah Mak Saidah pada Maiza.

Serasa dapat celah, ia langsung bergegas ke dapur lantas membuka tudung hidang, lalu makan dengan lahapnya. Sesudah makan dia tersandar di kursi, keletihannya terbayarkan sudah. 

Beberapa menit kemudian, baru teringat kalau obat yang diberikan Bidan untuk Rayya belum diberikan. Maiza segera mengambil dari tas dan menyuapkan obat tersebut untuk anaknya, Rayya mengedip-ngedipkan mata sambil membuka mulut, salivanya mengalir di sudut bibir yang mengerucut.

Entah bagaimana cara ia mengatakan pada Ibunya kalau serbuk yang diminum terasa pahit. 

Maiza pun membawa Rayya masuk ke biliknya dengan dalih menidurkan putrinya, ia juga ikut merebahkan badan, terlelap bersama. Sementara Mak Saidah kembali melihat Abak Jalal yang terbaring sendiri di bilik.

Kemudian memijit-mijit kaki suaminya itu menatap dengan sayu, bukan kemauannya sang suami menderita. Ia menghela nafas berat mengingat betapa waktu cepat berlalu menelan kuasa manusia. 

“Haus ….” lirih suaminya, Mak Saidah segera mengambil segelas air, memberi sesendok demi sesendok hingga hilang dahaganya. Namun, ketika mendampingi suaminya, tiba-tiba ada hewan kecil yang merayap menyerupai kelabang, kakinya banyak seperti ulat kaki seribu. Abak Jalal yang sadar akan keberadaan binatang tersebut lantas menoleh ke istrinya.

“Dah diberi makan?” tanya Abak Jalal.

“Apa tu?” Mak Saidah balik bertanya.

“Kalimayia,”  rentaknya. Mak Saidah terkejut melihat kedatangan hewan itu lagi. Padahal baru diberi makan minggu lalu kenapa masih berkeliaran, pikirnya.

“A--alah,” jawabnya gugup. 

Abak Jalal mendelik, tubuhnya menggigil, tangannya ditangkupkan ke dada. Ia pejamkan mata, tak ingin melihat hal yang tak mampu dilihat dengan mata telanjang. Kemudian berusaha membalikkan badan menjauhi hewan itu, kecemasan amat sangat menyerangnya.

"Bu--ang ... ba--kar … berghrrr." Abak Jalal menceracau tak sadarkan diri seperti orang kerasukan.

"Tenanglaaah. Iyo dibuang," ujar Mak Saidah serak.

Sepasang lansia itu meringkuk di dipan, seperti balita yang sedang kedinginan. Pikiran mereka melayang-layang, merenungi nasib sial yang tak berkesudahan. Mak Saidah beranjak bangun sambil melihat-lihat ke sudut bilik, seperti mengingat sesuatu. Tangannya meraba di sudut pagu.  Ia berhasil meraih sebuah bingkisan kecil kain putih, ketika dibuka terlihat cawan putih kuno bermerek buatan Cina.

Kemudian ia membuka lemari, tangannya meraba lagi mencari barang yang terselip di antara lipatan baju. Akhirnya Mak Saidah mendapatkan dompet berenda keemasan yang terdapat serbuk berwarna kuning di dalamnya, lalu mengambil serbuk itu seujung jepitan jari dan menaburkannya ke dalam cawan. Ia mengulang sebanyak tiga kali, setelah itu cawan dibungkus lagi dengan kain dan menyimpan di tempat semula. 

Sementara di halaman, seorang pemilik suara bas memanggil-manggil.

“Ni … ooo Uni. Ada di gumah?" 

Berulang-ulang panggilan yang sama, lalu terdengar suara pintu diketuk beberapa kali.

“Ni Mak Saidah, ada di gumah?”

Mak Saidah melongok ke halaman, ternyata ada Mukhtar, adik bungsunya datang bertamu. Tak biasanya begitu, apa yang diinginkannya? Ragam pertanyaan memenuhi kepala perempuan itu.

“Setan apa pula yang merasukinya? Saban hari baru datang!” gumamnya.

🌹🌹🌹

Bersambung.

¹. Nenek moyang seibu

². Tenanglah ... tenang. Kulit manis di kebun orang, siap nangis ketawa lebar. (Pantun Minng).

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status