Share

Duka di Rumah Gadang

“Kehilangan orang yang dicintai adalah pukulan terberat dalam hidup.”

🌹🌹🌹

“Da,” panggil Mak Saidah, tetapi tidak ada sahutan dari suaminya. 

Mak Saidah bangkit untuk mengecek suaminya, memperhatikan gerakan napas. Namun,  yang dia rasakan hanya kehampaan, tidak ada embusan udara dan dada yang naik turun, hanya sunyi. 

“Uda … Uda ….” Mak Saidah memekik panik. 

Ia mengguncang-guncang tubuh yang sudah kaku, berharap lelaki yang telah mendampinginya lebih dari setengah abad itu membuka mata, melempar  senyum hangat di sudut bibir. Bangun lagi dari kematian adalah sebuah keniscayaan, tak akan mungkin.

“Jagolah, Uda ….” Mak Saidah meraung-raung membangunkan sang suami. Keinginannya sehidup semati menjadi muskil sang kekasih telah dahulu keharibaan-Nya.

Tinggal-lah Mak Saidah sendiri sebagai tulang rusuk kenangan yang akan mengingat Abak Jalal, sampai dia juga menyusul kepangkuan yang abadi. 

Sementara Maiza yang sedang duduk santai di kursi rotan lagi menikmati teh manis dan sepotong kue gabin, kunyahnya terhenti ketika mendengar raungan dari bilik. Apa yang terjadi? pikirnya. Sekelebat pikiran negatif melintas di benak Maiza, lalu dia pun berlari menyusul amaknya.

“Abak,” gumam Maiza.

Beberapa langkah lagi sampai di dipan. Maiza melihat amaknya yang terkulai di kepala ranjang, sedangkan abaknya terbaring dengan tatapan layu.

“Abak … Maaak, Abak lah dulu …,” ujar Maiza dengan serak sambil melihat pada amaknya. 

Kemudian ditutupnya mata Abak Jalal yang masih terbuka. Tubuhnya bergetar, lutut pun lunglai, serta merta tubuhnya roboh juga terhenyak disamping amaknya. Ikut menangisi kepergian Abak Jalal.

Tak dapat akal melakukan yang lain seperti berdoa mengirimkan bacaan surat Al Fatihah, sebab Mak Saidah seorang buta huruf hingga tidak bisa mengaji. Pendidikannya hanya sampai kelas 2 di Sekolah Rakyat (SD pada zaman penjajahan-red). Sehingga beribadah juga jarang, ada alasan lainnya bukan hanya tak pandai, tetapi juga karena sebuah pantangan.

Sedangkan Maiza lebih baik sedikit dari amaknya, sekolah sampai kelas 1 SMA. Ia putus sekolah karena manja karena keluarganya kaya tak perlu tinggi-tinggi sekolah. Tidak ingin bersusah-susah untuk menjadi orang dengan uang keluarganya sudah disegani. Sehingga pada saat  abaknya terbujur, tak terpikir untuk mengirimkan bacaan Yasin, mereka berdua hanya duduk nelangsa meratapi kematian.

Bagi Maiza, Abak Jalal adalah sosok ayah yang baik tidak pernah memarahinya. Maiza adalah anak satu-satunya perempuan yang menjadi limpahan kasihnya. Tak sekalipun Abak Jalal pernah mencubit anaknya.  Begitupun bagi Mak Saidah, Jalal adalah suami pilihan terbaik pemberian Tuhan.

Meskipun mereka dulunya dijodohkan, bunga-bunga cinta mereka tumbuh dan bersemi, mati hanya karena maut memisahkan. Pasang surut perasaan pastilah ada, tetapi Jalal tak pernah mengabaikan Mak Saidah karena ia istri penurut. Senantiasa tabah mendampingi Mak Saidah meskipun dasas-desus mengenai keluarga istrinya kerap melanda.

Kini Abak Jalal tak dapat lagi menemani sang istri. Ada beban yang ia bawa pergi. Menurut agama, jasad yang telah mati, arwahnya masih menyaksikan bagaimana sanak keluarga melepasnya,  hingga tertanam di pandam pakuburan.  

Barulah arwah berpulang ke alam barzakh. Alamat arwah Abak Jalal penuh dengan penyesalan, menonton anak dan bininya menangisi jasadnya dengan penuh kepiluan, semakin beratlah siksa untuknya sebelum kiamat tiba.

Makanya Nabi yang Mulia melarang meratapi kematian orang yang tersayang, akan menambah berat beban yang akan dibawa menuju shirat. Ikhlas melepas kepergian dan bersabar pada ujian lebih diutamakan.

***

Rumah gadang bagonjong tinggi dan megah terlihat goyah, salah satu sandinya hilang setelah berpulangnya Abak Jalal. Kabar disiarkan melalui corong  surau.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah. Urang tuo kito, urang sumando di rumah gadang nan banamo Muhammad Jalal, baumua 70 tahun. Mohon mauh sagalo salah yang dibuek salamo almarhum hiduik di dunia. Jiko ado hutang piutang tamui ahli waris, supayo dak do baban di kemudian hari.” 

(Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Telah kembali ke Rahmatullah. Orang tua kita, menantu di rumah gadang yang bernama Muhammad Jalal. Umur 70 tahun. Maafkan segala salah yang dibuat almarhum selama beliau hidup. Jika ada hutang piutang, temui ahli waris agar tidak ada masalah di kemudian hari.)

Kabarnya tersiar dengan cepat. Orang kampung pergi melayat meskipun mereka mengetahui isu keluarga Mak Saidah, tetap pergi untuk menjaga etika dalam bermasyarakat.

Ketika ada kemalangan yang menimpa salah satu keluarga. Se-nagari penduduk datang membawa bingkisan beras tanda duka. Terlebih lagi keluarga Mak Saidah adalah orang berada. Tak sedikit orang ingin menebus tanah ladang atau sawah, berhutang emas padanya.

Pakiah Iskandar, suami maiza pergi menjemput orang Siak  untuk mengurus jenazah.  Para keluarga dekat sudah datang, membacakan Yasin dan berdoa, termasuk adik bungsu si Mak Saidah sebagai mamak rumah. Yaitu Mukhtar Palindih Kayo.

Tiba saatnya, almarhum pun mulai diurus. Orang Siak memimpin upacara, mulai dari memandikan dan mengkafani sekaligus menyalatkan. Setelah selesai dengan isak tangis Mak Saidah dan Maiza mengiringi keranda jenazah ke tempat peristirahatan.

Sudah diingatkan oleh suaminya untuk berhenti menangisi, tetapi apa daya air mata mereka tidak mau kompromi. Tak mau berhenti membasahi pipi duka kehilangan mereka sangat besar.

Prosesi penyelenggaraan jenazah pun selesai, para pelayat sudah kembali ke rumah masing-masing. Tinggal keluarga berkubang sunyi, larut dalam kesedihan, tak ada tawa. Hanya celoteh Rayya yang menghibur mereka, juga Anton yang sedang nyinyir bertanya tentang apa yang sedang terjadi.

***

Sebulan seusai kepergian Abak Jalal, Mak Saidah semakin kurus, tidak selera untuk makan, hingga sering lemas dan kelelahan, aktifitas yang dilakukannya hanyalah tidur, menutupi tubuh dengan selimut yang dulu digunakan sang suami.

Semenjak itu, Mak Saidah juga sering demam. Jika sedang tubuhnya panas, ia sering mengigau memanggil nama Jalal. Pikirannya menjadi kacau, lesu dan tidak bergairah.

“Makanlah, Mak! Nanti bisa sakit, jangan Abak diingat terus. Beliau dah tenang di sarugo,” bujuk Maiza sambil menyuapkan sesendok bubur putih berkuah saka.  Mendengar Maiza mengatakan kalau abaknya sudah di surga, Mak Saidah merasa terhibur dan mau memakannya hanya sanggup tiga sendok.

Ketika hati Mak Saidah sedang ingin, ia berjalan-jalan di ruang tamu. Kemudian duduk termenung di tepi pintu, menatap tempat peristirahatan suaminya. Malang tiba-tiba dia pusing lalu pingsan setelah jatuh dari kursi. Maiza dan Pakiah bersegera membawa Mak Saidah ke rumah Bidan.

Untung tidak parah jadi tak perlu dibawa ke rumah sakit. Setelah mendapat perawatan dan obat mereka kembali ke rumah. Beberapa hari berlalu kesehatan Mak Saidah sudah mulai membaik, tetapi karena pikirannya masih gundah nafsu makannya kembali hilang. 

Saban hari, Mak Uwo Tini datang menjenguk. Ia menyuruh Maiza membawa amaknya untuk berobat ke dukun kampung. Menurutnya, Mak Saidah perlu ramuan untuk melupakan almarhum suaminya. Namun, Maiza belum sepakat dengan suaminya. Ia lebih memilih ke rumah sakit dulu daripada ke dukun. 

Bukan tanpa alasan, mereka punya prinsip masing-masing dengan keyakinan. Apalagi bagi Pakiah sendiri, ia seorang lelaki yang tidak mau terpengaruh dengan takhayul. Namun, tidak pula kuat dasar pada pemikirannya untuk berpegang teguh karena ia bukan pula ahli dalam agama. 

Sementara Maiza, ia lebih menurut pada suaminya. Kenyataan bahwa keluarganya adalah pemelihara barang haram itu sudah membuatnya kecewa. Hingga tak ingin lagi berhubungan dengan benda tersebut.

Akan tetapi, sikap mereka membuat ibunya menderita. Kondisi Mak Saidah tak kunjung sehat kian hari semakin parah. Duka di rumah gadang itu belum juga usai. Entah cobaan atau bala yang mereka dapatkan.

Suatu malam, menjelang tidur. Maiza menatap suaminya penuh iba.

"Uda, gimana dengan Amak. Tak tahu lagi caranya, Da?"

"Kita bawa saja ke rumah sakit atau ke tempat Bidan Pen, biar Amak dapat obat untuk meringankan sakitnya."

"Mak Uwo Tini bilang Amak tasapo aruah, Da."

"Entahlah, Uda kadang masih enggan mempercayainya."

"Apa salahnya kita coba?"

"Jangan. Janganlah." 

"Lalu bagaimana lagi, Uda?"

Pakiah terdiam mendengar desakan tanya dari istrinya. Ia pun tak bisa memberi solusi apa-apa. Memang kepercayaan yang mengakar di kampungnya. Setiap kematian suami atau istri, harus diputuskan dengan doa, supaya tidak berlarut perasaan kehilangan orang yang dicintai. 

Akan tetapi, setelah kepergian Abak Jalal, tidak ada doa semacam itu yang dilakukan di rumahnya. Pesan Mak Uwo Tini tidak didengarkan, sebab hanya menambah dosa.

Bersambung.

🌹🌹🌹

Terima kasih yang sudah ikutan baca. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status