Share

Pasumpahan Tubo
Pasumpahan Tubo
Penulis: Luthfiana

Stunting

“Harapan seorang ibu adalah melihat anaknya 

tumbuh sehat dan ceria”

🌹🌹🌹🌹

Siang hari tepat jam dua belas, langit biru yang cerah, matahari bersinar dengan semringah membakar atap seng rumah nan gadang, hingga keluar bunyi denting seperti disiram kerikil.

Seorang perempuan berumur tiga puluh tahunan terlihat bergegas menuruni anak tangga. Langkahnya tegap, bunyi sarung yang dikenakan menderap tegap. Jari-jari lentik menahan gendongan kain panjang yang diikatkan ke bahunya.

Ada seorang bayi yang meringkuk di sana. Ayun langkah perempuan itu semakin cepat, menyibak rerumputan di pinggiran jalan. Sesekali tikuluak¹ di kepalanya terburai ke dada menutupi kepala bayi itu, lalu dengan cekatan ia meraih kain penutup kepala itu dan mengusapkan keringat di dahi.

“Maiza, mau kemana?” Seorang perempuan paruh baya yang sedang membersihkan rumput halaman tiba-tiba menyapanya. Sehingga ia berhenti sejenak dan menoleh.

“Eh, Mak Uwo Tini. Mau pergi ke rumah Bidan Pen. Rayya demam lagi,” jawab perempuan yang dipanggil Maiza itu dengan terengah-engah.

“Demam lagi dia tu? E lah, Nak gadih ketek ko.”  Mak Uwo Tini menyambangi Maiza, membuka tabir kain panjang yang menutupi wajahnya, lalu mengusap kepala bayi dua tahunan tersebut.

“Iyooo,  panas badannya. Bersegeralah pergi! Bertambah panas nanti!” ujar Mak Uwo Tini dengan ekspresi wajah yang iba. 

“Iya, Mak Uwo,” imbuh Maiza menggangguk, lalu beranjak pergi. Belum beberapa meter terlampaui, terdengar lagi suara Mak Uwo Tini memanggil.

“Maiza, Pakiah  kemana? Tidak ikut mengantar pergi?” 

“O … Uda cari rumpuik  jawi, Mak Uwo. Belum pulang, Rayya menangis terus. Jadi saya pergi sendiri,” jawab Maiza dengan suara memelas, ia menarik nafas dalam untuk melegakan hati.

“Saya pergi dulu, Mak Uwo.”

“Elok-elok yo!”²

Mak Uwo Tini memandangi punggung yang semampai hingga hilang di bengkolan jalan, lalu kembali membersihkan sampah di halaman,. Beberapa kali menelan saliva, gerak-geriknya sangat gelisah.

Sementara Maiza, ia telah sampai di rumah Bidan Pen. Meskipun jaraknya dekat hanya 400 meter dari kediamannya, telah membuat Maiza kehabisan nafas. Wajahnya menjadi merah karena terbakar oleh sinar mentari di tengah hari.

Saat memasuki puskesmas, Maiza melihat daun pintu yang terbuka lebar, memberi isyarat pada Maiza kalau Bidan Pen ada di sana. Ia membasahi bibir yang mengering dan mengukir senyuman.

“Assalamualaikum, Bu Pen, Buuu,” panggil Maiza, karena belum terdengar sahutan, ia mengetuk pintu dengan buku jari sekali lagi.

“Waalaikumsalam. Ya ... sebentar.” Suara medok Bidan Pen membuat Maiza senang, lalu memasuki ruangan periksa. Ternyata Bu Bidan sedang memeriksa seorang pasien perempuan. 

Kemudian Maiza duduk di kursi kecil yang terbuat dari kayu, menunggu dengan sabar. Setelah beberapa menit menunggu, pasien yang sedang hamil tujuh bulan itu sudah keluar, Maiza pun bergegas memasuki ruangan.

“Ibu, Rayya demam lagi. Obat kemarin ndak mempan. Tolong anak saya ya, Bu,” pinta Maiza serak, ia tak tahan melihat putri kecilnya menahan sakit.

Kemudian Maiza menidurkan Rayya di kasur yang beralaskan perlak biru, mengusap-usap kepala Rayya yang mengeluarkan hawa panas.

“Biar Ibu periksa dulu, ya!” Bidan Pen mendengarkan detak jantung Rayya, melihat lidah dan telinganya. Saat tangan Bu Bidan menyibak baju mungilnya, Rayya menjerit dengan histeris.

“Nduk … Nduk, tenang, yaaa! Di sini yang sakit, ibu pijitin, kasiaaan.” Bidan Pen berusaha menghibur Rayya dengan mengusap-usap kepalanya.

“Bu Maiza, kasih Rayya ASI biar tertidur, nanti kita timbang beratnya!” titah Bidan Pen. 

Maiza mengiyakan perintah Bu Bidan, lalu meggendong anaknya, berbalik membelakangi Bidan. Maiza gelisah karena rayya masih menolak untuk menyusu, tetapi karena sudah terlalu haus, ia berusaha menyedot sumber energi itu. Beberapa menit kemudian, Rayya yang sudah lelah karena menangis tertidur pulas di pelukan ibunya. Ketika Bidan memeriksa, ia tidak menyadarinya.

“Bu, gimana Rayya?”

“Badannya memang panas, nanti  saat sampai di rumah--dikompres ya, Bu.”

“Kalau masih panas gimana, Bu?”

“Gini loh, Buuu. Sering-sering saja anak Ibu minum ASI, biar cepat bertambah beratnya. Apalagi Rayya sudah hampir dua tahun beri aja makanan bersayur, serat yang banyak, makanan kita berikan padanya, dengan begitu akan jarang demam. Melihat kondisi sekarang, anak ibu ini sudah kekurangan cairan, berat badannya jauh berkurang,” jelas Bidan Pen dengan gamblang.

“Bu, saya sudah berikan minum yang banyak. ASI juga ada walaupun hanya sedikit, tetapi Rayya sering menolak. Mungkin karena nggak kenyang. Haduuuh, makannya pun milih-milih. Gimana caranya lagi, Bu?” keluh Ibunya Rayya tersebut, ia terbebani dengan kondisi putrinya.

“Oke, apa Rayya sudah tidur?” tanya Bu Bidan pada Maiza, dia mengangguk sejenak sambil menanti arahan selanjutnya.

“Timbang di sini!” suruh Bidan Pen sambil menunjuk timbangan gantung.

Kemudian Maiza meletakkan putrinya pelan-pelan ke rajut timbangan. Rayya kecil menggeliat karena tak merasakan hangat lagi, ia mulai meringis-ringis kedinginan. Maiza dengan segera mendekap di balik timbangan dan menina-bobokannya dengan cara menepuk-nepuk bokong kecil tersebut dengan lembut, hanya dengan beberapa menit berlalu Rayya kembali terlelap.

Naluri keibuannya membuncah melihat kondisi anaknya yang sakit. Kasih sayang seorang ibu yang sangat besar untuk anaknya. Kehangatan kasih sayangnya mampu menenangkan putrinya yang tengah berjuang melawan sakit. 

Bidan Pen segera mengatur berat timbangan. Dahinya mengkerut, bibir bawahnya ditekan dengan gigi, sangat bingung karena dalam dua minggu berat anak itu turun drastis sebanyak 5 ons. Berat badannya yang jauh dari ukuran normal untuk anak umur dua tahun. Hanya berkisar 7- 8 kilogram akibatnya daya tahan tubuhnya sering menurun.

“Cepat kali berat badannya turun. Bulan lalu sudah naik ke 8.3 kilogram. Minggu kemarin turun 3 ons, sekarang turun lagi 2 ons. Nggak bisa dibiarkan ini, Bu Maiza. Nanti ia menderita gizi buruk.” Bidan Pen memberi penjelasan pada Maiza tentang kondisi putrinya.

“Apa jadinya nanti kalau Rayya menderita gizi buruk, Bu?" tanya Maiza ikutan kaget.

“Besarlah pengaruhnya, perkembangannya jadi terhambat. Postur badan bisa kecil, nggak tumbuh besar, rentan sakit. Otaknya pun mengecil, nanti sudah besar bisa pandia . Makanya kita obati dari sekarang biar nggak stunting," jelas Bidan Pen.

“Sss—stunntiiing?” tanya Maiza gugup.

“Iya, Bu. Artinya terhambat tumbuh kembangnya,” tukas Bu Bidan. 

Semakin bertambahlah kesangsian ibu muda tersebut, raut cemas terlihat dari tatapan matanya. Betapa tidak? Putrinya yang malas minum apalagi makan. Jika dipaksakan dia bisa muntah, semua telah dilsayakan sesuai dengan anjuran Bidan Pen. Namun, Rayya selalu menolak bahkan betah merengek dalam waktu yang lama sampai mengantuk. 

Akan tetapi hari ini Rayya semakin rewel saja, Maiza hanya bisa berjalan dambil menghibur anaknya di luar puskesmas, mengajak bercerita supaya menghentikan aksinya. Tak hanya itu, kondisi Rayya tak bertahan lama karena tubuhnya yang masih panas. Tubuhnya rentan sakit dan demam. 

Ketika sakit tiga bulan sebelumnya, Rayya sempat kejang-kejang. Sehingga suami Maiza terpaksa menjemput Bidan Pen larut malam. Sudah sering menjadi langganan ke puskesmas, sampai Bidan Pen yang keturunan Jawa itu sangat hapal wajah dan riwayat perkembangan Rayya. 

Kemudian Maiza memandang Bidan Pen yang sedang menulis dan menandai grafik perkembangan pada buku Ibu dan Balita milik Maiza. Bu Bidan mulai menyiapkan  resep obat yang akan dikonsumsi balita itu.

“Berikan obat ini sebanyak tiga kali sehari, setiap selesai makan padanya! Ini lengkap paracetamol, vitamin dan penambah berat badan.” jelas Bidan Pen sambil memberikan plastik kecil berwarna hijau. berisi obat bubuk.

“Makasih, Bu.” ucap Maiza yang masih berdiri menimang putrinya.

“O, ya. Ini satu lagi. Habiskan ini dalam lima belas hari. Jadikan sebagai camilan. Meskipun sudah makan beri aja terus. Kalau habis boleh jemput lagi ke sini.” Tambah Bidan Pen dan menyerahkan 2 pack biskuit MP-ASI.

“Baik, Bu. Saya akan kembali lagi, kalau sudah habis. Tampaknya Rayya suka biskuit ini, yang kemarin habis sama dia,” jawab Maiza sambil memasukkan obat dan kue tersebut ke dalam tasnya.

“Ikut Posyandu hari Senin ya. Ada vitamin dan tambahan makanan untuk bayi,” ajak Bu Bidan pada Maiza.

“Iya, Bu. Saya akan pergi. Saya pamit dulu, Bu.” Maiza menggangguk, setelah tiga puluh menit berlalu, Maiza hendak membawa putrinya pulang. 

Sementara Maiza masih tercenung mengingat kesehatan anaknya, ia menggendong Rayya ke luar dan duduk di teras, lalu rengekan Rayya mengembalikan kejernihan pikirannya. Kemudian dipangkunya Rayya kecil itu dan memasukkannya ke dalam kain panjang, ikatannya dililitkan ke bahu.

Panas masih terik. Maiza mengembangkan payung yang baru saja dibelinya di kedai samping Puskesmas. Langkahnya sedikit tertatih, fisik dan psikisnya letih. Beruntung Rayya sedang tidur hingga Maiza tidak begitu kesulitan membawanya pulang.

Penjelasan Bidan Pen masih terngiang-ngiang, ia tidak dapat menerima keadaan, gimana kalau putrinya benar-benar  menderita penyakit seperti yang dijelaskan. Padahal sudah memberi makan anaknya dengan baik.

Ketika sehat Rayya pun makan dengan lahap. Tapi anehnya makanan hanya numpang lewat ke organ pencernaannya, serat gizi dan vitamin seperti tidak terserap dengan baik oleh tubuh Rayya tetaplah kecil mungil.

¹. Salendang perempuan Minang zaman dulu

². Hati-hati.

Next ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status