Nuning bersiul-siul menuju rumah Bu Murni mau ketemu Jimin. Sudah janjian mau keliling panen rambutan hari ini. Kemudian siulannya terhenti kala berpapasan dengan seorang nenek yang jalan tergopoh-gopoh dengan tongkatnya. “Mau kemana, Mbah?” sapanya dengan mengangguk ramah.
“Memangnya aku mbahmu?” balas nenek tua itu sewot.
Nuning meringis keki, lalu geleng-geleng kepala melaluinya.
“Eh, gadis muda!” panggil nenek itu tiba-tiba.
Nuning menoleh malas-malasan karena sikapnya yang kurang bersahabat tadi. “Ya, ada apa nenek tua?” sahutnya sekenanya.
“Hei, aku punya nama! Jangan sebut aku nenek tua ya?!” bentak nenek itu sambil menuding dengan tongkatnya.
Meski jengkel, Nuning berbaik hati meladeninya dengan menjawab, “Iya, saya juga punya nama. Jadi jangan juga sebut saya Hei.”
“Ya sudah, mari kita bertukar nama,” ajak si nenek akhirnya mau akur.
&l
“Ngapain melamun? Kangen kampung?” sapa Jaka sambil menyesap kopi susunya. Duduk di sebelah Nuning yang memandangi bulan purnama di teras rumah. Nuning agaknya lagi ogah menyahut, menoleh barang sedikit juga tidak. “Kalau kangenmu sama kampung segitu beratnya, kuanterin pulang yuk?” godanya, lalu menyesap lagi kopinya, kemudian terbatuk-batuk usai kena tabok. Nuning kan paling senewen dengan ancaman satu itu. “Siapa juga yang kepingin pulang kampung?” Mata Nuning melotot segede jengkol. “Becanda doang keleus. Galak beut sih jadi orang?” “Lagian becandanya nggak tepat waktu. Tuman!” “Iya, ampun deh ....!” Jaka meringis dicubiti Nuning. Nuning mendesah. “Aku ketemu sama nenek-nenek aneh!” “Aneh mana sama kamu?” seloroh Jaka tak sanggup menahan mulut, untung saja Nuning cuma melotot. Sudah biasa dipelototin sama Nuning mah, ditabokin juga biasa. “Oke, oke .... Emang seaneh apa sih?" Nuning tancap gas bercerita, mulai jadi
Pikiran Nuning dan Jaka tentu saja langsung travelling kemana-mana. Bayar utang pakai tubuhnya Jaka tuh bagaimana coba? Ternyata maksudnya si mbah nggak sama mesumnya dengan yang mereka sangka. “Ooooohh,” ujar keduanya lega saat Mbah Sum menyuruh Jaka jadi tukang pijatnya selama sebulan. “Soalnya istrimu nggak bisa memijat, makanya aku maunya sama kamu aja,” kata Mbah Sum sarat modus. Nuning derdecak. “Kemarin Mbah sendiri yang bilang pijatan saya enak!” protesnya. “Ah. Masa? Salah dengar kamu tuh!” Mbah Sum mengelak selicin belut. “Mbah, sebulan kelamaan. Dua ratus ribu dibagi sebulan cuma lima ribu lebih dikit dong? Mana ada upah tukang pijat segitu sekarang ini? Kalau nggak percaya, coba Mbah keliling kampung tanyain orang-orang,” oceh Nuning membalikkan omongan Mbah Sum soal ongkos pijat. “Tapi Minggu dan tanggal merah kan libur,” sahut si mbah masih aja ngeles. “Seminggu aja ya, Mbah?” Nuning ngajak akur. Mbah Sum tetap me
Bu Lilis nangis sesenggukan saat Jaka mengabari dirinya sudah menjadi mahasiswa. Meski bukan terdaftar di kampus negeri dan bukan pula kampus swasta yang elit, sebodo amat. Toh yang penting saat lulus nanti gelarnya sama-sama Sarjana. Yang beda cuma soal nasib! Ada Sarjana yang nasibnya bagus bisa langsung diterima kerja di perusahaan elit, atau jadi PNS yang gajinya aman sampai tua. Ada juga yang masih menganggur meski sudah wawancara kerja sana-sini sampai ndelusur. Bagi Bu Lilis, biarlah anaknya menjadi Sarjana saja dulu. Soal nasib bisa diperjuangkan lagi nanti. Obsesi Bu Lilis ingin foto bareng anaknya di hari wisudanya yang memakai toga, buat dipamerkan ke mendiang suaminya. Sesuai janjinya dulu kalau dia saggup mengurus Jaka sampai jadi Sarjana meski dirinya bukan orang berpendidikan tinggi. Jadi saat menengok Pak Ujang ke kuburan nanti, dia tak perlu menebar bunga lagi, tapi menebar foto-fotonya sama Jaka yang lagi wisuda. Hiii ... kok malah serem. Semenjak a
Hubungan Nuning dan Jaka menjadi renggang sejak ketiadaan Bu Lilis. Mereka memang sudah berkomunikasi seperti biasa, tetapi rasanya tak sama lagi seperti dulu. Keakraban mulai memudar. Meski tiada yang saling menghindar. Secara fisik mereka memang berdekatan, tapi Nuning merasa jiwa Jaka menjauhinya. Nuning memahami Jaka dengan membalik sudut pandangnya, 'Andai aku menjadi Jaka, pasti bakal marah juga. Aku memang nggak becus jagain ibunya, sampai harus berujung kematian,' pikirnya direjam rasa bersalah yang menyengat. Namun Jimin membesarkan hatinya. “Sudahlah, Ning. Jangan kebangetan nyalahin dirimu sendiri. Memangnya kamu bisa ngumpetin mertuamu dari malaikat maut? Kalaupun kamu tetap di rumah hari itu, mertuamu tetap bakalan meninggal juga dengan cara dan sebab yang beda." Demi menghibur Jaka, Nuning rajin menyontek resep dan menu masakan yang biasa dibuat Bu Lilis agar Jaka semangat makan. Akan tetapi, Jaka selalu mengurung diri di kamar tiap pulang
Mulanya, Nuning enggan pulang kampung usai perceraiannya. Akan tetapi, takdir lebih berkuasa atas dirinya, tiba-tiba saja Bambang menelepon, mengabari kalau emaknya sedang sakit dan ingin dijenguk. Mau tak mau memanggilnya pulang dengan sendirinya. Meski berat bagi Nuning untuk meninggalkan Citayem yang sudah tujuh tahun menjadi bagian hidupnya. Bahkan Jimin ikut menangis harus kehilangan tukang petik buah terbaiknya. Nuning menyempatkan diri ke makam Bu Lilis seorang diri untuk pamitan. Menabur kembang, lalu memanjatkan doa. Hatinya sungguh terasa berat. Ia pun memeluk nisan Bu Lilis sambil menangis, tapi kemudian memekik kaget saat kepalanya tiba-tiba saja dipentung orang. “Memangnya kamu nggak tahu ya? Jangan nangisin orang mati di atas kuburannya!” omel seorang nenek-nenek yang memelototinya galak. Nuning bergegas berdiri sambil meringis, mengusapi kepalanya. “Ngapain Mbah Sum di sini?” tanyanya keheranan ada orang selain dirinya yang berani menyambangi k
Nuning membaca daftar belanja titipan emaknya. Menuju lapak ikan dan melihat Parman berjualan. Ingin pindah lapak, tapi Parman yang congornya tk kalah ramai dari toa masjid itu keburu memanggilnya, “Nuning! Apa kabar? Wah ..., udah lama banget nih nggak ketemu. Kamu masih aja kayak dulu, kirain bakal ada perubahan yang gimanaa gitu,” candanya rese. Nuning pura-pura sibuk memilih ikan. Ia sudah lama kenal Parman, cowok menyebalkan itu akan stop sendiri mengoceh kalau tak ditanggapi. Tapi, bukan Parman namanya kalau mulutnya nggak nyap-nyap menggali dan mengumbar berita, tak peduli rumor atau fakta. Bakat terpendamnya jadi presenter gosip, tak didukung saja oleh nasib. “Eh, aku ketemu Jaka waktu itu, katanya dia cuma mau nganterin kamu pulang, terus balik lagi ke Jakarta sendirian. Kok gitu? Emangnya kamu nggak betah hidup di sana, terus ogah lagi ikut dia? Mau tinggal misah, gitu? Cuma buat sementara atau seterusnya?” “Yang ini berapa sekilo?” Nuning mengabaik
“Kamu jadi gelandangan dong?” komentar Hobbie usai mendengar cerita Nuning saat mereka udah akur, tentang kartu nama Ayu yang hilang dan ranselnya yang raib diambil orang. “Yang penting kamu punya duit kan? Tenang aja, selagi ada duit pasti ada solusinya! Cari aja kos-kosan murah. Kalau soal baju ganti, beli aja di Tanah Abang banyak kok harga grosiran, yang bekas juga murah cuma lima ribuan,” ujar Hobbie menyemangati teman barunya. Tapi kemudian tepok jidat begitu Nuning memperlihatkan isi dompetnya. “Astaganaga. Nekat amat kamu ke Jakarta cuma berbekal duit segini doang?” katanya sambil geleng-geleng. “Sudahlah. Aku bisa numpang tidur di stasiun Gambir, pura-pura jadi penumpang nungguin jadwal kereta. Yang penting bukan di kolong jembatan atau emperan toko, biar nggak diciduk Satpol PP dikira gembel,” ujar Nuning miris kepada diri sendiri. “Lah, tampilanmu sekarang aja nggak ada bedanya sama gembel kok. Yang ada kamu ntar diciduk satpam stasiun terus diseto
Nuning lunglai di kasurnya bukan karena sakit, tapi karena telepon dari emaknya yang nangis-nangis, mengabari kalau Bambang ketiban rumah mereka yang rubuh, dan saat ini sedang berada di kamar bedah. “Tapi Mas Bambang nggak kenapa-napa kan, Mak?” “Ndak kenapa-napa gimana tho, Nduk? Lah wong kepalanya mandi darah gitu, kok! Haduh ..., padahal masmu rencananya mau kawin bulan depan!” Lalu telepon diambil alih bapaknya, karena si emak malah sibuk menangis ketimbang berbicara. “Tenang, Nduk. Dokter bilang luka di kepalanya memang perlu banyak jahitan, tapi nggak sampai melukai organ yang vital, otak dan mata misalnya. Tapi ya namanya luka di kepala, masmu bakal butuh istirahat sedikit lebih lama. Terpaksa masmu cuti kerja. Terus, nga-nganu ...,” untuk sejenak Pak Priyo terdengar kikuk, “rumah kita kan rubuh atapnya, perlu lekas diperbaiki, ta-tapi nganu, Nduk ..., Bapak ndak punya duit. Bapak mau pinjam dulu sama kamu. Kan waktu itu kamu bilang kalau Jaka