Home / Romansa / Pasutri Jadi-jadian / 14. Ulat Bulu Jadi Kupu-kupu

Share

14. Ulat Bulu Jadi Kupu-kupu

Author: Indy Shinta
last update Last Updated: 2021-07-30 17:48:49

"Jangan lupa makan ya, Nduk?"

"Iya, Mak. Emak juga jangan lupa masak yang banyak. Biar Bapak sama Mas Bambang kenyang, nggak kelaparan."

Tapi Bu Parmi malah nangis kejer. Nuning sampai menjauhkan speaker ponselnya. "Mak, lupa umur ya? Nggak pantes nangis macem bayi kayak gitu... Mau es krim? Beli gih yang banyak, nanti duitnya Nuning transfer lagi lewat rekeningnya Mas Bambang."

Bambang yang ikut menyimak percakapan itu ngumpetin air matanya. Diam-diam dalam hatinya ikutan bangga. Nyesel selama ini keseringan memandang sebelah mata pada adiknya. Dulu, adiknya memang kayak ulat bulu yang suka nggerogoti daun sampai bikin gundul tanaman, tapi setelah berubah jadi kupu-kupu, barulah terlihat manfaat dan keindahannya.

"Ya Allah... Anakku udah bisa nyari duit tho?" isak Bu Parmi terharu. Meski cuma ditransfer tiga ratus ribu, tapi kebahagian emaknya bagai menerima tiga juta. Soalnya ini duit dari Nuning! Tapi jelas bakalan beda lagi ceritanya kalau emaknya sampai tahu anak perempuan satu-satunya itu nyari duitnya sebagai kuli dan tukang petik buah. Bukannya senang terima duit, emaknya dijamin kejang-kejang sedih.

"Ya bisalah, Mak! Orang yang kakinya buntung aja bisa nyari duit, masa tubuhku yang sehat komplit nggak bisa?"

"Nduuuk. Emak nggak nyangka kamu jadi dewasa kayak gini..."

"Aku kan udah nikah, Mak! Bukan anak-anak lagi."

"Iya ya, kamu bukan anak-anak lagi. Tapi calon ibu yang akan punya anak dan Emak calon Mbah. Aduhhh jebul wis tuo yo aku, Nduuk."

Nuning jadi gugup saat ibunya menyinggung soal anak. Pikirannya tiba-tiba menclok pada adegan ciuman pertamanya sama Jaka kemarin. Nyaris saja. ‘Huh. Apa-apaan sih  Jaka?’ pikirnya dongkol. Untung Bu Lilis tiba-tiba menginterupsi masuk, kalau nggak... apa kabar nasib persahabatan mereka selanjutnya? Nuning menggelengkan kepala. Nggak siap mikir macem-macem. Persahabatannya dengan Jaka jauh lebih penting ketimbang pernikahan jadi-jadian mereka. Pernikahan ini suatu saat boleh berakhir, tapi persahabatan mereka tidak. Nuning nggak mau menciderai keutuhan persahabatan mereka dengan hal-hal yang bakal mereka sesali di kemudian hari.

Nuning mengakhiri telepon lalu siap-siap ke rumah Bu Murni, tempatnya menunggu jemputan Jimin setiap hari.

"Sarapan dulu, Ning..." sapa Bu Lilis mengejutkan. Setelah hampir setahun jadi menantunya, baru kali ini ibu mertua menyapa selembut itu.

"Eh, i-iya..." Nuning sampai speechless kebingungan.

"Ibu masak pindang bandeng yang kamu beliin kemarin, beneran enak ternyata. Ikannya masih segar dan nggak bau tanah. Pinter banget kamu milihnya," puji Bu Lilis bikin Nuning tambah heran. Lalu dia pegangan meja kuat-kuat, khawatir tiba-tiba gempa dan buminya terguling karena perubahan sikap mertuanya yang terlalu mendadak sebesar 180 derajat.

Lalu gugup saat Bu Lilis memanggil Jaka dan mereka harus sarapan bertiga. Kerongkongannya mendadak kering saat tanpa sengaja bertemu tatap dengan cowok itu dan membuatnya hampir cegukan. Melihat bibir Jaka yang menyesapi kuah pindang membuat ingatannya menclok lagi pada kecupannya yang panas semalam. Nuning menghela napasnya yang terasa berat sehingga menarik perhatian Jaka. Tatapan mereka kembali beradu. Cuma sekejab, tapi bikin Nuning terbatuk dan buru-buru meneguk isi gelasnya. Suhu tubuhnya tiba-tiba terasa naik beberapa derajat.

"Makanya kalau makan pelan-pelan," kata Jaka sambil menuangkan segelas air lagi untuknya. Lalu menepuki leher belakang Nuning dengan lembut.

Nggak habis pikir, bagaimana bisa cowok itu bersikap sesantai itu setelah yang semalam? ‘Dasar laknatt,’ pikir Nuning sebal.

Bu Lilis justru tersenyum kecil melihat kecanggungan yang terjadi antara anak dan menantunya yang tampak malu-malu meong. Ingatannya melayang kembali pada masa-masa indahnya dahulu kala. Dia juga pernah sebahagia itu saat bapaknya Jaka masih waras, sebelum ketemu janda gatel yang merusak rumah tangganya. Kebetulan Nuning mengingatkannya pada Sari, sekilas perawakan mereka mirip. Sebenarnya Bu Lilis berparas cantik, hidungnya mancung, dan berkulit putih. Tipikal wanita idaman lelaki pada umumnya. Tapi bapaknya Jaka justru lebih milih Sari yang manisnya nggak ngebosenin kayak Nuning. Bapak dan anak kok kompakan sama-sama suka yang manis. Diabet tahu rasa! Kebencian pun merayapi hatinya sejak pertama kali ngeliat Nuning. Ditambah kelakuan Nuning yang absurd di awal pertemuan. Meneriakinya penculik lalu ngejar-ngejar macam orang gila. Bikin Bu Lilis syok di hari pertamanya nyambut mantu.

Sejak saat itu, pikiran piciknya yang berupa kecewa, marah, benci, dendam, sedih, lama-lama menggumpal jadi satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan lagi dalam keseharian. Keadaan psikologis semacam itu pada awalnya merusak organ otaknya sendiri yang bikin dia suka uring-uringan tanpa sebab. Kemudian, otak yang rusak meneruskan kerusakan itu ke organ-organ yang lain. Efek berantai itu terlebih dahulu merusak organnya yang paling lemah sebelum melemahkan organ tubuhnya yang lain. Nggak heran kalau Bu Lilis mulai penyakitan, entah itu sakit maag, sakit gigi, sakit pinggang, nyeri otot, gampang kram... Badannya sakit semua, nggak kalah sakit sama hatinya. Seakan jiwa raganya balap-balapan sakit, tapi nggak ada yang balapan sembuh. Sampai kemudian perhatian Nuning yang kecil-kecil itu melunakkan hati dan menyembuhkannya secara diam-diam.

Nuning berbeda dengan Sari. Bu Lilis bisa merasakan ketulusan Nuning saat memberikan berbagai buah tangannya itu. Lagipula, istri mana lagi coba yang rela kerja keras sampai jadi kuli demi tak ingin merepotkan suaminya yang tak lain Jaka, anak semata wayangnya. Ternyata Nuning bukanlah istri parasit seperti yang semula ia pikirkan. Dan kebahagiannya seakan bertambah karena Jaka bilang mau lanjut kuliah dengan uang hasil keringatnya sendiri.

***

"Kenapa sih, Jak? Kok dari tadi manyun melulu?" tegur Nuning menjelang tidur.

Jaka mendesah sambil merebahkan tubuhnya yang lelah di kasur. Memandangi plafon dengan tatapan sedih. "Aku habis ditipu, Ning..." ujarnya.

Nuning melompat ke kasur dan menepuk-nepuk Jaka biar cerita, "Ditipu gimana?" desaknya nggak sabar pengen dengerin.

"Aku dapat orderan fiktif. Ceritanya tadi dapat orderan yang minta dibeliin makanan senilai 200 ribu. Tapi giliran udah kubeliin malah di-cancel. Pas kuanterin ke alamatnya biar duitnya diganti, malah disambut sama lagu dangdutnya Ayu Ting Ting, alamat palsu, alias... zonk!"

“Minta ganti aja ke kantormu?"

"Nggak bisa kalau udah di-cancel, Ning. Kan ada prosedurnya, kebetulan kasus yang kayak gini nggak bisa dapet gantian. Niatku ambil orderan kuliner kan karena poinnya lebih gede ketimbang angkut penumpang. Eh, bukannya untung malah buntung."

"Ya udah sih, yang penting kamu kan udah usaha. Nyantai aja napa? Rezeki mah nggak bakal ketuker. Kirain ada apa gituuu, nggak taunya cuma soal ginian tho."

"Cuma? Kayak gini kamu bilang cuma?!" Jaka nggak terima.

"Selow dong... Jangan ngegas. Ntar nabrak, benjut. Santai... Dilarang ngamuk malem-malem, ntar dikira kesurupan loh!" Nuning ngajak becanda, tapi Jaka malah tambah manyun masih bete.

"Terus makanannya mana?” tanya Nuning kemudian.

"Tuh, di kulkas."

"Sini aku beli aja.”

Jaka menoleh dengan cepat. "He? Apa? Kamu... beli?" tanyanya sangsi.

“Tapi ngutang ya?” Nuning nyengir kuda. Tapi diluar dugaan Jaka mengangguk aja nggak pake debat.

“Makanan apa sih sampai segitu mahalnya?”

"Kue kekinian gitulah, yang jual artis jadinya mahal... pake ngantre pula.”

“Wah, artis jualan kue? Kamu ketemu langsung gitu? Cakep nggak artisnya? Cakepan mana sama pas lagi di TV?” desak Nuning sambil mengguncang lengan Jaka.

“Ya nggak gitu juga kaliii. Tuh artis emang yang punya toko kuenya, tapi yang bikin dan yang jagain tokonya ya bukan artisnya langsung.”

Nuning manggut-manggut, sampai di sini dia paham. “Ya udah ambil gih kuenya sekarang,” suruhnya tak sabar kepingin makan kuenya artis.

Antusiasme Nuning bagai energi positif yang nyetrum ke Jaka. Memompa kembali semangatnya yang sempat loyo. Jaka pun tersaruk-maruk ke dapur, diikuti Nuning yang tak sabar kepingin nyicipin.

"Waaah, enak banget kayaknya?" kata Nuning dengan tatapan penuh ‘love-love’ kala Jaka meletakkan si kue artis di meja makan.

"Panggil ibumu." Nuning memotong-motong kue mahalnya dengan hati-hati.

"Ibuku lagi pusing, memangnya nggak eneg makan ginian?"

"Bawain aja ke kamarnya, kali aja mau nyicip."

Jaka nurut. Mengambil sepiring yang sudah disediakan Nuning untuk ibunya dan mengantar ke kamar. Lama Jaka tak kembali ke luar. Mungkin sedang menyuapi ibunya yang sedang sakit. Galak-galak gitu, Bu Lilis berubah manja bukan main kalau sakit. Nuning sih sebodo amat. Tenggelam bersama kenikmatan si kue artis yang memenuhi mulutnya. Lidahnya bergoyang dombret saat mencecapi paduan rasa keju, susu, vanila, dan stroberi. “Lembutnya...” desisnya betul-betul menikmati. Ah, dia jadi makin semangat nyari duit biar bisa beli lagi yang enak-enak kayak gini!

“Segitu enaknya apa?” suara Jaka bikin Nuning tersedak karena kaget. Ia menyahut hanya dengan mengangguk-angguk, karena mulutnya masih dipenuhi si kue artis.

Usai menelan, Nuning buru-buru menyahut, “Enak banget sumpah! Buruan gih, makan punyamu.” Lalu menyodorkan bagian Jaka yang sudah disiapkannya dalam piring. Tapi Jaka mendorong piring itu kembali ke hadapan Nuning.

“Buat kamu aja,” sahut Jaka bikin Nuning mendelik kesenangan. Jaka mengangguk saat Nuning masih menatapnya ragu. "Sebagai suami, aku ikut seneng ngeliat istriku seneng kayak gini," ujarnya sambil mengedip.

Nuning ngakak. "Suami apaan, kita kan cuma__" Mendadak terdiam saat Jaka mendekatkan wajahnya secara tiba-tiba. Nuning seketika memejamkan mata dengan panik. Bisa ia rasakan napas hangat Jaka yang menyapu salah satu sisi pipinya dan bikin jantungnya seketika jumpalitan. Tapi setelah cukup lama tak terjadi apa-apa.

"Ngapain kamu nutup mata segala?" Jaka keheranan.

Nuning membuka kembali matanya lebar-lebar. Terkaget-kaget saat bertemu tatap  dengan Jaka yang melotot padanya selebar piring.

"Soalnya kamu tiba-tiba kayak mau__" Nuning menelan ludah malu sendiri.

"Mau apa?" desak Jaka ngeselin.

"Kamu kayak mau menciumku!" omel Nuning jengkel.

Jaka ngikik. "Bah! Aku tadi cuma mau bisikin aja, kalau makan jangan sampai lupa napas. Tapi kamu malah memejamkan matamu rapat-rapat kayak gitu, bikin aku bingung aja..." omel Jaka balik, tapi kemudian cowok itu nyengir jahat. "Atau jangan-jangan... diam-diam kamu ngarep aku cium lagi ya?"

Nuning menjawab dengan menginjak kakinya keras-keras, bikin cowok itu meringis kesakitan. "Awas ya, berani-beraninya kayak gitu lagi bukan kuinjak lagi kakimu, tapi kupatahin!" ancamnya dengan tatapan membara sebelum bergegas pergi.

Jaka buru-buru mengejarnya ke kamar, tapi Nuning keburu menutup pintu dan menguncinya. "Ning, keluar dong... kan kuenya belum habis?” bujuknya kepingin ngajak damai. Perang dingin sama Nuning tuh bikin capek sodara-sodara, Jaka buru-buru mau nyerah ajalah.

“Simpen sana di kulkas!” jawab Nuning galak.

“Memangnya kamu nggak mau lagi?”

“Mau! Buat besok lagi! Awas kalau kamu makan, kusumpahin mencret!”

Jaka meringis sambil garuk-garuk kepala. “Ning, buka dong... Aku ngantuk, masa tega sih biarin aku bobok di luar? Kan banyak nyamuk?" bujuknya sekali lagi.

"Bodo amat!" jawab Nuning super tega.

Jaka pun melangkah gontai menuju sofanya yang sudah nggak empuk lagi. Merenungi kesalahan apa yang sudah dilakukannya sampai bikin Nuning semarah ini.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pasutri Jadi-jadian   Epilog

    Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan

  • Pasutri Jadi-jadian   184. Harga Mahal Sebuah Pengampunan

    Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn

  • Pasutri Jadi-jadian   183. Kasih yang Membebaskan

    Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada

  • Pasutri Jadi-jadian   182. Dia Tak Boleh Pergi

    “Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J

  • Pasutri Jadi-jadian   181. Dalam Keheningan

    “Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka

  • Pasutri Jadi-jadian   180. Jatuh Cinta dan Konsekuensinya

    Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status