Meski Jaka sudah minta maaf dan pada akhirnya mengembalikan Nuning secara baik-baik, Pak Priyo dan Bu Parmi masih belum bisa terima. Apalagi setelah itu si mantan mantu langsung siap-siap menikah dengan Erna, anaknya Pak Botak yang masih satu kampung dengan mereka. Kalau Jaka nikah dengan orang jauh sih mereka nggak akan semalu ini. Hal itu serasa mencoreng-moreng wajah mereka dengan arang yang paling kelam. Harga diri mereka sebagai orangtua Nuning bagai diinjak-injak dan diringsek sampai habis. Tiada yang tersisa dalam hati Bu Parmi selain kemarahan.
“Huh. Dasar si Botak matre... mau terima Jaka jadi mantunya karena udah sukses aja sekarang. Coba dulu? Saat Jaka masih jadi orang susah? Emangnya dia mau kalau anaknya dikasih mas kawin tiket Damri kayak anak kita dulu?” Bu Parmi diam-diam masih menyimpan dendam kesumatnya.
Kenyataan kalau puteri mereka sebenarnya telah diceraikan Jaka sejak 5 tahun lalu tersebar cepat ke seantero kampung. Jadi berita paling nge
Nuning sedang mempersiapkan kebayanya yang cantik buat kondangan ke nikahannya Jaka besok. Nggak peduli Bu Parmi dan Pak Priyo ngamuk-ngamuk melarang. “Jangan merendahkan dirimu sendiri, Nduk! Ngapain datang ke nikahannya mantan?! Emak tuh capek dengerin gosip tentang kalian yang nggak ada udahnya! Kedatanganmu besok paaaassti jadi gosip besarrrr!” cegah Bu Parmi sambil kipas-kipas bukan karena gerah, tapi karena hatinya masih panas! Kesal anaknya selalu kebagian jatah digosipin yang jelek-jelek. Sementara Jaka dan Erna kebagian bagusnya. “Kalau tau bakal gini jadinya, mati-matian bakal kucegah kalian biar nggak nikah!” omel Pak Priyo berapi-api. Kedua orang tua itu tiba-tiba saling lirik. Seakan terkoneksi dalam obrolan tanpa suara. Lalu tersenyum licik sambil manggut-manggut. Lalu melipir ninggalin Nuning buat menuntaskan misi terakhir. "Jadi, apa rencanamu sekarang, Pak?" desak Bu Parmi sambil menyingsingkan lengan bajunya, siap diaj
Sekeras orangtuanya melarang, sekeras itu pula niat Nuning menghadiri penikahan Jaka dengan Erna. Masa bodoh semua orang memandanginya dengan canggung saat ia baru tiba dan memasuki tenda. Tapi Nuning sudah berbesar hati dan nggak ambil peduli mau dikatain apa lagi. Toh urusannya dengan Jaka udah kelar. Dia datang ke sini sebagai sahabat, bukan mantan. Padahal orang-orang memandanginya karena kaget melihat perubahannya yang semakin cakep dan stylish. Belum lagi jam tangan emas berlapis berlian yang dipakainya, kelihatan kayak asli padahal emang asli. Kalau orang-orang kampung tahu itu emas dan berlian asli, pasti pada semaput. Kehadiran Nuning di tengah-tengah tenda biru itu sukses mencuri perhatian. Dirinya terlihat begitu elegan dalam balutan kebaya yang sewarna dengan jam tangan cantiknya, juga tas dan sepatu mahal keluaran brand international yang dibeli langsung dari Italia. Tapi kasak-kusuk orang-orang yang semula sibuk ngomongin Nuning berubah jadi me
Jaka udah curiga sejak kapan tahu pernikahannya hari ini bakal disabotase. Tiba-tiba saja penghulunya menghilang tanpa kabar. Sementara bapaknya Erna nggak pede buat nikahin anaknya sendiri, tapi ogah nyerahin perwakilannya ke Wali Hakim. Jadwal akad nikahnya jadi molor jauh dari waktunya. “Kita tunggu sampai penghulu datang!” kata bapaknya Erna sok tenang. Padahal keringetnya lagi banjir ngeliat tenda birunya udah penuh sama orang-orang yang kepingin menyaksikan pernikahan sakral ini. Undangan yang datang membludak diluar dugaan. Soalnya orang sekampung telanjur kepo. Soalnya drama pernikahan puterinya ini berbalut rumor yang kerap melibatkan kisah masa lalunya si calon mantu dengan si mantan. Ibunya Erna mohon-mohon kepada si bapak supaya memberanikan diri nikahin anaknya, soalnya penghulunya nggak datang-datang padahal udah menjelang siang. Bapaknya Erna kekeuh nggak mau. Tapi karena tamunya udah pada ngumpul ramai, Pak Botak nekat maju juga. Ngomongnya jadi berbe
Nuning memegangi jantungnya yang nyaris melompat ke langit saking senangnya. "Vincent? Betulan ini kamu?" tanyanya yang tak perlu, sebab dari desah napasnya saja, Nuning tahu ini memang dia. "K-kamu di Milan kan?" tanyanya. Lalu terdengar suara tawa merdu Vincent yang rasanya sanggup merontokkan seluruh bulu keteknya yang lupa belum dicabutin."Iya, aku masih di Milan. Kamu?"Nuning tersenyum sembari berjalan menjauhi janur kuning yang melambai-lambai di belakangnya. Kalau si janur bisa ngomong, pasti udah manggiin dia, 'Woooy jangan kabur! Tanggung jawab lo, udah bikin rusuh pernikahan mantan!'"Aku sekarang di kampung. Ehm, ada apa meneleponku?" jawab Nuning masih dengan senyumnya yang malu-malu senang. Jantungnya masih terasa jeladugan tak menentu.Tapi kemudian, jantungnya serasa berhenti berdetak saat terdengar suara perempuan lain dalam telepon Vincent, tapi itu bukanlah suara Nyonya Rose..."Sayaaang, ayo lekas
Nuning lekas menyadari situasi yang baru saja terjadi. Gempa bumi. Bencana alam. Lalu buru-buru menelepon untuk mengecek kondisi keluarganya. Tapi mendesah kecewa karena masih nggak ada sinyal. Lalu ia berlari pulang ke rumah secepat yang ia bisa. Sudah lama ia nggak nyolong mangga. Mbah Surip juga udah lama meninggal. Nggak ada lagi yang mengejar-ngejarnya. Jadi Nuning udah lama nggak melatih kemampuan larinya. Napasnya jadi mudah tersengal. “Niiing!” Tiba-tiba ia melihat Bambang melambai-lambai di atas motor bebeknya. Nuning balas melambai. “Maaaas!” jeritnya lega ngeliat bantuan datang. “Buruan naik! Kita harus ke Rumah Sakit, Emak pingsan... Kepalanya bocor ketimpa tiang," kata Bambang sambil ngasih kode adiknya agar lekas melompat ke atas boncengannya lalu ngegas ng
Jaka merasakan kedamaian yang menyembul dalam hatinya selama menemani Nuning menjaga Bu Parmi di Rumah Sakit. Jaka mengenal Bu Parmi bukan baru kemarin sore, tapi sejak kecil. Sejak ia mulai bersahabat dengan Nuning, Bu Parmi menerimanya seperti seorang anak. Rumah Nuning sudah seperti rumah keduanya di kampung. Meja makan Bu Parmi sudah seperti meja makannya sendiri. Bu Parmi tak pelit berbagi lauk pauk untuknya. Juga tak pernah kapok meski Jaka suka bikin ludes isi magic comtiap habis makan bareng Nuning. Ketulusan Bu Parmi yang mengalir deras kepadanya, terasa menyirami kegersangan hatinya yang saat itu jauh dari buaian kasih ibu kandungnya sendiri. Syukurlah Emak amnesia... Aku jadi punya kesempatan merawat Emak. Dipandanginya Bu Parmi yang tidur sepulas bayi lagi dibedong. Garis-garis kelelahan terlihat jelas dalam wajahnya yang mulai menua. Meski hobi ngomel dan marah-marah khas emak-emak, tapi Bu Parmi memiliki senyum meneduhkan, yang kel
"Apa-apaan kamu, Jak..." desis Erna di ambang pintu dengan tatapan nyalang. Jaka meringis menahan kesemutan yang terasa merambati kakinya karena semalaman menahan kepala Nuning yang tertidur di pangkuannya. Tapi ia memaksakan bangkit dan beranjak dari sofa. Menyambut Erna dengan manis demi menghindari keributan sepagi ini. "Kamu sama siapa, Er? Masuk, yuk?" bisik Jaka setenang mungkin. Baru kali ini Jaka mendapati wajah Erna semurka ini. Biasanya kekasihnya ini jarang marah dan selalu manis kepadanya. Sepelik apapun masalah yang mereka hadapi selama berpacaran, Erna lebih memilih menyelesaikannya dengan sedikit emosi yang tampak. "Kita harus bicara," desis Erna dengan tatapan berkaca-kaca. Jaka mendekat dan menggandeng lengan Erna. "Iya, tapi temuilah Bu Parmi dulu, setidaknya demi kesopanan," bisiknya. Erna yang tadinya ingin menolak, mau tak mau menurut juga setelah menyadari keadaan dan lingkungannya. Apalagi Bu Parmi dan susternya
Erna menginjak pedal gas mobilnya dengan emosi. Bersama tangisnya yang membanjiri pipi. Dadanya bagai dihantam gada tak kasat mata yang menghancurkan hatinya dengan telak. Sakittt, tapi... tak berdarah. Begitu mobilnya sudah keluar dari ramainya jalanan perkotaan, Erna mulai menambah kecepatannya. Suasana jalanan menuju kampungnya masih begitu sepi pagi ini. Membuat adrenalinnya berpacu deras bersama amarahnya yang meluap-luap. Xenia putihnya melesat cepat. Erna sengaja membuka kaca jendela. Membiarkan angin menampari wajah sembabnya dan mengibarkan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. “Apa sih yang kamu lihat darinya, Jak! Padahal kamu tahu sejak dulu gimana bodohnya dia. Bahkan dia selalu mencontekmu habis-habisan. Tanpamu, Nuning nggak bakal punya ijazah sampai SMA. Dia idiot. Cakep juga nggak! Kelakuannya juga nggak pernah beres di sekolah. Apa coba yang kamu lihat darinya? Apaaaa?!” makinya sambil menekan pedal gas. "Tapi bodohnya aku... selalu saja m