“Pokoknya, kamu jangan ngeloyor sendiri tanpa Jaka. Ingat ya Nduk, Jakarta itu kota besar, jangan kamu samain kayak kampung kita yang biasa kamu jajah seenaknya. Hati-hati sama orang berduit. Katanya mereka bisa melakukan apa saja, salah jadi benar dan benar bisa jadi salah, orang kecil macam kita pasti kalah. Jauh-jauhin orang-orang macam gitu ya, Nduk...” cerocos Bu Parmi kasih nasihat saat mengantar Nuning di terminal.
“Makanya aku juga mau cari duit yang banyak, biar nggak kalah sama mereka. Emak nyantai aja. Aku kan bukan anak kecil lagi. Selagi bisa baca tulis dan punya mulut buat nanya, nggak bakalan nyasar di sana. Udah ah, jangan mewek. Nganterin orang mau pergi ke Jakarta kok kayak nangisin mayat mau dikubur aja,” cebik Nuning.
Bu Parmi geregetan dan menjitak kepalanya. “Dibilangin orang tua kok nyauuut aja! Kualat ntar baru tau rasa!”
“Husss, Mak! Anaknya mau nyebrang kok malah nyumpahin
“Bukannya nyumpahin, Pak... Tap__”
Belum kelar Bu Parmi ngomong, Pak Priyo keburu menyahuti, “Lah, terus apa itu barusan bilang soal kualat segala? ‘Ti-ati sampean. Omongan emak-emak itu kan keramat,” nasihat Pak Priyo seraya memelintir kumis. Auranya sebagai orang nomor satu di keluarganya bikin Bu Parmi menunduk takut-takut sekaligus menyadari kekeliruannya, tapi gengsi minta maaf duluan.
‘Lah, kerajinan amatt, anaknya aja nggak pernah minta maaf kok. Bisa besar kepala dia nanti...’ pikir Bu Parmi keki.
“Maafin Nuning ya, Mak... Dia kan emang gitu orangnya, masa Emak masih kaget aja?” ujar Jaka sambil meraih tangan mertuanya untuk disalimi dengan sopan, lalu meminta doa restunya. Kemudian mencolek Nuning yang lagi sibuk ngatur koper di bagasi. “Ning, salim dulu gih sama Emak.”
Meski manyun, Nuning nurut juga. Menyalimi emaknya sambil minta maaf.
Perubahan sikap Nuning yang sesepele itu terlihat begitu besar di mata orang tuanya. Nuning? Bisa nurut?? Bu Parmi dan Pak Priyo diam-diam bangga sama si anak mantu. Harapan mereka pun melambung tinggi. Mensyukuri pernikahan dini putrinya sebagai berkat. Keyakinan mereka yang semula cuma serpihan debu, perlahan mulai terasa menggumpal dalam genggaman. Jaka pasti bisa mengubah putrinya menjadi sesuatu.
Gantian Bambang si kakak ipar menepuki pundak Jaka. “Tolong jagain dia baek-baek dari Satpol PP di Jakarta ya, takut ntar kena razia dikira topeng monyet lagi mau ngamen,” ledeknya sembari terkikik, tapi kemudian dibungkam tatapan tajam Pak Priyo. Buluk-buluk gitu kan Nuning tetap permata terindah di mata sang bapak.
Saat kondektur mulai mengabsen penumpang, Jaka dan Nuning pamit naik. Pak Priyo tak mampu berkata-kata, tapi pelukan dan napas beratnya saat harus melepas Nuning mengatakan segalanya, betapa ia sangat mencintai putrinya dan berat dengan perpisahan itu. Sementara Bu Parmi mewek udah dari kapan tau.
Nuning menempelkan tangannya di kaca jendela, lalu melambai saat bis perlahan-lahan meninggalkan terminal dan semakin menjauhi kampungnya. Menjauhi Emak, Bapak, Mas Bambang, serta paman dan bibinya Jaka yang turut serta mengantar. Menjadikan mereka titik kecil lalu menghilang saat bis mulai melaju kencang.
***
“Dingin?” tanya Jaka saat Nuning menarik resleting jaketnya sampai ke leher.
Nuning bergeming, memegang pagar besi di atas dek. Menatap lautan gelap saat kapal Feri yang menggangkut bis mereka berlayar di Selat Sunda, dari Bakauheni menuju Merak.
Nuning menengadah, memandangi langit malam yang tak menampakkan bintang-gemintang. Jaka ikut tengadah dalam diam. Lalu menoleh lagi pada Nuning yang tampak khidmat memandangi angkasa raya yang berselimut gelap.
“Mikirin apa sih?” tanya Jaka kepo.
“Nggak ada. Aku cuma deg-degan...”
“Kamu? Degdegan?” Jaka ngikik. Deg-degan itu kata yang nggak pernah ada dalam kamus petualangan Nuning selama ini. Dikejar-kejar Mbah Surip pakai celurit aja cewek ini lari sambil ketawa-tawa kok. Tapi ini, nggak ada apa-apa kok malah deg-degan. Ternyata Nuning masih manusia juga punya rasa deg-degan, dikiranya sudah murni jadi alien.
“Katanya, Jakarta itu lebih indah kalau dilihat malam-malam ya?” tanya Nuning.
Jaka berdecak. “Kata siapa?”
“Kata Sumini. Dia kan udah lima tahun kerja di Jakarta. Katanya pohon-pohonnya aja dihiasin lampu. Nggak kayak kampung kita, lampu bisa nerangin isi rumah tiap malam tanpa ada pemadaman listrik aja udah bagus.”
“Tapi bukannya di situ asyiknya? Kan nakut-nakutin anak pulang ngaji jadi makin seru pas mati lampu.”
Nuning cuma mengiyakan dengan anggukan dan tawa lirihnya.
“Aku kangen sama masa-masa itu, Ning.”
Tapi Nuning agaknya malas menggubris kata-kata Jaka yang mendadak berubah melankolis. Dia lebih suka ngomongin tentang rencananya nanti di Jakarta. Jaka membiarkan Nuning mengoceh sepuasnya. Tak menyelanya barang sekecap. Menjaga harapan Nuning yang kelewat besar terhadap Jakarta. Biarlah nanti gadis itu merasakan sendiri gimana realitanya.
“Ning, udah mau sampai nih bentar lagi. Tuh, lampu-lampu Merak udah mulai kelihatan.” Jaka menepuki pipi Nuning yang pulas tidur di sisinya sambil ngiler. Mungkin karena capek ngoceh ditambah kekenyangan makan popmie sampai 3 cup. Terpaksa Jaka memapah istrinya yang setengah teler menuruni tangga besi yang curam, ke area parkir kendaraan berat. Lalu menggendong Nuning di punggungnya menuju bis seperti kuli menggendong karung beras. Sudah biasa!
***
Nuning mengucek mata. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Lalu mengucek lebih banyak, lebih cepat, dan lebih heboh. “Aku di mana?!” pekiknya sambil koprol dari kasur macam jawara silat yang siap tarung.
Tatapannya menyapu seisi kamar sempit yang mengurungnya. Dindingnya berwarna kuning pucat, sepucat wajahnya saat ini. Lalu beranjak mendekati jendela, menyibak gorden, membukanya lebar-lebar dan melongok ke luar. Berakhir melongo karena yang dilihatnya hanyalah hamparan kebun yang luas.
Sepanjang mata memandang, terhampar tanah kering ditumbuhi ilalang dengan pepohonan yang tampaknya ditanam asal-asalan. Nuning mengabsen satu per satu pohon yang dikenalnya, “Kedondong, rambutan, sawo, asem, melinjo, belimbing wuluh, jambu bol....” Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata terpejam rapat.
Ini pasti mimpi, cuma mimpi!
Ia sadar betul semalam sudah berangkat naik bis Damri sama Jaka yang sudah jadi suaminya. Melihat waktu kini sudah beranjak siang, mestinya mereka sudah sampai di Jakarta sekarang. TAPI. Kenapa dia malah balik lagi ngeliat kebonan seluas ini? Jauh dari pemandangan ibukota yang selama ini tersimpan dalam kepalanya. Gedung bertingkat, lampu-lampu indah yang bekerlip-kerlip di jalanan, mall-mall mewah, jalan tol, jembatan layang, mobil-mobil yang lagi macet.
Nah. Terdampar di mana dirinya sekarang??
Nuning terduduk dengan kedua kakinya yang lemas. Apa ia diculik? Kayak berita kriminal di TV. Banyak kan gadis muda disekap kemudian dijual ke luar negeri?
Terus, Jaka?? Apa diculik juga untuk dijual organ tubuhnya?
Nuning geleng-geleng kepala. Ngeri. Takut.
Jaka nggak boleh mati!
“Sudah bangun?” Suara seseorang tiba-tiba mengejutkannya.
Dengan sisa tenaganya Nuning kembali berdiri sembari menyambar guling di kasur. Lalu melempar perempuan yang menyapanya di ambang pintu. “Siapa kamu?!” bentaknya disangar-sangarin.
Prempuan itu kaget lalu mundur takut-takut.
“Panggil bosmu! Kenapa menculikku?! Kalian salah orang! Lepasin aku sekarang!” pekiknya dengan mata melotot menakutkan, bikin perempuan itu ngibrit keluar kamar. Tapi Nuning lekas mengejar sebelum pintu kamar itu keburu ditutup dan ia terkunci di dalam.
“Tolooong!” Perempuan itu menjerit ketakutan dikejar-kejar Nuning yang nyaris menerkamnya, tapi secepat kilat lengan seorang lelaki dengan sigap menangkap Nuning.
“Lepasinnnn! Dasar penculik goblok! Kalau mau nyulik liat-liat dulu dong! Emangnya tampangku kayak anak orang berduit apa?! Emak bapakku orang kampung, nggak punya duit buat tebusan. Boro-boro! Ternak ayam aja modalnya masih ngutang! Lepasinnnn,” ocehnya sambil membabibuta menjambaki orang yang mendekapnya dari belakang.
Tapi dekapan orang itu padanya semakin kuat dan berhasil mengunci amukannya. Lalu tubuhnya dipanggul seperti karung beras dan dibawa kembali ke kamar, kemudian dilempar ke springbed yang memantul-mantulkan tubuh mungilnya.
“Aduh! Dasar penculik berengsek!” maki Nuning sambil memegangi kepalanya yang pusing.
“Berisiiiik!” omel lelaki yang memanggulnya tadi.
Nuning beranjak bangun ingin balas menghajar, tapi kemudian matanya melotot seperti mau copot begitu melihat muka si penculik di depannya. “Jaka??” tanyanya sambil kedip-kedip bingung.
Jaka memutar bola mata sambil berkacak pinggang, lalu geleng-geleng kepala dan menjitak kepala Nuning yang seketika meringis kesakitan, tapi nggak punya daya untuk membalas. Dia masih terlalu kaget sekaligus plong melihat Jaka baik-baik saja di depannya, dengan tubuh gagahnya yang utuh sehat lengkap.
“Haduuuh. Otakmu kok korsletnya kebangetan tho, Ning?!” sembur Jaka jengkel. “Makanya kalau molor jangan kayak kebo!” omelnya yang kerepotan mengurusi Nuning semalaman molor gak bisa dibangunin meski udah sampai rumah. Giliran udah bangun sekarang, malah bertingkah macam orang kesurupan.
Perempuan yang dikejar Nuning tadi mengintip takut-takut dari balik punggung Jaka. Saat Nuning menoleh padanya, perempuan itu buru-buru ngumpet di belakang Jaka.
“Ini ibuku,” kata Jaka bikin Nuning terjengkang kaget.
“Ii-i-ibu-mu?? Hehe... kirain komplotan penculik. Yaaah, maaf deh!”
“Dasar geblek! Siapa juga yang menculikmu? Halu! Orang juga ngeliat dulu kali kalau mau nyulik. Nyulik kamu mah bukannya bawa untung, tapi bikin musibah!”
“Issshh...” dengus Nuning sewot.
“Bu... Sini, nggak apa-apa. Orangnya udah waras, kok!” kata Jaka sambil menggandeng lengan perempuan yang ternyata ibunya.
Perempuan tengah baya itu memandangi Nuning dengan takut-takut. Saat Nuning bergerak cepat ingin mendekatinya, ia menjerit kaget dan sembunyi lagi dibalik punggung Jaka. Nuning pun cengar-cengir lalu mengulurkan tangan. “Maaf ya Bu soal yang tadi. Kenalin... saya Nuning, istrinya Jaka.”
Ibu mertuanya mengangguk ragu-ragu sambil balas mengulurkan tangannya yang terasa dingin dalam genggaman Nuning yang kelewat erat karena antusias sama perkenalan ini. Mertuanya meringis kesakitan dan buru-buru menarik tangannya.
Setelah ibunya pamit keluar, Nuning buru-buru mengunci pintu dan nggak sabar mencubit Jaka yang ampun-ampun kesakitan. “Mana kutahu dia ibumu?! Siapa suruh nggak datang pas kawinan kita?” desisnya dongkol.
“Kan udah kubilang, waktu itu beliau sakit!” jawab Jaka beralasan. Padahal sebenarnya ibunya nggak mau datang karena nggak setuju anak semata wayangnya nikah muda.
"Oke. Sekarang pertanyaannya, monasnya mana? Kita ini sebenarnya ada di Jakarta apa bukan sih? Katamu kan di Jakarta udah nggak ada kebonan macam ini? Kamu menipuku ya?! Bilang cepet, kita di mana sekarang?!”
Jaka meringis minta ampun karena cubitan Nuning bertambah kecil. “Citayem!” katanya sambil membebaskan diri.
“Citayem? Tape yang masih kelihatan raginya?”
“Itu sih peyeum! Kamu tadi nanyain tempat, apa makanan sih?”
“Ihhh gitu aja sewot,” gerutu Nuning. “Terus, Citayem itu mananya Jakarta?”
Jaka garukin kepala, menjelaskan posisi Citayem sama Nuning mah sama aja kayak bahas pelajaran geografi yang gak cukup makan waktu berjam-jam!
“Mendingan kita makan dulu, deh! Emangnya kamu nggak laper?” Jaka ngeles.
“Gitu kek dari tadi,” gumam Nuning setuju, lalu ngacir duluan ke dapur nggak pake malu. Ibu mertuanya lekas melipir ke tembok saat berpapasan dengannya, takut kena seruduk.
***
Memasuki kamarnya menjelang malam, Nuning memakai lotion nyamuk sampai habis sebungkus. “Nggak kasihan kulitmu ntar keracunan?” komen Jaka sambil geleng-geleng kepala.“Salah sendiri punya rumah kok ndeso banget. Udah di pojokan kebon, jauh dari rumah orang-orang pula. Kuburan aja masih lebih rame dempet-dempetan. Ini sih nggak ada bedanya sama suasana di kampung kita. Masih mending di kampung malah, nggak banyak nyamuk kayak sini. Nyamuk kampung mah masih tahu permisi, kalau gigit satu-satu gantian. Nggak keruyukan ugal-ugalan kayak gini!”“Ya udah, apa mau balik lagi ke kampung? Nggak masalah, besok kuanterin.”Nuning buru-buru nemplok mepetin Jaka. “Ih, kamu mah gituuuu. Nggak bisa selow. Kalem gaess, canda... Sensi amattt?” Sambil main mata macem orang kelilipan. “Cieee... masih marah?” Nuning nyolek dagu Jaka lagi yang cemberut.“Sana, geseran! Husss... husss,” usir Jaka
Sesuai janji, Jaka mengajak Nuning naik KRL dari stasiun Citayem ke Jakarta. “Tapi janji, jangan norak ya! Jangan banyak komen, ojo ndeso...” katanya mewanti-wanti untuk kesekian kali.“IYAAA!”Orang yang berbaris di loket menoleh karena jawaban Nuning yang keras sambil mendelik galak pada Jaka yang kepingin ngacir aja balik ke rumah biar nggak malu. Padahal aja guguk nggak segalak itu kalo dibilangin baek-baek.Sebenarnya Jaka kepingin menggandeng pas mereka nungguin kereta di peron, takut Nuning ketinggalan terus ilang. Nyariin Nuning ilang di kota kan lebih repot ketimbang nyariin anak kutu satu-satu di rambut. Tapi Jaka buru-buru menarik tangannya karena hampir digigit. Buset, galak beutt dah! Jaka jadi tambah repot mesti bolak-balik nengok buat mastiin Nuning tetap ada di sebelahnya. Masa iya mau diiket kayak kambing mau dijual ke pasar? Ini kan manusia. Tapi Jaka sabar-sabarin diri mengingat manusia satu ini seteng
Kalau Jaka mengira Nuning bakal nyasar dan hilang di Jakarta, salah besar! Nuning memang wong ndeso. Gadis kampung. Gadis lugu yang baru pertama sungkeman sama ibukota. Tapi Jaka lupa kalau Nuning nggak selugu itu. Otaknya memang cekak buat menjangkau pelajaran semasa sekolah, apalagi kalau ketemu logaritma dan aneka teori matematika lainnya. Jelas Nuning milih kabur lompat pagar. Mendingan ngitung kebo di sawah. Tapi ada satu yang paling Nuning ingat tentang matematika, yaitu probabilitas. Cabang matematika yang paling tricky. Kelihatan sederhana tapi sebenarnya sulit dipecahkan dan butuh pola pikir strategis memecahkan persoalan. Karena sebenarnya nggak ada pattern matematis yang langsung untuk menyelesaikan tebak-tebakan yang diberikan. Dalam hal ini mirip tebak-tebakan tentang kehidupannya di ibukota dengan berbagai kemungkinan.Nuning telanjur melempar dadu permainan kehidupannya di ibukota, nggak ngarep bisa langsung dapat titik enam dalam sekali lempa
Setelah dapat kerja, meski cuma kuli dan tukang petik buah, Nuning pikir hidupnya bakalan baik-baik saja. Ternyata Jakarta nggak sehoror yang orang-orang bilang. Tingginya pengangguran dan tingkat kriminalitas memang kudu diwaspadai tapi bukan untuk ditakuti. Nuning nggak mau pikirannya diintimidasi sama hal-hal yang belum tentu terjadi. Waspada itu wajib, tapi parnoan jangan. Seringkali kenyataan nggak seangker isi pikiran. Jangan sampai rumor buruk tentang ibukota merusak impiannya.Impian Nuning kepingin menghabiskan masa mudanya dengan senang, kenyang, tapi tetap banyak uang. Gimana caranya? Nggak tau. Nuning masih belum mikirin. Yang ada aja dijalanin dulu. Step by step, kira-kira gitulah bahasa Inggrisnya. Tapi kalau bahasa bapaknya, alon-alon asal kelakon. Sementara bahasa Nuning sendiri, “Selow... santai... santai... jodoh nggak akan kemana,” kayak lagu dangdutnya Via Valen.Omong-omong soal jodoh, baginya jodoh bukan
"Jangan lupa makan ya, Nduk?""Iya, Mak. Emak juga jangan lupa masak yang banyak. Biar Bapak sama Mas Bambang kenyang, nggak kelaparan."Tapi Bu Parmi malah nangis kejer. Nuning sampai menjauhkan speaker ponselnya. "Mak, lupa umur ya? Nggak pantes nangis macem bayi kayak gitu... Mau es krim? Beli gih yang banyak, nanti duitnya Nuning transfer lagi lewat rekeningnya Mas Bambang."Bambang yang ikut menyimak percakapan itu ngumpetin air matanya. Diam-diam dalam hatinya ikutan bangga. Nyesel selama ini keseringan memandang sebelah mata pada adiknya. Dulu, adiknya memang kayak ulat bulu yang suka nggerogoti daun sampai bikin gundul tanaman, tapi setelah berubah jadi kupu-kupu, barulah terlihat manfaat dan keindahannya."Ya Allah... Anakku udah bisa nyari duit tho?" isak Bu Parmi terharu. Meski cuma ditransfer tiga ratus ribu, tapi kebahagian emaknya bagai menerima tiga juta. Soalnya ini duit dari Nuning! Tapi jelas bakalan beda lagi ceritanya kalau em
Nuning bersiul-siul menuju rumah Bu Murni mau ketemu Jimin. Sudah janjian mau keliling panen rambutan hari ini. Kemudian siulannya terhenti kala berpapasan dengan seorang nenek yang jalan tergopoh-gopoh dengan tongkatnya. “Mau kemana, Mbah?” sapanya dengan mengangguk ramah.“Memangnya aku mbahmu?” balas nenek tua itu sewot.Nuning meringis keki, lalu geleng-geleng kepala melaluinya.“Eh, gadis muda!” panggil nenek itu tiba-tiba.Nuning menoleh malas-malasan karena sikapnya yang kurang bersahabat tadi. “Ya, ada apa nenek tua?” sahutnya sekenanya.“Hei, aku punya nama! Jangan sebut aku nenek tua ya?!” bentak nenek itu sambil menuding dengan tongkatnya.Meski jengkel, Nuning berbaik hati meladeninya dengan menjawab, “Iya, saya juga punya nama. Jadi jangan juga sebut saya Hei.”“Ya sudah, mari kita bertukar nama,” ajak si nenek akhirnya mau akur.&l
“Ngapain melamun? Kangen kampung?” sapa Jaka sambil menyesap kopi susunya. Duduk di sebelah Nuning yang memandangi bulan purnama di teras rumah. Nuning agaknya lagi ogah menyahut, menoleh barang sedikit juga tidak. “Kalau kangenmu sama kampung segitu beratnya, kuanterin pulang yuk?” godanya, lalu menyesap lagi kopinya, kemudian terbatuk-batuk usai kena tabok. Nuning kan paling senewen dengan ancaman satu itu. “Siapa juga yang kepingin pulang kampung?” Mata Nuning melotot segede jengkol. “Becanda doang keleus. Galak beut sih jadi orang?” “Lagian becandanya nggak tepat waktu. Tuman!” “Iya, ampun deh ....!” Jaka meringis dicubiti Nuning. Nuning mendesah. “Aku ketemu sama nenek-nenek aneh!” “Aneh mana sama kamu?” seloroh Jaka tak sanggup menahan mulut, untung saja Nuning cuma melotot. Sudah biasa dipelototin sama Nuning mah, ditabokin juga biasa. “Oke, oke .... Emang seaneh apa sih?" Nuning tancap gas bercerita, mulai jadi
Pikiran Nuning dan Jaka tentu saja langsung travelling kemana-mana. Bayar utang pakai tubuhnya Jaka tuh bagaimana coba? Ternyata maksudnya si mbah nggak sama mesumnya dengan yang mereka sangka. “Ooooohh,” ujar keduanya lega saat Mbah Sum menyuruh Jaka jadi tukang pijatnya selama sebulan. “Soalnya istrimu nggak bisa memijat, makanya aku maunya sama kamu aja,” kata Mbah Sum sarat modus. Nuning derdecak. “Kemarin Mbah sendiri yang bilang pijatan saya enak!” protesnya. “Ah. Masa? Salah dengar kamu tuh!” Mbah Sum mengelak selicin belut. “Mbah, sebulan kelamaan. Dua ratus ribu dibagi sebulan cuma lima ribu lebih dikit dong? Mana ada upah tukang pijat segitu sekarang ini? Kalau nggak percaya, coba Mbah keliling kampung tanyain orang-orang,” oceh Nuning membalikkan omongan Mbah Sum soal ongkos pijat. “Tapi Minggu dan tanggal merah kan libur,” sahut si mbah masih aja ngeles. “Seminggu aja ya, Mbah?” Nuning ngajak akur. Mbah Sum tetap me