Share

9. Berangkat Ke Jakarta

“Pokoknya, kamu jangan ngeloyor sendiri tanpa Jaka. Ingat ya Nduk, Jakarta itu kota besar, jangan kamu samain kayak kampung kita yang biasa kamu jajah seenaknya. Hati-hati sama orang berduit. Katanya mereka bisa melakukan apa saja, salah jadi benar dan benar bisa jadi salah, orang kecil macam kita pasti kalah. Jauh-jauhin orang-orang macam gitu ya, Nduk...” cerocos Bu Parmi kasih nasihat saat mengantar Nuning di terminal.

“Makanya aku juga mau cari duit yang banyak, biar nggak kalah sama mereka. Emak nyantai aja. Aku kan bukan anak kecil lagi. Selagi bisa baca tulis dan punya mulut buat nanya, nggak bakalan nyasar di sana. Udah ah, jangan mewek. Nganterin orang mau pergi ke Jakarta kok kayak nangisin mayat mau dikubur aja,” cebik Nuning.

Bu Parmi geregetan dan menjitak kepalanya. “Dibilangin orang tua kok nyauuut aja! Kualat ntar baru tau rasa!”

“Husss, Mak! Anaknya mau nyebrang kok malah nyumpahin

“Bukannya nyumpahin, Pak... Tap__”

Belum kelar Bu Parmi ngomong, Pak Priyo keburu menyahuti, “Lah, terus apa itu barusan bilang soal kualat segala? ‘Ti-ati sampean. Omongan emak-emak itu kan keramat,” nasihat Pak Priyo seraya memelintir kumis. Auranya sebagai orang nomor satu di keluarganya bikin Bu Parmi menunduk takut-takut sekaligus menyadari kekeliruannya, tapi gengsi minta maaf duluan.

‘Lah, kerajinan amatt, anaknya aja nggak pernah minta maaf kok. Bisa besar kepala dia nanti...’ pikir Bu Parmi keki.

“Maafin Nuning ya, Mak... Dia kan emang gitu orangnya, masa Emak masih kaget aja?” ujar Jaka sambil meraih tangan mertuanya untuk disalimi dengan sopan, lalu meminta doa restunya. Kemudian mencolek Nuning yang lagi sibuk ngatur koper di bagasi. “Ning, salim dulu gih sama Emak.”

Meski manyun, Nuning nurut juga. Menyalimi emaknya sambil minta maaf.

Perubahan sikap Nuning yang sesepele itu terlihat begitu besar di mata orang tuanya. Nuning? Bisa nurut?? Bu Parmi dan Pak Priyo diam-diam bangga sama si anak mantu. Harapan mereka pun melambung tinggi. Mensyukuri pernikahan dini putrinya sebagai berkat. Keyakinan mereka yang semula cuma serpihan debu, perlahan mulai terasa menggumpal dalam genggaman. Jaka pasti bisa mengubah putrinya menjadi sesuatu.

Gantian Bambang si kakak ipar menepuki pundak Jaka. “Tolong jagain dia baek-baek dari Satpol PP di Jakarta ya, takut ntar kena razia dikira topeng monyet lagi mau ngamen,” ledeknya sembari terkikik, tapi kemudian dibungkam tatapan tajam Pak Priyo. Buluk-buluk gitu kan Nuning tetap permata terindah di mata sang bapak.

Saat kondektur mulai mengabsen penumpang, Jaka dan Nuning pamit naik. Pak Priyo tak mampu berkata-kata, tapi pelukan dan napas beratnya saat harus melepas Nuning  mengatakan segalanya, betapa ia sangat mencintai putrinya dan berat dengan perpisahan itu. Sementara Bu Parmi mewek udah dari kapan tau.

Nuning menempelkan tangannya di kaca jendela, lalu melambai saat bis perlahan-lahan meninggalkan terminal dan semakin menjauhi kampungnya. Menjauhi Emak, Bapak, Mas Bambang, serta paman dan bibinya Jaka yang turut serta mengantar. Menjadikan mereka titik kecil lalu menghilang saat bis mulai melaju kencang.

***

“Dingin?” tanya Jaka saat Nuning menarik resleting jaketnya sampai ke leher.

Nuning bergeming, memegang pagar besi di atas dek. Menatap lautan gelap saat kapal Feri yang menggangkut bis mereka berlayar di Selat Sunda, dari Bakauheni menuju Merak.

Nuning menengadah, memandangi langit malam yang tak menampakkan bintang-gemintang. Jaka ikut tengadah dalam diam. Lalu menoleh lagi pada Nuning yang tampak khidmat memandangi angkasa raya yang berselimut gelap.

“Mikirin apa sih?” tanya Jaka kepo.

“Nggak ada. Aku cuma deg-degan...”

“Kamu? Degdegan?” Jaka ngikik. Deg-degan itu kata yang nggak pernah ada dalam kamus petualangan Nuning selama ini. Dikejar-kejar Mbah Surip pakai celurit aja cewek ini lari sambil ketawa-tawa kok. Tapi ini, nggak ada apa-apa kok malah deg-degan. Ternyata Nuning masih manusia juga punya rasa deg-degan, dikiranya sudah murni jadi alien.

“Katanya, Jakarta itu lebih indah kalau dilihat malam-malam ya?” tanya Nuning.

Jaka berdecak. “Kata siapa?”

“Kata Sumini. Dia kan udah lima tahun kerja di Jakarta. Katanya pohon-pohonnya aja dihiasin lampu. Nggak kayak kampung kita, lampu bisa nerangin isi rumah tiap malam tanpa ada pemadaman listrik aja udah bagus.”

“Tapi bukannya di situ asyiknya? Kan nakut-nakutin anak pulang ngaji jadi makin seru pas mati lampu.”

 Nuning cuma mengiyakan dengan anggukan dan tawa lirihnya.

 “Aku kangen sama masa-masa itu, Ning.”

Tapi Nuning agaknya malas menggubris kata-kata Jaka yang mendadak berubah melankolis. Dia lebih suka ngomongin tentang rencananya nanti di Jakarta. Jaka membiarkan Nuning mengoceh sepuasnya. Tak menyelanya barang sekecap. Menjaga harapan Nuning yang kelewat besar terhadap Jakarta. Biarlah nanti gadis itu merasakan sendiri gimana realitanya.

“Ning, udah mau sampai nih bentar lagi. Tuh, lampu-lampu Merak udah mulai kelihatan.” Jaka menepuki pipi Nuning yang pulas tidur di sisinya sambil ngiler. Mungkin karena capek ngoceh ditambah kekenyangan makan popmie sampai 3 cup. Terpaksa Jaka memapah istrinya yang setengah teler menuruni tangga besi yang curam, ke area parkir kendaraan berat. Lalu menggendong Nuning di punggungnya menuju bis seperti kuli menggendong karung beras. Sudah biasa!

***

Nuning mengucek mata. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Lalu mengucek lebih banyak, lebih cepat, dan lebih heboh. “Aku di mana?!” pekiknya sambil koprol dari kasur macam jawara silat yang siap tarung.

Tatapannya menyapu seisi kamar sempit yang mengurungnya. Dindingnya berwarna kuning pucat, sepucat wajahnya saat ini. Lalu beranjak mendekati jendela, menyibak gorden, membukanya lebar-lebar dan melongok ke luar. Berakhir melongo karena yang dilihatnya hanyalah hamparan kebun yang luas.

Sepanjang mata memandang, terhampar tanah kering ditumbuhi ilalang dengan pepohonan yang tampaknya ditanam asal-asalan. Nuning mengabsen satu per satu pohon yang dikenalnya, “Kedondong, rambutan, sawo, asem, melinjo, belimbing wuluh, jambu bol....” Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata terpejam rapat.

Ini pasti mimpi, cuma mimpi!

Ia sadar betul semalam sudah berangkat naik bis Damri sama Jaka yang sudah jadi suaminya. Melihat waktu kini sudah beranjak siang, mestinya mereka sudah sampai di Jakarta sekarang. TAPI. Kenapa dia malah balik lagi ngeliat kebonan seluas ini? Jauh dari pemandangan ibukota yang selama ini tersimpan dalam kepalanya. Gedung bertingkat, lampu-lampu indah yang bekerlip-kerlip di jalanan, mall-mall mewah, jalan tol, jembatan layang, mobil-mobil yang lagi macet.

Nah. Terdampar di mana dirinya sekarang??

Nuning terduduk dengan kedua kakinya yang lemas. Apa ia diculik? Kayak berita kriminal di TV. Banyak kan gadis muda disekap kemudian dijual ke luar negeri?

Terus, Jaka?? Apa diculik juga untuk dijual organ tubuhnya?

Nuning geleng-geleng kepala. Ngeri. Takut.

Jaka nggak boleh mati!

“Sudah bangun?” Suara seseorang tiba-tiba mengejutkannya.

Dengan sisa tenaganya Nuning kembali berdiri sembari menyambar guling di kasur. Lalu melempar perempuan yang menyapanya di ambang pintu. “Siapa kamu?!” bentaknya disangar-sangarin.

Prempuan itu kaget lalu mundur takut-takut.

“Panggil bosmu! Kenapa menculikku?! Kalian salah orang! Lepasin aku sekarang!” pekiknya dengan mata melotot menakutkan, bikin perempuan itu ngibrit keluar kamar. Tapi Nuning lekas mengejar sebelum pintu kamar itu keburu ditutup dan ia terkunci di dalam.

“Tolooong!” Perempuan itu menjerit ketakutan dikejar-kejar Nuning yang nyaris menerkamnya, tapi secepat kilat lengan seorang lelaki dengan sigap menangkap Nuning.

“Lepasinnnn! Dasar penculik goblok! Kalau mau nyulik liat-liat dulu dong! Emangnya tampangku kayak anak orang berduit apa?! Emak bapakku orang kampung, nggak punya duit buat tebusan. Boro-boro! Ternak ayam aja modalnya masih ngutang! Lepasinnnn,” ocehnya sambil membabibuta menjambaki orang yang mendekapnya dari belakang.

Tapi dekapan orang itu padanya semakin kuat dan berhasil mengunci amukannya. Lalu tubuhnya dipanggul seperti karung beras dan dibawa kembali ke kamar, kemudian dilempar ke springbed yang memantul-mantulkan tubuh mungilnya.

“Aduh! Dasar penculik berengsek!” maki Nuning sambil memegangi kepalanya yang pusing.

“Berisiiiik!” omel lelaki yang memanggulnya tadi.

Nuning beranjak bangun ingin balas menghajar, tapi kemudian matanya melotot seperti mau copot begitu melihat muka si penculik di depannya. “Jaka??” tanyanya sambil kedip-kedip bingung.

Jaka memutar bola mata sambil berkacak pinggang, lalu geleng-geleng kepala dan menjitak kepala Nuning yang seketika meringis kesakitan, tapi nggak punya daya untuk membalas. Dia masih terlalu kaget sekaligus plong melihat Jaka baik-baik saja di depannya, dengan tubuh gagahnya yang utuh sehat lengkap.

“Haduuuh. Otakmu kok korsletnya kebangetan tho, Ning?!” sembur Jaka jengkel. “Makanya kalau molor jangan kayak kebo!” omelnya yang kerepotan mengurusi Nuning semalaman molor gak bisa dibangunin meski udah sampai rumah. Giliran udah bangun sekarang, malah bertingkah macam orang kesurupan.

Perempuan yang dikejar Nuning tadi mengintip takut-takut dari balik punggung Jaka. Saat Nuning menoleh padanya, perempuan itu buru-buru ngumpet di belakang Jaka.

“Ini ibuku,” kata Jaka bikin Nuning terjengkang kaget.

 “Ii-i-ibu-mu?? Hehe... kirain komplotan penculik. Yaaah, maaf deh!”

 “Dasar geblek! Siapa juga yang menculikmu? Halu! Orang juga ngeliat dulu kali kalau mau nyulik. Nyulik kamu mah bukannya bawa untung, tapi bikin musibah!”

“Issshh...” dengus Nuning sewot.

“Bu... Sini, nggak apa-apa. Orangnya udah waras, kok!” kata Jaka sambil menggandeng lengan perempuan yang ternyata ibunya.

Perempuan tengah baya itu memandangi Nuning dengan takut-takut. Saat Nuning bergerak cepat ingin mendekatinya, ia menjerit kaget dan sembunyi lagi dibalik punggung Jaka. Nuning pun cengar-cengir lalu mengulurkan tangan. “Maaf ya Bu soal yang tadi. Kenalin... saya Nuning, istrinya Jaka.”

Ibu mertuanya mengangguk ragu-ragu sambil balas mengulurkan tangannya yang terasa dingin dalam genggaman Nuning yang kelewat erat karena antusias sama perkenalan ini. Mertuanya meringis kesakitan dan buru-buru menarik tangannya.

Setelah ibunya pamit keluar, Nuning buru-buru mengunci pintu dan nggak sabar mencubit Jaka yang ampun-ampun kesakitan. “Mana kutahu dia ibumu?! Siapa suruh nggak datang pas kawinan kita?” desisnya dongkol.

“Kan udah kubilang, waktu itu beliau sakit!” jawab Jaka beralasan. Padahal sebenarnya ibunya nggak mau datang karena nggak setuju anak semata wayangnya nikah muda.

"Oke. Sekarang pertanyaannya, monasnya mana? Kita ini sebenarnya ada di Jakarta apa bukan sih? Katamu kan di Jakarta udah nggak ada kebonan macam ini? Kamu menipuku ya?! Bilang cepet, kita di mana sekarang?!”

Jaka meringis minta ampun karena cubitan Nuning bertambah kecil. “Citayem!” katanya sambil membebaskan diri.

“Citayem? Tape yang masih kelihatan raginya?”

“Itu sih peyeum! Kamu tadi nanyain tempat, apa makanan sih?”

“Ihhh gitu aja sewot,” gerutu Nuning. “Terus, Citayem itu mananya Jakarta?”

Jaka garukin kepala, menjelaskan posisi Citayem sama Nuning mah sama aja kayak bahas pelajaran geografi yang gak cukup makan waktu berjam-jam!

“Mendingan kita makan dulu, deh! Emangnya kamu nggak laper?” Jaka ngeles.

“Gitu kek dari tadi,” gumam Nuning setuju, lalu ngacir duluan ke dapur nggak pake malu. Ibu mertuanya lekas melipir ke tembok saat berpapasan dengannya, takut kena seruduk.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status