Memasuki kamarnya menjelang malam, Nuning memakai lotion nyamuk sampai habis sebungkus. “Nggak kasihan kulitmu ntar keracunan?” komen Jaka sambil geleng-geleng kepala.
“Salah sendiri punya rumah kok ndeso banget. Udah di pojokan kebon, jauh dari rumah orang-orang pula. Kuburan aja masih lebih rame dempet-dempetan. Ini sih nggak ada bedanya sama suasana di kampung kita. Masih mending di kampung malah, nggak banyak nyamuk kayak sini. Nyamuk kampung mah masih tahu permisi, kalau gigit satu-satu gantian. Nggak keruyukan ugal-ugalan kayak gini!”
“Ya udah, apa mau balik lagi ke kampung? Nggak masalah, besok kuanterin.”
Nuning buru-buru nemplok mepetin Jaka. “Ih, kamu mah gituuuu. Nggak bisa selow. Kalem gaess, canda... Sensi amattt?” Sambil main mata macem orang kelilipan. “Cieee... masih marah?” Nuning nyolek dagu Jaka lagi yang cemberut.
“Sana, geseran! Husss... husss,” usir Jaka macem orang ngusir ayam tetangga yang mau pup di pekarangan rumahnya.
Nuning meninju lengan Jaka. “Mestinya aku yang ngomong gitu, ngapa jadi kamu?!” omelnya nggak terima lalu membalik tubuh memunggunginya.
Jaka mencebik lalu narik selimut buat nutupin seluruh tubuhnya sampai kepala. Jaga-jaga kalau Nuning kentut biar nggak nembus lubang hidungnya. Dia kepingin istirahat tenang malam ini tanpa ancaman bom busuk lagi, kasihan hidungnya bermalam-malam kena serangan bau mematikan. Tapi kemudian Jaka membuka selimutnya pas denger suara isakan kecil di sebelahnya.
Nuning? Nangis? Jaka kepingin ngakak tapi ditahan.
Kalau divideoin terus dikirim ke Parman cs, pasti bakal bikin gempar orang sekampung! Nuning kan nggak pernah nangis. Bikin anak orang nangis sih sering.
Jaka ngulurin tangan kepingin nenangin, tapi gerakannya ngambang. Ketimbang nekat megang tapi habis itu malah kena smackdown sama Nuning.
“Ning... Kok nangis?”
Tapi yang nyahut malah suara jangkrik sama kodok yang ribut banget di luar kamar.
“Ning?” Jaka manggil lagi. Rasanya nggak enak kalau didiemin sama Nuning.
“Ngomong dong, Ning... Kok diem?”
“Aku nggak nyangka kamu tega bohongin aku. Katanya kamu mau pindah ke Jakarta makanya aku kepengen ikut. Tapi mana? Ini mah bukan Jakarta! Mana ada ibukota yang suara kodoknya nggak kalah rame sama kodok sawah di kampung? Mestinya tuh ramenya sama suara klakson mobil atau motor, atau sama suara bajay yang katamu berisik kayak suara kentutku itu, tapi mana?! Percuma aku kawin sama kamu!”
Jaka buru-buru membekap mulut Nuning erat-erat. “Ssttt jangan keras-keras,” desis Jaka ke kuping Nuning, hingga Nuning bisa merasakan napas Jaka yang menyapu sebagian pipinya. “Kalau sampai Ibu dan keluargaku tahu alasan pernikahan kita yang sebenarnya, bisa gawatt. Kelarrr kita. Terus kamu didepak balik ke kampung lagi. Terus selamanya kamu nggak boleh ke Jakarta lagi sama keluargamu. Mau??” omelnya masih dengan berbisik.
Nuning menggeleng dengan jantung berdebar kencang. Ogah banget dia balik ke kampung! Apalagi kalau sampai selamanya dilarang ke Jakarta lagi sama emak-bapaknya. Kiamat. Nuning pun buru-buru mengangguk patuh.
Jaka pun melepaskan tangannya dari mulut Nuning dan menarik tubuh gadis itu agar berbalik menghadapnya. “Denger,” bisiknya sambil menatap lurus-lurus wajah Nuning yang memucat panik, bikin Jaka diam-diam ketawa dalam hati soalnya jarang-jarang liat muka Nuning kayak gitu, ”apapun yang terjadi, kita harus bersikap kayak suami-istri beneran. Soalnya aku bilang sama ibuku kalau kita saling cinta dan aku gak bisa balik ke sini kalau nggak sama kamu sebagai istriku yang sah. Mau nggak mau, ibuku akhirnya setuju kita menikah. Kalau sampai ibuku tau kita gak serius dengan pernikahan ini, bisa-bisa detik itu juga dia bakal menelpon bapakmu agar menjemputmu pulang kampung. Sampai sini, paham?”
Nuning tersenyum kecut. “Terus, kapan aku bisa ke Jakarta? Besok?” sahutnya mengganti topik.
Jaka mendengus capek. “Apa Jakarta sepenting itu bagimu?”
“Ya iyalah, kalau nggak ngapain aku bela-belain nikahin kamu biar bisa ke Jakarta?”
Gantian Jaka yang tersenyum kecut. “Sabar, Jakarta nggak akan kemana-mana kok. Aku pasti akan membawamu ke sana. Tapi, kamu harus janji akan memperlakukan ibuku sebagai mertua sungguhan, meski kamu nggak menganggapku sebagai suami sungguhan. Bagaimanapun, di mata ibuku kamu itu istriku.”
“Iya, bawel! Pura-pura jadi kuntilanak aja aku bisa, masa pura-pura jadi istrimu aku nggak bisa sih!” ketus Nuning.
“Loh kok pura-pura, kan kita suami-istri betulan?” godanya sambil mencolek dagu Nuning.
“Awas aja kalau macem-macem?!” Nuning balas memelototinya.
“Iya-iya, canda... Aku nggak punya perasaan khusus sama kamu, kok!”
“Iya, aku tahu kamu sukanya cuma sama Erna kan?”
“Ngapa jadi bahas Erna sih?” desah Jaka. Lalu ia bergegas membongkar tasnya dan kembali dengan sebuah buku, kado dari Erna. Membuka-bukanya sambil cengengesan nggak jelas, tapi berubah masam dalam sekejap. Dan melempar buku itu ke nakas. Lalu diambil lagi, dibuka lagi, ketawa sendiri, terus melemparnya lagi ke nakas dengan muka masam.
Nuning mendengus ngeliat tingkah Jaka yang absurd.
“Terus, kapan aku bisa lihat Jakarta beneran? Awas kalau kamu bohongin aku.”
“Kita sahabatan kan bukan sejak kemarin sore. Masa iya aku bohongin kamu? Bisa kena kutuk tujuh turunan ntar hidupku,” ujar Jaka lalu terkekeh. “Oke. Besok deh kita ke Jakarta naik KRL. Orang sini tuh banyak yang kerja ke Jakarta tiap hari bolak-balik naik kereta. Kalau udah biasa, Citayem-Jakarta itu terasa deket.”
“Deket??” Bola mata Nuning kembali bercahaya karena kesenangan.
Jaka mengangguk sembari membalas senyum Nuning yang sejak tadi tersenyum manis menatapnya.
Eh, manis? Jaka menggeleng dalam hati. Berusaha mencari kata lain yang lebih tepat. Otaknya bekerja keras. Tapi tak jua menemukan kata penggantinya. Manis. Cuma itu kata yang paling pas menggambarkan senyum Nuning malam ini.
Ah, tapi lebih cantik Erna!
“Beneran deket?” ulang Nuning belum sepenuhnya percaya.
“I-iya, bener...” jawab Jaka disela degup jantungnya yang berdetak cepat tanpa alasan. Entah karena senyum manis Nuning, atau karena tiba-tiba kangen sama Erna.
***
Kalau mau dicari siapa yang salah, sudah pasti Nuning. Wong ndeso itulah yang udah godain anak lelaki satu-satunya. Bu Lilis kan kepingin ngeliat Jaka sukses dulu dan hidup senang. Dia nitipin Jaka sama adiknya di kampung biar bisa fokus sekolah. Kenapa malah dibiarin kecantol sama gadis nggak jelas? Malah jadinya kebelet kawin segala padahal baru juga lulusan. Padahal besar harapannya ngeliat Jaka jadi Sarjana dulu. Biar Jaka jadi sesuatu. Yang bisa mengangkat kembali harga dirinya yang luluh lantak diinjak-injak. Tapi anaknya sendiri malah kawin, terus mau kerja aja demi membahagiakan anak gadis orang!
Bu Lilis masih dendam bapaknya Jaka kawin lagi sama perempuan yang katanya lebih pinter dari dirinya, soalnya sama-sama Sarjana kayak suaminya. Nggak tahan diduakan, Bu Lilis minta cerai dan membawa Jaka bersamanya. Nggak rela Jaka diasuh sama perempuan yang sudah merebut suaminya. Drama rebutan hak asuh Jaka pun nggak kalah seru dari sinetron yang bersambung-sambung ratusan episode.
“Aku nggak yakin kamu bisa bikin Jaka jadi orang!” ejek Pak Ujang, mantan suaminya saat ingin mengambil Jaka.
“Loh, Jaka kan emang orang... Tapi orang bener! Bukan monyet kayak kamu?!” semprot Bu Lilis emosi.
“Kamu baca huruf aja terbata-bata, gimana mau ngajarin Jaka biar pinter?”
“Apa gunanya ada guru dan sekolahan? Liat aja... Aku bisa sekolahin Jaka lebih tinggi dari kamu!”
“Halah... Sari lebih pinter ketimbang kamu. Biar dia aja yang ngurusin Jaka!”
Bu Lilis nggak tahan dibanding-bandingin, apalagi sama Sari, perempuan perusak rumah tangganya. Tangannya gatel lalu melempar piring, gelas, toples, meja, kursi. Apa aja yang bisa dilempar untuk memukul mundur Pak Ujang sambil memakinya. “Enak aja, aku yang melahirkan Jaka! Bikin aja anak sendiri! Aku nggak butuh harta gono-gini. Aku juga bisa cari duit. Aku cuma mau anakku sendiri! Berani ngerusuhi hidupku lagi, sini... tak potong-potong sekalian anu-mu!” Lalu mengacungi gergaji, bikin Pak Ujang ngacir terbirit-birit dan nggak berani balik lagi.
Karma pun menghampiri Pak Ujang dengan cepat. Belum genap dua tahun menikah, istri barunya ketahuan selingkuh dengan teman dekatnya sendiri yang tak kalah klimis dan mapan. Bukannya minta maaf, Sari justru menyalahkannya karena lebih perhatian sama kerjaan ketimbang dirinya. Gantian Pak Ujang merasakan sakitnya dibanding-bandingkan dengan lelaki lain. Perceraian keduanya pun tak bisa dihindari karena Pak Ujang nggak tahan diselingkuhi. Harga dirinya sebagai lelaki runtuh total.
Pak Ujang nelangsa dan dirajam sesal pernah menceraikan Lilis yang membawa pergi anak kandung satu-satunya yang keberadaannya entah di mana. Kapok mau kawin lagi. Yang bisa ia lakukan cuma cari duit sebanyak-banyaknya untuk membunuh sepi. Setidaknya kalau mati, bisa ninggalin warisan yang banyak untuk menebus rasa bersalah pada anak satu-satunya nanti.
***
“Mau ke mana?” Bu Lilis keheranan melihat Jaka dan Nuning sudah necis pagi-pagi.
“Ke Jakarta, Bu. Mau ngajak Nuning jalan-jalan liat Monas. Sambil sekalian cari kerja,” sahut Jaka sambil menata piring dan lauk, membantu ibunya nyiapin sarapan.
“Memangnya kerja bisa dipungut di jalan? Kalau cari kerja tuh yang niat beneran, jangan sambil-sambilan. Yang niat beneran aja masih banyak yang nganggur kok! Apalagi sambil main-main,” kata Bu Lilis ketus melirik Nuning.
Nuning menyipitkan mata sambil bersedekap kepingin jawab, tapi Jaka yang melihat gelagatnya mencubit dan bikin Nuning mendelik kepingin nabok. Tapi inget sama perjanjian kalau mereka harus bersikap layaknya pengantin baru yang suka mesra-mesraan, nggak peduli betapa Nuning kepingin banget ngajak Jaka cakar-cakaran.
Jadilah pagi itu Nuning sarapan pake lauk sindiran yang sangat pedas dari mertuanya tanpa tahu salahnya apa. Bikin perutnya melilit mules. Nafsu makannya menguap total pas tatapan mata sama Bu Lilis yang ngeliat dirinya seperti singkong di kebun yang kudu dicabut, dikupas, lalu dibakar sampai gosong. Nuning jadi jengkel disikapi kayak gitu. Piringnya pun berdentang keras karena Nuning sengaja membanting sendoknya pas kelar makan. Tapi lagi nggak nafsu makan aja isi piringnya ludes, gimana kalau lagi nafsu coba?
Jaka mengusapi lengan Nuning dengan semanis-manisnya. “Mau kubuatin teh?” bisiknya sok merayu untuk mencairkan suasana yang mulai masuk siaga satu.
“Dimana-mana itu, istri yang melayani suami. Kok malah kebalik?” tegur Bu Lilis nggak terima anaknya jadi kacung.
Nuning menarik napas ingin menyahut tapi Jaka menginjak kakinya agar diam. “Justru itu, Bu... Istriku sudah banyak melayani aku semalam. Jadi apa salahnya kalau sekarang aku gantian melayaninya dengan segelas teh?” jawab Jaka kalem sambil mengerling pada Nuning. Bikin Bu Lilis terbatuk-batuk jengah. Sementara Nuning meringis jijik.
“Monas kan nggak bakal pindah. Kapan-kapan aja ke sananya, nggak mesti sekarang kan?” kata Bu Lilis sambil menyodori Jaka secarik kertas. “Ini alamat kantornya mantan majikan Ibu. Kamu disuruh datang secepatnya, sudah ada kerjaan buatmu. Kalau bisa hari ini juga kamu ke sana.” Lalu melirik Nuning bagai sampah yang mesti dibersihkan. “Tapi, sebaiknya kamu jangan bilang kalau sudah menikah,” lanjutnya sedikit mengejutkan.
Saran Bu Lilis membakar telinga Nuning. Meski ia sendiri nggak pernah menganggap ini pernikahan betulan, tapi berbeda saat mertua sendiri yang menyinggungnya. Pertama kalinya, Nuning merasa terancam disingkirkan. Pertama kali seumur hidupnya tak bisa bebas melawan. Tangan kanannya mengepal di atas lutut. Menahan geram yang membakar tenggorokan. Lalu tiba-tiba ia merasakan kepalan hangat membungkus tangannya yang gemetar karena kelewat kesal. Jaka menggenggamnya di bawah meja, mengalirkan ketenangan yang ia butuhkan. Seketika suasana hatinya berubah jadi lebih baik.
Tiba-tiba saja di mata Nuning wajah Bu Lilis berubah menjadi wajah Bu Parmi yang lagi ngomel. Ia pun menatapnya dengan penuh senyum kerinduan. Bikin Bu Lilis speechless dan kebingungan sendiri ditatap sedemikian rupa sama menantunya yang aneh bin ajaib. Diomeli mertua kok malah cengar-cengir bahagia!
***
Sesuai janji, Jaka mengajak Nuning naik KRL dari stasiun Citayem ke Jakarta. “Tapi janji, jangan norak ya! Jangan banyak komen, ojo ndeso...” katanya mewanti-wanti untuk kesekian kali.“IYAAA!”Orang yang berbaris di loket menoleh karena jawaban Nuning yang keras sambil mendelik galak pada Jaka yang kepingin ngacir aja balik ke rumah biar nggak malu. Padahal aja guguk nggak segalak itu kalo dibilangin baek-baek.Sebenarnya Jaka kepingin menggandeng pas mereka nungguin kereta di peron, takut Nuning ketinggalan terus ilang. Nyariin Nuning ilang di kota kan lebih repot ketimbang nyariin anak kutu satu-satu di rambut. Tapi Jaka buru-buru menarik tangannya karena hampir digigit. Buset, galak beutt dah! Jaka jadi tambah repot mesti bolak-balik nengok buat mastiin Nuning tetap ada di sebelahnya. Masa iya mau diiket kayak kambing mau dijual ke pasar? Ini kan manusia. Tapi Jaka sabar-sabarin diri mengingat manusia satu ini seteng
Kalau Jaka mengira Nuning bakal nyasar dan hilang di Jakarta, salah besar! Nuning memang wong ndeso. Gadis kampung. Gadis lugu yang baru pertama sungkeman sama ibukota. Tapi Jaka lupa kalau Nuning nggak selugu itu. Otaknya memang cekak buat menjangkau pelajaran semasa sekolah, apalagi kalau ketemu logaritma dan aneka teori matematika lainnya. Jelas Nuning milih kabur lompat pagar. Mendingan ngitung kebo di sawah. Tapi ada satu yang paling Nuning ingat tentang matematika, yaitu probabilitas. Cabang matematika yang paling tricky. Kelihatan sederhana tapi sebenarnya sulit dipecahkan dan butuh pola pikir strategis memecahkan persoalan. Karena sebenarnya nggak ada pattern matematis yang langsung untuk menyelesaikan tebak-tebakan yang diberikan. Dalam hal ini mirip tebak-tebakan tentang kehidupannya di ibukota dengan berbagai kemungkinan.Nuning telanjur melempar dadu permainan kehidupannya di ibukota, nggak ngarep bisa langsung dapat titik enam dalam sekali lempa
Setelah dapat kerja, meski cuma kuli dan tukang petik buah, Nuning pikir hidupnya bakalan baik-baik saja. Ternyata Jakarta nggak sehoror yang orang-orang bilang. Tingginya pengangguran dan tingkat kriminalitas memang kudu diwaspadai tapi bukan untuk ditakuti. Nuning nggak mau pikirannya diintimidasi sama hal-hal yang belum tentu terjadi. Waspada itu wajib, tapi parnoan jangan. Seringkali kenyataan nggak seangker isi pikiran. Jangan sampai rumor buruk tentang ibukota merusak impiannya.Impian Nuning kepingin menghabiskan masa mudanya dengan senang, kenyang, tapi tetap banyak uang. Gimana caranya? Nggak tau. Nuning masih belum mikirin. Yang ada aja dijalanin dulu. Step by step, kira-kira gitulah bahasa Inggrisnya. Tapi kalau bahasa bapaknya, alon-alon asal kelakon. Sementara bahasa Nuning sendiri, “Selow... santai... santai... jodoh nggak akan kemana,” kayak lagu dangdutnya Via Valen.Omong-omong soal jodoh, baginya jodoh bukan
"Jangan lupa makan ya, Nduk?""Iya, Mak. Emak juga jangan lupa masak yang banyak. Biar Bapak sama Mas Bambang kenyang, nggak kelaparan."Tapi Bu Parmi malah nangis kejer. Nuning sampai menjauhkan speaker ponselnya. "Mak, lupa umur ya? Nggak pantes nangis macem bayi kayak gitu... Mau es krim? Beli gih yang banyak, nanti duitnya Nuning transfer lagi lewat rekeningnya Mas Bambang."Bambang yang ikut menyimak percakapan itu ngumpetin air matanya. Diam-diam dalam hatinya ikutan bangga. Nyesel selama ini keseringan memandang sebelah mata pada adiknya. Dulu, adiknya memang kayak ulat bulu yang suka nggerogoti daun sampai bikin gundul tanaman, tapi setelah berubah jadi kupu-kupu, barulah terlihat manfaat dan keindahannya."Ya Allah... Anakku udah bisa nyari duit tho?" isak Bu Parmi terharu. Meski cuma ditransfer tiga ratus ribu, tapi kebahagian emaknya bagai menerima tiga juta. Soalnya ini duit dari Nuning! Tapi jelas bakalan beda lagi ceritanya kalau em
Nuning bersiul-siul menuju rumah Bu Murni mau ketemu Jimin. Sudah janjian mau keliling panen rambutan hari ini. Kemudian siulannya terhenti kala berpapasan dengan seorang nenek yang jalan tergopoh-gopoh dengan tongkatnya. “Mau kemana, Mbah?” sapanya dengan mengangguk ramah.“Memangnya aku mbahmu?” balas nenek tua itu sewot.Nuning meringis keki, lalu geleng-geleng kepala melaluinya.“Eh, gadis muda!” panggil nenek itu tiba-tiba.Nuning menoleh malas-malasan karena sikapnya yang kurang bersahabat tadi. “Ya, ada apa nenek tua?” sahutnya sekenanya.“Hei, aku punya nama! Jangan sebut aku nenek tua ya?!” bentak nenek itu sambil menuding dengan tongkatnya.Meski jengkel, Nuning berbaik hati meladeninya dengan menjawab, “Iya, saya juga punya nama. Jadi jangan juga sebut saya Hei.”“Ya sudah, mari kita bertukar nama,” ajak si nenek akhirnya mau akur.&l
“Ngapain melamun? Kangen kampung?” sapa Jaka sambil menyesap kopi susunya. Duduk di sebelah Nuning yang memandangi bulan purnama di teras rumah. Nuning agaknya lagi ogah menyahut, menoleh barang sedikit juga tidak. “Kalau kangenmu sama kampung segitu beratnya, kuanterin pulang yuk?” godanya, lalu menyesap lagi kopinya, kemudian terbatuk-batuk usai kena tabok. Nuning kan paling senewen dengan ancaman satu itu. “Siapa juga yang kepingin pulang kampung?” Mata Nuning melotot segede jengkol. “Becanda doang keleus. Galak beut sih jadi orang?” “Lagian becandanya nggak tepat waktu. Tuman!” “Iya, ampun deh ....!” Jaka meringis dicubiti Nuning. Nuning mendesah. “Aku ketemu sama nenek-nenek aneh!” “Aneh mana sama kamu?” seloroh Jaka tak sanggup menahan mulut, untung saja Nuning cuma melotot. Sudah biasa dipelototin sama Nuning mah, ditabokin juga biasa. “Oke, oke .... Emang seaneh apa sih?" Nuning tancap gas bercerita, mulai jadi
Pikiran Nuning dan Jaka tentu saja langsung travelling kemana-mana. Bayar utang pakai tubuhnya Jaka tuh bagaimana coba? Ternyata maksudnya si mbah nggak sama mesumnya dengan yang mereka sangka. “Ooooohh,” ujar keduanya lega saat Mbah Sum menyuruh Jaka jadi tukang pijatnya selama sebulan. “Soalnya istrimu nggak bisa memijat, makanya aku maunya sama kamu aja,” kata Mbah Sum sarat modus. Nuning derdecak. “Kemarin Mbah sendiri yang bilang pijatan saya enak!” protesnya. “Ah. Masa? Salah dengar kamu tuh!” Mbah Sum mengelak selicin belut. “Mbah, sebulan kelamaan. Dua ratus ribu dibagi sebulan cuma lima ribu lebih dikit dong? Mana ada upah tukang pijat segitu sekarang ini? Kalau nggak percaya, coba Mbah keliling kampung tanyain orang-orang,” oceh Nuning membalikkan omongan Mbah Sum soal ongkos pijat. “Tapi Minggu dan tanggal merah kan libur,” sahut si mbah masih aja ngeles. “Seminggu aja ya, Mbah?” Nuning ngajak akur. Mbah Sum tetap me
Bu Lilis nangis sesenggukan saat Jaka mengabari dirinya sudah menjadi mahasiswa. Meski bukan terdaftar di kampus negeri dan bukan pula kampus swasta yang elit, sebodo amat. Toh yang penting saat lulus nanti gelarnya sama-sama Sarjana. Yang beda cuma soal nasib! Ada Sarjana yang nasibnya bagus bisa langsung diterima kerja di perusahaan elit, atau jadi PNS yang gajinya aman sampai tua. Ada juga yang masih menganggur meski sudah wawancara kerja sana-sini sampai ndelusur. Bagi Bu Lilis, biarlah anaknya menjadi Sarjana saja dulu. Soal nasib bisa diperjuangkan lagi nanti. Obsesi Bu Lilis ingin foto bareng anaknya di hari wisudanya yang memakai toga, buat dipamerkan ke mendiang suaminya. Sesuai janjinya dulu kalau dia saggup mengurus Jaka sampai jadi Sarjana meski dirinya bukan orang berpendidikan tinggi. Jadi saat menengok Pak Ujang ke kuburan nanti, dia tak perlu menebar bunga lagi, tapi menebar foto-fotonya sama Jaka yang lagi wisuda. Hiii ... kok malah serem. Semenjak a