Share

10. Omelan Mertua

Memasuki kamarnya menjelang malam, Nuning memakai lotion nyamuk sampai habis sebungkus. “Nggak kasihan kulitmu ntar keracunan?” komen Jaka sambil geleng-geleng kepala.

“Salah sendiri punya rumah kok ndeso banget. Udah di pojokan kebon, jauh dari rumah orang-orang pula. Kuburan aja masih lebih rame dempet-dempetan. Ini sih nggak ada bedanya sama suasana di kampung kita. Masih mending di kampung malah, nggak banyak nyamuk kayak sini. Nyamuk kampung mah masih tahu permisi, kalau gigit satu-satu gantian. Nggak keruyukan ugal-ugalan kayak gini!”

“Ya udah, apa mau balik lagi ke kampung? Nggak masalah, besok kuanterin.”

Nuning buru-buru nemplok mepetin Jaka. “Ih, kamu mah gituuuu. Nggak bisa selow. Kalem gaess, canda... Sensi amattt?” Sambil main mata macem orang kelilipan. “Cieee... masih marah?” Nuning nyolek dagu Jaka lagi yang cemberut.

“Sana, geseran! Husss... husss,” usir Jaka macem orang ngusir ayam tetangga yang mau pup di pekarangan rumahnya.

Nuning meninju lengan Jaka. “Mestinya aku yang ngomong gitu, ngapa jadi kamu?!” omelnya nggak terima lalu membalik tubuh memunggunginya.

Jaka mencebik lalu narik selimut buat nutupin seluruh tubuhnya sampai kepala. Jaga-jaga kalau Nuning kentut biar nggak nembus lubang hidungnya. Dia kepingin istirahat tenang malam ini tanpa ancaman bom busuk lagi, kasihan hidungnya bermalam-malam kena serangan bau mematikan. Tapi kemudian Jaka membuka selimutnya pas denger suara isakan kecil di sebelahnya. 

Nuning? Nangis? Jaka kepingin ngakak tapi ditahan.

Kalau divideoin terus dikirim ke Parman cs, pasti bakal bikin gempar orang sekampung! Nuning kan nggak pernah nangis. Bikin anak orang nangis sih sering.

Jaka ngulurin tangan kepingin nenangin, tapi gerakannya ngambang. Ketimbang nekat megang tapi habis itu malah kena smackdown sama Nuning.

“Ning... Kok nangis?” 

Tapi yang nyahut malah suara jangkrik sama kodok yang ribut banget di luar kamar.

“Ning?” Jaka manggil lagi. Rasanya nggak enak kalau didiemin sama Nuning.

“Ngomong dong, Ning... Kok diem?”

“Aku nggak nyangka kamu tega bohongin aku. Katanya kamu mau pindah ke Jakarta makanya aku kepengen ikut. Tapi mana? Ini mah bukan Jakarta! Mana ada ibukota yang suara kodoknya nggak kalah rame sama kodok sawah di kampung? Mestinya tuh ramenya sama suara klakson mobil atau motor, atau sama suara bajay yang katamu berisik kayak suara kentutku itu, tapi mana?! Percuma aku kawin sama kamu!”

Jaka buru-buru membekap mulut Nuning erat-erat. “Ssttt jangan keras-keras,” desis Jaka ke kuping Nuning, hingga Nuning bisa merasakan napas Jaka yang menyapu sebagian pipinya. “Kalau sampai Ibu dan keluargaku tahu alasan pernikahan kita yang sebenarnya, bisa gawatt. Kelarrr kita. Terus kamu didepak balik ke kampung lagi. Terus selamanya kamu nggak boleh ke Jakarta lagi sama keluargamu. Mau??” omelnya masih dengan berbisik.

Nuning menggeleng dengan jantung berdebar kencang. Ogah banget dia balik ke kampung! Apalagi kalau sampai selamanya dilarang ke Jakarta lagi sama emak-bapaknya. Kiamat. Nuning pun buru-buru mengangguk patuh.

Jaka pun melepaskan tangannya dari mulut Nuning dan menarik tubuh gadis itu agar berbalik menghadapnya. “Denger,” bisiknya sambil menatap lurus-lurus wajah Nuning yang memucat panik, bikin Jaka diam-diam ketawa dalam hati soalnya jarang-jarang liat muka Nuning kayak gitu, ”apapun yang terjadi, kita harus bersikap kayak suami-istri beneran. Soalnya aku bilang sama ibuku kalau kita saling cinta dan aku gak bisa balik ke sini kalau nggak sama kamu sebagai istriku yang sah. Mau nggak mau, ibuku akhirnya setuju kita menikah. Kalau sampai ibuku tau kita gak serius dengan pernikahan ini, bisa-bisa detik itu juga dia bakal menelpon bapakmu agar menjemputmu pulang kampung. Sampai sini, paham?”

Nuning tersenyum kecut. “Terus, kapan aku bisa ke Jakarta? Besok?” sahutnya mengganti topik.

Jaka mendengus capek. “Apa Jakarta sepenting itu bagimu?”

“Ya iyalah, kalau nggak ngapain aku bela-belain nikahin kamu biar bisa ke Jakarta?”

Gantian Jaka yang tersenyum kecut. “Sabar, Jakarta nggak akan kemana-mana kok. Aku pasti akan membawamu ke sana. Tapi, kamu harus janji akan memperlakukan ibuku sebagai mertua sungguhan, meski kamu nggak menganggapku sebagai suami sungguhan. Bagaimanapun, di mata ibuku kamu itu istriku.”

“Iya, bawel! Pura-pura jadi kuntilanak aja aku bisa, masa pura-pura jadi istrimu aku nggak bisa sih!” ketus Nuning.

“Loh kok pura-pura, kan kita suami-istri betulan?” godanya sambil mencolek dagu Nuning.

“Awas aja kalau macem-macem?!” Nuning balas memelototinya.

“Iya-iya, canda... Aku nggak punya perasaan khusus sama kamu, kok!”

“Iya, aku tahu kamu sukanya cuma sama Erna kan?”

“Ngapa jadi bahas Erna sih?” desah Jaka. Lalu ia bergegas membongkar tasnya dan kembali dengan sebuah buku, kado dari Erna. Membuka-bukanya sambil cengengesan nggak jelas, tapi berubah masam dalam sekejap. Dan melempar buku itu ke nakas. Lalu diambil lagi, dibuka lagi, ketawa sendiri, terus melemparnya lagi ke nakas dengan muka masam.

Nuning mendengus ngeliat tingkah Jaka yang absurd.

“Terus, kapan aku bisa lihat Jakarta beneran? Awas kalau kamu bohongin aku.”

“Kita sahabatan kan bukan sejak kemarin sore. Masa iya aku bohongin kamu? Bisa kena kutuk tujuh turunan ntar hidupku,” ujar Jaka lalu terkekeh. “Oke. Besok deh kita ke Jakarta naik KRL. Orang sini tuh banyak yang kerja ke Jakarta tiap hari bolak-balik naik kereta. Kalau udah biasa, Citayem-Jakarta itu terasa deket.”

            “Deket??” Bola mata Nuning kembali bercahaya karena kesenangan.

Jaka mengangguk sembari membalas senyum Nuning yang sejak tadi tersenyum manis menatapnya.

Eh, manis? Jaka menggeleng dalam hati. Berusaha mencari kata lain yang lebih tepat. Otaknya bekerja keras. Tapi tak jua menemukan kata penggantinya. Manis. Cuma itu kata yang paling pas menggambarkan senyum Nuning malam ini.

Ah, tapi lebih cantik Erna!

“Beneran deket?” ulang Nuning belum sepenuhnya percaya.

“I-iya, bener...” jawab Jaka disela degup jantungnya yang berdetak cepat tanpa alasan. Entah karena senyum manis Nuning, atau karena tiba-tiba kangen sama Erna.

***

Kalau mau dicari siapa yang salah, sudah pasti Nuning. Wong ndeso itulah yang udah godain anak lelaki satu-satunya. Bu Lilis kan kepingin ngeliat Jaka sukses dulu dan hidup senang. Dia nitipin Jaka sama adiknya di kampung biar bisa fokus sekolah. Kenapa malah dibiarin kecantol sama gadis nggak jelas? Malah jadinya kebelet kawin segala padahal baru juga lulusan. Padahal besar harapannya ngeliat Jaka jadi Sarjana dulu. Biar Jaka jadi sesuatu. Yang bisa mengangkat kembali harga dirinya yang luluh lantak diinjak-injak. Tapi anaknya sendiri malah kawin, terus mau kerja aja demi membahagiakan anak gadis orang!

Bu Lilis masih dendam bapaknya Jaka kawin lagi sama perempuan yang katanya lebih pinter dari dirinya, soalnya sama-sama Sarjana kayak suaminya. Nggak tahan diduakan, Bu Lilis minta cerai dan membawa Jaka bersamanya. Nggak rela Jaka diasuh sama perempuan yang sudah merebut suaminya. Drama rebutan hak asuh Jaka pun nggak kalah seru dari sinetron yang bersambung-sambung ratusan episode.

“Aku nggak yakin kamu bisa bikin Jaka jadi orang!” ejek Pak Ujang, mantan suaminya saat ingin mengambil Jaka.

“Loh, Jaka kan emang orang... Tapi orang bener! Bukan monyet kayak kamu?!” semprot Bu Lilis emosi.

“Kamu baca huruf aja terbata-bata, gimana mau ngajarin Jaka biar pinter?”

“Apa gunanya ada guru dan sekolahan? Liat aja... Aku bisa sekolahin Jaka lebih tinggi dari kamu!”

“Halah... Sari lebih pinter ketimbang kamu. Biar dia aja yang ngurusin Jaka!”

Bu Lilis nggak tahan dibanding-bandingin, apalagi sama Sari, perempuan perusak rumah tangganya. Tangannya gatel lalu melempar piring, gelas, toples, meja, kursi. Apa aja yang bisa dilempar untuk memukul mundur Pak Ujang sambil memakinya. “Enak aja, aku yang melahirkan Jaka! Bikin aja anak sendiri! Aku nggak butuh harta gono-gini. Aku juga bisa cari duit. Aku cuma mau anakku sendiri! Berani ngerusuhi hidupku lagi, sini... tak potong-potong sekalian anu-mu!” Lalu mengacungi gergaji, bikin Pak Ujang ngacir terbirit-birit dan nggak berani balik lagi.

Karma pun menghampiri Pak Ujang dengan cepat. Belum genap dua tahun menikah, istri barunya ketahuan selingkuh dengan teman dekatnya sendiri yang tak kalah klimis dan mapan. Bukannya minta maaf, Sari justru menyalahkannya karena lebih perhatian sama kerjaan ketimbang dirinya. Gantian Pak Ujang merasakan sakitnya dibanding-bandingkan dengan lelaki lain. Perceraian keduanya pun tak bisa dihindari karena Pak Ujang nggak tahan diselingkuhi. Harga dirinya sebagai lelaki runtuh total.

Pak Ujang nelangsa dan dirajam sesal pernah menceraikan Lilis yang membawa pergi anak kandung satu-satunya yang keberadaannya entah di mana. Kapok mau kawin lagi. Yang bisa ia lakukan cuma cari duit sebanyak-banyaknya untuk membunuh sepi. Setidaknya kalau mati, bisa ninggalin warisan yang banyak untuk menebus rasa bersalah pada anak satu-satunya nanti.

***

“Mau ke mana?” Bu Lilis keheranan melihat Jaka dan Nuning sudah necis pagi-pagi.

“Ke Jakarta, Bu. Mau ngajak Nuning jalan-jalan liat Monas. Sambil sekalian cari kerja,” sahut Jaka sambil menata piring dan lauk, membantu ibunya nyiapin sarapan.

“Memangnya kerja bisa dipungut di jalan? Kalau cari kerja tuh yang niat beneran, jangan sambil-sambilan. Yang niat beneran aja masih banyak yang nganggur kok! Apalagi sambil main-main,” kata Bu Lilis ketus melirik Nuning.

Nuning menyipitkan mata sambil bersedekap kepingin jawab, tapi Jaka yang melihat gelagatnya mencubit dan bikin Nuning mendelik kepingin nabok. Tapi inget sama perjanjian kalau mereka harus bersikap layaknya pengantin baru yang suka mesra-mesraan, nggak peduli betapa Nuning kepingin banget ngajak Jaka cakar-cakaran.

Jadilah pagi itu Nuning sarapan pake lauk sindiran yang sangat pedas dari mertuanya tanpa tahu salahnya apa. Bikin perutnya melilit mules. Nafsu makannya menguap total pas tatapan mata sama Bu Lilis yang ngeliat dirinya seperti singkong di kebun yang kudu dicabut, dikupas, lalu dibakar sampai gosong. Nuning jadi jengkel disikapi kayak gitu. Piringnya pun berdentang keras karena Nuning sengaja membanting sendoknya pas kelar makan. Tapi lagi nggak nafsu makan aja isi piringnya ludes, gimana kalau lagi nafsu coba?

Jaka mengusapi lengan Nuning dengan semanis-manisnya. “Mau kubuatin teh?” bisiknya sok merayu untuk mencairkan suasana yang mulai masuk siaga satu.

“Dimana-mana itu, istri yang melayani suami. Kok malah kebalik?” tegur Bu Lilis nggak terima anaknya jadi kacung.

Nuning menarik napas ingin menyahut tapi Jaka menginjak kakinya agar diam. “Justru itu, Bu... Istriku sudah banyak melayani aku semalam. Jadi apa salahnya kalau sekarang aku gantian melayaninya dengan segelas teh?” jawab Jaka kalem sambil mengerling pada Nuning. Bikin Bu Lilis terbatuk-batuk jengah. Sementara Nuning meringis jijik.

“Monas kan nggak bakal pindah. Kapan-kapan aja ke sananya, nggak mesti sekarang kan?” kata Bu Lilis sambil menyodori Jaka secarik kertas. “Ini alamat kantornya mantan majikan Ibu. Kamu disuruh datang secepatnya, sudah ada kerjaan buatmu. Kalau bisa hari ini juga kamu ke sana.” Lalu melirik Nuning bagai sampah yang mesti dibersihkan. “Tapi, sebaiknya kamu jangan bilang kalau sudah menikah,” lanjutnya sedikit mengejutkan.

Saran Bu Lilis membakar telinga Nuning. Meski ia sendiri nggak pernah menganggap ini pernikahan betulan, tapi berbeda saat mertua sendiri yang menyinggungnya. Pertama kalinya, Nuning merasa terancam disingkirkan. Pertama kali seumur hidupnya tak bisa bebas melawan. Tangan kanannya mengepal di atas lutut. Menahan geram yang membakar tenggorokan. Lalu tiba-tiba ia merasakan kepalan hangat membungkus tangannya yang gemetar karena kelewat kesal. Jaka menggenggamnya di bawah meja, mengalirkan ketenangan yang ia butuhkan. Seketika suasana hatinya berubah jadi lebih baik.

Tiba-tiba saja di mata Nuning wajah Bu Lilis berubah menjadi wajah Bu Parmi yang lagi ngomel. Ia pun menatapnya dengan penuh senyum kerinduan. Bikin Bu Lilis speechless dan kebingungan sendiri ditatap sedemikian rupa sama menantunya yang aneh bin ajaib. Diomeli mertua kok malah cengar-cengir bahagia!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status