Kata siapa sih malam pertama itu enak? Hoax banget. Soalnya, malam pertama Jaka nggak seasyik ledekan teman-temannya yang pas kondangan pada bawel ’cie-cie’in mulu. Malah ada yang iseng ngadoin obat kuat dan kondom sebungkus. Edyann!
Entah apa isi otak teman-temannya sampai ngasih kado macem gituan. Memangnya mereka lupa ya, siapa cewek yang dinikahi sama Jaka? Cewek itu tetaplah buto cakil yang kebetulan terperangkap dalam tubuh mungil Nuning!
Mana ada sih perawan yang tidurnya macem orang pencak silat? Habislah badan Jaka ditendangin pas lagi tidur bareng, padahal matanya merem. “Sana aaahhh. Sempit akutuu,” omelnya sambil dorong-dorongin bokong Jaka yang lama-lama jatuh juga dari kasur.
Sudah tidur di lantai, kedinginan, digigitin nyamuk, masih juga dikentutin. Mana bauuu banget! Kayaknya ampasnya ikut keluar juga tuh. Bikin Jaka sakit perut karena kekenyangan ngirup bau kentut Nuning yang busuk banget.
“Hoeeeekkk!”
Jaka nggak tahan lalu keluar kamar, tapi malah didorong masuk lagi sama Bu Parmi. “Kalian itu garwo, sigarane nyowo. Belahan jiwa. Masa malam pertama boboknya misah? Malam ini nggak bisa diulang loh seumur hidup, ntar kamu nyesel,” kata ibu mertuanya sambil tersenyum jahil. Bikin perutnya tambah mules ngebayangin kentut Nuning yang siap mengebom hidungnya kapan saja.
Sementara Nuning yang bahagia akhirnya mendapatkan tiket impiannya, asyik bermimpi indah tentang Jakarta. Monas! Hal pertama yang dilihatnya dalam mimpi. Puncak emasnya berkilau diterpa cahaya mentari. Nuning tak sabar ingin menggapainya. Ingin melongok isinya. Tugu Monas sangatlah tinggi, Nuning nggak tahu kalau naik Monas itu pakai lift, dalam mimpinya dia malah naik tangga sampai gempor. Meski begitu Nuning nggak patah semangat. Ia terus naik tangga sampai dibanjiri keringat. Dalam mimpinya juga, Jakarta ternyata gerah, segerah kamar sempitnya yang nggak dingin-dingin karena yang niupin ruangan cumalah kipas angin tua yang udah bengek. Lalu, masih dengan mata terpejam, Nuning melepas kutang dan melemparnya sembarangan. Nemplok passs banget kena muka Jaka yang lagi ngorok dengan mulut ngangap macem lumba-lumba Ancol.
Jaka seketika bersin-bersin nggak ketulungan karena bau kutang istrinya nggak kalah asem dari kuah asinan.
***
Jaka melolong kesakitan karena Nuning mengerok punggungnya nggak kira-kira, “Aduuuh, ampunnn Ning,” erangnya nahan ngilu.
“Makanya, jangan main layangan mulu. Udah tahu lapangan tuh anginnya kenceng!”
“Lah kan emang butuh angin kenceng biar layangannya bisa terbang. Kalau layangannya bisa terbang pake angin kentut mah cukup dekat kamu aja, ngapain jauh-jauh ke lapangan?”
Jaka mengaduh karena Nuning menggetok kepalanya pake pantat botol minyak angin cap kapak ukuran jumbo. “Jadi laki mah kalem aja dong ngomongnya, nggak usah ngegas...” gerutunya jengkel. “Udah tahu semalam habis begadang, masih aja ngelayap!” katanya sembari menabok bokong Jaka yang gelisah nggak bisa diem nahan ngilu di punggungnya.
“Gimana aku nggak begadang susah tidur? Siapa juga yang tahan sama kentutmu yang super bau? Mana suara kentutmu berisik kayak knalpot bajay pretetetetetetettt. Kentut perawan kok nggak elegan blasss. Makanya aku butuh udara segar di lapangan buat membebaskan hidungku yang kena kutuk semalaman,” protes Jaka sambil meringis kesakitan dikerokin.
Nuning mencebik. “Dikit lagi, nih... Tanggung!” bentaknya galak sembari menekan koinnya lebih keras ke punggung Jaka yang mulai bergambar kayak tulang ikan kemerah-merahan. “Sabar, dikiiit lagi...” katanya sembari mengerok lebih kencang.
Jaka cuma bisa mendesah-desah nahan sakit sambil gigit bantal. Daripada bokongnya ikut panas ditabokin Nuning kalau mengaduh lagi. Tubuhnya pun menggeliat-geliat macem belatung nangka dibawah kuasa Nuning dengan kerokannya yang mematikan.
Di luar, Pak Priyo dan Bu Parmi yang samar-samar mendengar keributan di dalam kamar anaknya lirik-lirikan dalam kebisuan. Yang satu pura-pura fokus menjahit, yang satu pura-pura nonton TV. Tapi ujung-ujungnya mereka pandang-pandangan karena suara desah dan erangan Jaka yang kian keras serasa mendobrak dinding kamar. Bikin kuping kedua orang tua itu panas karena jengah. Mana tahu mereka kalau erangan Jaka bukan karena nikmat, tapi karena kerokan koin Nuning yang menyayat-nyayat.
“Untung ranjangnya udah kita ganti ya, Pak? Kalau masih pake yang lama, bisa-bisa ambruk sama mereka berdua,” komentar Bu Parmi buka suara.
“Ya tapi jadinya kita yang nggak asik, Mak...” keluh Pak Priyo yang pinggangnya linu belakangan ini karena keseringan disuruh tidur di lantai sama istrinya, sejak ranjang kayu jati mereka ditukar sama ranjang Nuning yang sempit.
Sementara di luar kamar, di seberang pagar, ada tiga makhluk bersarung menguping kehebohan suara dari kamar pengantin baru. “Weleh, mauanteppp! Sampai Jaka ampun-ampun gitu ya?” Parman berkomentar dengan berbisik sambil tetap memasang kuping, disahuti tawa lirih kedua temannya.
“Wah, kayaknya pertandingan makin sengit... Nggak selesai-selesai. Dari tadi ‘dikit lagi-dikit lagi’, tapi nggak kelar-kelar. Hebattt. Kayaknya dia beneran minum obat kuat yang Wahyu kadoin kemarin,” bisik Budi sambil mendekatkan kupingnya ke pagar tanaman yang memisahkan kamar Nuning dengan halaman luar.
“Woyyy! Siapa itu?!” Suara Bu Parmi tiba-tiba terdengar memecah keheningan.
Ketiga bujang kampung itu pun terjungkal menghindari cahaya lampu senter yang menembak wajah mereka. Lalu. “Kaboooorr!” Ketiganya ngacir terbirit-birit saat Pak Priyo mengacungkan pentungan saktinya sambil mengejar mereka.
***
“Cieee yang penganten baru mah laeeennn!” sambut Parman sambil ngulur tali layangan. Diikuti cuit-cuit menggoda teman-teman yang lain.
Budi nyeletuk sambil cengngesan. “Udah kepake berapa bungkus kado dariku?”
Jaka mendengus mengingat setumpuk kondom yang jadi kadonya itu.
“Kalau ngeliat dari jalannya yang oget-oget macem ondel-ondel habis sunat gitu, kayaknya sih udah kelar isi kadomu itu, Bud!” sahut Wahyu ikutan ngikik.
“Muantep dong!” Budi dan Parman kompak meledek.
Jaka nggak punya energi buat meladeni olok-olokan mereka semua. “Bacooot!” semprotnya jengkel. Nasib punya teman pada sableng.
Jaka tau kemana arah pembicaraan mereka soal malam pertamanya yang tak pernah ada. Apalagi sebelum menikah, Nuning punya satu permintaan. “Pernikahan kita cuma buat status doang kan? Nggak ada ‘gitu-gituan’ ya!”
Cih. Nuning juga bukan seleranya! Tentu saja Jaka buru-buru mengiyakan.
Ketiga temannya masih aja bersiul-siul usil, lalu mengoceh ramai.
“Lah, sensi amat yang habis kawin?”
“Mentang-mentang habis begadangan main bola berdua semalaman.”
“Etapi... Jangan bilang kalau belom ‘gol’ ya?”
“Atau jangan-jangan ‘adu pinalty’?”
“Lesu amattt... Wah, kayaknya lagi kena kartu kuning dia.”
“Asal jangan kena kartu merah aja!”
Jaka membiarkan teman-temannya mengoceh soal malam pertamanya bagai ngomongin bola. Yang bisa dibidik, ditendang, lalu gol.
Di tengah-tengah keriuhan suara yang habis-habisan meledek sampai kupingnya panas, seorang gadis tiba-tiba menyela masuk. “Jaka, di sini kamu rupanya.” Suara Erna.
Jantungnya menggelepar kaget, nggak nyangka gadis itu masih menemuinya.
Kehadiran Erna seketika membungkam ketiga mulut temannya yang sejak tadi ramai mengolok-olok. Dengan sendirinya ketiga jomblo kampung itu pura-pura sibuk menerbangkan layangan dan menarik ulur talinya. Sambil diam-diam melirik kepo.
“Selamat ya atas pernikahanmu kemarin.” Erna mengulurkan tangan dan Jaka gugup menyambutnya. “Maaf aku nggak datang, soalnya aku nggak diundang...” katanya lagi sambil menunduk malu-malu.
Jaka menelan ludahnya yang mendadak sepahit empedu.
Semua teman sekelasnya diundang kecuali Erna. Itu keputusan Nuning. Jaka jadi nggak enak dan bingung mesti bilang gimana sama Erna, jadi dia memilih diam.
“Kupikir dulu kalian cuma berteman. Aku sama sekali nggak nyangka kalau ternyata sudah tunangan.”
“Eh, gimana? Tunangan?”
“Hmm. Kata orang-orang gitu.”
Jaka mematung. ‘Sontoloyo. Hoax itu tak lain dan tak bukan pasti dari Nuning. Dasar lambe turah!’ tebaknya merasa yakin. Siapa lagiii?
“Maaf, aku dulu sempat salah paham sama perhatianmu,” ujar Erna sambil tertawa, tapi yang terdengar di kuping Jaka justru seperti suara ingin menangis. Tapi kemudian cewek tinggi berkulit kuning langsat itu cepat-cepat tersenyum. Bikin jantung Jaka jeladugan menatap keindahan sejati di depannya.
“Ah, nggak... Aku nggak pernah tunangan kok sama Nuning. Kamu nggak perlu minta maaf segala. Nggak ada yang salah kok,” sahutnya seakan perlu mengkonfirmasi. Dia tak ingin Erna merasa salah paham. Cewek itu kudu tau perhatian Jaka padanya dulu bukan halu, tapi riil. Bahkan sampai detik ini pun rasa kagumnya pada Erna masih menyala. Hanya saja... ia sudah jadi suami orang sekarang.
“Ya, sudahlah. Aku cuma kepingin ngasih selamat buatmu. Sekaligus mau pamit.”
“Pamit?”
“Iya, aku mau pergi untuk persiapan kuliah. Aku gagal masuk kampus negeri, tapi aku sudah dapat yang swasta di Jakarta.”
“Wah, selamat ya! Sukses buatmu.”
“Sayang banget kamu nggak lanjutin kuliah, padahal kan kamu pintar. Kalau ada kesempatan, kuliahlah. Kamu pasti akan jadi orang hebat,” ucap Erna sesuatu.
Jaka cuma bisa mengangguk dengan semangatnya yang terasa mulai berkarat.
“Eh, sebenarnya aku cuma mau ngasih ini. Semoga kamu suka.” Lalu Erna mengulurkan sebungkus kado yang diterima Jaka dengan hati berdebar.
“Apapun yang kamu kasih, aku pasti suka.”
Siapapun yang melihatnya, dengan mudah bisa menebak drama yang sedang terjadi. Ini sih CLBK namanya, Cinta Lama Belum Kelar!
Parman, Budi, dan Wahyu saling lirik menahan iri. Mereka yang jomblo aja belum laku, tapi temannya yang jelas-jelas udah jadi laki orang dan udah puas ‘main bola’ semalaman, kok masih ada aja penggemarnya... cantik lagi! Nggak adil. Mereka bertiga menggerutu mengumpat nasib. Tapi kemudian pura-pura bego melihat Nuning muncul dari kejauhan.
“Gawattt,” gumam ketiganya kompak sambil melipir ke pinggir. Nggak ikut-ikut...
“Eh, Nuning?” sapa Erna dengan keramahannya, tapi Nuning senyum aja nggak.
Nuning menoleh angker pada Jaka, SUAMINYA. “Buruan pulang. Dipanggil Emak, diajakin makan!” ketusnya dengan menaikkan kedua alis, membuat bola matanya terlihat membesar seperti mau lompat keluar.
“Eh, makan lagi?” tanya Jaka kebingungan karena sejak kemarin Bu Parmi selalu menghujaninya dengan makanan yang bisa bikin perutnya meletus kenyang. Tapi kalau nggak dimakan sayang banget, soalnya masakan mertuanya itu pancen oye!
“Mau nggak?! Kalau nggak ya udah, jangan nyesel kalau jatahmu kuhabisin.” Lalu Nuning balik badan tanpa permisi.
“Ya maulah!” Jaka pun mengekorinya dengan buru-buru. Saking buru-burunya, lupa pamitan sama Erna yang kini memandangi punggungnya dengan tatapan sayu.
Si trio jomblo yang menonton drama roman picisan barusan cuma bisa geleng-geleng kepala ngenes. “Bener ya ternyata, jatuh cinta itu soal nasib. Tapi pernikahan itu soal takdir. Padahal nasib Jaka lagi bagus-bagusnya dicintai sama Erna yang cantik, tapi takdirnya kok malah nikah sama Nuning yang dekil,” seloroh Wahyu.
“Kualat dia tuh... Sesumbar nggak mungkin nikahin Nuning, eh malah kejadian. Ckckck. Padahal belum sampai ada gajah yang belang-belang dan zebra yang hidungnya panjang,” sahut Parman sembari terkekeh, puas-puas iba.
***
“Pokoknya, kamu jangan ngeloyor sendiri tanpa Jaka. Ingat ya Nduk, Jakarta itu kota besar, jangan kamu samain kayak kampung kita yang biasa kamu jajah seenaknya. Hati-hati sama orang berduit. Katanya mereka bisa melakukan apa saja, salah jadi benar dan benar bisa jadi salah, orang kecil macam kita pasti kalah. Jauh-jauhin orang-orang macam gitu ya, Nduk...” cerocos Bu Parmi kasih nasihat saat mengantar Nuning di terminal.“Makanya aku juga mau cari duit yang banyak, biar nggak kalah sama mereka. Emak nyantai aja. Aku kan bukan anak kecil lagi. Selagi bisa baca tulis dan punya mulut buat nanya, nggak bakalan nyasar di sana. Udah ah, jangan mewek. Nganterin orang mau pergi ke Jakarta kok kayak nangisin mayat mau dikubur aja,” cebik Nuning.Bu Parmi geregetan dan menjitak kepalanya. “Dibilangin orang tua kok nyauuut aja! Kualat ntar baru tau rasa!”“Husss, Mak! Anaknya mau nyebrang kok malah nyumpahin&ldquo
Memasuki kamarnya menjelang malam, Nuning memakai lotion nyamuk sampai habis sebungkus. “Nggak kasihan kulitmu ntar keracunan?” komen Jaka sambil geleng-geleng kepala.“Salah sendiri punya rumah kok ndeso banget. Udah di pojokan kebon, jauh dari rumah orang-orang pula. Kuburan aja masih lebih rame dempet-dempetan. Ini sih nggak ada bedanya sama suasana di kampung kita. Masih mending di kampung malah, nggak banyak nyamuk kayak sini. Nyamuk kampung mah masih tahu permisi, kalau gigit satu-satu gantian. Nggak keruyukan ugal-ugalan kayak gini!”“Ya udah, apa mau balik lagi ke kampung? Nggak masalah, besok kuanterin.”Nuning buru-buru nemplok mepetin Jaka. “Ih, kamu mah gituuuu. Nggak bisa selow. Kalem gaess, canda... Sensi amattt?” Sambil main mata macem orang kelilipan. “Cieee... masih marah?” Nuning nyolek dagu Jaka lagi yang cemberut.“Sana, geseran! Husss... husss,” usir Jaka
Sesuai janji, Jaka mengajak Nuning naik KRL dari stasiun Citayem ke Jakarta. “Tapi janji, jangan norak ya! Jangan banyak komen, ojo ndeso...” katanya mewanti-wanti untuk kesekian kali.“IYAAA!”Orang yang berbaris di loket menoleh karena jawaban Nuning yang keras sambil mendelik galak pada Jaka yang kepingin ngacir aja balik ke rumah biar nggak malu. Padahal aja guguk nggak segalak itu kalo dibilangin baek-baek.Sebenarnya Jaka kepingin menggandeng pas mereka nungguin kereta di peron, takut Nuning ketinggalan terus ilang. Nyariin Nuning ilang di kota kan lebih repot ketimbang nyariin anak kutu satu-satu di rambut. Tapi Jaka buru-buru menarik tangannya karena hampir digigit. Buset, galak beutt dah! Jaka jadi tambah repot mesti bolak-balik nengok buat mastiin Nuning tetap ada di sebelahnya. Masa iya mau diiket kayak kambing mau dijual ke pasar? Ini kan manusia. Tapi Jaka sabar-sabarin diri mengingat manusia satu ini seteng
Kalau Jaka mengira Nuning bakal nyasar dan hilang di Jakarta, salah besar! Nuning memang wong ndeso. Gadis kampung. Gadis lugu yang baru pertama sungkeman sama ibukota. Tapi Jaka lupa kalau Nuning nggak selugu itu. Otaknya memang cekak buat menjangkau pelajaran semasa sekolah, apalagi kalau ketemu logaritma dan aneka teori matematika lainnya. Jelas Nuning milih kabur lompat pagar. Mendingan ngitung kebo di sawah. Tapi ada satu yang paling Nuning ingat tentang matematika, yaitu probabilitas. Cabang matematika yang paling tricky. Kelihatan sederhana tapi sebenarnya sulit dipecahkan dan butuh pola pikir strategis memecahkan persoalan. Karena sebenarnya nggak ada pattern matematis yang langsung untuk menyelesaikan tebak-tebakan yang diberikan. Dalam hal ini mirip tebak-tebakan tentang kehidupannya di ibukota dengan berbagai kemungkinan.Nuning telanjur melempar dadu permainan kehidupannya di ibukota, nggak ngarep bisa langsung dapat titik enam dalam sekali lempa
Setelah dapat kerja, meski cuma kuli dan tukang petik buah, Nuning pikir hidupnya bakalan baik-baik saja. Ternyata Jakarta nggak sehoror yang orang-orang bilang. Tingginya pengangguran dan tingkat kriminalitas memang kudu diwaspadai tapi bukan untuk ditakuti. Nuning nggak mau pikirannya diintimidasi sama hal-hal yang belum tentu terjadi. Waspada itu wajib, tapi parnoan jangan. Seringkali kenyataan nggak seangker isi pikiran. Jangan sampai rumor buruk tentang ibukota merusak impiannya.Impian Nuning kepingin menghabiskan masa mudanya dengan senang, kenyang, tapi tetap banyak uang. Gimana caranya? Nggak tau. Nuning masih belum mikirin. Yang ada aja dijalanin dulu. Step by step, kira-kira gitulah bahasa Inggrisnya. Tapi kalau bahasa bapaknya, alon-alon asal kelakon. Sementara bahasa Nuning sendiri, “Selow... santai... santai... jodoh nggak akan kemana,” kayak lagu dangdutnya Via Valen.Omong-omong soal jodoh, baginya jodoh bukan
"Jangan lupa makan ya, Nduk?""Iya, Mak. Emak juga jangan lupa masak yang banyak. Biar Bapak sama Mas Bambang kenyang, nggak kelaparan."Tapi Bu Parmi malah nangis kejer. Nuning sampai menjauhkan speaker ponselnya. "Mak, lupa umur ya? Nggak pantes nangis macem bayi kayak gitu... Mau es krim? Beli gih yang banyak, nanti duitnya Nuning transfer lagi lewat rekeningnya Mas Bambang."Bambang yang ikut menyimak percakapan itu ngumpetin air matanya. Diam-diam dalam hatinya ikutan bangga. Nyesel selama ini keseringan memandang sebelah mata pada adiknya. Dulu, adiknya memang kayak ulat bulu yang suka nggerogoti daun sampai bikin gundul tanaman, tapi setelah berubah jadi kupu-kupu, barulah terlihat manfaat dan keindahannya."Ya Allah... Anakku udah bisa nyari duit tho?" isak Bu Parmi terharu. Meski cuma ditransfer tiga ratus ribu, tapi kebahagian emaknya bagai menerima tiga juta. Soalnya ini duit dari Nuning! Tapi jelas bakalan beda lagi ceritanya kalau em
Nuning bersiul-siul menuju rumah Bu Murni mau ketemu Jimin. Sudah janjian mau keliling panen rambutan hari ini. Kemudian siulannya terhenti kala berpapasan dengan seorang nenek yang jalan tergopoh-gopoh dengan tongkatnya. “Mau kemana, Mbah?” sapanya dengan mengangguk ramah.“Memangnya aku mbahmu?” balas nenek tua itu sewot.Nuning meringis keki, lalu geleng-geleng kepala melaluinya.“Eh, gadis muda!” panggil nenek itu tiba-tiba.Nuning menoleh malas-malasan karena sikapnya yang kurang bersahabat tadi. “Ya, ada apa nenek tua?” sahutnya sekenanya.“Hei, aku punya nama! Jangan sebut aku nenek tua ya?!” bentak nenek itu sambil menuding dengan tongkatnya.Meski jengkel, Nuning berbaik hati meladeninya dengan menjawab, “Iya, saya juga punya nama. Jadi jangan juga sebut saya Hei.”“Ya sudah, mari kita bertukar nama,” ajak si nenek akhirnya mau akur.&l
“Ngapain melamun? Kangen kampung?” sapa Jaka sambil menyesap kopi susunya. Duduk di sebelah Nuning yang memandangi bulan purnama di teras rumah. Nuning agaknya lagi ogah menyahut, menoleh barang sedikit juga tidak. “Kalau kangenmu sama kampung segitu beratnya, kuanterin pulang yuk?” godanya, lalu menyesap lagi kopinya, kemudian terbatuk-batuk usai kena tabok. Nuning kan paling senewen dengan ancaman satu itu. “Siapa juga yang kepingin pulang kampung?” Mata Nuning melotot segede jengkol. “Becanda doang keleus. Galak beut sih jadi orang?” “Lagian becandanya nggak tepat waktu. Tuman!” “Iya, ampun deh ....!” Jaka meringis dicubiti Nuning. Nuning mendesah. “Aku ketemu sama nenek-nenek aneh!” “Aneh mana sama kamu?” seloroh Jaka tak sanggup menahan mulut, untung saja Nuning cuma melotot. Sudah biasa dipelototin sama Nuning mah, ditabokin juga biasa. “Oke, oke .... Emang seaneh apa sih?" Nuning tancap gas bercerita, mulai jadi