“Rosalyn?” panggil Dewa dalam tidurnya. Saat ini, ia sedang terbaring di atas ranjang pasien. Sudah lima jam paska mendapat perawatan tetapi pria itu belum siuman.
“Dewa, ini aku. Buka matamu!” Seorang wanita menangis sembari menggenggam tangan Dewa.
Ketika membuka mata, samar-samar Dewa melihat wanita cantik sedang menatap ke arahnya. Pria itu berpikir bahwa Rosalyn telah berubah pikiran. Ia tersenyum kecil karena wanita manja itu hanya merajuk.
Setelah penglihatanya berubah jelas seketika Dewa tertegun. Ternyata ….
“Vinsensia … kamu di sini?” Dewa memperhatikan tangannya yang digenggam oleh perempuan itu. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan lalu bertanya, “Di mana Rosalyn?”
Vinsensia menangis tersedu-sedu. “Tidak ada Rosalyn di sini. “Bukankah kehadiranku juga sudah cukup?” Vinsensia mencondongkan tubuhnya mendekati Dewa. “Aku bisa merawatmu … menggantikan Rosalyn.”
“Jangan menangis lagi,” kata Dewa dengan lemah lembut. Pria itu menyeka air mata Vinsensia. “Kalau begitu bantu aku pulang.”
Vinsensia melengkungkan senyum. Sedetik kemudian perempuan itu mengernyit. “Kamu masih sakit, Dewa!”
Sedangkan Dewa memeriksa ponsel, tidak ada satu pun pesan atau panggilan dari Rosalyn. Bahkan Dewa mencoba menghubungi wanita itu tetapi tidak aktif. Ia memejamkan mata dan menggeram dalam hati, ‘Wanita manja itu membuat kesabaranku habis!’
“Ada masalah yang harus aku selesaikan,” sahut Dewa dengan intonasi lembut dan menenangkan sehingga Vinsensia mengangguk patuh.
Gadis itu benar-benar mengambil peluang dengan membantu Dewa turun dari ranjang pasien. Bahkan Vinsensia menghubungi sopir untuk menjemput mereka di lobi rumah sakit.
Tidak lama kemudian, Dewa dan Vinsensia duduk di dalam mobil. Meskipun cukup hening tetapi sangat hangat dan nyaman. Dewa sibuk berbalas pesan dengan anak buahnya, sedangkan Vinsensia tersenyum bahagia karena berhasil mengalahkan Rosalyn.
Sesampainya di hotel, Vinsensia turun tergesa dari mobil. Sedangkan Dewa masih duduk dengan gagah.
Vinsensia menyentuh paha Dewa. “Apa aku boleh ikut ke kantor? Kamu membutuhkan bantuanku, Dewa.”
Dewa menggeleng dan tersenyum kecil membuat wanita itu kebingungan. Sebelum pintu mobil tertutup, ia berkata dengan lembut “Aku tidak mau kamu kelelahan dan sakit.”
**
“Ternyata aku bisa,” gumam Rosalyn.
Hari ini pertama kali Rosalyn bekerja dan merasakan ‘dunia kejam’ yang dikatakan oleh suaminya. Ia belum memiliki teman lantaran banyak dari rekan kerja menganggap remeh dirinya. Akan tetapi Rosalyn tidak ambil pusing.
Sekarang ia sedang berjalan menuju halte bus. Tiba-tiba mobil hitam berhenti di sampingnya. Rosalyn terkejut, khawatir orang itu adalah Dewa.
“Rosalyn, kamu mau pulang? Aku antar.” Seseorang itu membukakan pintu mobil.
“Terima kasih Fabian. Aku bisa naik bus,” tolak Rosalyn dengan sopan.
“Jam segini bus penuh,” ucap Fabian lagi sambil melirik jam tangan.
Rosalyn memandangi bus yang sesak oleh penumpang. Ia langsung menunduk dan menatap perut ratanya. Sebelum meninggalkan kantor, wanita itu sempat merasakan keram. Setelah menimbang-nimbang akhirnya Rosalyn mnerima tawaran Fabian.
Ia duduk di samping pengemudi lalu menatap lurus ke jalan. Rambut panjang Rosalyn sedikit berantakan, tetapi tidak mengurangi kadar kecantikannya.
“Fabian, tidak perlu mengantarku ke Vila Caldwell. Aku ….” Suara Rosalyn tercekat. Ia kesulitan mencari alasan karena tidak mau orang lain mengetahui permasalahan rumah tangganya.
“Aku mengerti. Kamu takut Dewa cemburu. Jadi, mau turun di mana?” Ucapan Fabian membuat Rosalyn bernapas lega sehingga tidak perlu susah payah berbohong.
Rosalyn menjawab dengan tegas, “Kafe Madchen.”
Dua puluh menit kemudian, Rosalyn turun di depan kafe. “Terima kasih Fabian.”
Ia memastikan mobil Fabian menjauh dan kondisi aman. Setelah itu, Rosalyn bergegas menyebrang jalan. Namun wanita berdagu lancip itu tersentak karena tangannya ditarik oleh seseorang. Degup jantung Rosalyn berubah cepat ketika menolehkan kepala.
“Dewa?” Rosalyn terbelalak mendapati pria itu berdiri di dekatnya.
“Apa ini alasanmu meminta cerai?” Pertanyaan Dewa membuat Rosalyn terhina.
“Jangan memutar balik fakta, Dewa! Aku bukan kamu!” tegas Rosalyn sembari melepas cekalan tangan suaminya.
Namun Dewa semakin erat mencengkeram pergelangan tangan Rosalyn. Bahkan pria itu langsung menariknya ke dalam pelukan.
“Dewa lepaskan aku!” Rosalyn meronta tetapi tubuh kekar Dewa sama sekali tidak bergeser.
“Kenapa harus dilepas?” Suara datar Dewa menyusup ke telinga Rosalyn.
Wanita menyahut dengan suara bergetar, “Kita sudah berpisah. Tidak boleh seperti ini!”
“Kapan aku setuju bercerai?” Dewa melepaskan pelukannya, lalu menatap Rosalyn dengan pandangan mendalam. “Aku tidak mau anakku terlahir tanpa ayah. Pulanglah, Rosalyn. Aku akan menjadi ayah yang baik.”
Sejenak, Rosalyn kehabisan kata. Mata hazel wanita itu berkaca-kaca, sebab inilah kali pertama Dewa berkata lembut dan manis padanya.
Namun, ia kembali teringat bukan hanya dirinya wanita yang bisa memiliki Dewa. Rosalyn kembali meragu. “Jika aku bersedia … apa kamu bisa meninggalkan Vinsensia?”
Halo GoodReaders Selamat datang di buku baru aku. Semoga suka ya dengan alur dan penokohannya. Boleh ya tinggalkan jejak komentar. Terima kasih kakak-kakak ^^
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka