"Apa Dewa sudah pulang?"
Rosalyn pulang ke vila ketika langit mulai gelap. Langkahnya untuk mengajukan cerai semakin matang setelah mengetahui Dewa menahannya hanya karena alasan ibunya yang sakit. Jadi, setelah bertemu Vinsensia di hotel wanita itu, Rosalyn mengunjungi pengacaranya untuk mendapatkan surat gugatan. "Tuan Caldwell belum pulang, Nyonya." Wajah-wajah pelayan itu menatap Rosalyn dengan wajah khawatir. Senyum yang biasa muncul di bibirnya yang merah, kini menghilang. Wajahnya pun terlihat pucat dan lelah. Belum lagi, suara wanita itu yang terdengar tidak begitu bersemangat. Menghela napas panjang, Rosalyn kemudian bergegas ke kamar. Ia berencana pergi malam ini juga. Tidak lupa, ia menaruh surat gugatan perceraian yang telah ia tanda tangani di atas nakas, agar Dewa mudah menemukannya. Bukan hanya itu, wanita itu juga mengembalikan seluruh pemberian Dewa, termasuk kartu, juga cincin pernikahan mereka. Wanita itu hanya membawa sedikit pakaian ke dalam koper kecilnya. Sebelum keluar kamar, ponsel Rosalyn berdering. Mathilda, nama ibu sambungnya tertera di layar. “Ya Bu?” [Rosalyn, kenapa uangnya Cuma sedikit? Cepat kirim lagi! Jangan dipakai sendirian!] “Bu, lima puluh juta itu banyak—“ [Banyak?! Obat ayahmu saja tidak cukup. Kamu pikir semuanya gratis?] "...." Rosalyn terhenyak seraya meremas ponsel. Ia tidak mungkin menggunakan uang pemberian Dewa lagi. [Kenapa diam?! Sudah, cepat minta lagi sama Dewa!] Rosalyn menggeleng tegas walaupun Mathilda tidak melihatnya. “Bu, kita harus hemat dan tidak bisa bergantung terus pada Dewa." Rosalyn mengambil napas sejenak, lalu kembali berkata dengan lembut, "Aku dan Dewa sebentar lagi akan bercerai." [Hah cerai?! Mau jadi apa kamu kalau bercerai dengannya, Rosalyn?! Hidup butuh uang, kalau hanya masalah sepele, anggap saja kamu sedang berkorban demi keluarga.] Menahan sesak, Rosalyn menjawab dengan suara bergetar, “Dewa memiliki wanita lain Bu, sebentar lagi mereka menikah." [Kalau dia selingkuh ya biarkan saja. Pria seperti Dewa wajar memiliki mainan di luar rumah!] Tubuh Rosalyn gemetar hebat mendengar ucapan Mathilda. Meski hubungan mereka tidak begitu baik, tapi ia berharap kali ini ibunya bisa sedikit berempati. Namun, agaknya tak ada satu pun yang berpihak padanya. [Pokoknya, Ibu tidak mau tahu, kirim uang lagi. Sekarang!] Rosalyn tersentak ketika Mathilda memutus sambungan telepon dengan kasar. Ia mengembuskan napas panjang, lalu menatap surat cerai di atas nakas dengan penuh pertimbangan. Haruskah Rosalyn membatalkan gugatan itu dan kembali sebagai istri pajangan? Namun, semua luka yang ia terima membuat Rosalyn cepat-cepat menggelengkan kepala sambil berlinang air mata. "Tidak. Aku tidak akan mundur!" putusnya. Kemudian, Rosalyn menundukkan kepala dan menatap perutnya yang masih rata. "Maafkan Ibu sudah menolak kehadiranmu tadi. Ibu mohon, tetaplah sehat. Hanya kamu yang Ibu punya." Setelahnya, ia mantap melangkah keluar vila dengan koper kecilnya. Ditemani tatapan iba para pelayan, Rosalyn memasuki taksi menuju suatu tempat yang ia yakin Dewa tidak akan pernah bisa menemukannya. ** Beberapa jam setelah Rosalyn pergi, Dewa menginjakkan kaki di vila. Suasana sangat hening dan … mendung. Wajah semua pelayan memerah bahkan beberapa menyeka air mata sembari menyambut kedatangan Tuannya. “Di mana Rosalyn?” Dewa bertanya kepada seorang pelayan. “Tuan, Nyonya sudah pergi dari rumah.” Pelayan itu menunduk takut. Ekspresi wajah Dewa menegang dan memelotot kepada pelayan. Tanpa menunggu lagi, ia melepas jas dan menyerahkannya pada pelayan, sementara ia berlari menuju kamar sembari memanggil nama sang istri. “Rosalyn!” Dewa bak kesetanan, ia memanggil nama Rosalyn sembari mengitari seluruh penjuru kamar. Ketika tidak mendapati sang istri di sana, dada pria itu bergemuruh. Ia kemudian duduk di ranjang, memijat pelipis dan mengetatkan rahang karena frustrasi. Saat itulah, manik abu-abu pria itu menyipit kala melihat selembar kertas, kartu hitam serta perhiasan tergeletak di atas nakas. Ia meraih semuanya, dan menggeram ketika melihat satu berkas yang ditinggalkan Rosalyn. “Gugatan cerai?!” Dengan lengan kekarnya yang berurat, Dewa merobek surat cerai tersebut. Wajah pria itu memerah, marah, sebab ia tidak begitu mengenal sang istri yang ternyata begitu keras kepala akan kemauannya. "Rosalyn Keller, kamu tidak boleh pergi!" Dengan seluruh koneksi yang ia miliki, pria itu memerintahkan anak buahnya mencari jejak sang istri. Dewa mengembuskan napas kasar, lalu berbaring di atas ranjang. Ia didera perasaan asing, gabungan kemarahan, juga kehampaan. Masih teringat jelas, bayang-bayang senyuman wanita itu tiap kali Dewa pulang usai bekerja. Belum lagi, tingkah manja Rosalyn tiap kali wanita itu menggodanya. Lagi, Dewa mengacak rambutnya, frustrasi. Tidak lama, sebuah notifikasi muncul dari ponselnya. Cepat, Dewa membuka email tersebut yang ternyata berisi laporan dari anak buahnya. Dewa kembali terduduk. Pundak pria itu menegang, kala melihat beberapa dokumentasi foto Rosalyn keluar dari rumah sakit. Butuh penjelasan, ia pun segera menghubungi anak buahnya tersebut. "Kenapa istriku datang ke rumah sakit? Berikan aku rekam medisnya, sekarang! Temukan Rosalyn secepatnya!" Dengan uang dan juga kekuasaannya, kurang dari satu jam Dewa telah berhasil mendapatkan rekam medis Rosalyn. Namun, mata elang pria itu berubah memerah setelah membaca hasil pemeriksaan sang istri. Tangan pria itu gemetar cukup hebat, ketika membacanya dengan saksama. “Dia ... hamil?” Mata pria dominan itu berkaca-kaca. Seharusnya berita itu menjadi momen membahagiakan bagi setiap pasangan. Namun, tidak dengannya yang justru kebingungan. Sebagai calon ayah, hatinya tersentuh. Namun, sebagai seorang suami, ia marah sebab Rosalyn menyembunyikan kabar besar ini darinya. Namun, tidak lama ... Perasaan perasaan pria itu seketika menjadi rumit lantaran teringat akan kekasihnya. “Bagaimana jika Vinsensia tahu Rosalyn sedang hamil?” gumamnya. Ada sedikit perasaan khawatir yang ia rasakan. Maka dari itu, ia kembali mencoba menghubungi nomor ponsel istrinya, tetapi masih tidak tersambung. Diliputi perasaan kalut, malam ini Dewa tidak bisa tidur. Ia menanti Rosalyn berubah pikiran dan kembali ke vila. Sayangnya, hingga pagi hari Rosalyn tak kunjung pulang, dan keberadaannya tidak diketahui. Pandangan mata Dewa yang semula gelap tiba-tiba berubah cerah saat pintu kamarnya terdengar diketuk. Dengan antusias, Dewa membuka pintu dan berkata, "Rosalyn, kamu sudah pulang--" Nahas, ia harus menelan kecewa. Sebab, bukan Rosalyn yang ada di hadapannya, melainkan pelayan. “Maaf Tuan, ada berkas untuk Anda. Tadi sekretaris mengantarnya ke sini.” Pelayan itu mengulurkan map berisi laporan penting. Dewa langsung meraih berkas tersebut dan menutup pintu kamarnya dengan keras. Ia langsung membuka berkas tersebut, dan tercengang ketika mendapati laporan jika dua hari yang lalu, Rosalyn sempat bertemu dengan seorang pria dan melamar pekerjaan. "Fabian??" Secercah harapan kembali muncul di benak Dewa. Detik itu juga, ia bergegas menuju rumah Fabian yang ia kenal sebagai teman kecil sang istri. Sayang, akibat tidak fokus dan laju mobilnya yang terlalu kencang, Dewa kehilangan kendali. Mobil pria itu menabrak pembatas jalan, membuat kepala pria itu terbentur jendela mobil cukup keras. Darah mengucur dari pelipis pria itu. Sebelum kehilangan kesadaran, Dewa kembali bergumam pilu, "Rosalyn, pulanglah. Maafkan aku."“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka