"Ada apa?" tanya Edward tampak penasaran. "Ayahku tiba-tiba kondisinya menurun. Bolehkah aku turun di depan sana saja. Aku janji akan kembali ke rumahmu setelah ini." Edward yang pada dasarnya suka iba dengan derita orang lain, akhirnya menepikan mobilnya. Sejujurnya Edward ingin mengantarkan Erin kembali ke rumah sakit. Namun pesan dari ayahnya untuk segera ke kantor membuat Edward mengurungkan niat."Punya ongkos untuk ke rumah sakit?" tanya Edward sebelum meninggalkan Erin."Punya. Kau tenang saja. Terima kasih. Maaf, ya."Edward kemudian melajukan mobilnya meninggalkan Erin. Erin memandangi mobil Edward yang telah menjauh. Ia harus memesan ojek online agar cepat sampai di rumah sakit. Jika menunggu taksi akan lama bagi Erin. Ojek online pesanan Erin telah tiba. Erin naik ke motor setelah memakai helm. Perlahan motor melaju menuju ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan Erin merapalkan doa untuk keselamatan sang ayah. 'Tuhan ... tolong jangan ambil ayah sekarang. Aku masih belum m
Erin pusing tujuh keliling mendengar pertanyaan Vije. Belum sempat memberi jawaban, Erin ditelepon oleh pak Edo. Hal itu membuat Erin pamit keluar sebentar dari kamar Vije. Di luar kamar, Erin mengangkat telepon dari pak Edo. "Halo, Pak. Ada apa?""Erin, tolong segera siapkan tuan muda. Rapat di kantor akan dimulai empat puluh menit lagi.""Masalahnya, sekarang Edward sedang berganti kepribadian menjadi Vije, Pak. Saya bingung harus bagaimana membujuknya untuk pergi ke kantor.""Aduuhhh! Bisa gawat kalau seperti ini. Karena rapat yang akan diadakan merupakan rapat penting. Kalau tidak datang, kesempatan tuan muda untuk bisa mengelola perusahaan akan jatuh ke tangan sepupunya."Erin mengigit kukunya. Ia harus berpikir keras. "Pak, sebenarnya Vije mau ke kantor dengan dua syarat.""Apa itu? Pertama minta dimandikan dan kedua minta naik kereta pulang dari kantor.""Turuti saja.""Ta ... tapi ... Pak. Saya kan wanita. Tidak mungkin memandikan Vije yang merupakan pria dewasa, Pak.""Keing
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Vije. Erin terkejut dengan tindakan pria yang ada di depannya itu. Tindakan tersebut membuat Vije menatap dengan air mata yang tertahan."Anak sialan! Kenapa kau ke kantor dengan seperti ini!" Pria di hadapan Vije dan Erin meninggikan suara. Vije berlari menjauh dari sana. Erin langsung menyusul Vije. Tidak mungkin Erin membiarkan Vije sendirian. Namun langkah Erin kalah dengan langkah Vije yang lebih cepat hingga pintu lift tertutup. Erin harus menunggu lift naik kembali. Suasana sepi di lantai dua memberikan keuntungan bagi Vije. Erin bisa memastikan jika rapat memang akan diadakan lebih lambat dari perkiraan. Sepertinya memang disengaja. Ting!Pintu lift terbuka. Erin segera masuk ke dalam lift. Sebuah doa terus dipanjatkan Erin agar Vije tidak pergi jauh. Sampailah Erin di lantai dasar. Ia menatap ke sana kemari untuk mencari Vije. Terlihat di sana ada pria lain yang menghentikan Vije. Erin berlari mendekati Vije. "Tolong lepaska
Erin pergi dari taman bermain bersama Edward. Tujuan mereka tentu saja kembali ke kantor. Harapan Erin, semoga saja Edward tidak berganti kepribadian pada saat yang penting. "Kau memikirkan sesuatu?" tanya Erin yang sempat menangkap Edward menatap jalanan dengan serius. "Hanya penasaran dengan apa yang akan dibicarakan di kantor sampai memanggilku kembali. Padahal jelas tadi aku membuat kekacaun." "Jangan buat dirimu tertekan. Penting untuk menjaga dirimu yang sekarang sebagai kendali penuh atas tubuhmu."Edward mengangguk. "Lakukan apa saja yang bisa membuatku tidak berganti kepribadian." Erin meminta pak Edo untuk memutarkan musik. Tidak ingin memaksakan kesukaan dirinya pada Edward, maka Erin bertanya tentang lagu kesukaan Edward. Deretan lagu diberikan Edward pada Erin. Sepanjang perjalanan menuju ke kantor diiringi dengan lagu bahasa Inggris yang disukai Edward. Sesekali Erin juga memastikan ekspresi wajah Edward. "Ehem! Tidak perlu setiap menit juga kau menatapku." "Oh, m
Orang yang memanggil Erin langsung menyeret tangan Erin. Sementara Erin yang ditarik hanya diam saja. Kemungkinan besar Erin diam karena berada di rumah sakit atau orang yang menarik Erin adalah orang baik. "Aman sekarang." Pria yang menarik tangan Erin berbicara yang sekarang berada di kantin rumah sakit. "Terima kasih, Andi. Tapi ... kau tau dari mana kalau aku menghindari orang itu?" Erin terlihat penasaran, karena tidak pernah mengatakan pada orang lain soal dirinya yang dikejar oleh anak buah tante Desi."Aku tadi sempat bertemu dengan orang tadi. Aku tanya tentang kepentingannya kemari. Ternyata ingin bertemu denganmu. Dari tatapannya saja sudah tidak bersahabat. Apalagi sempat melihat sekilas reaksimu tadi."Erin tersenyum sekilas. Dari dulu Andi tidak pernah berubah. Selalu saja Andi cepat membaca situasi dan menjadi penolong Erin. "Sekali lagi terima kasih. Hanya itu yang bisa aku lakukan sampai sekarang padamu. Maaf tidak bisa membalas setimpal.""Tidak apa-apa. Santai sa
"Vije gak suka naik gerbong yang itu!" Vije akhirnya berbicara di sela-sela tangisnya. Erin yang masih mencari cara agar Vije tenang, berusaha mendudukkan Vije. Ia tidak tahu jika Vije suka gerbong tertentu. Jadi, Erin memesankan kereta asal saja. Tidak mempedulikan eksekutif, bisnis, atau ekonomi. Kebetulan kereta yang dipesan sekarang adalah kereta ekonomi."Kalau gitu, kita pulang ya." Erin tidak bisa memaksa Vije menaiki apa yang tidak disukai."Vije mau ganti gerbong aja! Bisa kan, Kak?"Erin melihat jam tangannya. Masih ada waktu. Biasanya pihak kereta api menjual tiket kereta secara mendadak dengan harga miring. Hanya saja harus berebut dan belum tentu dapat."Ayo kalau begitu! Tapi, kalau tidak dapat ... jangan menangis heboh lagi. Karena mendadak. Lalu, kalau tidak bisa duduk bersama juga jangan protes, ya. Karena yang dijual nanti hanya sisanya saja." Erin menarik tangan Vije. Vije menahan dirinya agar tidak mudah ditarik Erin. Akhirnya Erin pasrah."Kenapa lagi?""Vije te
Erin mendapatkan bisikan berupa rencana memisahkan Edward dengan Celine. Tentu saja Erin menolak. Ia tugasnya bukan penghancur hubungan, melainkan seorang pengasuh. "Vije tidak perlu ikut campur dengan urusan kak Edward. Karena kita tidak tahu bagaimana perasaan kak Edward pada kak Celine. Menyebalkan menurut kita, belum tentu menyebalkan juga pada orang lain." Erin sesekali menanamkan cara menghargai orang pada Vije.Vije hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Iya, ya. Contohnya saja seperti papa. Vije suka sekali sama kereta api. Tapi, papa berapa kali diberitahu tetap saja tidak suka.""Nah, itu ada contohnya. Jadi, sekarang mengerti kan?" Vije mengangguk dengan semangat. Aktivitas Erin dengan Vije diperhatikan oleh orang-orang yang ada di kereta makan. Ada yang menatap aneh dan ada yang menggunjing kondisi Vije. "Ayo pergi, Kak!" Vije mengajak Erin pergi dari kereta makan setelah menghabiskan makanan. Erin akan pergi dari kereta makan bersama Vije. Namun perkataan seorang wanita
Perlahan Erin membelah kerumunan. Erin harus menjadi orang pertama yang memastikan keadaan Vije sebelum pak Edo datang. Namun Erin belum memberi kabar pada pak Edo. Jarak Erin dengan taksi yang kecelakaan cukup dekat sekarang. Hanya saja, untuk melihat di kaca mobilnya tidak bisa karena telah ada petugas yang berwenang. Erin tanpa sengaja menangis. Ia segera mengusap air matanya yang terjatuh. Pikiran negatifnya harus dihilangkan.Puk!Tepukan didapatkan Erin dari belakang. Wajah sembab Erin berubah lega saat melihat Vije ada di depannya. Bahkan Erin refleks memeluk Vije. Bukan karena memanfaatkan kesempatan, melainkan Erin mengungkapkan rasa syukur tak terhingga. Ketika ada kecelakaan pasti Erin langsung trauma teringat sang ayah yang sekarang masih koma akibat kecelakaan.Vija yang sempat termenung, kemudian membalas pelukan Erin. Ia juga perlahan membawa Erin membelah kerumuman agar keluar dari sana. "Maaf." Erin melepaskan pelukannya saat merasakan Vije membawa ke tempat yang