Sebenarnya matanya sangat mengantuk, tapi tiba-tiba pelukan yang semakin mengerat di badannya membuat ia dipaksa bangun. Dan apa hasilnya? Gadis yang semalam mengomel-ngomel karena panas lah, banyak nyamuk lah ... kini tidur dengan memeluknya erat.
Tersenyum puas. Jangan ditanya lagi apa yang membuatnya tersenyum, karena bagi siapapun yang peka, pasti bisa paham kenapa sikapnya begitu pada Serena. Entah gadis ini memahami apa yang sedang ia rasakan, tapi yang jelas dia masih bisa dekat dengannya. Setidaknya untuk saat ini itu sudah cukup, jika ada kesempatan, mungkin akan lebih dekat lagi.
Tak bisa melakukan hal manis di saat dia bangun, setidaknya dalam keadaan tidur begini, ia bisa lakukan apa saja. Ya, apa saja.
Di saat menikmati moment itu, Serena melakukan pergerakan dan ia memilih untuk kembali pura-pura tidur. Apalagi posisi dia yang memeluknya begini, bisa-bisa malah dia yang lakuin, tapi justru dirinya yang malah diomelin. Biasalah, tingkat omelan gadis ini bisa di bilang level tinggi.
Mengerjap-ngerjapkan matanya. Awalnya biasa, tapi saat menyadari di mana dan apa yang ia lakukan, langsung kaget seketika. Perlahan, ia lepaskan pelukannya di badan Zean. Jangan sampai cowok ini terbangun dalam keadaan begini. Kenapa juga dirinya sampai memeluk Zean sampai seperti ini.
Langsung duduk dan menarik napasnya dalam-dalam. Mencoba mengkondisikan hatinya yang terasa berdebar debar. Bagaimana tidak, jangankan memeluk, terkadang dekat dengan cowok ini saja membuatnya seakan terkena serangan jantung mendadak.
“Apa-apaan gue sampe meluk-meluk segala,” gumamnya menggerutu dengan sedikit tertahan.
Menyentuh bibirnya yang berasa sedikit aneh. Bukan, lebih tepatnya ia merasakan ada sesuatu yang menyentuh bibirnya tadi di saat tidur.
Kemudian, menatap Zean. Bahkan ia sampai menopang dagu, hanya untuk memerhatikan wajah cogan yang satu ini saat tidur. Benar-benar berbanding terbalik. Saat tidur, dia begitu manis dan kalem. Tapi saat bangun, beuuuh ... seakan-akan emosi dia ikut bangun.
Tangannya hendak menyentuh wajah Zean, tapi seketika ia kaget saat si pemilik wajah justru dengan cepat menyambar tangannya.
“Jangan menyentuhku,” ujar Zean.
Eren langsung menarik tangannya yang berada dalam pegangan Zean.
“Ish ... nyebelin. Kamu pura-pura tidur, ya, Kak?” Pakai muka kesal.
“Enggak.”
“Bohong.”
“Feeling saja, saat ada seseorang yang hanya berani menatapku saat tidur,” terang Zean memandang Serena fokus.
Berasa tanduk akan segera keluar dari atas kepalanya. Ingin marah, ingin mencakar mulut Zean. Tapi seketika semuanya seolah luluh, meleleh, adem ... saat tangan itu mengacak rambutnya dengan lembut.
“Ini masih pagi, jangan buat awal harimu jadi buruk,” ujar Zean sambil tersenyum tipis.
Ia tak berharap terpesona dengan sikap cowok ini. Tapi, tapi ... kok bapernya kagak bisa ditahan, ya. Rasanya nyampe jantung. Senyuman itu seperti sebuah silau mentari yang menyeruak masuk ke dalam penglihatannya. Seakan-akan dirinya sudah dibuat untuk tetap diam dan menerima perlakuan manis ini.
“Ren,” panggilnya saat mendapati gadis ini malah bengong.
“I-iya, Kak?”
“Ke rumahku atau ke hotel?”
“Apa?!”
“Kamu mau mandi di mana? Di rumahmu kan listriknya lagi mati. Atau, kamu nggak mau mandi sekalian?”
Maafkan pikiran buruknya kalau sudah mendengar kata hotel. Apalagi diajak sama seorang cowok. Negatif thinking aja bawannya.
“Gimana kalau Kakak anterin aku ke rumahnya Kalina aja, dia temanku. Nanti biar aku berangkat sekolah bareng dia aja.”
“Tapi ...”
“Aku janji, nggak bakalan kabur lagi, kok. Lagian, ini kan jam sekolah. Tapi kalau jam pulang sekolah, bolehlah sedikit mencurigai,” jelasnya.
Zean awalnya diam. Hingga akhirnya ia pun setuju dengan apa yang dikatakan Serena. Ya ... setidaknya ini jam sekolah. Di luar itu, tak akan ia ijinkan.
Setelah mempersiapkan keperluannya, Zean mengantarkan Eren ke rumah Kalina. Apalagi kalau bukan untuk menompang mandi. Miris, ya.
Sebelum turun dari mobil saat sampai di kediaman Kalina. Menatap fokus ke arah Zean.
“Kak, semalam Kakak nggak lakuin apapun, kan?” tanya Eren dengan memasang wajah penuh kecurigaan. Bukan curiga, sih ... cuman ia merasa ada yang aneh aja.
“Maksudmu apa?”
“Kenapa pas bangun aku merasa ...” Sambil menggigit bibir bawahnya, seakan ragu untuk mengutarakan. Takut jika Zean berpikir dirinya justru berharap, bukan sedang bertanya. Cowok ini, kan, pintar sekali memutar keadaan.
“Berharap semalam aku melakukan sesuatu padamu, ya?”
“Enak aja,” umpat Eren.
“Masih kecil, jangan memikirkan hal yang tidak-tidak. Belajar adalah hal yang paling tepat kamu lakukan untuk saat ini.”
Eren memutar bola matanya dengan malas, saat kalimat ‘belajar’ selalu jadi yang utama bagi dia. Masih kecil katanya? Apa perlu ia tunjukkan seberapa dewasa dirinya.
“Belajar mencintai maksudmu, Kak?”
Zean diam. Apa gadis ini sedang memancing-mancing sikap aslinya. Tak tahukah dia, kalau selama ini hanya bersikap, tanpa mengutarakan itu rasanya sungguh menyebalkan.
“Sudahlah, jangan dipikirkan kata kataku,” ujar Serena terkekeh melihar raut muka Zean yang tiba tiba jadi aneh. “Kak Zean, nanti nggak usah menjemputku, ya. Sungguh, aku kasihan padamu yang harus bolak-balik kayak setrikaan begini.” Pasang tampang penuh rasa kasihan.
“Bentar, ku tanya Ken dulu.” Berniat menelepon sahabatnya.
“Eits ... nggak usah,” respon Eren cepat menghentikan niat Zean.
Keterlaluan sekali, kan, dia. Masa mau ngadu sama kakaknya yang jelas jelas membuat dirinya akan mati kutu dalam sekali ancaman.
“Bagus. Kalau sudah paham.”
Eren kemudian menyandarkan punggungnya dengan malas. “Tapi aku mau pergi bentar ... bentar doang. Paling lama itu sampai jam lima.”
Zean menatap hohor ke arah Serena. Seakan sedang menelisik jauh ke dalam otak dan pemikiran gadis ini.
“Hmm ... jam empat deh. Serius.” Ralat dikit. Tapi lagi-lagi dia masih menatap horor. “Satu jam. Satu jam doang. Janji. Keluar sekolah jam dua, jam tiga aku nyampe rumah. Gimana?”
Sebenarnya ia kasihan pada Eren tapi entah kenapa ia juga tak ingin tanggung jawab yang sudah diberikan Ken padanya, ia abaikan. Dan lagi, dia mau kemana, sih. sampai sebegitu kekeuhnya meminta ijin.
“Mau kemana?”
“Jalan, Kak.”
“Sama temanmu ... Kalina?”
“Sama Glenn.”
Dahi Zean berkerut saat mendengar nama itu. Oke, ia tahu kalau itu nama seorang cowok.
“Siapa dia?” Rasa penasarannya tiba tiba melonjak jauh.
“Pacar.”
“Kamu punya pacar?”
“Tentu saja,” jawabnya sambil bersidekap dada. “Memangnya Kak Zean dan Kak Ken, yang tiap hari kerjaannya hanya mengitari dan mengintimidasi kegiatanku seperti seorang jomlo kelas kakap.”
“Silahkan,” responnya singkat akan permintaan Eren.
“Eh, boleh?” Tiba tiba kaget atas ijin yang diberikan Zean padanya.
Zean hanya mengangguk perlahan, tapi dengan sedikit rasa tak biasa.
Mendengar perkataan Zean, tentu saja rasanya begitu memuaskan hatinya. Ya ampun, jarang-jarang ia bisa mendapatkan ijin begini. Biasanya dengan Ken pun, ia tak dapat ijin. Apalagi yang sampai mengatakan pergi dengan pacar. Bisa digorok lehernya jika dia tahu kalau adiknya ini pacaran.
“Makasih banyak, Kak ... nanti ku kasih bintang lima di tugas yang diberikan Kak Ken ini. Bye!”
Segera turun dari mobil sambil meneteng semua peralatan sekolahnya. Jangan sampai gara-gara sibuk mengobrol dengan manusia ini ia malah jadi lupa waktu dan perasaan.
Apa semua akan berakhir dengan cara begini? Sudah lama merasakan, tapi saat mendekati justru sudah jadi milik orang lain. Hanya bisa mengungkap lewat sindiran dan hanya bisa menyentuh ketika tidur. Bahkan dia saja seolah tak paham dengan sikapnya ini.
Cerita ini masih genre romance, ya. Hanya saja jauh lebih ringan konflik . Jangan lupa tinggalkan ulsannya, Kak ... hehehehe
Di sekolah, saat keluar ia segera menelepon Zean kalau akan sampai di rumah tepat waktu. Oke ... itu berarti dirinya masih punya waktu yang aman untuk berkeliaran hari ini.“Ren, lo jadi jalan sama Glenn?” tanya Kalina.“Iya, ini lagi nungguin dia, nih,” jawabnya.“Sandra mana, ya?” tanya Kalina.“Tadi katanya mau ke toilet, kan.”Saat keduanya duduk menunggu di dekat parkiran sekolah, tiba-tiba Sandra datang beriringan dengan Glenn.“Loh, kok kalian bisa barengan?” tanya Serena heran.“Papasan di lorong kelas,” jawab Glenn menebar senyum ke arah gadis itu.Jadilah, saat Sandra dan Kalina memasuki mobil masing-masing untuk segera pulang, sedangkan Serena memasuki mobil Glenn untuk segera pergi kencan. Yap, kencan ... bahkan sudah satu tahun jadian, keduanya hanya menjalani hubungan aneh seperti ini. Tanpa adanya malam minggu, tanpa adanya jadwal kencan dan kesan kesan dalam dunia pacaran yang seperti dilakukan teman teman sebayanya.“Glenn ... sorry, ya ... kita pacarannya malah jadi
Duduk di pinggir jalan sambil menangis. Bahkan tak menhiraukan orang-orang yang memerhatikannya dengan raut heran ... seperti seorang yang sudah dicampakkan dengan mengenaskan. Ya, begitulah yang memang sedang ia alami. Dicampakkan oleh orang yang selama ini bilang cinta, tapi ternyata hanya rasa kasihan.Kalau bukan karena seragam yang masih dikenakannya, mungkin ia akan dilempari uang recehan oleh mereka yang lewat.Ponselnya tiba-tiba berdering ... saat ia lihat, ternyata nama Ken lah yang tertera. Tentu saja tak mungkin ia jawab, di saat dirinya masih dalam keadaan menangis begini. Bisa-bisa kakaknya itu dengan mudah mencurigai suaranya yang berbeda karena serak.Baru juga panggilan dari Ken terhenti, kini nama Zean yang muncul di layar datar itu.“Aku lagi patah hati begini, kenapa kalian berdua malah meneleponku terus, sih,” tangisnya. “Bisa-bisa aku khilaf dan bunuh diri aja, nih.”Terus menangis, bahkan wajahnya saja terlihat sudah sembab. Melihat kiri kanan, sudah sepi pejala
Eren duduk di samping Zean dengan sebuah guling yang ia bawa dari kamar. Menatap fokus pada cowok yang saat itu sedang bicara di telepon dengan seseorang. Hanya jadi pendengar yang baik, saat cowok itu terkadang hanya mengeluarkan kata-kata singkat saat bicara di telepon. Sungguh ... itu yang jadi lawan bicaranya pasti merasa gregetan. “Kak Zean nggak pulang?” tanya Eren saat Zean selesai bicara di telepon.Zean menatap dingin ke arah Eren.“Suka sekali mengusirku.”“Aku, kan, lagi nanya, Kak.” Menghela napasnya berat, saat pertanyaannya justru dikira pernyataan.Zean menyandarkan punggungnya di sofa.“Maaf, merepotkanmu,” ucap Eren memasang wajah bersalah.“Tak apa, jika itu membuatmu senang,” balas Zean.Serena malah merebahkan badannya begitu saja, dengan kedua paha Zean sebagai bantalan dan kemudian memeluk guling.“Jadi, menurutmu gimana, Kak?” tanya Serena.“Apanya?” Tiba tiba bertanya begitu, tentu saja membuatnya bingung.“Ya, aku.”“Aku nggak tahu,” respon Zean singkat.“K
Zean duduk di samping Serena yang masih menangis. Bahkan sekeluarnya Ken, dia makin mejadi-jadi tangisnya. Jujur, ia kasihan ... hanya saja iajuga tak bisa berbuat apa apa. Setidaknya hanya bisa melerai sobatnya agar tak terlalu menunjukkan emosi pada Serena.“Belum puas menangis dari sore?”“Kak Zean, nggak mau memelukku?” tanyanya pada Zean.“Sudah ada Ken, kan,” balas Zean.Eren malah langsung saja memeluk Zean. “Aku mau dipeluk sama kamu saja. Kak Ken begitu menakutkan kalau lagi marah. Jantungku seakan mau copot,” jelasnya memeluk Zean sambi menangis.Zean malah terkekeh mendengar penuturan Eren. “Dia begitu karena sayang dan memikirkanmu. Bukan karena marah atau membencimu. Itu yang harus kamu ingat.”“Jangan-jangan kamu kalau lagi marah juga begitu, Kak ... kalian kan couple sejati.”“Saat orang yang ku cinta dan ku sayang dibuat menangis, hal yang sama juga ku lakukan. Tapi tentunya dengan cara yang berbeda.”Lagi-lagi Zean membuatnya kesal. Apa cowok ini sengaja membuatnya sa
Tahu tidak, ini rasanya memasuki area sekolah, seakan-akan ia seperti murid baru tanpa mengenal siapapun di sini. Semua itu karena permasalahannya dengan Glenn dan Sandra. Ia tahu jika dirinya tak salah, tapi rasanya tak tahan jika nantinya harus bertemu dengan dua manusia pengkhianat itu.Masuk kelas, ia dapati Kalina dan Sandra sedang ngobrol, seperti biasa ... masih seperti sebelum adanya masalah. Sedangkan sekarang status keduanya sudah berbeda. Satu adalah sahabatnya dan yang satu adalah pengkhianat.“Pagi, Ren,” sapa Kalina dengan riang.Ya, seperti biasa, selalu ceria meskipun ini masih pagi. Hanya saja dia sepertinya tak tahu tentang permasalahan yang sedang ia hadapi dengan Sandra.“Ren ... lo kok duduk di depan?” tanya Kalina saat Eren malah duduk di kursi depan, di samping kursinya dengannya. Kan, biasanya dengan Sandra di belakang.Tak ada jawaban yang diberikan Eren. Seolah-olah ia enggan untuk mengeluarkan suaranya di dekat Sandra.Kalina bingung dengan apa yang terja
Sampai di rumah, Ken kembali menggendong adiknya itu dan mendudukkan di sofa. Ia bukan orang yang suka pasrah saat adiknya ditindas dan disakiti begini, tapi untuk membalas, dirinya juga punya cara tersendiri.Eren menanggalkan sepatunya dan memeriksa kakinya yang sakit. Bukan luka, ini lebih ke rasa ngilu karena terkilir.Ken kembali dari dapur dengan sebuah mangkok berisi air hangat dan handuk berukuran kecil.“Bagian mana yang sakit?” tanyanya pada Eren.“Ini,” tunjuknya pada bagian pergelangan kakinya yang mulai terlihat membengkak. “Pelan-pelan, ini sakit,” rengeknya saat tangan kakaknya mulai mengompres bagian yang sakit itu.“Ini juga pelan,” komentar Ken.Rengekan demi rengekan makin menghantam pendengaran Ken. Kadang Eren malah memukul tangannya agar menghentikan aksinya itu.“Kalau nggak dipijat begini, kamu mau kakimu nggak bisa dibawa jalan?”Ken mulai mengoceh.“Tapi ini benar-benar sakit, aku berasa mau nangis.”“Udah, nangis aja sesukamu,” respon Ken kembali berfokus pa
Pagi ini Eren turun dari anak tangga dengan perlahan. Apalagi kalau bukan karena kakinya yang masih terasa ngilu untuk diajak berjalan cepat. Bisa-bisa memaksakan ia malah berguling-guling di tangga. Endingnya bakalan patah, bukan terkilir lagi.Mendapati Ken sudah duduk di kursi menikmati sarapan yang sudah disiapkan Bibik.“Pagi, Kak,” sapanya.“Gimana kakimu?”“Udah baikan, hanya dikit ngilu aja.”Ia mulai menikmati sarapannya, tapi tiba-tiba terhenti saat merasakan kalau Ken menatapnya terus. Membuatnya risih saja, meskipun yang memperhatikan adalah kakaknya sendiri.“Kenapa ngeliatinnya gitu amat, sih?” tanyanya masih terus menikmati makanannya.Ken menyandarkan punggungnya di kursi, sambil bersidekap dadda, menatap sang adik dengan tatapan penuh selidik.“Bicara apa semalam sama Zean?” tanya Ken.“Bicara apa?”“Aku lagi nanya, Ren,” keluhnya.“Nggak ada apa-apa.”“Jangan berbohong.”Eren sedikit bingung harus mengatakan apa. Ia menghentikan aktifitas makannya dan mengelap bibirn
Pulang sekolah, ia diantar oleh Kalina. Bukan, lebih tepatnya ia yang meminta, sekalian mau mengajak sobatnya itu menemaninya di rumah. Sebelumnya Kalina jarang mau, tapi kali ini atas paksaannya, akhirnya dia mau. Alasan dia menolak hanya satu, sih ... apalagi kalau bukan takut sama kakaknya. Padahal Ken itu nggak ngapa ngapain dia, loh, ya ... tapi dia bilang saat Ken menatapnya, rasanya kok nakutin.“Kak Ken nggak di rumah, kan?” tanya Kalina memastikan, saat sampai di rumah Eren.“Belum pulang, mungkin sore. Katanya ada kuliah tambahan.” Ini entah jawaban yang ke berapa kali ia berikan. Lagi lagi dia memastikan dengan terus bertanya.“Syukurlah,” leganya.“Kenapa juga jadi takut begitu sama dia, sih ... kakak gue nggak makan orang, kok.”Iya, nggak makan orang ... tapi tatapan dia saja mampu membuat otaknya berhenti bekerja.“Ngeri gue. Ditatap sama Kak Ken aja, itu nyali gue langsung menciut kayak kerupuk kesiram air. Berasa lagi ditatap dewa Yunani.”“Sama siapa? Zeus, Poseidon