Share

BAB 6 : Gugur Sebelum Berkembang

Sebenarnya matanya sangat mengantuk, tapi tiba-tiba  pelukan yang semakin mengerat di badannya membuat ia dipaksa bangun. Dan apa hasilnya? Gadis yang semalam mengomel-ngomel karena panas lah, banyak nyamuk lah ... kini tidur dengan memeluknya erat.

Tersenyum puas. Jangan ditanya lagi apa yang membuatnya tersenyum, karena bagi siapapun yang peka, pasti bisa paham kenapa sikapnya begitu pada Serena. Entah gadis ini memahami apa yang sedang ia rasakan, tapi yang jelas dia masih bisa dekat dengannya. Setidaknya untuk saat ini itu sudah cukup, jika ada kesempatan, mungkin akan lebih dekat lagi.

Tak bisa melakukan hal manis di saat dia bangun, setidaknya dalam keadaan tidur begini, ia bisa lakukan apa saja. Ya, apa saja.

Di saat menikmati moment itu, Serena melakukan pergerakan dan ia memilih untuk kembali pura-pura tidur. Apalagi posisi dia yang memeluknya begini, bisa-bisa malah dia yang lakuin, tapi justru dirinya yang malah diomelin. Biasalah, tingkat omelan gadis ini bisa di bilang level tinggi.

Mengerjap-ngerjapkan matanya. Awalnya biasa, tapi saat menyadari di mana dan apa yang ia lakukan, langsung kaget seketika. Perlahan, ia lepaskan pelukannya di badan Zean. Jangan sampai cowok ini terbangun dalam keadaan begini. Kenapa juga dirinya sampai memeluk Zean sampai seperti ini.

Langsung duduk dan menarik napasnya dalam-dalam. Mencoba mengkondisikan hatinya yang terasa berdebar debar. Bagaimana tidak, jangankan memeluk, terkadang dekat dengan cowok ini saja membuatnya seakan terkena serangan jantung mendadak.

“Apa-apaan gue sampe meluk-meluk segala,” gumamnya menggerutu dengan sedikit tertahan.

Menyentuh bibirnya yang berasa sedikit aneh. Bukan, lebih tepatnya ia merasakan ada sesuatu yang menyentuh bibirnya tadi di saat tidur.

Kemudian, menatap Zean. Bahkan ia sampai menopang dagu, hanya untuk memerhatikan wajah cogan yang satu ini saat tidur. Benar-benar berbanding terbalik. Saat tidur, dia begitu manis dan kalem. Tapi saat bangun, beuuuh ... seakan-akan emosi dia ikut bangun.

Tangannya hendak menyentuh wajah Zean, tapi seketika ia kaget saat si pemilik wajah justru dengan cepat menyambar tangannya.

“Jangan menyentuhku,” ujar Zean.

Eren langsung menarik tangannya yang berada dalam pegangan Zean.

“Ish ... nyebelin. Kamu pura-pura tidur, ya, Kak?” Pakai muka kesal.

“Enggak.”

“Bohong.”

“Feeling saja, saat ada seseorang yang hanya berani menatapku saat tidur,” terang Zean memandang Serena fokus.

Berasa tanduk akan segera keluar dari atas kepalanya. Ingin marah, ingin mencakar mulut Zean. Tapi seketika semuanya seolah luluh, meleleh, adem ... saat tangan itu mengacak rambutnya dengan lembut.

“Ini masih pagi, jangan buat awal harimu jadi buruk,” ujar Zean sambil tersenyum tipis.

Ia tak berharap terpesona dengan sikap cowok ini. Tapi, tapi ... kok bapernya kagak bisa ditahan, ya. Rasanya nyampe jantung. Senyuman itu seperti sebuah silau mentari yang menyeruak masuk ke dalam penglihatannya. Seakan-akan dirinya sudah dibuat untuk tetap diam dan menerima perlakuan manis ini.

“Ren,” panggilnya saat mendapati gadis ini malah bengong.

“I-iya, Kak?”

“Ke rumahku atau ke hotel?”

“Apa?!”

“Kamu mau mandi di mana? Di rumahmu kan listriknya lagi mati. Atau, kamu nggak mau mandi sekalian?”

Maafkan pikiran buruknya kalau sudah mendengar kata hotel. Apalagi diajak sama seorang cowok. Negatif thinking aja bawannya.

“Gimana kalau Kakak anterin aku ke rumahnya Kalina aja, dia temanku. Nanti biar aku berangkat sekolah bareng dia aja.”

“Tapi ...”

“Aku janji, nggak bakalan kabur lagi, kok. Lagian, ini kan jam sekolah. Tapi kalau jam pulang sekolah, bolehlah sedikit mencurigai,” jelasnya.

Zean awalnya diam. Hingga akhirnya ia pun setuju dengan apa yang dikatakan Serena. Ya ... setidaknya ini jam sekolah. Di luar itu, tak akan ia ijinkan.

Setelah mempersiapkan keperluannya, Zean mengantarkan Eren ke rumah Kalina. Apalagi kalau bukan untuk menompang mandi. Miris, ya.

Sebelum turun dari mobil saat sampai di kediaman Kalina. Menatap fokus ke arah Zean.

“Kak, semalam Kakak nggak lakuin apapun, kan?” tanya Eren dengan memasang wajah penuh kecurigaan. Bukan curiga, sih ... cuman ia merasa ada yang aneh aja.

“Maksudmu apa?”

“Kenapa pas bangun aku merasa ...” Sambil menggigit bibir bawahnya, seakan ragu untuk mengutarakan. Takut jika Zean berpikir dirinya justru berharap, bukan sedang bertanya. Cowok ini, kan, pintar sekali memutar keadaan.

“Berharap semalam aku melakukan sesuatu padamu, ya?”

“Enak aja,” umpat Eren.

“Masih kecil, jangan memikirkan hal yang tidak-tidak. Belajar adalah hal yang paling tepat kamu lakukan untuk saat ini.”

Eren memutar bola matanya dengan malas, saat kalimat ‘belajar’ selalu jadi yang utama bagi dia. Masih kecil katanya? Apa perlu ia tunjukkan seberapa dewasa dirinya.

“Belajar mencintai maksudmu, Kak?”

Zean diam. Apa gadis ini sedang memancing-mancing sikap aslinya. Tak tahukah dia, kalau selama ini hanya bersikap, tanpa mengutarakan itu rasanya sungguh menyebalkan.

 “Sudahlah, jangan dipikirkan kata kataku,” ujar Serena terkekeh melihar raut muka Zean yang tiba tiba jadi aneh. “Kak Zean, nanti nggak usah menjemputku, ya. Sungguh, aku kasihan padamu yang harus bolak-balik kayak setrikaan begini.” Pasang tampang penuh rasa kasihan.

“Bentar, ku tanya Ken dulu.” Berniat menelepon sahabatnya.

“Eits ... nggak usah,” respon Eren cepat menghentikan niat Zean.

Keterlaluan sekali, kan, dia. Masa mau ngadu sama kakaknya yang jelas jelas membuat dirinya akan mati kutu dalam sekali ancaman.

“Bagus. Kalau sudah paham.”

Eren kemudian menyandarkan punggungnya dengan malas. “Tapi aku mau pergi bentar ... bentar doang. Paling lama itu sampai jam lima.”

Zean menatap hohor ke arah Serena. Seakan sedang menelisik jauh ke dalam otak dan pemikiran gadis ini.

“Hmm ... jam empat deh. Serius.” Ralat dikit. Tapi lagi-lagi dia masih menatap horor. “Satu jam. Satu jam doang. Janji. Keluar sekolah jam dua, jam tiga aku nyampe rumah. Gimana?”

Sebenarnya ia kasihan pada Eren tapi entah kenapa ia juga tak ingin tanggung jawab yang sudah diberikan Ken padanya, ia abaikan. Dan lagi, dia mau kemana, sih. sampai sebegitu kekeuhnya meminta ijin.

“Mau kemana?”

“Jalan, Kak.”

“Sama temanmu ... Kalina?”

“Sama Glenn.”

Dahi Zean berkerut saat mendengar nama itu. Oke, ia tahu kalau itu nama seorang cowok.

“Siapa dia?” Rasa penasarannya tiba tiba melonjak jauh.

“Pacar.”

“Kamu punya pacar?”

“Tentu saja,” jawabnya sambil bersidekap dada. “Memangnya Kak Zean dan Kak Ken, yang tiap hari kerjaannya hanya mengitari dan mengintimidasi kegiatanku seperti seorang jomlo kelas kakap.”

“Silahkan,” responnya singkat akan permintaan Eren.

“Eh, boleh?” Tiba tiba kaget atas ijin yang diberikan Zean padanya.

Zean hanya mengangguk perlahan, tapi dengan sedikit rasa tak biasa.

Mendengar perkataan Zean, tentu saja rasanya begitu memuaskan hatinya. Ya ampun, jarang-jarang ia bisa mendapatkan ijin begini. Biasanya dengan Ken pun, ia tak dapat ijin. Apalagi yang sampai mengatakan pergi dengan pacar. Bisa digorok lehernya jika dia tahu kalau adiknya ini pacaran.

“Makasih banyak, Kak ... nanti ku kasih bintang lima di tugas yang diberikan Kak Ken ini. Bye!”

Segera turun dari mobil sambil meneteng semua peralatan sekolahnya. Jangan sampai gara-gara sibuk mengobrol dengan manusia ini ia malah jadi lupa waktu dan perasaan.

Apa semua akan berakhir dengan cara begini? Sudah lama merasakan, tapi saat mendekati justru sudah jadi milik orang lain. Hanya bisa mengungkap lewat sindiran dan hanya bisa menyentuh ketika tidur. Bahkan dia saja seolah tak paham dengan sikapnya ini.

Soffia

Cerita ini masih genre romance, ya. Hanya saja jauh lebih ringan konflik . Jangan lupa tinggalkan ulsannya, Kak ... hehehehe

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status