Share

20. Alam Liar

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-05-27 17:37:42
Suara gemeretak ranting terdengar semakin dekat.

Dominic belum sempat bergerak lebih jauh, ketika terdengar suara yang melenguh berat dan dalam dari semak belukar di depan mereka.

Suara yang sama sekali bukan dari hewan kecil.

Zeus kini mulai merendahkan tubuh dan menunjukkan taringnya. Posturnya bersiap untuk bertarung.

Lalu dari balik pepohonan, muncullah segerombolan hewan yang sangat besar berbulu coklat tua kehitaman. Tubuhnya kekar, dan wajahnya menunduk dengan taring tajam yang mencuat dari moncongnya.

Matanya merah, gerakannya cepat dan agresif.

Salah satun hewan itu mengendus udara, lalu mendengus keras... sebelum menginjak tanah dengan kuat dan berlari kencang ke arah mereka.

Aveline menjerit ketakutan. “Mereka babi hutan!”

Dominic segera menarik tubuh gadis itu ke belakang, melindungi dengan satu tangan sambil berseru tegas, “Zeus!”

Dan panther itu pun melompat dengan suara auman yang melengking menakutkan.

Tubuh hitamnya melesat seperti bayangan malam
Black Aurora

sebenarnya hari ini mau nulis dua bab, karena memang lanjutannya masih panjang. tapi apa daya waktunya nggak ada untuk emak-emak rempong seperti autor yang real life-nya hectic, cieee...

| 18
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (4)
goodnovel comment avatar
May_maya🌸
semangat mak author .. aku yg juga emak" pembaca ini slalu menunggu lanjutan karya mu ...(ciumjauh)
goodnovel comment avatar
Bundae Reva Reva
sukses slalu thor sy suka
goodnovel comment avatar
naluri cewek
semangat Thor cerita nya seru, selalu di tunggu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pay Me With Your Body   98. Vesgos : Jejak Yang Tertinggal

    Udara Vesgos sore itu terasa dingin dan lembap. Dominic berdiri di depan bangunan besar bergaya klasik, yang lebih menyerupai benteng tua daripada rumah tinggal. Pilar-pilarnya tinggi, catnya sedikit terkelupas, namun aura kekuasaan tetap melekat kuat pada setiap lekuk bangunannya.“Château Deveraux,” guman Dominic pelan sambil menatap pintu besi hitam yang mulai terbuka perlahan.Seorang pelayan berpakaian rapi membukakan pintu dan mempersilakan Dominic masuk ke dalam ruang tamu yang luas. Aroma kayu tua, buku lawas, dan anggur yang tersimpan berabad-abad menyeruak di udara.Lucien Deveraux muncul dari balik pintu lain. Pria itu tinggi, berwibawa, rambutnya perak dengan sisiran sempurna. Mata tajamnya mengamati Dominic dengan ketenangan yang dingin, seperti sedang mengukur ancaman yang mungkin dibawa oleh tamunya.“Dominic Wolfe,” ucap Lucien datar. “Akhirnya kita bertemu.”“Terima kasih sudah meluangkan waktu,” balas Dominic singkat.Mereka saling berjabat tangan. Tidak erat. Ti

  • Pay Me With Your Body   97. Berjalan Bersama

    Langit di atas lautan mulai menggelap perlahan, memantulkan cahaya oranye keemasan dari mentari senja. Di dek atas NORD, Dominic berdiri dengan tangan bersidekap serta menatap lurus ke garis horizon. Angin laut lembut menerbangkan helai-helai rambutnya yang coklat gelap, namun pikirannya sama sekali tak tenang.Lalu tiba-tiba ia mendengar langkah kaki ringan mendekat di belakangnya“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Aveline lembut, sambil menyelipkan tangan ke lengannya.Dominic menoleh pelan, menatap wajah istrinya dengan kelembutan yang tak pernah usai. Lalu satu kecupan pun mendarat di puncak kepala Aveline sebelum ia menjawab.“Kamu,” jawabnya jujur. “Dan tentang apa yang akan terjadi kalau aku kehilangan kamu.”Aveline tersenyum kecil. “Kamu tidak akan kehilangan aku, Dominic.”Dominic mengangguk pelan. Pria itu lalu menundukkan wajahnya untuk mencium bibir Aveline-nya yang manis, seolah ingin memastikan bahwa kehadirannya nyata dan tetap utuh.Tiba-tiba ponselnya bergetar, dan n

  • Pay Me With Your Body   96. Ingin Merebut

    Aroma khas rumah sakit yang menusuk hidung menyambut Clarissa saat kelopak matanya perlahan terbuka. Pandangannya kabur karena sinar lampu putih menyilaukan di langit-langit, dan suara mesin monitor detak jantung berdetak pelan di telinganya. Setiap senti tubuhnya terasa seperti dihantam palu. Sakit, nyeri, perih, dan menusuk hingga ke tulang. Ia mengerang pelan dan mencoba menggerakkan tangan, namun lengan kirinya terbungkus perban tebal. Sakitnya luar biasa. Wajahnya terasa berat dan kaku, bahkan sebagian seperti mati rasa. Saat pandangannya mulai fokus, ia menangkap bayangan seseorang berdiri di sisi tempat tidurnya. Seseorang yang tinggi, tegap, dan diam membatu seperti patung. Matanya menyipit untuk mengenali sosok samar itu,Tapi detik berikutnya, jantungnya hampir berhenti ketika menyadari tatapan mata serta ketegasan yang dingin tanpa belas kasihan itu yang terasa familier. “Dominic…?” suara Clarissa serak dan lemah, hampir tak terdengar. “Kamu sudah sadar.” Pria it

  • Pay Me With Your Body   95. Musnah

    Suara hujan masih tersisa dalam bentuk titik-titik lembap di kaca depan mobil, saat Ezra Blaine menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Satu tangan memegang setir dan satunya lagi menangkup dagu. Mobil sedan hitam itu meluncur mulus di jalan menurun menuju batas kota, membelah hening malam yang dipenuhi cahaya oranye dari lampu jalan. Di sebelahnya, Clarissa Blaine, wajah putrinya itu terlihat jelas amarah yang belum sepenuhnya reda. “Sombong sekali dia,” guman Clarissa sambil menatap jendela, wajahnya memantul samar di balik bayangan malam. “Lucien Deveraux itu benar-benar angkuh. Kita sudah datang baik-baik, bahkan menyodorkan kerja sama.” Ezra mendengus, menggertakkan gigi. “Lucien selalu berpikir dia di atas semua orang. Bahkan dulu sejak ayahnya masih hidup, keluarga Deveraux memang terkenal selalu menutup pintu untuk siapa pun yang ingin menyentuh ‘zona nyaman’ mereka.” Clarissa melirik ayahnya. “Tapi kita butuh dia. Kita tidak bisa membangun aliansi tanpa dukungan p

  • Pay Me With Your Body   94. Racun

    Baru saja Dominic berniat menyergap bibir Aveline yang menggiurkan, tiba-tiba ponselnya yang diletakkan di samping botol air tiba-tiba berdering nyaring. Layarnya menunjukkan sebuah panggilan video masuk dari ibunya. Dominic mendengus, separuh kesal karena momen intim mereka terpotong. Tapi ia tetap menjawab dan menegakkan tubuhnya, menyambungkan panggilan ke layar lebar yang terpasang di dinding gym. Sedetik kemudian wajah kedua orangtuanya muncul di layar. Ayah Dominic yang mengenakan sweater rajut dan terlihat lebih sehat, serta ibunya yang duduk di sampingnya di balkon apartemen mereka di Swiss, dengan latar pegunungan Alpen yang membentang indah. "Hey, pria besar dan keras kepala!” sapa ibunya ceria. “Dan halo menantuku yang cantik!” Aveline tersenyum seraya melambaikan tangan. “Halo, Ibu. Ayah.” “Aku melihat perubahan besar di wajah Dominic,” ujar ibunya sambil tersenyum hangat. “Dia kelihatan lebih bahagia dan hidup.” Ayah Dominic terkekeh pelan. “Mungkin kar

  • Pay Me With Your Body   93. Cinta Mati

    Udara pagi di NORD terasa segar, sejuk dengan aroma khas hutan pinus yang membungkus bangunan kaca tempat gym terbuka itu berada. Sinar matahari menerobos langit-langit transparan, menari di atas permukaan baja peralatan gym, menciptakan refleksi keemasan yang hangat di lantai kayu yang bersih. Dominic Wolfe mengenakan kaus berwarna abu gelap yang melekat sempurna di tubuh kekarnya. Celana training hitam membingkai kakinya yang kokoh saat ia berbaring di bangku, mengangkat barbel baja seberat lebih dari tubuh manusia biasa. Setiap gerakan ototnya terukur, tegang, dan penuh kendali. Tapi bukanlah beban yang membuat dahinya berkerut dalam konsentrasi penuh, melainkan sosok perempuan yang berlari di atas treadmill tidak jauh darinya. Aveline. Keringat membasahi pelipis dan tengkuk istrinya, tapi ia tetap saja terlihat sangat menawan. Rambut pirangnya diikat tinggi, dan tubuhnya yang ramping terus bergerak dengan mantap di atas mesin. Namun manik coklat gelap Dominic yang ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status