makasih buat yang masih baca 🫶🫶
Seminggu telah berlalu sejak Aveline Rose berada di rumah sakit. Kini, sinar matahari lembut yang menyelinap dari balik jendela menyinari wajahnya yang mulai bersemu warna. Kesehatannya mengalami peningkatan yang menggembirakan. Meskipun jantungnya masih lemah, tapi mulai merespon dengan baik pada pengobatan intensif dan istirahat penuh. Dokter Mia Caldwell, kardiolog yang menangani Aveline, akhirnya memperbolehkannya pulang. Namun tentu saja dengan syarat, berobat jalan harus tetap dilakukan tiga hari sekali tanpa absen. Kini Aveline duduk diam di kursi roda di kamar rawat VIP yang akan ia tinggalkan. Rambut pirangnya diikat longgar ke belakang, wajahnya terlihat bersih dan lebih segar, meski ada bekas kelelahan yang belum sepenuhnya hilang. Ia memandangi layar televisi yang menyala di dinding seberang ruangan, tapi matanya tak sungguh-sungguh melihat. Tatapannya kosong, pikirannya entah melayang ke mana. Mama Corrine yang sejak pagi sibuk berkemas dan memastik
Seluruh dinding kamar rawat VIP yang berlapis panel kayu maple itu terasa hangat dan harum, sangat berbeda dari dingin serta gemerisik di ruang ICU. Seseorang mulai menyibakkan tirai jendela dari kain linen warna krem, membiarkan cahaya pagi musim dingin Chicago terlihat menumpuk lembut di atas selimut tebal tempat Aveline berbaring. Gadis remaja itu pun perlahan mulai siuman. Pertama-tama ia mendengar suara desis mesin infus dan bip halus monitor portable, lalu menghirup sedikit aroma antiseptik yang dibungkam oleh seikat mawar kuning di vas kristal. Dan yang terakhir, ada rasa getir di tenggorokan. Kelopak matanya bergetar sebelum kemudian setengah terbuka. Melihat bayangan pertama yang terpatri adalah sosok perempuan setengah baya mengenakan gaun abu-abu sederhana, duduk di kursi samping ranjang dengan mata terpejam dan bibir bergerak merapal doa. “Ma… Mama Corrine?” Aveline berbisik serak. Mama Corrine menegakkan punggungnya, dan wajahnya langsung diselimuti ole
Tunggu. Apa yang barusan ia pikirkan? Sebuah ruang untuk dirinya?? Kening Dominic seketika mengernyit, ketika benaknya mengulang kembali kalimatnya sendiri. Logikanya yang tiba-tiba hadir pun kemudian segera mematahkan semua angan-angan semu itu. Ini tak pantas. Aveline masih terlalu belia. Apa yang ia harapkan? Dirinya yang jelas-jelas pria dewasa berusia tiga puluh tahun dapat menjadi sosok 'terdekat' untuk gadis remaja berusia lima belas tahun? Fuck, dia bukan pedofil! Seketika Dominic pun merasa jijik pada diri sendiri, yang bisa-bisanya berharap para sesuatu yang tak patut seperti itu. Harga dirinya bahkan tak mengijinkannya untuk menuruti hasratnya sebagai lelaki, yang untuk kali ini sungguh tak ia sangka akan jadi seperti ini. Dominic kembali menatap lekat wajah mungil itu, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan gemuruh yang beradu dalam dada. Kemudian ia berguman, seolah tengah berbicara pada ruang yang diam. “Bangunlah, gadis kecil. Karena jika pangg
“Kardiomiopati…? Apa Anda yakin, Dokter?” Dominic Wolfe menautkan alisnya tajam. Nada suaranya rendah, tetapi getarannya mengungkapkan badai yang bergulung di dalam dada. Ia berdiri di depan meja jaga Unit Kardiologi, setelan gelapnya tampak kontras dengan tirai hijau pucat di ruang konsultasi kecil itu. Dr. Mia Caldwell, kardiolog bertubuh ramping dengan rambut disanggul rapi, menutup map rekam medis Aveline Rose dan menahan embus napasnya. “Saya tidak akan mengucapkannya kalau belum memiliki bukti kuat, Tuan Wolfe. Ekokardiografi awal kami memperlihatkan dinding ventrikel kiri Aveline menebal, dan fungsi pompa jantungnya menurun. Diagnosis kerja kami adalah kardiomiopati hipertrofik.” Seketika Dominic merasakan ruangan itu menjadi mengecil. Sekilas, ia teringat kembali pada gadis berambut pirang yang baru saja menari dengan sayapnya yang tak kasat mata di atas panggung... lalu roboh bagai boneka kehabisan tenaga beberapa menit kemudian. “Jelaskan,” desak Dominic den
Aveline berdiri sambil mengintip dari belakang tirai panggung ke arah penonton di auditorium. Jantungnya berdebar begitu cepat hingga terasa seperti hendak meledak di dalam dadanya. Tangannya yang ramping mencengkram erat rok balet panjang berwarna putih yang menjuntai anggun hingga mata kaki. Sepatu balet merah muda yang membungkus kakinya mulai terlihat sedikit usang namun tampak masih kokoh, sama seperti semangatnya malam ini. Malam grand final. Dari keseluruhan seratus peserta sejak awal kompetisi , hanya tiga peserta yang berhasil lolos hingga di titik ini. Dan namanya adalah salah satunya. Rasanya masih seperti mimpi. Rasanya Aveline masih sulit percaya jika dirinya yang hanya remaja biasa yang miskin dan menyukai balet, bisa berada di panggung semegah ini. Aveline pun terkenang kembali saat-saat ia berlatih menari di halaman belakang panti asuhannya, dengan ditonton oleh Mama Corrine dan adik-adik asuhnya sebagai penyemangatnya. Dan malam ini adalah miliknya. Panggu
GRRRRRRHHH!!! Seekor macan kumbang raksasa melompat dari kegelapan gudang. Bulu hitam legamnya berkilau, matanya menyala ganas. Ia menerkam pria bertato itu seketika, mencabik tubuhnya dengan brutal tanpa ampun. Suara lolongan kesakitan terdengar memekakkan telinga. Pria itu terus menjerit saat hewan liar itu tak berhenti merobek kulitnya. Lalu hanya dalam waktu kurang dari sepuluh detik, kesunyian yang mencekam serta aroma besi yang kuat menguar di udara. Dan Cassie pun hanya bisa menjerit di balik kain yang menyumpal mulutnya. Saat semua usai, Dominic menghela napas pelan seraya menatap hewan peliharaanya yang masih asyik menyiksa tubuh korbannya. “Zeus,” panggilnya tegas. Black Panther itu berhenti menggigit tubuh yang sudah lagi tak berbentuk, lalu menoleh ke arah Dominic dengan wajahnya yang penuh darah Kakinya yang hitam berbulu serta kokoh kemudian berjalan ke arah Dominic, dan berdiri tenang di sebelah tuannya seperti seekor anjing penjaga yang jinak namun w