North Carolina, Awal April 2021
Kring kring kring
Dering jam weker terdengar nyaring. Seorang wanita tampak menggeliat di balik selimut lalu perlahan meraih jam tersebut.
Matanya membulat saat melihat petunjuk waktu yang tertera.
"Sial, aku terlambat," umpatnya seraya berlari masuk ke kamar mandi.
Tiga puluh menit kemudian wanita berdarah Indonesia dengan rambut kuncir kuda itu sudah sampai di stasiun kereta dekat kantornya. Dia sedikit beruntung, saat berangkat tadi kereta yang biasa dia gunakan langsung tersedia. Namun, sayangnya, keberuntungan itu tidak bertahan lama.
"Ya, Tuhan, kenapa musti hujan, sih?" gerutu wanita itu memandang langit yang sedang mengguyurkan butiran hujan.
Matanya cemas menatap jam tangannya, "Sial, sudah bangun kesiangan, sekarang kejebak hujan. Mana lupa bawa payung lagi," keluhnya.
"Apa aku nekad aja ya? Tapi, deres banget. Kalau nekad pasti basah kuyup. Wanita itu putus asa memandang hujan yang semakin deras.
Saat masih dirundung keputusasaan, ponselnya berbunyi.
"Tika, kamu dimana?" sebuah suara yang terdengar cemas menyapa sesaat setelah Tika menggeser ikon berwarna hijau di ponselnya.
Wanita berkuncir kuda dengan nama Tika menjawab seraya menghela napas berat, "Aku lagi di stasiun, nih. Hujannya deres banget. Aku kejebak."
"Ya, ampun. Jadi kamu nggak bisa cepetan kesini? Kamu nggak bawa payung?" cerca Rose.
"Kayaknya nggak, Rose. Aku lupa bawa payung, tadi buru-buru. Kenapa? Madam nyari aku?" tanya Tika. Sekarang dia makin cemas. Orang yang dia panggil Madam adalah atasannya. Dia sangat tahu watak atasannya itu. Beliau adalah orang yang sangat disiplin terhadap waktu. Tika sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti, bila dia tidak segera sampai di kantor.
"Iya, saya cari kamu, Tika." Sebuah suara lain menjawab pertanyaan Tika. Tika hapal betul suara itu, suara Madam Cleo.
"Hallo, Madam. Maafkan saya, saya terjebak hujan." Nada suara Tika berubah sopan.
"Pakai payung dan lekas kesini, " tegas suara dari seberang seolah tidak menerima kompromi.
"Tapi, Madam. Saya lupa bawa payung." Tika menjelaskan.
"Saya tidak mau tahu!" hardik Madam Cleo.
Tika mulai merasa sebal, tapi dia tetap menjawab dengan sopan, "Baiklah, Madam. Saya akan segera kesana."
"Aduh!" pekik Tika. Seseorang menabraknya ketika dia hendak mengambil langkah menerobos hujan. Alhasil badan Tika sedikit terhuyung ke samping, hampir terjatuh. Tika merasa sangat kesal, baru saja ia ditegur atasan, dan sekarang dia malah hampir jatuh. Seandainya, Tika tidak memiliki keseimbangan yang baik, dia yakin saat ini dia sudah terduduk dengan posisi yang memalukan.
Setelah mengembalikan keseimbangan, Tika yang sebal ingin membuat perhitungan dengan orang yang sudah menabraknya. Sayangnya, orang itu sudah tidak kelihatan.
"Sialan! Siapa, sih, nyebelin banget? Nabrak orang sembarangan." Entah sudah berapa kali Tika mengumpat hari itu.
"Eh, loh, kok, ada payung di sini? Siapa yang taruh, ya? Apa orang yang nabrak aku tadi?" Seketika kekesalannya menguap berganti dengan sejuta tanya mengenai payung merah yang terselip dalam tasnya. Tadinya dia tidak menyadarinya. Namun, saat membenarkan posisi tasnya, barulah dia melihat payung merah itu.
"Ah masa bodoh, deh. Toh, yang penting sudah ada payung. Lebih baik, aku segera ke kantor sekarang," putus Tika memilih tidak menghiraukan orang asing yang sudah memberinya payung. Meskipun, dia sangat berterima kasih.
Saat membuka payung merah itu, Tika terpana. Payung itu didesain dengan unik, kerangkanya kuat, lapisan payungnya juga tebal. Bahkan pada tangkai payung dilengkapi beberapa fitur keren yang tidak ada pada payung biasa. Tika senang sekali. Dia terlindungi meski berjalan dengan cepat di bawah hujan.
Sementara Tika sedang berjalan dengan cepat menuju kantornya, sepasang mata mengamati dirinya lekat. Namun, tentu saja Tika tidak menyadarinya sama sekali.
"Wah, payung ini keren sekali, aku nggak basah sama sekali," sorak Tika dalam hati setelah dirinya sampai di kantor.
"Ya, Tuhan bukan waktunya bergembira sekarang, Madam Cleo pasti marah padaku," ucap Tika pada dirinya sendiri seraya berlari menuju ruangan dimana divisinya berada.
"Tika, Tika, Tika, baru tiga bulan kamu kerja di sini, sudah berapa kali kamu terlambat?" tegur seorang wanita paruh baya. Fitur wajahnya yang tegas dan suaranya yang lantang seolah ingin menunjukkan dialah pimpinan di ruangan itu dan semua yang berada disitu harus menuruti aturannya. Ketidakdisiplinan harus ditindak tegas.
Tika merasa tidak enak dan menjawab lirih, "Maaf, Bu, saya terjebak hujan."
Madam Cleo melirik payung merah yang Tika bawa, "Alasanmu sangat tidak masuk akal, kamu punya payung, Tika." Wanita paruh baya itu sedikit geram sekaligus heran, bagaimana bisa seorang karyawan junior berbohong terang-terangan.
Tika mencoba tersenyum sopan dan menjelaskan, "Itu bukan milik saya, Madam. Saya mendapatkannya setelah selesai berbicara dengan madam di telepon."
"Sudahlah, saya tidak ingin dengar lagi. Sebagai hukuman, kamu akan makan siang sedikit terlambat hari ini, karena kamu harus menyelesaikan beberapa laporan sekaligus dan harus selesai sebelum jam dua," ujar Madam Cleo dengan wajah penuh kepuasan. Hukuman itu dia berikan sebagai peringatan sekaligus tanda bagi bawahannya bahwa dia tidak main-main soal menerapkan disiplin.
Tika hanya bisa menghela napas tertahan dan menerima tugas yang diberikan.
'Sial, aku betul-betul sial hari ini,' batinnya.
Meski begitu, waktu berlalu sangat cepat. Tika masih menyisakan beberapa laporan saat waktu makan siang tiba.
"Tika, kamu nggak mau nitip?" tawar rekan kerja yang mejanya tepat berada di depan meja Tika.
"Nggak, Rose, aku akan pergi makan nanti," jawab Tika sembari tersenyum masam.
"Baiklah, semangat," ucap Rose seraya berlalu.
Setelah berjalan beberapa langkah, Rose berbalik, "Tika, payung merahmu sangat cantik. Nanti bisa kasih tau aku kamu beli dimana," pinta Rose.
"Rose, itu bukan punyaku. Aku dapat dari orang asing," jawab Tika sedikit kesal. Rupanya tidak ada yang mempercayai perkataannya tadi.
"Aku kira kamu nggak serius tadi," sesal Rose.
"Haha, sudahlah, pergilah makan. Aku akan segera selesai dan pergi makan juga," tutur Tika tak ingin memperpanjang obrolan.
Mata Tika memperhatikan payung merah yang saat ini terletak di sudut ruangan bergabung dengan payung lainnya. Setelah percakapan dengan Rose, Tika jadi memikirkan kembali mengenai payung itu.
"Siapa, ya orang itu?" Tika bergumam seraya mencoba mengingat kembali orang yang tadi pagi menabraknya. "Kenapa dia mesti ngasih payungnya diam-diam? Padahal dia bisa memberikan secara langsung. Apa mungkin dia penggemar rahasiaku?" Tika bersemu memikirkan segala kemungkinan.
Namun, lagi-lagi keadaan tubuhnya yang perlu suplai energi membuatnya berhenti memikirkan hal yang tidak perlu dan hanya fokus pada pekerjaannya.
"Yah, sekarang yang penting laporan. Atau kalau nggak, aku bisa mati kelaparan," putus Tika sembari mengepalkan tangan lalu sibuk mengerjakan kembali laporan yang ditugaskan kepadanya.
Sementara itu, di tempat lain yang tidak jauh dari sana, seseorang sedang memegang sebuah foto buram.
Matanya menatap lekat orang yang ada pada foto tersebut. Seketika senyum sedingin es terbit di sudut bibirnya. "Tikus kecil, mulai sekarang kamu akan masuk dalam permainanku. Aku harap kamu membawa keberuntungan bagi rencanaku."
Axel memandang ponselnya dengan gusar. Sejak 10 menit yang lalu dia mencoba menghubungi Tika, tapi yang menjawab adalah mesin penjawab otomatis. "Apa yang sedang kamu lakukan, Tika?" geram Axel saat teleponnya yang kesekian kali tidak dijawab juga. Kepala Axel berdenyut, juga inti tubuhnya. Dia teramat merindukan Tika. Axel terus mengingat, malam saat Tika menyerahkan seluruhnya padanya. Axel bahkan tidak pernah bisa tenang bekerja sejak hari itu. Dia menjadi sangat menginginkan wanita itu. Cinta dan nafsu seakan memburunya, tanpa memberinya ruang. Selama ini, dia selalu berhasil menahan perasaan dan nafsunya. Namun, pertahanannya luruh malam itu. Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan seperti malam itu. Sesuatu yang Axel rindukan sejak kematian Marry, telah Tika berikan bahkan dengan rasa yang lebih dahsyat. Axel yakin, dia tidak akan bisa hidup tanpa Tika. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. "Reiden, Reiden!" teriak Axel memanggil asisten sekaligus sekretaris
"Tika, wajahmu tampak berseri-seri hari ini, " celetuk Rose saat melihat Tika datang. "Benarkah?" Tika memegang pipi dengan kedua tangannya sembari tersenyum. "Kalian pasti bersenang-senang ya?" "Hemh," ucap Tika tersipu. "Waw, good job girl!" teriak Rose histeris. "Rose, pelankan suaramu." "Iya, iya, iya. Tapi selamat ya, akhirnya." "Semua berkat kamu, Rose." Tika beringsut mendekati Rose lalu memeluknya. "Wah, ada apa ini dengan dua gadis cantik kita?" celetuk Mike yang baru masuk ruangan bersama Reino. "Tika sedang bahagia, Mike," jawab Rose. Meski tampak biasa, sebenarnya kecanggungan terlihat diantara Reino dan Tika. "Tika, aku mencoba menghubungimu sejak kemarin. Aku mau minta maaf." Reino mencoba mengajak Tika bicara saat mereka bertemu di dapur ruangan. "Tidak apa, Rei, aku sudah memaafkanmu. Bukan sepenuhnya salahmu, aku saja yang terlalu emosional." "Terima kasih, Tik, sudah memaafkanku. Aku janji tidak akan melewati batas." "I see, Rei." Tika tersenyum pada Re
Tika menautkan kedua pasang tangannya erat sembari berdoa dalam hati. Debaran jantung yang bertalu serta butir keringat halus yang mengalir perlahan di punggungnya menyiratkan ketegangan yang kini tengah membelenggunya. 'Tuhan, semoga aku tidak pingsan saat melihatnya.' Kurang lebih seperti itu doa yang Tika panjatkan demi mengurangi semua ketegangan dan kegugupan. Tika sendiri tidak paham akan perasaannya atau alasan dari semua reaksi tubuhnya. Bertemu seorang Axel bukanlah hal baru, tapi Tika tetap merasa gugup. Saat masih bergulat dengan perasaannya sendiri, seseorang menyapanya. "Tika," sapa sebuah suara. Suara dari orang yang Tika tunggu sejak tadi. "A-ah, iya," gagap Tika. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tika. Lucunya, Tika tetap menunduk tanpa berani memandang ke arah lelaki itu. "Kamu tidak mau melihatku, Tika?" tanya lelaki itu. "Ah, ti-dak, bukan begitu." Tika masih gugup. Tautan ditangannya maki
"Tika, kamu lagi bahagia ya?" tanya Reino penasaran."Eh, Rei, dia tu lagi hepi soalnya pacarnya mau ngajak makan malam.""Oh," ucap Reino datar. Raut mukanya langsung berubah menjadi sedikit masam."Kenapa Rei?" tanya Tika."Nggak apa-apa. Aku cuma bingung aja kamu tiba-tiba baikan sama pacarmu. Bukannya kalian sudah putus, ya?""Hemh, ceritanya panjang Rei. Kami tidak putus, aku hanya menjauh karena suatu masalah. Tapi dia berjanji akan menjelaskan semuanya saat nanti kami bertemu, jadi aku memutuskan untuk berhubungan dengan dia lagi," jelas Tika."Begitu rupanya, syukurlah. Aku turut senang, Tika. Tapi, sebagai temanmu aku berharap kamu tidak langsung percaya seratus persen pada pacarmu. Apalagi pacarmu adalah Axelsis." "Maksudmu? Lalu sejak kapan kau tahu pacarku adalah Axel?""Tidak ada. Hanya saranku, kamu lebih baik tidak langsung mempercayai semua ucapannya dan mengenai kapan aku tahu pacarmu adalah Axel, itu sejak kamu diculik. Malam itu, saat aku mengunjungimu di rumah sak
Tika memandang ponselnya dengan gamang. Dia masih belum yakin mampu berbicara dengan Axel. Berkali-kali dia membuka nomor kontak lelaki itu lalu menutupnya lagi. "Tika, ada apa dengamu? Bukankah kau sudah putuskan untuk memaki lelaki itu?" umpat Tika pada dirinya sendiri. Tika menghela napas berat. Perlahan dibukanya kembali nomor kontak Axel, lalu secara perlehan dia menekan tombol hijau. Tidak kurang dari satu menit, sebuah suara yang sangat dia rindukan terdengar dari seberang. "Hallo,...." Tiba-tiba air mata mengalir deras dari pelupuk mata Tika, seolah itu sudah ada disana dan menunggu untuk keluar. Lalu tanpa menunggu Axel menyelesaikan ucapannya, Tika menyela, "Ax, apa salahku? Kenapa aku mesti mencintai orang sepertimu? Kenapa aku begitu bodoh?" Tika terisak. Hati Axel sebenarnya ikut sakit mendengar isak tangis Tika. Namun, bila mengingat kembali bahwa Tika pernah mengusirnya, Axel bersikap ketus. "Apa maksudmu, Tika?" ketus Axel. "Aku membencimu, Ax. Aku takut pada
Tika nampak anggun dengan balutan gaun berwarna merah maron. Sepatu berhak tinggi berwarna putih krem turut mempercantik kaki mungilnya. Wanita itu berjalan dengan riang menghampiri lelaki tampan yang telah menunggu kedatangannya sejak tadi."Kamu cantik sekali malam ini, Sayang," ucap lelaki tampan itu seraya mengulurkan tangan pada Tika.Tika menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya erat, "Terima kasih, Ax. Kau juga sangat tampan."Axel dan Tika lalu berjalan masuk ke dalam restoran."Ax, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?" Raut wajah Tika tampak penasaran melihat tidak ada satupun orang di dalam restoran."Ya, ini seperti dugaanmu. Aku menyewa semua tempat disini. Aku hanya ingin makan romantis berdua denganmu tanpa ada orang lain mengganggu.""Bukankah ini agak berlebihan?""Tidak, tidak. Ini sangat sepadan.""Oh, oke, baiklah. Meski aku berpikir ini sedikit tidak masuk akal.""Tika, please, jangan bahas lag