Tika tak pernah menduga akan menjadi saksi pembunuhan seorang anggota parlemen pada malam terakhirnya di Kota New York. Setelah pindah ke North Carolina, ia sepenuhnya melupakan pengalaman traumatis itu. Sayangnya, takdir membawanya bertemu dengan Axel, CEO baru di tempat kerjanya, yang tampan dan memikat. Tika jatuh cinta pada Axel, meski pria itu memiliki sisi misterius yang terkadang membuatnya ketakutan. Belum lagi mendadak ia diculik gara-gara kedekatannya dengan Axel. Saat itulah fakta sesungguhnya terkuak: Axel adalah seorang kepala mafia dan terlibat dalam pembunuhan di mana Tika menjadi saksinya. Setelah jati diri Axel terungkap, masih dapatkah cinta Tika dan Axel bersatu?
View MoreNew York City, Desember 2020
Napas seorang wanita muda terdengar menderu seiring degupan jantungnya. Kedua tangannya menutup mulut rapat untuk menjaga teriakan yang sedari tadi ingin keluar. Ketakutan meliputinya, tepat di seberang jalan seorang pria sedang menikam dengan ganas pria paruh baya yang sudah tidak berdaya. Darah segera mengucur, kontras dengan salju yang menutup hampir seluruh permukaan jalan.
Netra pria paruh baya yang telah meregang nyawa itu masih terbuka, seolah menatap si wanita meminta pertolongan. Namun, si wanita tak bergeming. Kengerian telah membuat sarafnya lumpuh.
Setelah beberapa saat, barulah wanita itu berani menelepon kantor polisi, "Po-poli-si, ada seorang pria tua tewas di depan bar Candy."
"Benarkah? Kamu melihat pembunuhnya?" tanya petugas yang menerima panggilan sembari memberi kode pada rekannya untuk menghubungi tim patroli yang bertugas di sekitar bar.
"Aku melihatnya tapi terlalu gelap. Satu-satunya yang aku lihat, dia memiliki mata biru. Pak Polisi, tolong, aku takut sekali," rengek wanita itu sembari matanya tak lepas mengamati situasi di seberang jalan. Rasa dingin yang sejak tadi menghantam, ditahannya.
"Baik kami a---."
Tut Tut Tut, sambungan telepon terputus. Wanita itu terpaksa memutuskan panggilan telepon, pasalnya dia tidak sengaja bersitatap dengan mata si pembunuh ketika sedang mengamati. Sejenak dia mematung, tapi ketika menyadari si pembunuh itu mungkin akan menyadari keberadaannya dia memutuskan lari. Dia terus berlari sampai kakinya terasa lemah. Malam ini malam paling sial baginya. Andai saja dia tidak memilih pulang sendiri, andai saja dia menuruti ajakan Sophia, mungkin kejadian mengerikan ini tidak akan dia alami.
Memang, sebelum berakhir di tempat itu, wanita itu dan teman-temannya mengadakan pesta malam perpisahaan untuknya. Dia hendak pindah ke North Carolina dan memulai hidup baru di sana. Sehingga, teman-teman terdekatnya mengadakan pesta di kafe yang letaknya tidak jauh dari lokasi pembunuhan. Saat pesta usai, teman-temannya berulangkali menawarinya tumpangan berhubung sudah malam dan bersalju. Namun, wanita itu ingin menikmati kota New York di malam hari untuk terakhir kalinya.
"Sial, aku betul-betul akan meninggalkan kota ini dan tidak akan kembali," isaknya.
Sementara itu, si pembunuh yang menyadari ada orang lain yang sudah melihat perbuatannya hanya mendengus, tidak berniat mengejar, "Rupanya, ada tikus kecil yang berani mengintip." Nada suaranya dingin.
"Dia bahkan berlari. Benar, kau harus lari dan memastikan dirimu selamat," pembunuh itu tersenyum miring saat memperhatikan sosok yang sedang berlari di kejauhan.
Sang pembunuh lalu memutar badannya pada sesosok mayat yang nyawanya dia renggut beberapa menit yang lalu. Dia mulai tersenyum lebar bahkan hampir tertawa. Mata birunya memancarkan kebahagiaan terdalam yang ia pendam di hatinya.
"Selamat tinggal orang tua," pamitnya sembari meletakkan payung di sebelah mayat.
Sang pembunuh kelihatan ingin mengucapkan beberapa kata lagi, tapi suara sirine mobil patroli membuatnya mengurungkan niat dan berlalu masuk ke dalam kegelapan.
"Bukankah itu Pak Remus, anggota parlemen kota New York yang belum lama dilantik?" ujar seorang petugas patroli pada rekannya sesaat setelah mereka sampai di lokasi.
"Kamu benar. Ini sungguh mengejutkan," balas rekannya.
Salah satu petugas berambut cokelat mulai mengamati mayat di depannya dengan seksama, "Ia ditikam tepat di jantungnya."
Petugas lain ikut mengamati, "Kamu benar. Tapi pisaunya bahkan dicabut, sehingga darah mengalir keluar tanpa henti, sangat kejam."
"Hei, bukankah ini payung merah yang unik," sambungnya ketika menyadari keberadaan payung merah yang terletak tepat di samping tubuh mayat.
"Iya, sepertinya kita harus segera melapor," kata petugas berambut cokelat.
Sepuluh menit kemudian, lokasi tersebut sudah ramai oleh beberapa petugas polisi, tim forensik, dan agen FBI.
"Nasib Pak Remus sangat malang, dia baru dilantik," tutur seorang wanita agen FBI.
"Aku tidak heran, latar belakang pak Remus gelap, wajar banyak orang mengincar nyawanya," balas agen FBI lainnya.
"Payung merah itu, tidak sembarang orang memilikinya," ujar petugas polisi paruh baya.
Wanita agen FBI tersenyum dan menanggapi, "Anda benar pak kepala, pasti ini ada hubungannya dengan organisasi mafia."
Polisi paruh baya yang tadi dipanggil sebagai kepala polisi terkekeh, "Sepertinya kasus ini akan menjadi menarik sekaligus sulit. Organisasi semacam itu sangat tertutup."
"Anda tidak perlu khawatir. Kami akan membantu penyelidikan semaksimal mungkin. Apalagi bila benar anggota organisasi payung merah terlibat. Kami sudah lama mengincar mereka," si wanita bersemangat.
"Aku menyangsikan kalau ini perbuatan payung merah. Pembunuh bahkan tidak meninggalkan sidik jari ataupun senjata pembunuhan. Namun, mengapa meninggalkan payung yang jelas akan mengarahkan tuduhan pada mereka," agen FBI lainnya menyatakan ketidaksetujuannya.
"Kamu betul, tapi, tidak ada salahnya memasukkan mereka dalam daftar. Siapa tahu mereka sengaja melakukan itu karena tahu bahwa kita akan berpikir sepertimu," agen wanita bersikukuh.
"Sudahlah, tidak perlu kita berdebat. Yang jelas tolong kerja samanya agar kasus ini cepat selesai. Pak Remus lumayan disukai masyarakat. Saya takut, bila kita tidak segera menemukan pelakunya, akan timbul keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat pada kita," kepala polisi menengahi.
Mereka lalu mengangguk membenarkan perkataan kepala polisi. Beribu pikiran dan deduksi yang terus melintas, dipendam sampai adanya bukti yang kuat dan tak terbantahkan.
********
"Kenapa kau membiarkan seekor tikus kecil lolos," sebuah suara di kegelapan menegurnya.
Sang pembunuh hanya tertawa, dia menertawakan kebodohan rekannya.
"Kenapa kau hanya tertawa? Bagaimana kalau dia mengenalimu?"
"Itu lebih baik, jika dia mengenaliku." Suara sang pembunuh terdengar arogan.
Sosok di kegelapan mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
"Jangan banyak bertanya, segera kumpulkan seluruh CCTV yang ada di lingkungan ini sebelum polisi dan agen FBI mengambilnya. Kau akan tahu, apa gunanya melepas tikus itu," jelas sang pembunuh.
"Baiklah akan aku laksanakan. Sejujurnya sebelum kau mengatakannya aku sudah mengambilnya. Kau membuang waktu terlalu lama hanya untuk membunuh seekor tikus tua."
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal," jawabnya.
"Kau merasa bersalah?"
"Bersalah? Itu bukan kata yang tepat untuk menggambarkannya. Seharusnya kau memakai kata bahagia. Aku sangat bahagia menyaksikan dia pergi untuk selamanya, untuk itu aku berpamitan," ungkap sang pembunuh.
"Astaga, ternyata kau cukup kejam dan berdarah dingin," puji sosok itu.
Sang pembunuh tidak menanggapi. Dia hanya tersenyum samar sembari melepas topeng dan atribut yang dipakainya.
"Lensa mata ini tidak terlalu buruk, aku suka," ujar sang pembunuh.
Saat lensa biru itu diterima oleh seseorang yang bersembunyi itu, dia memahami apa maksud sang pembunuh membiarkan tikus kecil melarikan diri.
"Kau memang sangat pintar," sekali lagi dia memuji sang pembunuh.
"Tentu saja. Baiklah, aku pamit. Segera bereskan semuanya," ucap sang pembunuh seraya berbalik meninggalkan orang yang sejak tadi berbicara dengannya.
******
Axel memandang ponselnya dengan gusar. Sejak 10 menit yang lalu dia mencoba menghubungi Tika, tapi yang menjawab adalah mesin penjawab otomatis. "Apa yang sedang kamu lakukan, Tika?" geram Axel saat teleponnya yang kesekian kali tidak dijawab juga. Kepala Axel berdenyut, juga inti tubuhnya. Dia teramat merindukan Tika. Axel terus mengingat, malam saat Tika menyerahkan seluruhnya padanya. Axel bahkan tidak pernah bisa tenang bekerja sejak hari itu. Dia menjadi sangat menginginkan wanita itu. Cinta dan nafsu seakan memburunya, tanpa memberinya ruang. Selama ini, dia selalu berhasil menahan perasaan dan nafsunya. Namun, pertahanannya luruh malam itu. Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan seperti malam itu. Sesuatu yang Axel rindukan sejak kematian Marry, telah Tika berikan bahkan dengan rasa yang lebih dahsyat. Axel yakin, dia tidak akan bisa hidup tanpa Tika. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. "Reiden, Reiden!" teriak Axel memanggil asisten sekaligus sekretaris
"Tika, wajahmu tampak berseri-seri hari ini, " celetuk Rose saat melihat Tika datang. "Benarkah?" Tika memegang pipi dengan kedua tangannya sembari tersenyum. "Kalian pasti bersenang-senang ya?" "Hemh," ucap Tika tersipu. "Waw, good job girl!" teriak Rose histeris. "Rose, pelankan suaramu." "Iya, iya, iya. Tapi selamat ya, akhirnya." "Semua berkat kamu, Rose." Tika beringsut mendekati Rose lalu memeluknya. "Wah, ada apa ini dengan dua gadis cantik kita?" celetuk Mike yang baru masuk ruangan bersama Reino. "Tika sedang bahagia, Mike," jawab Rose. Meski tampak biasa, sebenarnya kecanggungan terlihat diantara Reino dan Tika. "Tika, aku mencoba menghubungimu sejak kemarin. Aku mau minta maaf." Reino mencoba mengajak Tika bicara saat mereka bertemu di dapur ruangan. "Tidak apa, Rei, aku sudah memaafkanmu. Bukan sepenuhnya salahmu, aku saja yang terlalu emosional." "Terima kasih, Tik, sudah memaafkanku. Aku janji tidak akan melewati batas." "I see, Rei." Tika tersenyum pada Re
Tika menautkan kedua pasang tangannya erat sembari berdoa dalam hati. Debaran jantung yang bertalu serta butir keringat halus yang mengalir perlahan di punggungnya menyiratkan ketegangan yang kini tengah membelenggunya. 'Tuhan, semoga aku tidak pingsan saat melihatnya.' Kurang lebih seperti itu doa yang Tika panjatkan demi mengurangi semua ketegangan dan kegugupan. Tika sendiri tidak paham akan perasaannya atau alasan dari semua reaksi tubuhnya. Bertemu seorang Axel bukanlah hal baru, tapi Tika tetap merasa gugup. Saat masih bergulat dengan perasaannya sendiri, seseorang menyapanya. "Tika," sapa sebuah suara. Suara dari orang yang Tika tunggu sejak tadi. "A-ah, iya," gagap Tika. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tika. Lucunya, Tika tetap menunduk tanpa berani memandang ke arah lelaki itu. "Kamu tidak mau melihatku, Tika?" tanya lelaki itu. "Ah, ti-dak, bukan begitu." Tika masih gugup. Tautan ditangannya maki
"Tika, kamu lagi bahagia ya?" tanya Reino penasaran."Eh, Rei, dia tu lagi hepi soalnya pacarnya mau ngajak makan malam.""Oh," ucap Reino datar. Raut mukanya langsung berubah menjadi sedikit masam."Kenapa Rei?" tanya Tika."Nggak apa-apa. Aku cuma bingung aja kamu tiba-tiba baikan sama pacarmu. Bukannya kalian sudah putus, ya?""Hemh, ceritanya panjang Rei. Kami tidak putus, aku hanya menjauh karena suatu masalah. Tapi dia berjanji akan menjelaskan semuanya saat nanti kami bertemu, jadi aku memutuskan untuk berhubungan dengan dia lagi," jelas Tika."Begitu rupanya, syukurlah. Aku turut senang, Tika. Tapi, sebagai temanmu aku berharap kamu tidak langsung percaya seratus persen pada pacarmu. Apalagi pacarmu adalah Axelsis." "Maksudmu? Lalu sejak kapan kau tahu pacarku adalah Axel?""Tidak ada. Hanya saranku, kamu lebih baik tidak langsung mempercayai semua ucapannya dan mengenai kapan aku tahu pacarmu adalah Axel, itu sejak kamu diculik. Malam itu, saat aku mengunjungimu di rumah sak
Tika memandang ponselnya dengan gamang. Dia masih belum yakin mampu berbicara dengan Axel. Berkali-kali dia membuka nomor kontak lelaki itu lalu menutupnya lagi. "Tika, ada apa dengamu? Bukankah kau sudah putuskan untuk memaki lelaki itu?" umpat Tika pada dirinya sendiri. Tika menghela napas berat. Perlahan dibukanya kembali nomor kontak Axel, lalu secara perlehan dia menekan tombol hijau. Tidak kurang dari satu menit, sebuah suara yang sangat dia rindukan terdengar dari seberang. "Hallo,...." Tiba-tiba air mata mengalir deras dari pelupuk mata Tika, seolah itu sudah ada disana dan menunggu untuk keluar. Lalu tanpa menunggu Axel menyelesaikan ucapannya, Tika menyela, "Ax, apa salahku? Kenapa aku mesti mencintai orang sepertimu? Kenapa aku begitu bodoh?" Tika terisak. Hati Axel sebenarnya ikut sakit mendengar isak tangis Tika. Namun, bila mengingat kembali bahwa Tika pernah mengusirnya, Axel bersikap ketus. "Apa maksudmu, Tika?" ketus Axel. "Aku membencimu, Ax. Aku takut pada
Tika nampak anggun dengan balutan gaun berwarna merah maron. Sepatu berhak tinggi berwarna putih krem turut mempercantik kaki mungilnya. Wanita itu berjalan dengan riang menghampiri lelaki tampan yang telah menunggu kedatangannya sejak tadi."Kamu cantik sekali malam ini, Sayang," ucap lelaki tampan itu seraya mengulurkan tangan pada Tika.Tika menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya erat, "Terima kasih, Ax. Kau juga sangat tampan."Axel dan Tika lalu berjalan masuk ke dalam restoran."Ax, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?" Raut wajah Tika tampak penasaran melihat tidak ada satupun orang di dalam restoran."Ya, ini seperti dugaanmu. Aku menyewa semua tempat disini. Aku hanya ingin makan romantis berdua denganmu tanpa ada orang lain mengganggu.""Bukankah ini agak berlebihan?""Tidak, tidak. Ini sangat sepadan.""Oh, oke, baiklah. Meski aku berpikir ini sedikit tidak masuk akal.""Tika, please, jangan bahas lag
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments