Share

Bab 2

Waktu tepat menunjukkan pukul satu siang saat Tika menyelesaikan laporan. Perut yang sejak tadi pagi belum terisi mulai menunjukkan protes.

Perih yang terasa melilit sekaligus keringat dingin membuat Tika berlari secepatnya menuju kafetaria menembus rinai hujan. 'Untung ada payung ini,' batinnya.

"Zeza, aku pesan paket 1 plus susu Milo. Cepat ya. Aku kelaparan," ucap Tika setelah sampai di kafetaria.

Pelayan bernama Zeza mengangguk sembari tersenyum. Namun, sesaat kemudian tatapan mata Zeza melewati Tika. Seruan kagum terlontar dari mulutnya, persis seperti seorang yang baru saja melihat artis idolanya.

"Zez, hai. Aku minta cepat. Kenapa kamu malah tersipu?" Tika mulai tidak sabar. Namun, Zeza tidak menanggapi.

Tika semakin yakin seseorang yang baru saja masuk sudah membuat Zeza seperti ini. Namun, Tika masa bodoh. Dia lebih peduli dengan perutnya. 

Akhirnya dia mengulurkan tangannya menyentuh pundak Zeza, "Zez, aku minta pesananku. Aku lapar. Kamu bisa melanjutkan kegiatanmu setelah melayaniku!" Nada suara Tika agak tinggi.

"Ma--af, tunggu sebentar," jawab Zeza terbata lalu berbalik dengan berat hati.

Sambil menunggu pesanan, Tika berniat menegur sosok yang telah membuat perhatian Zeza teralihkan. 

Tepat ketika berbalik,  dahi Tika terbentur dada bidang seseorang, "Aw."

Tika mengelus dahinya lalu mendongak. Netranya langsung bertemu sepasang iris berwarna biru. Sontak, mata Tika membulat sempurna.

"Ka--u yang baru masuk tadi?" tanya Tika tergagap. Dia tidak menyangka orang yang ingin dia tegur tepat berada di belakangnya.

Lelaki itu tidak menjawab. Dia sebenarnya terkejut saat kepala wanita itu menabrak dadanya. Lebih lagi, saat kedua bola mata berwarna hitam itu menatapnya. Namun, dia memilih diam dan mengabaikan Tika.

Tika yang merasa diabaikan menjadi kesal. Dia mendengus, "Mentang-mentang tampan, kau sombong sekali. Asal tahu saja, wajah tampan tidak membuatmu berhak menghalangi aku makan siang."

Puas mengatakan unek-uneknya, Tika berbalik, hendak mengambil pesanan makan siangnya.

Sementara itu, lelaki yang ditegurnya merasa heran. Dia tidak menyangka seorang wanita yang baru saja bertemu berani menegurnya alasan yang tidak jelas. Rasanya dia ingin membalas wanita kurang ajar itu.

"Hah, apa? Masa, sih, enggak bisa?" Nada suara wanita yang tadi menegurnya terdengar cemas.

"Zez, ayolah. Aku sangat lapar sekarang, bisakah kamu membiarkan aku makan dulu. Besok aku akan membayarnya," suara wanita itu memelas.

"Maaf, nggak bisa Tika. Aturannya harus bayar dulu, baru makan," ucap pelayan yang dipanggil Zeza.

'Rupanya namanya Tika,' ujar lelaki itu tanpa suara.

Sejenak, lelaki itu mengamati Tika dari belakang.

'Dia lumayan cantik, badannya mungil tapi seksi. Sedikit mirip Marie, tapi sifatnya sangat buruk. Astaga, aku pasti sudah gila. Bagaimana bisa aku berpikir bahwa dia mirip Marie,'  batin lelaki itu.

Tika, wanita itu berbalik dengan wajah pucat dan lesu. Keringat menghiasi wajah cantiknya. Dia berjalan terhuyung menuju ke arahnya.

"Tuan tampan, bisa tolong aku?" lirih Tika dengan wajah memelas. Dia menyingkirkan semua harga dirinya. Saat ini yang dia pikirkan adalah mencari bantuan agar dia bisa makan siang. 

Tika mengutuk dirinya yang ceroboh. Terlalu terburu-buru membuatnya lupa membawa uang dan ponsel, hanya dompet berisi kartu identitas, kartu kereta, kartu pegawai, dan kartu kredit yang sudah mencapai limitnya.

Dahi pria yang Tika panggil tampan mengkerut, "Kau, luar biasa," lalu menepis tangan Tika.

"Ayolah, Tuan. Aku minta maaf atas sikapku tadi, tapi, aku sungguh butuh pertolongan." 

Tika memegang perutnya yang semakin terasa melilit. Matanya mulai buram. Keseimbangannya hilang, dia hampir terjatuh. Beruntungnya, tangan kokoh lelaki tampan itu menopangnya.

Saat tangan itu melingkar di pinggangnya, Tika merasakan sengatan listrik di seluruh tubuhnya. Wajahnya yang pucat sedikit merona.

"Baiklah, aku akan membayar pesananmu," ucap lelaki itu akhirnya. Dia iba melihat kondisi Tika. Gadis itu seperti akan mati.

"Terima kasih," tutur Tika tulus. Wajahnya dipenuhi dengan senyuman.

Sekalipun setelah itu, Tika justru makan dengan canggung. Lelaki tampan itu kini duduk di depannya. Tika tidak memahami alasannya, tapi tidak berani bertanya.

"Na--ma Tuan siapa?" tanya Tika ragu-ragu, usai menghabiskan makanannya demi membunuh kecanggungan.

"Untuk apa kau perlu tahu namaku?" Dingin suara lelaki itu terdengar.

"Aku ingin mengembalikan uang yang kupinjam."

"Tidak perlu," ucap lelaki itu seraya mengecek waktu di jam tangannya.

"Tapi, aku tidak mau berhutang," tegas Tika.

"Tidak apa. Anggap saja kau sedang beruntung," balas lelaki itu seraya beranjak ke luar kafetaria.

"Aku tidak mau begitu, beri aku kartu namamu," paksa Tika lagi setelah dia berhasil menyusul lelaki itu.

"Aku lihat kau tidak membawa payung, bisa beritahu aku dimana kantormu? Kalau dekat, akan kuhantar. Kebetulan aku membawa payung," tawar Tika sembari menunjukkan payung merah yang tadi diambilnya dari tempat penitipan payung milik kafetaria.

Mata lelaki itu membulat demi melihat payung yang Tika bawa. Gegas ia mengeluarkan kartu namanya, "Ini kartu namaku."

"Akhirnya, kau berubah pikiran," cetus Tika. Sebenarnya dia sedikit kaget, tak menyangka lelaki itu berubah secepat itu. Pasti dia telah melihat ketulusannya saat menawari payung.

"Akan aku hubungi," imbuh Tika seraya memasukkan kartu nama itu ke saku bajunya.

Setelahnya, sebuah mobil BMW seri 7 menjemput lelaki itu. Tika sempat terpana melihat kedatangan mobil mewah itu. Matanya tak lepas memandang mobil mewah itu, bahkan setelah mobil itu tidak tampak lagi.

"Ah, ternyata aku baru saja bertemu pria tampan nan kaya raya," soraknya dalam hati.

***

"Siapa wanita itu?" selidik lelaki pengendara mobil BMW pada penumpangnya.

"Bukan siapa-siapa, hanya wanita aneh yang kurang ajar," jawabnya sembari memejamkan mata. Efek kopi yang dia minum ternyata tidak mempan. Dia masih merasa lelah dan mengantuk.

"Ayolah, Axel! Kamu sampai memberikan kartu namamu," desak si sopir lagi.

"Astaga, Reiden! Kau sangat ingin tahu," Axel merasa jengah.

"Maaf. Aku pasti melewati batas," sesal Reiden.

"Dia memiliki hutang padaku," ungkap Axel akhirnya. Dia merasa tidak enak membuat Reiden kecewa. Sekalipun Reiden adalah asistennya, bagi Axel, Reiden sudah seperti saudara kandungnya.

"Waw, hubungan yang aneh. Tapi, sejak kapan kau menjadi rentenir?" Reiden terkekeh.

"Bukan karna uang aku memberinya kartu nama, dia membawa payung merah," beber Axel.

Reiden masih terkekeh, "Apakah semua gadis yang membawa payung merah akan kau beri kartu nama?"

Axel menangkap nada sindiran dalam nada suara Reiden, "Bukan payung merah biasa, itu payung merah milik kita."

Reiden terkesiap, "Kau serius?"

Axel tak menjawab, tapi raut mukanya yang tegas telah membuat Reiden paham.

"Baik, aku akan cari tahu," tutur Reiden seolah mengerti keinginan atasan sekaligus orang  terdekatnya itu.

Sementara itu, pikiran Axel memutar kembali kejadian di kafetaria. Axel masih ingat jelas sikap kikuk Tika saat duduk di hadapannya. Bukan tanpa alasan Axel melakukannya. Dia ingin mengamati wajah Tika dengan seksama.

Jujur saja, semakin lama dia melihat Tika, dia seperti melihat Marie. Axel merasa bahagia sekaligus kesal. Kenapa harus wanita aneh itu? Lebih lagi, wanita itu membawa payung merah. Lelah dengan pikirannya sendiri, Axel tertidur.

Reiden melirik dari kaca spion lalu tersenyum pahit, "Maafkan aku, Axel."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status