"Sayang banget hari ini kita gak bisa menyelesaikan fitting baju pernikahan kita, kamu pulangnya terlalu malam, jadi Salon Aura sudah tutup," ucap Dissa, lalu memasukan sesuap nasi ke mulutnya.
Mereka sedang makan malam bersama di sebuah Restoran langganan.
"Maaf sayang, lalu lintas sedang padat karena jam pulang kantor," jelas Daniel, Dissa mengangguk pun memaklumi. "Sayang, aku mau membicarakan sesuatu."
"Bicara saja." ucap Dissa singkat.
"Sayang, besok aku izin untuk pergi karena mendapat amanah dari rumah sakit." ujar Daniel menatap kedua bola mata indah Dissa yang berdiri di hadapannya.
"Mau pergi mengisi seminar di luar kota lagi?" tanya Dissa yang sudah hafal kegiatan calon suaminya yang sering dipercaya rumah sakit untuk mengisi seminar di luar kota.
"Pergilah, tetapi jalan lupa bawakan aku buah tangan." Dissa menampilkan rentetan giginya.
"Bukan seminar ke luar kota, tetapi ... aku akan menjadi dokter relawan di Perbatasan Gaza."
Senyuman Dissa seketika meluntur. "Apa? Perbatasan Gaza? Perbatasan antara Palestina dan Israel maksudmu?"
Daniel mengangguk.
"Apa kamu gila?" bentak Dissa dengan sedikit berbisik karena tak ingin menjadi tontonan pengunjung yang lain. "Beberapa bulan lagi kita akan menikah Daniel."
"Aku tahu Sayang, tetapi menolong korban adalah pekerjaanku."
"Dari sekian banyak dokter di rumah sakit, bahkan di dunia mengapa harus kamu yang pergi ke sana?"
"Karena aku ... mengajukan diri," gumam Daniel.
"Ya Tuhan, Daniel ... kita ini akan menikah, bagaimana bisa kamu malah mengajukan diri untuk menjadi relawan di area konflik? Apa pernikahan ini tidak ada artinya bagimu?"
Dissa memijit pelipisnya, terkadang dia masih tak habis pikir dengan jalan pikiran calon suaminya.
"Pernikahan kita masih dua bulan lagi, aku hanya bertugas tiga bulan, dan lagi pula persiapan pernikahan sudah kita urus bersama. Apa kamu tidak kasihan melihat situasi di sana yang memprihatinkan? Mereka membutuhkan aku sayang."
"Aku mengerti, tetapi bukan itu yang aku khawatirkan." Dissa menghela napas sejenak. "Di sana adalah daerah konflik antar dua negara, situasi di sana sangatlah membahayakan. Bagaimana jika kamu kena peluru lepas? Bagaimana jika mereka melempar granat? Bagaimana jika—"
"Sayang ...." Daniel menggenggam tangan Dissa. "Jangan mengucapkan yang tidak-tidak. ucapan adalah doa. Aku akan pulang dengan selamat. Satu bulan sebelum pernikahan kita. Aku janji."
"Tetap tidak bisa!"
"Sayang." Daniel menampilkan wajah memohon.
Dissa menatap Daniel dengan tatapan ragu, tetapi Dissa menyerah. Ia kalah saat menatap Daniel dengan wajah memohon seperti itu.
"Kamu harus sering-sering kabarin aku, minimal sehari sekali," perintah Dissa.
"Siap, Yang Mulia!" jawab Daniel dengan memberi hormat. " Terima kasih, Sayang."
"Kamu jaga diri baik-baik di sana, jangan memforsir tubuhmu. Ingatlah bahwa di sini ada aku yang menunggu."
***
"Sayang kamu harus ingat untuk mengabari aku minimal sehari sekali, dengan durasi minimal dua menit, setiap kamu ingin memulai kegiatan sempatkan diri untuk mengirim pesan padaku, kamu juga jangan lupa mengisi perut karena mau bagaimanapun makan itu penting, lalu kamu—" ucap Dissa panjang lebar.
"Iya, Sayang. Kamu dari semalam bawel banget, aku di sana akan baik-baik saja. Ini bukan kali pertamaku menjadi dokter relawan, kamu tahu akan hal itu, bukan?" tanya Daniel, ini sudah kali kesekian Dissa mengingatkannya. Bahkan saat mengantarkan ke Bandara saat ini pun Dissa masih mengingatkannya.
"Tetap saja berbeda. Kamu biasanya ikut serta di daerah terdampak bencana alam, bukan ikut serta di daerah konflik."
"Harus berapa kali aku bilang, aku akan baik-baik saja, Sayang." Daniel mengusap puncak kepala Dissa. "Omong-omong sudah jam segini di mana rekanku?"
Daniel dan Dissa memandang sekitar mencari rekan medis lain yang akan berangkat bersama, Dissa sebenarnya juga tidak tahu siapa saja yang akan pergi bersama Daniel karena ia lupa menanyakan pada Daniel.
"Nah, itu dia." Daniel menunjukkan orang di belakang Dissa.
Dissa sedikit terkejut melihat seorang wanita dan pria berjalan menujunya, Dissa mengenali mereka berdua, terlebih wanita yang tengah tersenyum puas ke arahnya, Jesika.
"Budi?" Daniel menatap barang-barang yang ditenteng sahabatnya. "Kamu?"
"Kejutan! Aku juga diutus untuk ikut bersama kalian," jawab Budi tersenyum.
"Aku sangat senang kau ikut bersamaku dan Sarah. Kita akan menjadi tim yang imbang." Daniel memeluk Budi.
Jesika berdeham, Daniel sontak melepas pelukannya.
"Oh iya, Sayang, kenalkan ini Jesika. Jesika ini Dissa calon istriku." Daniel memperkenalkan Dissa dan Jesika.
"Aku tidak dikenalkan?" sindir Budi.
"Ayolah, Bud, kalian ini bersepupu. Kamu nanti akan menjadi sepupu iparku."
Dissa memandangi Jesika di sebelahnya, Sarah adalah kakak tingkat sekolahnya sewaktu duduk di bangku SMA. Dulu Jesika adalah wanita yang merebut mantan kekasihnya. Jesika mendekati Dissa dan berbisik, "Calon suamimu sangat memasuki tipeku, apa boleh dia buatku saja, Dissa?"
Dissa mengepal tangannya, lalu menatap tajam Jesika. Dia menyesali keputusannya mengizinkan Daniel pergi, tetapi tidak mungkin sekarang ia melarang Daniel.
"Jadi bagaimana rute perjalanan kita, Daniel?" tanya Jesika membuat Dissa memutar bola matanya.
"Kita akan transit di Jeddah, lalu kita lanjut ke Kairo menuju Kota El Arish, kita akan melewati imigrasi Rafah," jelas Daniel.
"Berarti kalian akan melewati Zona Merah Sinai Utara?" tanya Dissa khawatir.
Daniel mengangguk. “Jangan khawatir Sayang, kami akan pulang dengan selamat."
"T-tapi ... di sana juga merupakan daerah konflik."
Daniel meraih tangan Dissa. "Kamu gak perlu khawatir, cukup doakan kami sampai dengan selamat."
Dissa mengangguk, lalu berbalik menatap Budi. "Budi! Kamu harus jaga Daniel! Kalau sampai Daniel kenapa-napa, kamu aku coret dari daftar persepupuan!" ancam Dissa.
"Kalau aku yang kenapa-napa?" tanya Budi.
"Harta warisanmu untukku," jawab Dissa, mengingat hanya mereka cucu sang kakek. Budi hanya berdecak tak percaya.
"Sudah-sudah, ayo kita berangkat!" ajak Daniel menengahi pertengkaran antar saudara.
"Kalian duluan saja, aku ingin berbicara dengan Dissa dulu," ujar Budi.
Daniel memeluk Dissa, serta mencium keningnya. Hal itu membuat Jesika memutar bola mata malas.
"Jaga dirimu, aku mencintaimu" pesan Dissa.
"Aku lebih mencintaimu," balas Daniel.
Sepeninggalnya Daniel dan Jesika, Budi mendekat.
"Kenapa kamu gak bilang kalo Jesika satu rumah sakit dengan kalian?" hardik Dissa.
"Untuk apa? Aku pikir kamu juga gak akan peduli, tapi sepertinya dia menyukai Daniel."
"Iya dan dia barusan berbisik meminta Daniel!" geram Dissa.
"Tenang saja, itulah gunanya aku ikut dengan mereka. Selain menolong korban konflik aku juga menolongmu agar tidak menjadi korban pelakor." Budi pergi meninggalkan Dissa.
"Aku percaya padamu, Daniel," gumam Dissa.
***
Daniel, Budi, dan Jesika menaiki pesawat ke Jeddah, perjalanan kali ini akan menjadi perjalanan panjang, mungkin akan memerlukan waktu hingga tiga hari. Setelah transit di Jeddah ke Kairo mereka masih harus melakukan perjalanan ke kota El Arish, perjalan dari kota El Arish menuju Gaza ±54 KM, Ini menjadi kali pertama diizinkannya perjalanan malam dari kota El Arish ke perlintasan Rafah. Pengawalan ketat benar-benar diberlakukan. Bahkan, para relawan dikawal dengan mobil militer anti baja, kemudian terjadi pertukaran mobil, hingga akhirnya dengan menumpangi bus mereka mereka menuju imigrasi Rafah, Gaza di Palestina. Dua hari dua malam dalam perjalanan mereka pun sampai di Khan Yunis dengan check point(pos pemeriksaan) yang ketat, pukul dua dini hari.
"Perjalanan yang cukup seru, ya," seru Budi saat mereka memasuki tenda medis.
"Aku tidak menyangka perjalanan kita untuk dapat sampai ke sini sangat menegangkan," lanjut Jesika.
"Lebih baik kita beristirahat karena besok kita akan langsung terjun ke lapangan," intruksi Daniel.
"Oh iya, Daniel," panggil Jesika. "Seperti biasanya saat bertugas setelahnya kita diminta untuk membuat laporan, kamu bisa menjadi ketua pelaksana?"
"Iya, aku pun merasa di sini hanya kau yang pantas," imbuh Budi.
"Baiklah," putus Daniel.
"Aku bisa menjadi sekretaris untuk membuat laporan," usul Jesika.
"Lalu aku menjadi apa?" tanya Budi.
"Kamu bisa menjadi seksi dokumentasi," ujar Jesika.
"Seksi dokumentasi? Tidak terlalu berat, baiklah."
"Baik, selamat malam, gunakan waktu istirahat kalian dengan baik." Daniel kembali merapihkan barang bawaannya.
Sebelum tidur Daniel menyempatkan diri untuk mengirim kabar kepada Dissa, walaupun sinyal yang ia miliki sangat minim.
"Perjalanan yang cukup seru, ya," seru Budi saat mereka memasuki tenda medis."Aku tidak menyangka perjalanan kita untuk dapat sampai ke sini sangat menegangkan," lanjut Jesika."Lebih baik kita beristirahat karena besok kita akan langsung terjun ke lapangan," intruksi Daniel."Oh iya, Daniel," panggil Jesika. "Seperti biasanya saat bertugas setelahnya kita diminta untuk membuat laporan, kamu bisa menjadi ketua pelaksana?""Iya, aku pun merasa di sini hanya kau yang pantas," imbuh Budi."Baiklah," putus Daniel."Aku bisa menjadi sekretaris untuk membuat laporan," usul Jesika."Lalu aku menjadi apa?" tanya Budi."Kamu bisa menjadi seksi dokumentasi," ujar Jesika."Seksi dokumentasi? Tidak terlalu berat, baiklah.""Baik, selamat malam, gunakan waktu istirahat kalian dengan baik." Daniel kembali merapihkan barang bawaannya.Sebelum tidur Daniel menyempatkan diri untuk mengirim kabar kepada Dissa, walaupun sinyal
Di dalam sebuah tenda tampak seorang dokter cantik bernama Jesika. Kini dia telah menyelesaikan laporan kegiatan hari ini dan sudah mengecek seluruh gambar yang Budi kirim. Jesika menutup laptopnya dan beranjak pergi menuju tenda tidur.Beberapa rekan kerjanya sudah tertidur pulas, sedangkan Jesika masih tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit tenda dan berpikir sejenak."Andai saja aku mengenalmu lebih dulu, Daniel. Mungkin sekarang kita sudah menikah dan hidup bahagia. Tapi, Dissa sudah menghancurkan impianku. Wanita itu tidak pantas menjadi pendamping hidupmu, Daniel. Akulah yang pantas hidup bersamamu. Akan ku pastikan kalian tidak akan bisa bersatu karena aku sendiri yang akan memisahkan kalian." gumam Jesika.Budi merasa haus. Dia terbangun dari tidurnya dan berjalan menuju tenda bagian konsumsi. Namun, sebelum menuju ke tempat tujuan, tanpa sengaja ia mendengar suara yang sangat familiar. Dia berjalan menuju sumber suara."Aku tidak
Di sebuah kamar bernuasa pink, terlihat seorang wanita cantik sedang menangis."Daniel! Hiks... Hiks.. Kenapa kamu tega bermain api di belakangku? Apa salahku?" Dissa melirik ke arah jam dinding telah menunjukkan pukul 3 dini hari.Tiba-tiba, kepala Dissa terasa sakit. lalu, ia berusaha bangun dari tempat duduknya. Namun, apalah daya tubuhnya terasa lemas karena tidak bisa tidur dari semalam.Dissa melangkahkan kakinya dengan pelan-pelan dan tangan kanannya memegang tembok sebagai tumpuan tubuhnya. Ia berniat berjalan menuju lemari yang berisi peralatan kotak P3K yang tidak jauh dari tempat tidurnya. Ia mengambil peralatan kotak itu dan memilih beberapa obat pereda rasa sakit untuk diminumnya dan tidak lupa ia menyimpan kembali peralatan kotak P3K itu di tempatnya. Ia berjalan menuju meja belajar yang berada di samping tempat tidurnya dan tanpa sengaja dia menoleh ke arah jam tangan berwarna merah tertata rapi di rak meja belajarnya.Lalu, ia
Pagi ini, Dissa berencana pergi ke kampus bersama dengan temannya. Saat ini, dia duduk di ruang tamu dan mengambil ponselnya untuk menelepon keberadaan temannya."Assalamualaikum, Ayu. Sekarang kamu sudah sampai dimana? Hari ini, jadikan kita ke kampus?" tanya Dissa dari ponselnya."Wa'alaikumsalam, jadi tapi tunggu aku sebentar lagi ya karena aku masih di jalan," jawab Ayu dari seberang sana yang sedang memegang stir mobil, melajukan perjalanannya ke arah mension Ayu."Baiklah," ujar Dissa, memutuskan panggilan sepihak."Halo Dissa, jangan lupa bawaaa..." ya deh sudah dimatikan. Emang dasar tuh orang ya langsung main matiin saja teleponnya, biarin sajalah yang penting aku langsung fokus stir mobil lagi nanti bahasnya di Mension Dissa.***Kini mobil Honda jazz kuning telah memasuki gerbang utama Mension Dissa dan Ayu memarkikan mobilnya di depan mension."Sepertinya Ayu sudah datang, aku langsung kesana sajakah jadi tidak menunggu la
Sebuah spanduk berbentuk landscape yang digantungkan di depan ruangan jurusan administrasi. Dissa dan Ayu yang berjalan menatap ke arah depan, mata Mereka menoleh ke arah beberapa spanduk tersebut. "Dissa, lihat itu di spanduk bewarna kuning. Ternyata kakak kelas kita yang seangkatan kita, dia ikut lomba menulis opini dan menang sebagai juara favorit. Aduh keren banget sih kakak itu, udah ganteng dan pintar lagi," ucap Ayu seraya menunjukkan jari telunjuknya ke arah spanduk kuning yang tergantung rapi itu. Mata Dissa mengikuti arah jari Ayu yang menunjuk pada spanduk kuning dan betapa terkejutnya dia bahwa orang yang berada di dalam spanduk itu ternyata seorang pria yang dilihatnya tadi. "Iya," jawab Dissa menatap bola matanya malas ke arah Ayu. Dia sudah tahu sebentar lagi, pria itu akan menjadi bahan topik gosipnya nanti. "Ya elah...kamu kok biasa saja sih, selalu deh kamu ini gak bisa beda
Daniel yang sedang memeriksa beberapa pasien di bagian UGD, dikejutkan dengan adanya Panggilan darurat dari perusahaan industri. Siap maupun tidak siap, Daniel tetap mematuhinya dalam bekerja, itulah resiko bagi seorang dokter berkompeten di rumah sakit ternama tersebut.Daniel menyuruh beberapa dokter lain yang menangani pasiennya. Setelah itu, dia membuka masker dan melepaskan peralatan medis di tangannya. Dia mengambil beberapa peralatan medis yang dibutuhkan untuk datang ke mension pemilik dari perusahaan industri terkaya kedua di dunia.Kini mobil yang dikendarai oleh Daniel telah sampai di depan mension megah bergaya Eropa di hadapannya. Dia membuka pintu mobil dan tidak lupa menguncinya.Daniel berjalan ke arah pintu depan mension. Disana, dia telah disambut oleh beberapa maid dan bodyguard."Permisi, apa benar ini alamat rumahnya Pak Dedi Richard?" tanya Daniel kepala salah satu bodyguard yang berbaris rapi di hadapannya.Bodyguard itu maju
Dissa dan Ayu berjalan ke arah parkiran mobil. Namun, langkah terakhir mereka berjalan melewati salah satu ruangan kelas kampus terhenti, ketika mereka mendengar salah satu dari mereka dipanggil oleh seseorang."Ayu," panggil Jesika yang merupakan Kakak tingkat Dissa yang sudah wisuda 2 tahun yang lalu, dia berjalan menuju ke arah Ayu dan Dissa."Iya," jawab Ayu menoleh ke arah Jesika dan membetulkan posisi berdirinya di hadapan Jesika."Kamu dari mana? Kok gak gabung bareng kami? Ikut aku yuk bantuin teman-teman yang lain menyelesaikan skripsinya," ujar Jesika."Gak mau, males aku," balas Dissa cepat."Ayolah, Dissa dan Ayu, kalian ini sombong banget gak mau bantuin kami menyelesaikan skripsi. Gak susah kok, Kalian cukup cek saja setiap kalimat yang kami tulis itu berdasarkan EYD dan Penggunaan bahasa yang benar dalam penulisan Bahasa Indonesia," bujuk Jesika menatap melas di hadapan Dissa dan Ayu."Iya... iya aku ikut," balas Dissa dan Ayu
Setelah pertemuan Dissa dan Daniel untuk makan siang bersama di hotel purna jaya. Dissa yang awalnya acuh tak acuh dengan keberadaan Danial, sedikit demi sedikit terbuka dan mau berkomunikasi dengannya dan menerima pesan dikirim Daniel di setiap hari. Pertemuan ini menjadikan Daniel peluang utama untuk mendekati Dissa. Namun, Dissa menganggap sebagai rekan kerjanya saja karena intelektualnya dalam pekerjaannya dianggap kompenten, keluarganya menariknya sebagai dokter pribadi di mensionnya.Daniel menerima keputusan yang ditawarkan dan tinggal melangkah lagi ke level mendapatkan hati Dissa.***Dissa yang berada di dalam kamarnya, berusaha menyibukkan diri karena sampai saat ini dia belum menulis artikel opininya.Dengan membolak-balikkan lembaran halaman koran, dia belum menemukan ide masalah untuk menulis artikel opini."Bagaimana aku mau menulis opini? Sementara, ide permasalahan belum aku temukan. Sebaiknya aku buka saja salah satu opini orang d