"Perjalanan yang cukup seru, ya," seru Budi saat mereka memasuki tenda medis.
"Aku tidak menyangka perjalanan kita untuk dapat sampai ke sini sangat menegangkan," lanjut Jesika.
"Lebih baik kita beristirahat karena besok kita akan langsung terjun ke lapangan," intruksi Daniel.
"Oh iya, Daniel," panggil Jesika. "Seperti biasanya saat bertugas setelahnya kita diminta untuk membuat laporan, kamu bisa menjadi ketua pelaksana?"
"Iya, aku pun merasa di sini hanya kau yang pantas," imbuh Budi.
"Baiklah," putus Daniel.
"Aku bisa menjadi sekretaris untuk membuat laporan," usul Jesika.
"Lalu aku menjadi apa?" tanya Budi.
"Kamu bisa menjadi seksi dokumentasi," ujar Jesika.
"Seksi dokumentasi? Tidak terlalu berat, baiklah."
"Baik, selamat malam, gunakan waktu istirahat kalian dengan baik." Daniel kembali merapihkan barang bawaannya.
Sebelum tidur Daniel menyempatkan diri untuk mengirim kabar kepada Dissa, walaupun sinyal yang ia miliki sangat minim.***
Hari pertama mereka di Perbatasan Gaza dimulai dengan kegiatan PSP(Psychosocial Support Programme) yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan psikososial individu maupun masyarakat agar tetap berfungsi optimal pada saat mengalami krisis dalam suatu bencana maupun kecelakaan. PSP diberikan kepada kelompok anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia.Seperti yang dilakukan Daniel, Budi, dan Jesika yang sedang berada di salah satu perkampungan pengungsian di Jalur Gaza, mereka memeriksa kesehatan para pengungsi serta menumbuhkan kembali semangat mereka.
Mengajak anak-anak bermain membuat mereka lupa akan trauma yang menimpa mereka, Budi beberapa kali mengabadikan momen tersebut. Jesika dan Daniel mengajak anak-anak untuk bernyanyi dan menari bersama, tawa tulus anak-anak di sana membuat mereka bertiga lebih bersyukur dan menghargai apa yang mereka punya. Waktu berlalu hingga saatnya tiba waktu makan siang.
"Anak-anak sungguh menggemaskan, ya?" ujar Jesika.
"Melihat mereka tertawa membuat aku lebih bersyukur dengan apa yang aku punya sekarang, aku enggak akan tahu bagaimana jika harus tumbuh di tempat konflik, tetapi mereka sangat kuat," ungkap Budi.
Seseorang memanggil mereka untuk meminta bantuan. "Ah, biar aku saja. Kalian lanjutkan saja makan siangnya," ucap Budi.
Jesika dan Daniel melanjutkan makan siang mereka, tetapi seorang anak kecil datang menghampiri mereka. Anak tersebut terlihat sedikit kumal, berbadan kurus, matanya tak lepas dari makanan Daniel dan Jesika.
"Kamu ingin makan?" tanya Jesika dalam bahasa Inggris.
Anak itu hanya terdiam menatapnya, sepertinya ia tak mengerti pertanyaan Jesika.
Daniel tersenyum menghampiri anak tersebut dan menyamakan tinggi mereka, Jesika mengikuti. Daniel membuat kotak makan miliknya mengulurkan pada anak tersebut, anak itu menatap Daniel ragu, lalu perlahan mengambil roti isi miliknya.Setelah membantu warga sekitar Budi kembali untuk makan siang, langkahnya terhenti saat melihat Jesika dan Daniel tengah makan bersama dengan seorang anak bersama mereka. Budi tersenyum paham kedua rekannya tengah berbagi makanan, lantas ia mengambil kamera ponselnya untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut.
"Daniel coba ini." Jesika mengulurkan tangannya hendak menyuapi Daniel, tetapi Daniel menolak.
"Ayolah, masa hanya kamu yang berbagi makanan. Ayo makan ini, kita membutuhkan energi untuk lanjut menolong mereka."
Akhirnya dengan paksa Daniel membuka mulutnya.***
"Ah, badanku terasa pegal seharian membantu warga mengangkat barang-barang," keluh Budi seraya meregangkan tubuhnya.
"Hush ... jangan mengeluh. Anggap saja itu ladang pahala untukmu," omel Daniel.
"Iya, kamu benar. Aku ingin tidur lebih cepat, Sarah aku sudah mengirim hasil dokumentasi hari ini," ujarnya pada Jesika.
Jesika menyalakan ponselnya, tetapi ia tak langsung memeriksa gambar yang Budi kirim, ia membuka laptop dan mengerjakan isi laporan kegiatan hari ini terlebih dahulu.
"Perlu ku bantu?" tanya Daniel.
"Ah, tidak usah. Kamu istirahat saja, aku hanya akan memasukkan kegiatan kita hari ini. Ini tidak memerlukan waktu lama," tolak Jesika.
"Baiklah, aku tidur duluan. Kalau butuh bantuan kamu bisa ke tendaku dan Budi."
Jesika mengangguk dan menatap punggung Daniel yang berjalan keluar.Setelah menulis hasil kegiatan hari ini, Jesika mengecek gambar yang Budi kirim, memilah-milah gambar mana yang cocok untuk dilampirkan. Namun, jarinya terhenti pada sebuah gambar, ia memperbesar gambar tersebut. Terlihat gambar dirinya dan Daniel sedang makan bersama anak pengungsian, dirinya sedang menyuapi Daniel. Terbit senyum senyum samar menyorot penuh arti.
***
Di dalam sebuah tenda tampak seorang dokter cantik bernama Jesika. Kini dia telah menyelesaikan laporan kegiatan hari ini dan sudah mengecek seluruh gambar yang Budi kirim. Jesika menutup laptopnya dan beranjak pergi menuju tenda tidur.
Beberapa rekan kerjanya sudah tertidur pulas, sedangkan Jesika masih tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit tenda dan berpikir sejenak.
"Andai saja aku mengenalmu lebih dulu, Daniel. Mungkin sekarang kita sudah menikah dan hidup bahagia. Tapi, Dissa sudah menghancurkan impianku. Wanita itu tidak pantas menjadi pendamping hidupmu, Daniel. Akulah yang pantas hidup bersamamu. Akan ku pastikan kalian tidak akan bisa bersatu karena aku sendiri yang akan memisahkan kalian." gumam Jesika.
Budi merasa haus. Dia terbangun dari tidurnya dan berjalan menuju tenda bagian konsumsi. Namun, sebelum menuju ke tempat tujuan, tanpa sengaja ia mendengar suara yang sangat familiar. Dia berjalan menuju sumber suara.
"Aku tidak menyangka, ternyata, kamu adalah wanita yang berhati iblis, Jesika. Kini kamu bisa melakukan apa pun sesuka hati, tetapi nanti aku yang akan menghalangimu. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hubungan Daniel dan Dissa," ucapnya dengan tatapan marah.
***
Dissa dan keluarganya baru saja selesai makan malam. Dia membereskan sisa makanan di meja makan.
"Nyonya, biar saya saja yang mengangkat piring kotor ini. Lebih baik Nyonya langsung istirahat saja." Bi Marni mengambil piring kotor dari tangan Dissa, tetapi wanita itu menolak.
"Biarlah, Bi. Tidak usah. Bibi cukup bantu bawa gelas itu saja." Mata Bi Marni mengikuti jari Dissa yang mengarah pada beberapa gelas berisi jus di atas meja makan.
"Baik, Nyonya." Bi Marni mengambil satu per satu gelas di atas meja dan membawanya ke dapur.
Setelah membantu Bi Marni membersihkan piring dan gelas yang kotor, kini Dissa kembali ke meja makan untuk mengambil beberapa buah untuk dimakan sebagai cemilan di dalam kamarnya.
Ponsel Dissa di meja makan bergetar, menandakan ada pesan masuk. Dissa melihat ada pemberitahuan pesan masuk, tetapi nomor itu tidak dikenalinya.
“Sebenarnya, apa yang sedang kamu lakukan di sana?” gumam Dissa.
Beberapa kali terdengar suara ledakan dan tembakan beruntun di sekitar pemukiman warga pengungsian. "Sepertinya, ada suara ribut yang tidak biasa." Daniel hendak melangkah keluar, tetapi tangannya ditahan oleh Jesika.
"Daniel, kamu mau ke mana? Tunggu kami selesai sarapan dulu."
"Baiklah, aku akan menunggu kalian." Daniel kembali duduk, tetapi hatinya sangat cemas.
"Sepertinya, sudah terjadi kekacauan di luar sana. Kita harus cepat bergerak."
Budi dan Jesika segera menghabiskan sarapan mereka. Setelah selesai, mereka bertiga bergegas ke luar tenda.
Tiba-tiba, suara tembakan dan ledakan kembali terdengar. "Ayo, kita harus cepat! Warga-warga di pengungsian sangat membutuhkan bantuan kita," ujar Daniel.
Hari ini merupakan hari yang ditunggu Dissa selama ini, hari senin yang menjadi saksi bahwa Dissa pertama kali masuk kuliah sebagai Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Ilmu Komunikasi. Kebetulan, jarak kampus dengan mension Richard memerlukan waktu 20 menit saja. Jadwal perkenalan mahasiswa baru dimulai pukul 07.30 wib pagi. Daniel yang tidak ingin Dissa terlambat, ia berinisiatif mengantarkan Dissa ke kampus ternama di London.Mobil yang dikendarai oleh Daniel telah memasuki area pekarangan kampus, Dissa menatap takjud dengan bangunan mewah nan megah hingga tidak terasa laju mobil berhenti di depan pintu utama kampus.“Sayang, aku antarkan disini. Maafkan aku belum bisa ikut masuk ke dalam,” ucap Daniel sendu.“Tidak apa-apa sayang, aku bahagia kamu mau mengantarkanku di kampus ini. Oh iya, semangat ya kerjanya, jaga mata dan hati karena hanya aku yang berhak memilikimu.” Dissa memandang Daniel dengan tatapan dalam.“Iya istriku tercinta, aku hanya milikmu seorang, kamu
Dissa memejamkan kedua bola matanya sejenak, ia butuh pikiran yang jernih untuk menimalisir semua kenyataan pahit dirinya pernah menjadi korban atas kejahatan Jesika.“Pa, sudahlah permasalahan yang pernah terjadi. Anggap saja semua yang pernah terjadi disebut takdir. Jangan pernah mudah menghakimi orang atas dasar masa lalunya karena semua orang pernah berbuat kesalahan,” ucap Dissa terdengar bijak dan Dedi tidak melanjutkan lagi perkataannya. Dedi serahkan semua yang akan terjadi cukup Dissa dan Daniel yang mengatasinya karena mereka sudah dewasa.“Okelah, kalau begitu Papa tidak ikut campur lagi kecuali Jesika berani melakukan kesalahan lagi maka Papa tidak segan-segan akan memecatkan secara tidak hormat.” sahut Dedi yang tak bisa dibantah.Setelah acara makan malamnya, Dissa dan Daniel memutuskan untuk ke kamar. Dandi memilih ikut Nenek Dila dan Kakek Dedi untuk tidur bersama. Dandi sangat dekat dan manja karena ia selalu diasuh
Setelah melewati masa test pendaftaran dan penerimaan selama 2 minggu. Akhirnya, Dissa diterima beasiswa prestasi akademik dengan nilai tertinggi di kampus ternama London. Sungguh, Dissa benar-benar bahagia atas kecerdasannya dan kegigihannya untuk melanjutkan kuliah Pascasarjana menjadi prioritasnya saat ini.Dissa yang telah sampai di Inggris, bersama Daniel dan anak kesayangannya, Mereka ingin menuju ke mension keluarganya di kota London. Awalnya Dissa menghawatirkan pekerjaan Daniel yang memiliki banyak pasien. Hal itu, membuat Dissa terniang-niang di sepanjang waktu."Bukankah kamu sedang sibuk dengan jadwal operasi pasien?" Dissa bertanya pada Daniel tapi Daniel tampak berpikir keras."Kamu yakin ingin ikut denganku dan mengorbankan pekerjaanmu?" tanya Dissa lagi dan Daniel mengangguk mantap."Iya, aku sangat yakin karena aku sebagai kepala keluarga harus bisa menjaga istri dan anakku. Meskipun, aku rela pindah bekerja ke luar negeri karena ak
Pagi telah menjelang dan ufuk timur telah terbit untuk menyinari dunia. Di dalam ruangan yang luas dan mewah terlihat seorang wanita cantik tengah asyik membaca sebuah koran di tangannya."Beasiswa S2 di London? Wow, terasa menarik bagiku untuk mendapatkan gelar Pascasarjana." batin Dissa.Saat ini, Dissa berada di ruang keluarga dan ia menikmati masa liburan akhir tahun bersama anak dan suaminya di rumah saja."Aku berhak untuk melanjutkan kuliahku karena aku masih muda dan aku pemilik perusahaan Richard. Anakku berhak mendapatkan ibu yang cerdas dan berpendidikan tinggi untuk menjamin masa depannya." Dissa membalikkan lembar koran cetak untuk melihat daftar persyaratan untuk mengikuti beasiswa luar negeri.Daniel yang sedang asyik bermain bernama Dandi di dalam dekapannya. Mereka melihat Dissa dari kejauhan. Dissa terlihat sedang serius membaca koran itu."Pa, aku mau tuyuuun." pinta Dandi dengan suara cade
Dua tahun kemudian Dissa berusaha mengejar Dandi yang berlari kesana-kemari di dalam mension mewah milik dirinya bersama Daniel. "Dandi, jangan berlari terus nanti kamu jatuh," ucap Dissa berusaha berjalan cepat mengejar anak pertamanya. "Ndakk mau, mama kejal dulu Dandi sampe dapat." sahut Dandi kecil dengan menjulurkan lidahnya di hadapan Dissa. Dissa menghela nafasnya sejenak dan ia pasti mengetahui apa yang akan dilakukan Dandi kecil selanjutnya. Dandi kecil terus berlari menuju ke arah anak tangga dengan langkah seribu kakinya tanpa melihat ke arah bawah membuat dirinya terjatuh. Dissa membantu mengangkat tubuh Dandi kecil agar mau berjalan menuju ke arah ruang kesehatan di mensionnya. Setelah diadakannya pesta pernikahan Diki dengan Novi. Mereka memutuskan pindah mension yang telah lama dibeli oleh Daniel. Dissa yang mengandung anak pertamanya dengan Daniel semaki
Hari demi hari yang dijalani Dissa hanyalah duduk diam dan termenung. Di hati kecilnya, ia selalu membayangkan betapa bahagianya ia memiliki baby yang lucu yang terlahir dari rahimnya dan ia akan dipanggil mama dan papa oleh anaknya. Tapi apalah daya, harapannya telah lenyap melayang di udara.Dissa mengusap perut ratanya, ia selalu melakukan itu saat calon anaknya masih ada."Sayang, ayo kita makan," ucap Daniel sambil mengarahkan sendok yang berisi bubur yang akan dimakan oleh Dissa.Dissa diam tak bergeming, ia asyik dengan khayalan di pikirannya. Sementara, Daniel yang berdiri di sebelahnya berusaha memberikan saran dan mengajak ia untuk membuat anak lagi."Dasar lelaki, mau enaknya saja. Kamu kira mudah apa untuk melupakan calon anakku yang telah tiada." kata Dissa dalam hati.Di ruang tamu rumah sakit, Dissa melihat ada perdebatan kecil yang dilakukan oleh mama Dila yang te