Share

Pekerjaan Lain Suamiku
Pekerjaan Lain Suamiku
Author: De yunn

Bab 1

Bab 1

"Mas! Kamu baru pulang?" tanya Arni yang baru saja selesai shalat subuh. Namun Ardan hanya menatapnya malas sambil melengos tak suka karena tiba-tiba ditanya.

"Jadi benar, Mas? Kata para tetangga selama ini, kalau kamu sering pulang pagi. Memangnya kamu sedang ada proyek penting di kantor sampai lembur terus seperti ini?" Sekali lagi, pertanyaan Arni membuat Ardan merasa kesal.

"Kamu tidak usah banyak tanya! Mending sekarang siapkan makanan, aku lapar!" ujar Ardan dengan ketus dan berlalu begitu saja. Pri itu meninggalkan Arni yang sedang melipat mukenanya di ruang tengah.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Arni segera ke dapur dan membuatkan mie instan kuah pedas kesukaan suaminya. Tak lupa ia menambahkan sayur, telur, dan sosis untuk campurannya. Arni juga membuatkan teh hangat untuk menemani mie rebus pedas itu. Setelah semuanya siap, ia segera mengantarnya ke ruang kerja Ardan di ruangan sebelah kamar tidurnya.

Setelah mereka memiliki dua anak, yang saat ini berusia lima dan tiga tahun, Ardan memang selalu tidur di ruang kerjanya. Bahkan ia sampai menyempatkan membeli kasur berukuran single untuk tidur di ruangan itu. Sementara Arni tidur di kamar utama bersama kedua anaknya.

"Mas!" panggil Arni sambil membawa nampan berisi makanan, meminta suaminya agar membukakan pintu ruangan kerjanya.

Dengan wajah terlihat letih, Ardan membukanya. "Taruh saja di atas meja!" seru Ardan dengan mata yang masih terfokus pada komputer.

Sebelum melahap makanan yang menggugah selera itu, Ardan melonggarkan dasi yang ia kenakan. Lalu membuka satu kancing paling atas dari kemejanya.

Arni memperhatikannya, dan tanpa sengaja ia melihat ada warna merah keunguan pada leher suaminya. Arni mencoba memicingkan matanya, berharap ia dapat melihat tanda merah itu lebih jelas. Ia juga berharap kalau yang dilihatnya hanyalah sebuah bekas garukan karena gatal. Namun, tanda itu tidak hanya satu, ada beberapa dan yang lainnya berukuran lebih kecil, tetapi masih terlihat jelas. Hatinya mencelos.

"Mas, itu leher kamu kok ada tanda merahnya? Kamu gatal? setahuku kamu tidak punya riwayat alergi pada sesuatu," ujar Arni dengan suara yang bergetar sambil menarik pelan kerah kemeja suaminya agar dapat melihatnya lebih jelas lagi.

Namun, hal itu justru membuat Ardan jadi marah. Ia menepis tangan Arni dengan kasar. Matanya menatap nyalang. "Ngapain sih, kamu! Merusak selera makanku saja!" ucap Ardan dengan ketus. "Bisa tidak sih, sekali-kali kamu tidak usah banyak tanya? Pertanyaan-pertanyaan tidak penting yang kamu lontarkan itu selalu merusak suasana tahu?" lanjut Ardan.

"Tapi Mas, aku kan istrimu! Sudah sewajarnya aku bertanya kalau melihat sesuatu yang aneh atau tidak pantas ada padamu, kan? Aku berhak tahu, Mas!" protes Arni.

Kalimat Arni justru semakin membuat Ardan merasa muak, lalu ia bangkit dan meninggalkan Arni yang masih berdiri dengan dipenuhi pertanyaan menggantung tanpa jawaban.

Ardan pergi ke kamar tamu dan mengunci pintunya dari dalam, lalu menyalakan lampu sambil bercermin. Untuk melihat tanda merah yang Arni maksud.

"Ah, sial! Ternyata tandanya sejelas ini, pantas saja Arni bisa melihatnya," bisik Ardan sambil tersenyum miring. Setelah itu ia langsung menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur sambil mengenang bagaimana dia mendapatkan tanda merah pada lehernya itu.

Sementara Arni yang masih ada di ruang kerja Ardan masih dipenuhi oleh teka-teki serta prasangka buruk kepada suaminya. Tepat saat Arni hendak mengambil nampan berisi makanan yang baru saja dimakan sedikit itu, ponsel Ardan yang tertinggal di atas meja kerjanya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari pengirim bernama 'Bu Lurah'. Sebelah alis Arni terangkat naik.

"Untuk apa subuh-subuh begini Bu Lurah mengirimi Mas Ardan pesan singkat?" tanya Arni pada dirinya sendiri.

Saat ia mencoba membuka pesan itu, ternyata tidak bisa. Ponsel Ardan di kunci menggunakan kata sandi. Beberapa kata ia coba tuliskan untuk membukanya, seperti namanya atau nama kedua anaknya. Namun, semuanya gagal. Hal itu semakin membuat Arni berprasangka buruk kepada Ardan.

***

Pukul delapan pagi, Ardan sudah siap untuk pergi bekerja. Sementara kedua anaknya sudah berangkat sekolah ke TK dan PAUD.

Arni menyiapkan nasi goreng dengan telur ceplok yang dicetak berbentuk hati di atasnya untuk Ardan di meja makan, lalu ia menempelkan sebuah nota kecil pada tepi piring.

"Mas, jangan lupa dimakan sarapannya. Aku mengantar anak-anak ke sekolah sekalian pergi belanja ke pasar."

Ardan menatap datar nota kecil itu. "Ngapain sih, si Arni bikin kayak gini? Bikin nggak nafsu makan saja!" celetuk Ardan sambil melemparkan nota kecil yang sudah ia remas itu ke lantai. Padahal, dulu di awal pernikahan, sering sekali mereka bertukar nota seperti ini saat salah satu dari mereka akan pergi namun tidak sempat berpamitan secara langsung.

Sekarang, setelah usia pernikahan mereka semakin bertambah, hal-hal manis itu tak lagi mereka lakukan. Hanya sesekali Arni melakukannya namun sama sekali tak ada respon dari Ardan. Malah acap kali Ardan membalas hal manis yang Arni lakukan dengan ucapan-ucapan ketus dan menyakitkan. Atau saat suasana hatinya sedang jelek, Ardan akan marah-marah tidak jelas pada Arni sambil mengumpat dan menyumpah serapahi istrinya.

Akan tetapi, Arni hanya diam sambil menunduk. Berusaha menjaga agar tidak menangis di depan suaminya. Dan lagi, ia hanya akan menjawab dengan pelan, meminta kepada suaminya agar kedua anak mereka jangan sampai mendengar keributan itu.

Ardan mengabaikan sarapan yang Arni buat, lalu ia segera meraba saku celana maupun kemejanya. Mencari benda pipih yang tak pernah lepas dari genggamannya. "Ah sial, di mana ponselku?" tanya Ardan pada dirinya sendiri. Dia membuka tas kerjanya, berharap benda pipih itu ada di sana. Namun nihil. Lalu ia bergegas ke ruang kerja. Ternyata ponselnya tergeletak di atas meja kerja.

Seulas senyum muncul pada bibir Ardan membaca pesan singkat yang di kirim oleh 'Bu Lurah' pada subuh tadi. "Ah, jadi perempuan tuh, kayak gini! Selalu bisa bikin suasana hatiku jadi baik!" ujar Ardan memuji sang pengirim pesan.

Tangan kanannya mengetik membalas pesan singkat itu, sementara tangan yang lain meraih roti tawar di tengah meja. Lalu tanpa menambahkan selai maupun susu di atasnya, Ardan melahapnya begitu saja. Seolah pesan singkat dari Bu Lurah mampu membuat roti tawar itu terasa manis.

Tepat saat itu, Arni pulang.

"Assalamu'alaikum! Mas Ardan!" sapa Arni, namun suaminya yang sedang asyik berbalas pesan itu tak mengindahkannya sama sekali. Bahkan salam yang Arni lontarkan tidak dijawab oleh Ardan.

"Mas, menjawab salam itu hukumnya wajib loh!" ujar Arni, membuat Ardan langsung mematikan ponselnya dan menatap istrinya itu dengan wajah kesal.

"Tidak usah sok menceramahi aku!" jawab Ardan dengan ketus lalu meraih tas kerja serta kunci motornya, dan pergi meninggalkan Arni tanpa berkata apa-apa lagi.

"Loh, Mas! Mas! Ini sarapannya kok tidak di makan?" Arni berteriak kecil, berharap suaminya akan berhenti dan kembali masuk ke ruang makan untuk melahap sarapan yang sudah Arni buat dengan sepenuh hati.

Ardan berhenti pada mulut pintu. "Lihat kamu jadi nggak nafsu makan!" ucap Ardan dengan ketus. Lalu kembali melangkah menuju teras. Namun saat itu, ponselnya berdering. Memaksa Ardan untuk melongok siapa yang meneleponnya. Wajahnya tampak semringah. Dengan senyum yang mengembang, Ardan menjawab panggilan itu dan menyapa sang penelepon dengan sikap yang manis.

Hal itu membuat Arni yang berdiri tidak jauh darinya bertanya-tanya, siapa si penelepon tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status