Share

Bab 2

Author: De yunn
last update Last Updated: 2023-12-09 18:04:58

"Halo, selamat pagi..." sapa Ardan dengan manis. Membuat Arni yang berdiri tidak jauh darinya mengerutkan kening penuh rasa curiga. Tidak biasanya suaminya bersikap seperti itu. Bahkan kepada dirinya, anak-anaknya, anggota keluarga yang lain, atau para tetangga sekalipun tak pernah Ardan tersenyum semanis itu. Tapi setahu Arni, suaminya sering kali bersikap semanis itu saat bertegur sapa dengan orang-orang kampung sebelah, kenalannya atau teman kerjanya.

"Itu telepon dari siapa Mas?" tanya Arni yang dipenuhi rasa ingin tahu. Namun Ardan hanya melirik dengan tajam kearah Arni, seolah mengingatkannya untuk tidak banyak bertanya.

Ah, Arni ingat. Mungkin dulu Ardan pernah tersenyum semanis itu kepadanya. Tapi itu dulu sekali saat mereka masih berpacaran hingga awal mereka memiliki anak pertama. Bahkan saat anak pertama mereka baru berusia lima bulan, mereka pernah bertengkar hebat.

"Sana pulang saja! Tapi jangan bawa anakku!" teriak Ardan dulu saat mereka bertengkar. Namun Arni tak tega bila harus memutuskan air susu untuk anaknya. Jadi saat itu Arni terpaksa mengalah. Saat itu entah apa yang membuat mereka bertengkar sehebat itu, Arni lupa. Tapi sepertinya, pertengkaran itu akan terulang jika kecurigaan Arni benar kali ini kalau suaminya tengah menyembunyikan sesuatu dengan kontak yang diberi nama 'Bu Lurah'.

Usai berteleponan, Ardan pergi begitu saja dengan motor metiknya. Tanpa berpamitan, pada hal Arni ada di teras dan berharap suaminya memberi tahu, siapa yang tadi menelepon. Atau setidaknya, berpamitan. Yah, meskipun Arni tahu kalau suaminya akan pergi bekerja.

Setelah Ardan tak lagi terlihat, Arni masuk ke dalam rumah. Ia segera mengumpulkan cucian kotor di keranjang, untuk ia masukkan ke dalam mesin cuci. Namun saat memegang kemeja yang semalam Ardan kenakan, Arni terpaku. Ia meraba kerah kemeja berwarna biru muda itu, teringat betapa tanda merah pada leher Ardan amat mengganggunya. Entah dengan dorongan apa, Arni berinisiatif untuk merogoh saku kemeja itu. Ada selembar kertas tisu yang sudah kumal. Arni mengernyit heran, "untuk apa Mas Ardan menyimpan tisu yang sudah kumal ini?" bisik Arni. Dengan jantung yang berdegup kencang, ia membuka perlahan tisu kumal itu. Betapa kagetnya ia, saat melihat sebuah nomor telepon tertulis di sana dan disebelahnya terdapat bekas ciuman menggunakan lipstik berwarna merah tua.

Hati Arni terasa teriris, perih sekali. Mendapati bukti yang semakin memperkuat prasangka buruknya terhadap Ardan. "Mas, apa kamu selingkuh?" tanya Arni dalam hatinya. Setetes air mata lolos dari matanya, dengan nelangsa Arni menyeka air mata itu.

Lalu ia segera mencari nota kecil yang biasanya digunakan untuk meninggalkan pesan kepada suaminya. Di tulisnya nomor telepon itu, dan ia kembalikan lagi kertas tisu itu ke dalam saku kemeja berwarna biru muda milik suaminya. Arni tak jadi mencuci. Ia letakkan kembali kemeja itu ke dalam keranjang pakaian kotor, untuk melihat apakah nanti suaminya akan mencari-cari kemeja ini.

Arni duduk termenung di meja makan. Menatap nasi goreng spesial dengan telur ceplok berbentuk hati yang ia buatkan untuk Ardan teronggok menyedihkan. Arni yang memang tak memiliki ponsel tengah berpikir, bagaimana caranya dia bisa tahu itu nomor telepon siapa. Di rumahnya juga tidak ada telepon kabel. Kalau mau menumpang ponsel teman atau tetangganya, takut malah menjadi rumit. Lalu dengan mantap, ia bangkit dan melangkah ke kamar. Ia lihat uang simpanannya di lemari, uang yang ia kumpulkan dari berjualan jajanan dengan dititipkan ke warung-warung tetangga. Ia hitung dengan seksama, ternyata cukup untuk membeli ponsel. Namun ia berpikir sayang, karena selama ini Ardan juga tak pernah memberinya uang lebih. Hanya pas-pasan untuk belanja sehari-hari dan membayar tagihan listrik maupun air saja. Bahkan uang saku anak-anak, harus ia ambilkan dari hasil berjualan jajan itu. Meskipun sesekali ibu atau bapak Ardan akan memberinya uang jajan untuk anak-anak. Sementara orang tua Arni, sudah meninggal semua. Ia hanya memiliki seorang kakak perempuan dan paman. Namun ia juga merasa tak enak kalau harus berharap diberi oleh mereka. Meskipun sebenarnya mereka tidak keberatan kalau Arni meminta sesuatu kepada mereka.

Arni melihat jam dinding yang terus berputar, sebentar lagi anak-anaknya akan pulang. Ia segera mengambil uang tabungan itu dan memasukkannya ke dalam dompet lusuh miliknya, lalu bersiap-siap menjemput mereka sekaligus mampir ke pertokoan terdekat untuk membeli ponsel. Tapi ia merasa tubuhnya amat lemas, tak mampu berjalan jauh. Sedangkan jarak ke sekolah anak-anak satu kilo lebih. Tak ada kendaraan lain di rumahnya, hanya ada motor metik yang suaminya pakai. Sedangkan kalau harus naik angkot, sayang ongkosnya. Karena keuangan rumah tangganya sangat pas-pasan.

Namun ia kembali memikirkan anak-anaknya, kalau Arni tidak menjemput, kasihan mereka harus pulang berdua. Mereka masih terlalu kecil untuk pulang sekolah sendiri tanpa di dampingi. Jadi, meskipun terasa lemas, Arni tetap memaksakan tubuhnya agar bangkit dan berganti pakaian yang rapi. Karena saat ini ia masih menggunakan daster lusuh seperti pagi tadi.

Arni mematut dirinya di cermin besar yang menempel pada dinding kamarnya. Ia berputar ke kanan dan ke kiri sambil berkacak pinggang. Kulitnya yang mulus kini tampak kusam karena tak pernah lagi dirawat. Ia terlalu sibuk merawat anak serta suaminya, sampai lupa pada diri sendiri.

Kini Arni sudah berganti pakaian menggunakan celana panjang longgar dengan kaus oblong lengan panjang. Lalu ia memakai jilbab instan untuk menutupi aurat di kepalanya.

"Memangnya apa kurangnya aku mas? Sampai kamu melirik perempuan lain? Apa karena sekarang aku tampak lusuh? Aku tak lagi molek seperti saat muda dulu? Tapi harusnya kamu tahu, aku jadi seperti ini juga karena lebih mementingkan merawatmu dengan anak-anak agar selalu tampil rapi dan bersih. Lagi pula, aku tetap berusaha rapi dan bersih meskipun tidak pernah lagi bersolek seperti dulu."

Arni berbicara pada cermin besar yang memantulkan bayangannya, seolah ia tengah bercakap dengan Ardan. Ia menatap telapak tangannya, di sana ia menggenggam sobekan kertas nota berisi nomor telepon yang tadi ia salin. Arni semakin merasa penasaran, sebenarnya siapa pemilik nomor telepon itu? Kenapa sampai ada tanda kecupan bibir di sana? Hati Arni kembali terasa sakit saat mengingat tanda merah pada leher suaminya. Ia bahkan semakin berprasangka kalau pemilik nomor telepon itu pasti orang yang berbeda dengan pembuat tanda merah pada leher Ardan. Karena tak mungkin Ardan akan menyimpan nomor telepon dalam tisu kumal kalau orang itu sudah meninggalkan tanda merah pada lehernya. Mungkin itu adalah kenalan baru Ardan, pikir Arni.

Setelah selesai bersiap-siap, Arni segera berangkat untuk menjemput kedua anaknya di sekolah. Ia tak mau kalau anak-anaknya harus menunggu terlalu lama. Cuaca yang panas tak membuatnya merasa malas, ia berjalan menyusuri jalanan tepi kampung sambil memakai payung untuk menghalau teriknya cahaya matahari. Untuk sampai ke sekolah mereka, ia harus melewati deretan pertokoan dan beberapa tempat makan. Saat melewati tempat makan dengan jendela-jendela besar, tanpa sengaja ia menoleh kesana. Tubuhnya yang semula terasa lemas, kini semakin tidak bertenaga. Kakinya tak kuat lagi menopang tubuhnya yang agak kurus. Dengan hati yang hancur, Arni jatuh terduduk di trotoar. Payung yang semula di pegangnya juga terjatuh begitu saja, beruntung tak ada angin yang menerbangkannya. Tangis yang sudah Arni tahan sejak subuh tadi, kini pecah. Ia beruraian air mata. Tak peduli lagi pada tatapan orang-orang di sekitarnya. Matanya masih menatap lurus ke dalam salah satu tempat makan dengan jendela besar, ia dapat melihatnya dengan jelas meskipun orang itu duduk memunggunginya. Kini prasangka buruknya benar-benar terjadi. Kecurigaan Arni terbukti. Ardan, suaminya ada di dalam sana bersama perempuan lain. Mereka tampak asyik bercanda, bahkan tak risih saling bergandengan di tempat umum. Namun ada sesuatu yang mengganjal, perempuan yang bersama suaminya saat ini Arni merasa sangat mengenalnya. Tapi ia juga merasa lupa, pernah bertemu dimana.

Saat perempuan itu menoleh ke arah Ardan yang duduk di sampingnya, samar-samar Arni mengenalinya. Meskipun masih belum pasti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pekerjaan Lain Suamiku   Bab 15

    Arni tertidur setelah kelelahan menangis usai bertengkar dengan Ardan. Sedangkan Ardan, dia pergi begitu saja tanpa menghiraukan Arni yang terus menangis hingga tersengal-sengal. Subuh, Arni terbangun. Lalu menyiapkan adonan untuk membuat gorengan. Setelah semuanya matang, dia langsung mengantarkannya ke warung pelanggannya dalam keadaan hangat. Terakhir, Arni mengantarkannya ke warung Pak Nanang yang berada didepan TK tempat anak-anaknya bersekolah. "Wah, Mbak Arni pagi sekali!" sapa Pak Nanang yang sedang menyapu didepan warung saat Arni datang. Arni tersenyum. "Iya Pak, kebetulan anak-anak semalam menginap di rumah simbahnya. Jadi aku bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat." jawab Arni. "Ya sudah, duduk dulu Mbak Arni! Biar tak buatkan teh hangat, sekali-kali mumpung Mbak Arni sedang tidak terburu-buru." "Terima kasih, Pak. Oh ya, ibu kemana? Kok tumben jam segini belum kelihatan?" "Sebentar lagi juga datang, tadi katanya mau menjemur pakaian dulu. Mumpung di warung belum m

  • Pekerjaan Lain Suamiku   Bab 14

    Setelah pergi kemarin malam, Ardan baru pulang keesokan harinya. Malam hari, setelah Arni selesai membuat serta mengemas semua pesanan dari pelanggannya. Nanik juga sudah pulang, Arni sendirian di rumah karena Rafa dan Natasya menginap di tempat simbahnya. "Arni! Buatkan aku mie kuah yang pedas!" teriak Ardan setelah menjatuhkan pantatnya pada sofa ruang tamu. Sementara Arni yang berdiri didekat Ardan hanya menatapnya dengan sengit. "Minta saja sama Tante Amy mu itu!" jawab Arni ketus lalu masuk kedalam kamar. Ia mengunci pintunya dari dalam, lalu jatuh terduduk ditepi ranjang sambil menangis. "Hei! Berani-beraninya seorang istri menolak perintah suaminya! Keluar kamu Arni! Sini! Biar ku beri kamu pelajaran!" teriak Ardan marah sambil menggedor-gedor pintu kamar dengan kasar. Tangis Arni semakin menjadi-jadi. "Bagaimana bisa tanpa merasa bersalah Mas Ardan pulang dan langsung memintanya untuk membuat mie pedas? Memangnya aku ini istri atau babunya?" tanya Arni dalam hati. "Arni!

  • Pekerjaan Lain Suamiku   Bab 13

    Siang hari, waktunya menjemput anak-anak pulang sekolah, Arni membawa pesanan keripik yang sudah jadi untuk warung didepan TK. Ia menyempatkan melongok ke belakang warung, apakah motor Ardan masih ada disana atau tidak.Keningnya berkerut karena tidak menemukan motor suaminya."Pak Nanang! Itu motor dibelakang warung kemana?" tanya Arni setelah menghitung jumlah keripik yang ia setorkan."Oh, itu tadi dibawa pergi sama temannya Mbak Nira." jawab Pak Nanang."Siapa Pak? Laki-laki atau perempuan?" Arni bertanya penuh selidik."Laki-laki Mbak, orang itu memang sering mampir ke rumah Mbak Nira. Sering juga bawa motor tersebut."Arni menegang mendengar penjelasan singkat Pak Nanang. "Ya sudah Pak kalau begitu, saya pamit dulu ya? Itu anak-anak saya sudah pada keluar.""Iya Mbak Arni, hati-hati dijalan ya! Besok jangan lupa, jajannya yang komplit!" ujar Pak Nanang."Baik Pak!" teriak Arni dari seberang jalan.Arni menuntun kedua anaknya untuk pulang, sepanjang perjalanan mereka saling mengo

  • Pekerjaan Lain Suamiku   Bab 12

    "Pagi, sayang!" sapa Nira sambil membawa nampan berisi kopi panas dan sepiring gorengan.Menilik dari penampilannya, Ardan tahu betul kalau gorengan tersebut dibeli oleh Nira di warung samping rumahnya. Yang tak lain, itu adalah gorengan titipan Arni. Ironis memang, di rumah Ardan tak pernah sudi memakan gorengan yang istrinya suguhkan. Padahal gorengan Arni sudah terkenal disekitar tempat tinggal mereka. Namun saat Nira yang menyajikan gorengan tersebut, Ardan akan dengan lahap memakannya sambil menggigit cabai rawit hijau.Ardan membalas sapaan Nira, lalu mengecupnya dengan mesra."Sayang, aku sudah selesai lo!" bisik Nira dengan nakal.Ardan tersenyum mendengarnya. Ia tahu betul maksud perkataan Nira. "Sabar ya, malam ini aku tidak bisa menginap disini. Kebetulan malam ini aku ada pekerjaan sampingan selama akhir pekan."Bibir Nira mengerucut, tanda bahwa ia tidak suka mendengar jawaban Ardan. "Memang tidak bisa ditinggal, ya?"Ardan tersenyum gemas melihat tingkah Nira yang sepert

  • Pekerjaan Lain Suamiku   Bab 11

    Pagi itu, seperti biasa. Arni mengantar kedua anaknya bersekolah sambil membawa jajan untuk ia titipkan pada warung-warung kecil yang ia lewati serta kantin sekolah anaknya dan mengambil hasil penjualan sebelumnya.Sebuah senyum penuh rasa syukur mengembang pada wajah ayu Arni. "Terima kasih banyak, Pak!" ujar Arni pada pemilik warung yang tepat berada di seberang sekolah TK."Iya, Mbak Arni! Sama-sama! Kalau bisa, besok bawa keripik sama gorengannya agak banyakan ya? Kebetulan besok anak-anak libur sekolah, tapi disini mau dipakai untuk acara. Untuk lomba mewarnai anak TK tingkat kecamatan. Bawa jajan yang lain juga boleh, biar lengkap warung saya!" ujar Pak Nanang, pemilik warung diseberang TK tempat anak Arni bersekolah."Iya, Pak! Siap! Besok pagi-pagi sekali aku bawakan kesini. Nanti malam biar aku lembur!" jawab Arni dengan riang. Baginya, pagi ini adalah pagi yang indah. Seluruh dagangan yang ia titipkan habis tak bersisa. Bahkan beberapa warung tempat biasa Arni menitipkannya

  • Pekerjaan Lain Suamiku   Bab 10

    Tok! Tok!Ardan mengetuk pintu samping sebuah rumah yang berada didepan sekolah TK dengan perlahan. Tak membutuhkan waktu lama, pintu dibuka dari dalam."Ayo, masuk! Motornya simpan saja dibelakang warung," perintah orang yang membukakan pintu itu sambil menunjuk warung yang berada tepat disebelah rumahnya.Tanpa membantah, Ardan mengikuti perintah itu. Lalu segera masuk kedalam rumah bergaya modern minimalis itu. "Anak-anak kemana? Sudah tidur semua?" tanya Ardan dengan penuh perhatian."Iya," jawab sang pemilik rumah yang ternyata seorang wanita berusia tujuh tahun diatas Ardan."Kita langsung kebawah saja yuk!" ajak wanita itu sambil menuntun Ardan menuju dapur yang berada dilantai bawah."Sayang, kamu kok kelihatannya berkeringat sekali. Habis ngapain?" tanya wanita itu dengan penuh rasa curiga."Iya, tadi pas kesini ban motornya bocor. Jadi aku tuntun cari tambal ban yang masih buka. Makanya keringatnya banyak." jawab Ardan asal.Namun wanita itu seolah tak peduli dengan jawaban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status