Waktu terus berlalu, kandungan Shasha semakin hari bertambah besar. Saat usia kandungannya mencapai tujuh bulan, dia memutuskan untuk berhenti bekerja karena badannya semakin cepat pegal dan lelah. Meskipun teman-teman kantor dan atasannya memaklumi hal tersebut, Shasha yang merasa tak enak hati. Jadi lebih baik mengundurkan diri dengan meninggalkan kesan baik pada semua. Meskipun sang atasan mau memberinya cuti lebih lama sampai dia siap bekerja kembali, Shasha tidak bersedia. Dia berencana mengasuh sendiri kedua anaknya setelah melahirkan.Shasha tidak pernah telat memeriksakan kehamilannya dengan didampingi oleh Kaisar. Perwira polisi itu selalu menyempatkan waktu menemani sang istri. Kalau Kaisar tidak punya banyak waktu, keduanya bertemu di klinik. Sesudah menemani pemeriksaan, Kaisar akan langsung kembali bekerja sementara istrinya pulang ke rumah.Shasha mengikuti prenatal yoga sejak kehamilannya menginjak lima bulan. Prenatal yoga ini selain untuk kesehatan, juga membuat ibu h
Setelah kelahiran dua buah hatinya, Kaisar jadi lebih semangat bekerja. Dia bertekad memberikan yang terbaik untuk mereka. Meskipun sibuk, sebelum atau sesudah pulang kerja, Kaisar akan menyempatkan waktu untuk bermain dengan Bagus dan Ayu. Dia tidak ingin kehilangan momen perkembangan mereka.Sementara itu, Shasha benar-benar jadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Walaupun beberapa pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, menyetrika, dan lainnya dikerjakan oleh asisten rumah tangga, tapi untuk urusan masak dan mengurus anak, dia yang menanganinya sendiri.Shasha sekarang jarang menginap di rumah Bu Dewi. Kalau Kaisar dinas malam atau tidak bisa pulang, Nisa atau Bu Dewi yang menemaninya di sana. Akan repot kalau Shasha pergi sendiri membawa dua bayi dan segala perlengkapannya.Minimal sebulan sekali, Kaisar akan mengajak istrinya pergi berdua. Entah sekadar makan, menonton film atau berbelanja. Setidaknya mereka bisa ada waktu berdua tanpa anak-anak. Perwira polisi itu tahu kalau istrin
Kaisar menginap di rumah orang tuanya setelah sebulan tidak pulang karena kesibukannya bekerja sebagai abdi negara. Dia memanfaatkan waktu liburnya di sana. Berharap tidak ada panggilan tugas mendadak dari atasan. Setelah membantu sang bapak di kebun dan membersihkan diri, perwira muda itu menonton televisi di ruang tengah. “Kai, nanti Bapak sama Ibu mau kondangan di rumah Pak Wijaya. Kamu diundang tidak sama Adi?” tanya Ryani pada Kaisar, putra sulungnya. Wanita paruh baya itu baru datang dari dapur membawa singkong goreng yang tadi dipanen dari kebun. Kening Kaisar mengerut mendengar pertanyaan sang ibu. “Memangnya Adi nikah, Bu?” Bukannya menjawab, perwira polisi berpangkat Inspektur Polisi Dua itu malah balik bertanya. Ryani menggeleng. “Bukan Adi yang nikah, tapi Dita,” jawabnya. Kaisar terkesiap mendengar nama cinta pertamanya itu disebut oleh sang ibu. Dia lalu tertawa kecil. “Dita, adiknya Adi?” tanyanya memastikan. Wanita paruh baya itu menyengguk. “Iya, memangnya Dita si
“Assalamu’alaikum, Di. Apa kabar?” salamnya setelah menerima panggilan tersebut. “Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah kabarku baik. Kai, kamu lagi sibuk?” tanya Adi setelah menjawab salam sang sahabat. Suaranya terdengar tidak tenang. “Enggak. Aku lagi di rumah sekarang. Ada apa, Di? Apa yang bisa kubantu?” Kaisar mengernyit. “Dita kecelakaan, Kai. Tabrak lari tadi waktu berangkat ke sekolah. Sekarang sudah di rumah sakit. Barusan ayah telepon, katanyalumayan parah. Sekarang aku dalam perjalanan ke rumah sakit.,” jelas Adi. “Innalillahi, di rumah sakit mana, Di? Aku segera ke sana.” Jantung Kaisar serasa mau copot saat mendengar kabar pujaan hatinya itu. Meski sangat jarang bertemu, tetapi rasa cinta itu masih tetap tersimpan rapi di hatinya. Menunggu sampai saatnya tiba untuk dia menyatakan cinta. Setelah Adi menyebutkan nama rumah sakit tempat Dita dirawat dan menutup telepon, Kaisar bergegas mandi. Dia sampai lupa menanyakan apa yang Adi inginkan darinya. Namun, setelah dipikirkan
Adi menghampiri Kaisar dan sang ayah yang memandang ke arahnya. “Kita diminta menunggu sebentar karena kamarnya baru disiapkan. Mas ambil yang VIP, Yah. Biar Bunda dan Adek lebih nyaman. Nanti mas yang bayar selisih harganya,” ujar Adi. Sebagai ASN, Pak Wijaya dan keluarga mendapat jatah kelas 1 dari Askes untuk layanan rawat inap. Kalau mengambil kelas di atasnya, harus membayar selisih harga kelas 1 dan VIP. Begitu lulus kuliah dari Teknik Sipil UGM, Adi langsung diterima kerja di salah satu perusahaan konstruksi nasional dengan gaji yang cukup besar. Karena itu, dia berani menanggung biaya rawat inap adik semata wayangnya. “Ayah juga mampu bayar, Mas,” sahut Pak Wijaya. “Biar mas saja, Yah. Nanti kan Adek masih harus kontrol kalau pulang dari sini. Pasti juga tidak semua biaya ditanggung Askes.” Adi bersikeras menanggung biaya perawatan adiknya. “Ya sudah, terserah kamu. Ayah mau lihat Adek dulu.” Pak Wijaya meninggalkan dua sahabat itu. “Aku sudah bicara sama petugas yang ke
Kaisar menoleh begitu mendengar pintu terbuka. Melihat Adi masuk dengan perawat saat Dita masih menggenggam erat tangannya. Namun, dia juga tidak mungkin melepaskan tangan adik sahabatnya itu begitu saja. Dita pasti menahan rasa sakit. Karena berulang kali mengeratkan genggamannya. “Syukurlah kamu datang, Di. Dita merintih terus, kayanya sakit banget,” ucap Kaisar dengan raut khawatir. “Permisi, Mas. Saya ingin menyuntikkan pereda nyeri dulu,” kata perawat pada Kaisar. “Iya, Sus.” Kaisar berdiri dan ingin melepas tangannya, tapi Dita tidak mau melepaskan. Mungkin gadis itu masih merasakan sakit, jadi ingin terus menggenggam tangan Kaisar. Akhirnya dia tetap berdiri di sisi ranjang, dan memberi ruang untuk perawat melakukan tindakan. Adi hanya diam melihat pemandangan di depannya. Mencoba tetap berpikir positif, mungkin tadi Dita mencarinya dan mengira Kaisar adalah dia. Karena itu, sang adik terus menggenggam tangan sahabatnya. Adi yakin perwira polisi itu tidak akan mengambil kese
Hari Minggu pun tiba, kalau di rumah lain mungkin waktu untuk bermalas-malasan, tetapi tidak di rumah Bu Dewi. Sejak Subuh, mereka memulai aktivitasnya masing-masing. Ada yang membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, dan juga memasak. Bu Dewi memang mendidik anak-anaknya mandiri. Apalagi sejak dia harus membanting tulang demi ketiga anaknya yang masih di usia sekolah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setengah tujuh pagi, Rendra sudah keluar dari rumah untuk latihan karate di Gelanggang UGM. Tentu saja dia pergi setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di rumah. Nisa membantu mamanya membuat brownies usai mereka menyantap sarapan bersama. Sementara Shasha merapikan kamarnya agar tidak terlihat berantakan saat Tirta nanti masuk ke sana. “Mama mau buat brownies berapa sih?” tanya Nisa yang melihat ada banyak bahan di dapur. Bu Dewi tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan si bungsu. “Empat kayanya.” “Banyak banget, Ma,” komentar Nisa. “Satu nanti buat su
“Aku ingin buka toko aksesori motor dan mobil, Pak. Di sini kayanya belum ada. Kalau butuh apa-apa harus ke kota.” Kaisar memberi tahu bapaknya. “Rencananya mau buka di mana?” tanya Pak Dipta. “Di ruko depan ada yang kosong kan, Pak. Daripada disewa sama orang lain, aku sewa saja,” jawab Kaisar. “Pakai saja kalau kamu mau, Kai. Terus yang jaga toko siapa? Belanjanya di mana?” Pak Dipta menatap sang putra. “Aku ada kenalan yang jual grosiran aksesori motor sama mobil, Pak. Nanti barangnya aku ambil dari dia. Kalau yang jaga toko ambil dari orang sini saja, Pak. Cari orang yang jujur dan mau kerja keras. Kalau bisa sih laki-laki,” ujar Kaisar. Pak Dipta mengangguk-angguk. “Ya, nanti coba bapak carikan. Rencanamu kapan mau buka?” “Awal bulan depan saja, Pak. Nanti aku sekalian cari apa saja yang diperlukan,” sahut Kaisar. “Apa sudah ada modal?” Pak Dipta memastikan. “Alhamdulillah ada meski tidak banyak, Pak. Kemarin teman sudah nawari, bayarnya bisa tempo jadi tidak langsung luna