Sampai di restoran yang dituju, Ray segera memesan dua porsi makanan. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Laura. Meski Laura sudah menolak, namun Ray tetap menarik paksa Laura keluar dari mobil dan agar mau makan bersamanya.
"Ini benar-benar pemaksaan." Ray hanya tertawa kecil seraya masih menikmati hidangannya. Entah mengapa, ia begitu senang melihat kekesalan wanita di hadapannya itu. Belum lagi, ekspresinya yang kesal saat makan, membuat sisa makanan menempel di sudut bibirnya. Laura yang masih menyendokkan garpu ke makanannya sontak terkejut saat Ray tiba-tiba menyeka bibirnya menggunakan tangannya langsung. Yang lebih membuat ia terkejut, Ray menyesap sisa makanan itu dari tangannya, tanpa rasa jijik sedikit pun. "Kau makan seperti anak TK." Ray tersenyum sembari geleng-geleng kepala. Laura sendiri masih terpaku, merasa tak menyangka akan hal yang baru saja ia lihat itu. Ray yang masih mengunyah makanannya pun sontak terhenti kala melihat diamnya Laura. "Ada apa?" Laura spontan menggeleng dan tersenyum tipis. "Tak ada." jawabnya seraya kembali menikmati makanannya. "Habiskan!" Ucapan itu membuat Laura menatap datar Ray. "Kalau aku tak mau?" "Kau harus mau karena aku tak mau uangku terbuang sia-sia." Laura menghela napas kasar, kemudian meraih sesuatu dari tasnya. "Katakan, berapa yang harus kubayar atas makanan ini?" tanyanya seraya membuka mobile banking di ponselnya. Dengan senyum sinis, "Aku tak butuh uangmu. Aku hanya ingin kau menikmati penuh kebersamaan kita ini, sama seperti aku." Laura pun meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menatap Ray dengan datar. "Asal kau tahu, aku tak pernah merasa nikmat, baik itu makan maupun melakukan kegiatan, semenjak kau menawan antingku." balasnya ketus. Ray tertawa kecil, "Sejak saat itu kau menginginkan antingmu kembali, tapi kau tetap tak datang ke rumahku." Dengan tatapan tajam, "Bagaimana mungkin aku datang ke rumahmu jika Kak Alin saja sering ke sana? Aku tak mau membuat huru-hara." Dengan tersenyum santai, "Semua akan aman kalau kau memberiku pesan terlebih dahulu. Jadi, bagaimana, kapan kau akan datang ke rumahku lagi, hm?" jelas Ray dengan kemudian menaikkan sebelah alisnya. "Bisakah bawa saja dan berikan padaku?" Laura berkata dengan nada penuh emosi. Ray justru tertawa kecil, "Aku tak mau lupa dan membuat anting itu justru hilang. Jadi, lebih baik kau saja yang datang dan mengambil langsung." "Baik, aku akan datang, tapi aku tak hanya akan mengambil anting itu. Kau bilang semua milikmu adalah milikku juga, 'kan? Oke, akan kuambil semuanya. Aku akan merampokmu." ujar Laura sembari mengepalkan tangan di hadapan Ray. Ray justru tertawa sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oke, aku tunggu kehadiranmu." * Pagi hari yang terik, cahaya yang lembut menembus jendela, membuat Alin mengerjapkan mata beberapa kali. Hingga saat ia benar-benar membuka mata, senyuman lebar langsung terpancar dari wajahnya kala melihat seseorang yang ia cinta. "Ray," "Bagaimana kondisimu?" "Aku sudah lebih baik. Kau tak ke kantor?" Ray mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi ia sembunyikan di balik punggungnya, kemudian memberikan itu pada Alin. "Aku baru bisa ke kantor setelah melihatmu. Cepat sembuh, Sayang," ucapnya lembut. Alin tersenyum, merasa tak sangka bahwa Ray masih sempat memberikannya bunga. "Iya, Sayang, makasih ya," Ray mengangguk, kemudian mengecup kening Alin. Tepat saat itu, Laura yang baru saja masuk terdiam melihat tindakan Ray pada Alin. Entah mengapa, hatinya merasa tak nyaman. Namun, sebisa mungkin ia menyingkirkan perasaan itu. "Laura," panggil Alin kala melihat Laura yang hendak keluar dari ruang rawatnya tersebut. Ray menoleh ke arah pandang Alin, yang dimana Laura masih diam di tempatnya. "Kau baru masuk dan kenapa mau keluar lagi? Kemarilah," ujar Alin sembari tersenyum. Laura pun berjalan mendekat, namun menghindar dari tatapan Ray padanya. "Bagaimana keadaanmu, Kak?" "Sudah cukup baik. Apa kau mau berangkat ke kampus?" Laura mengangguk sembari tersenyum kecil. "Apa kau merasa masih ada yang sakit? Pusing atau yang lain?" tanya Laura. Alin menggeleng lemah, "Semalam iya, tapi sekarang tidak." "Syukurlah kalau begitu." ucap Laura seraya tersenyum. "Ayo, Sayang, kau harus sarapan dulu sebelum meminum obatmu," Ray mendekati Alin, dengan mangkuk berisi makanan yang telah ia pegang. Alin sontak mengangguk dan beralih duduk. Sementara itu, Laura merasa was-was, takut jika Ray membubuhkan sesuatu lagi dalam makanan Alin. "Tunggu, Kak!" Alin yang hampir saja akan menerima suapan dari Ray pun menutup kembali mulutnya dan menatap Laura heran. "Ada apa, Laura?"Di depan sebuah hunian yang dipenuhi kobaran api, Laura terduduk lemas begitu saja. Rumah yang merupakan tempat masa kecilnya tumbuh hingga sedewasa itu, namun nyatanya telah menjadi makanan 'Si Jago Merah'."Bagaimana ini bisa terjadi?" ujar Laura dengan masih tak menyangka."Apa kau baik-baik saja, Laura?" Niko mendekat dan membangunkan putrinya itu. Laura mengangguk meski masih terisak. "Kenapa rumah kita bisa terbakar, Pa?" tanyanya kecewa. Niko pun tak kuasa menahan raut sedih di wajahnya, "Papa juga tak tahu, Nak. Papa masih di kantor sampai akhirnya mamamu menelepon dengan ia yang sudah terbatuk-batuk. Papa pun kemari dan semua sudah hangus terbakar." jelasnya seraya memeluk putrinya itu. "Lalu, bagaimana dengan Mama dan Kak Alin, Pa?" Laura menatap Niko dengan penuh tanda tanya dan menuntut jawaban. Niko menghela napas kasar seraya menunduk, "Mereka sudah dibawa ke rumah sakit, Laura. Yang Papa tak habis pikir, mereka terkunci dan tak bisa keluar dari rumah sampai mereka p
"Kak Ray?"Ray menyeringaikan senyum seraya menyilangkan tangan di depan dada. "Kenapa? Kau terkejut?""Bagaimana aku bisa di sini?" Laura sontak menunduk dan memeriksa pakaiannya. Kebingungan terpampang jelas di wajahnya. "Aku sama sekali tak berbuat apa pun padamu. Tenang saja," ucap Ray datar. Laura menatap Ray serius, mencari jawaban atas kebingungan yang melandanya. "Kau yang membawaku kemari?""Lalu apa? Kau ingin berada bersama Arhan yang hampir berniat gila padamu, begitu?" tanyanya balik.Mendengar nama Arhan, seketika memori yang tadinya kabur mulai tersusun kembali di benak Laura. Ia teringat saat-saat terakhir sebelum ia pingsan, di mana Arhan dengan senyum manisnya memberikan minuman yang ternyata mengandung sesuatu yang membuatnya tak sadarkan diri. "Jadi dia yang membuatku pingsan lewat minuman itu?"Ray tersenyum sinis, "Kau baru sadar? Masih untung aku tahu dan kau sekarang aman di sini," jelasnya dengan nada yang penuh kekesalan. "Sama saja," gumam Laura yang memb
Sampai di rumah, Laura terkejut mendapati Alin sudah berada di rumah. Ia tengah duduk santai di sofa ruang tamu sembari menonton televisi. "Kak, kapan kau pulang?" Alin menoleh sekilas, kemudian kembali menatap drama kesukaannya. "Sejak pukul 10 pagi tadi. Apa kau tak lihat i* story-ku?" jawabnya sembari menoleh kembali pada Laura. Laura menggeleng, tanda ia tak tahu. Sedangkan Alin menghela napas kasar, kemudian matanya membulat saat tahu Ray muncul di belakang Laura. Dengan ekspresi cemburu, Alin menatap tajam Ray. "Ray? Kenapa kau bersama Laura?" tanyanya dengan nada yang terdengar tak suka. "Hanya kebetulan, Sayang. Tadi aku melihat dia dihadang oleh pria nakal, karena itu aku mengajaknya pulang, sekaligus karena aku memang ingin menjengukmu." jawab Ray dengan begitu enteng. "Padahal dia sendiri pria nakal itu." batin Laura kesal. Laura memalingkan wajah kala Ray menoleh ke arahnya dengan seringai senyuman yang menyebalkan. Sementara itu, Nera yang mendengar penjelasan
"Boleh kucoba dulu makanannya? Aku ingat kau punya alergi kacang dan aku hanya ingin memastikan makananmu tak mengandung bahan-bahan itu." Ucapan Laura itu membuat Ray tersenyum sinis seraya geleng-geleng kepala. Sementara itu, Alin justru mengangguk, merespon ucapan Laura dengan baik. Ray pun menyerahkan makanan itu pada Laura, dengan tatapan mereka yang saling beradu dengan begitu serius. Ray tahu, Laura pasti menduga jika ia membubuhkan sesuatu dalam makanan Alin itu. Hingga setelah Laura mencoba makanan itu, tak ada reaksi apa pun dalam dirinya. "Sekarang, aku yakin makananmu aman, Kak. Makanlah," ujarnya sembari tersenyum lembut. Alin pun mengangguk dan balas tersenyum. "Terima kasih karena sudah memastikan ini, Laura.""Sama-sama, Kak."Ray tiba-tiba mengulurkan tangannya, "Biar aku yang menyuapi kakakmu," ucapnya yang membuat Laura langsung menyerahkan makanan tersebut padanya. Ray dengan lembut mulai menyuapi Alin dan tepat di hadapan Laura. Pria itu terlihat begitu perh
Sampai di restoran yang dituju, Ray segera memesan dua porsi makanan. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Laura. Meski Laura sudah menolak, namun Ray tetap menarik paksa Laura keluar dari mobil dan agar mau makan bersamanya."Ini benar-benar pemaksaan." Ray hanya tertawa kecil seraya masih menikmati hidangannya. Entah mengapa, ia begitu senang melihat kekesalan wanita di hadapannya itu. Belum lagi, ekspresinya yang kesal saat makan, membuat sisa makanan menempel di sudut bibirnya.Laura yang masih menyendokkan garpu ke makanannya sontak terkejut saat Ray tiba-tiba menyeka bibirnya menggunakan tangannya langsung. Yang lebih membuat ia terkejut, Ray menyesap sisa makanan itu dari tangannya, tanpa rasa jijik sedikit pun."Kau makan seperti anak TK." Ray tersenyum sembari geleng-geleng kepala.Laura sendiri masih terpaku, merasa tak menyangka akan hal yang baru saja ia lihat itu.Ray yang masih mengunyah makanannya pun sontak terhenti kala melihat diamnya Laura. "Ada apa?"Laura spont
Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?""Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya.""Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura.Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta
Dengan menggenggam erat ponselnya, ekspresi Laura menjadi resah."Jadi anting itu jatuh dikamar Kak Ray? Aku tak mungkin ke sana lagi. Tapi jika Kak Alin ke sana dan menemukan anting itu, dia pasti akan curiga. Bagaimana ini?" ujarnya dalam hati.Laura terdiam sejenak, kemudian ia terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu. Dengan segera, ia membuka pintu dan terkejut bukan kepalang mendapati Ray berdiri dengan santainya di ambang pintu."Kak Ray? Kau untuk apa di sini?" suara Laura bergetar, dengan matanya mencari-cari tanda-tanda ada orang lain atau tidaknya di sekitar.Ray hanya menatap datar padanya, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa. Dengan segera, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Laura. "Minum ini! Itu akan mengurangi rasa sakitmu dan mencegahmu hamil." ucap Ray dengan nada serius dan juga dengan tatapan dingin.Laura menatap kesal ke arah Ray, dengan jantungnya yang berdegup kencang merasakan amarah. Dengan gerakan kasar, ia merebut
Di hadapan cermin itu, Ray tengah mengaitkan kancing kemejanya dengan gerak yang mekanis. Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering, menyela keheningan paginya. Tertera nama "Alin" di layar tersebut, membuat Ray dengan malas menjawabnya.Dengan napas berat, Ray terpaksa mengangkat panggilan itu. "Ya, Sayang?""Kenapa semalaman kau sulit dihubungi?" Suara Alin terdengar cemas dan kecewa.Ray menghimpit ponselnya menggunakan bahu dan telinga, sembari ia melingkarkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Bukankah Vian sudah memberitahumu jika aku keluar kota? Aku rapat dan ponselku tertinggal di mobil malam itu. Jadi, aku tak tahu kau menghubungiku." jawab Ray dengan suaranya yang datar.Alin menghela napas kasar dan merasa frustrasi. "Kau tak pernah seceroboh ini, Ray. Apa yang sebenarnya terjadi?"Ray menahan kesabaran, dengan tatapannya yang begitu tajam ke arah cermin. "Sudahlah, apa maumu sekarang? Aku sedang terburu-buru.""Kau melupakan hal penting bahwa seharusnya semalam kita
Ray menoleh, menatap wajah ketakutan Laura, kemudian ia tersenyum smirk. "Tentu saja menghias malam kita, Sayang." jawabnya santai, namun mampu membuat Laura merasa merinding.Laura makin merasa gugup, hingga ia meremas kuat pakaiannya sendiri. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuatnya ingin menangis. Hingga tak ia sadari, Ray tengah berjalan menghampiri dan telah berdiri di hadapannya. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat kegugupan luar biasa bagi Laura.Dengan memegang lembut dagu Laura, Ray justru tersenyum menatap gadis yang mulai terisak di depannya itu. "Kita bahkan belum memulainya dan kau sudah menangis?" tanyanya, dengan sudut bibirnya yang terangkat ke atas.Laura menggeleng lemah, kemudian menunduk dengan matanya yang terpejam. "Aku merasa tak mampu melakukan semua ini. Aku sama saja mengkhianati Kak Alin." jelasnya sembari terisak.Ray justru tetap bersikap santai dan mengusap rambut Laura dengan lembut. "Kau tak sedang mengkhianati siapa pun, Laura. Kau sedang