Share

5. Efek Salah Ndusel

Aku terbangun saat mendengar suara orang mengaji. Setelah membereskan tempat tidur, aku segera keluar kamar untuk mandi. Saat membuka pintu kulihat kedua rekanku sudah berada di depan pintu kamar. Mereka melongo menatap horor kearahku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Mbak Caca bisa tidur nyenyak?" tanya Mbak Syarifah.

"Nyenyak banget. Kenapa emangnya?"

"Gak ada yang gangguin?" sekarang Mbak Nurul yang bertanya.

"Hahaha. Gak ada tuh." Aku langsung berlalu menuju kamar mandi.

Sedangkan kedua rekanku masih nampak tak percaya. Ya Allah muka mereka lucu sekali. Sehabis mandi aku langsung berganti gamis katun dan segera menuju ndalem (rumah Kyai).

*****

Aku tengah membantu Nurul dan Ipeh alias Syarifah memasak di dapur ndalem. Mereka menolak dipanggil Mbak karena usia mereka dibawahku. Karena usia kami boleh dikatakan sebaya makanya kami cepat sekali akrab.

Kata Ipeh, dapur ndalem dan dapur khusus santri terpisah. Dapur santri khusus digunakan oleh para santri. Di sini modelnya ada jadwal masak tiap kamar. Kamar mana yang dapat jatah piket masak, maka tugas penghuni kamar yang berjumlah sepuluh orang itu untuk menyiapkan makanan selama satu hari ini. Sedangkan dapur ndalem dikhususkan untuk keluarga kyai.

Selain bercerita tentang pondok dan para santri, Ipeh dan Nurul juga menceritakan keadaan keluarga Abah Ilyas dan Umi Aisyah. Kata mereka, Abah dan Umi mempunyai dua orang Putra. Si sulung berusia 24 tahun sedangkan si bungsu 12 tahun.

Aku segera menghidangkan makanan di atas meja makan ketika semua makanan telah matang. Sop jamur, tumis kangkung, tempe goreng, ayam goreng dan sambal terasi. Perfect. Oh jangan lupa lalapan sama petenya. Sementara Ipeh dan Nurul sedang mandi. Mereka harus segera ke pondok karena mereka juga memiliki tugas di sana.

"Wah ... Ini malah ngerepotin Caca." Umi Aisyah datang masih mengenakan mukena.

"Gak kok Umi. Caca malah seneng bisa bantu-bantu."

"Ya sudah, sini makan bareng sama Umi, Abah dan Azzam sekalian."

"Mboten usah Umi. Saya gak enak. Saya makan sama Nurul dan Ipeh saja."

"Gak papa sini duduk! Umi masih kangen sama kamu."

Tak lama kemudian    datanglah sosok lelaki paruh baya yang penuh kharisma. Duh, kalau masih muda pasti tampan mempesona ini. Udah tua aja aku klepek-klepek. Hehehe.

"Abah ... Baru pulang Bah?" Umi menyambut tangan suaminya dan si Abah mengecup kening Umi Aisyah. Uwuwu ... Aku kok iri ya melihat pasangan tua tapi berjiwa muda ini.

"Ini Caca, anaknya Fatimah sama Ridwan ya?" tanya Abah Ilyas.

Abah Ilyas tersenyum. Tampan. Aku pun membalas senyumnya sambil menjawab pertanyaan Abah.

"Nggih Abah," jawabku.

"Sini duduk sama Abah dan Umi. Kita makan bareng-bareng. Umi ... Azzam kok belum kelihatan?"

"Masih tidur kayaknya Bah? Tadi malam lembur kayaknya. Umi itu udah senewen udah gregetan pengin bongkar tuh kamarnya. Kamar kok kayak kapal pecah," curhat Umi.

"Mungkin dia masih ada kerjaan Umi. Lagian kan juga ngurusi tesisnya. Mungkin lagi ada job juga, mau bikin rumah, mushola, jembatan, hotel atau apalah," terang Abah.

"Hahaha. Padahal Umi ngarepnya Azzam segera bikin bayi biar kita bisa cepet punya cucu," kelakar umi.

"Hahaha. Kamu yakin mau ngarepin Azzam cepet nikah? Kayaknya daripada Umi ngarepin Azzam mending kita bikin sendiri aja Um?" sahut Abah sambil menarik turunkan alisnya.

Sontak Umi memukul lengan Abah, "Abah mesum ih. Gak malu ada Caca apa?" pipi Umi memerah karena malu.

"Gak papa kok Umi, kan Caca serasa lagi nonton Drakor pas adegan suami istri yang bahagia. Hehehe."

"Hahaha ... Kamu memang anaknya Fatimah. Pantes uminya Azzam langsung lengket sama kamu," celetuk Abah.

Fokus kami teralihkan karena kedatangan seseorang. Seorang lelaki memakai kaos oblong hitam dan bersarung hitam datang ke meja makan. Rambutnya yang panjang nampak awut-awutan tapi tetap tampan haish. Sepertinya dia masih mengantuk dan tak menyadari sekelilingnya.

Cara jalannya seperti seseorang yang mengalami tidur sambil berjalan. Kami bertiga terdiam dan sibuk mengamati tingkah lakunya.

Dia duduk didekatku dan ... What? mataku melotot. Aku syok. Dia ndusel (meletakkan kepala) ke ketekku? Serius ini? Aduh jantungku malah jadi disco. Dua orang tua itu pun tak kalah syoknya denganku.

"Zam ..."

"Dalem Umi."

"Lepas!"

"Pewe (nyaman) Umi,    Azzam kan udah biasa kayak gini," rajuknya manja dan masih ndusel ke ketekku. Aku mematung dan bingung. Sisi otakku ingin menyudahi sedangkan sisi hatiku menikmati. Halah.

"Zam," kali ini Abah yang bersuara tegas.

"Nopo(apa) Bah?"

"Buka matamu, lihat kamu itu lagi ngapain? Bukan mahram!" bentaknya.

"Mahram Abah? Kan ndusel sama Umi."

"Azzam!"

"Ckckck ... Ya kalau bukan Umi berarti calon istri Azzam." Pria itu berkata sambil mengangkat tubuhnya dariku kemudian matanya melebar saat menyadari keberadaanku.

"Kamu? Kamu siapa?" bentaknya.

"Caca." Aku menjawab sambil meringis.

"Ngapain kamu disini!" bentaknya. Ya Allah suaranya menggelegar sekali kayak singa.

"Mau makan," ucapku lirih dengan muka memerah.

Dia memandangku kemudian menoleh kesekelilingnya dan mendapati kedua orangtuanya berada di seberang meja. Umi nampak tersenyum geli sedangkan raut muka Abah memerah campuran antara kesal, marah dan menahan tawa.

Aku? Oh jangan tanyakan bagaimana denganku. Lelaki paling dekat denganku hanya Hasan dan dia tak pernah ndusel-ndusel manja kepadaku.

Karena terlalu malu aku memilih berpamitan kepada Abah dan Umi. Berjalan pelan, dan ketika sampai dapur aku langsung melesat menuju kamarku. Aish ... Kok aku jadi keki setengah mati sih. Mana itu cowok walau belum mandi tapi wangi lagi. Oh tidakkkkk ....

Aku berbaring dan kemudian menutup mukaku dengan bantal. Ya Allah, aku malu sekali. Huhuhu.

*****

Keesokan harinya, aku seperti biasa membantu Ipeh dan Nurul memasak di ndalem.

Saat menyiapkan masakan di meja makan sesekali aku melirik ke kanan kiri. Takut bertemu dengan Gus Azzam. Sepagian ini aku berhasil menghindar dan sama sekali tak bertemu dengannya.

Sayang, saat sedang membawa ember bekas mengepel aku kaget. Kami tanpa sengaja berpapasan di pintu depan. Hampir tabrakan. Aku gugup sedangkan Gus Azzam menatapku dengan muka datar. Aku segera bergeser ke kiri sayang dia malah geser ke kanan. Alhasil kami melangkah ke arah yang sama. Aku segera menggeser tubuh ke kanan, Gus Azzam malah geser ke arah kirinya. Oke Fixed, kami refleks geser lagi dan sekali lagi geser ke arah yang sama.

"Kita gak lagi dansa kan?" sinisnya.

"Gak Gus, kita lagi joget," sahutku asal.

Dia mendelik dan aku meringis. Tanpa pamit aku segera mundur dan melangkah melewatinya sambil menunduk.

Semenjak peristiwa salah ndusel dan hampir tabrakan, ada yang aneh dengan diriku. Aku merasa ada yang tak beres dengan hatiku. Dan jantung ini selalu saja berdetak lebih keras jika bertemu atau mendengar namanya disebut. Kenapa ya? Masa sih aku kena penyakit jantung?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Josefin Jose
bagus,ceritanya gak ber tele2,senang bacanya
goodnovel comment avatar
Tuti Alawiyah
bagus ceritanya saya suka
goodnovel comment avatar
Ganistia
cerita ini fiktif atau nyata sih. penasaran
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status