Aku terbangun saat mendengar suara orang mengaji. Setelah membereskan tempat tidur, aku segera keluar kamar untuk mandi. Saat membuka pintu kulihat kedua rekanku sudah berada di depan pintu kamar. Mereka melongo menatap horor kearahku.
"Kenapa?" tanyaku."Mbak Caca bisa tidur nyenyak?" tanya Mbak Syarifah."Nyenyak banget. Kenapa emangnya?""Gak ada yang gangguin?" sekarang Mbak Nurul yang bertanya."Hahaha. Gak ada tuh." Aku langsung berlalu menuju kamar mandi.Sedangkan kedua rekanku masih nampak tak percaya. Ya Allah muka mereka lucu sekali. Sehabis mandi aku langsung berganti gamis katun dan segera menuju ndalem (rumah Kyai).*****Aku tengah membantu Nurul dan Ipeh alias Syarifah memasak di dapur ndalem. Mereka menolak dipanggil Mbak karena usia mereka dibawahku. Karena usia kami boleh dikatakan sebaya makanya kami cepat sekali akrab.Kata Ipeh, dapur ndalem dan dapur khusus santri terpisah. Dapur santri khusus digunakan oleh para santri. Di sini modelnya ada jadwal masak tiap kamar. Kamar mana yang dapat jatah piket masak, maka tugas penghuni kamar yang berjumlah sepuluh orang itu untuk menyiapkan makanan selama satu hari ini. Sedangkan dapur ndalem dikhususkan untuk keluarga kyai.Selain bercerita tentang pondok dan para santri, Ipeh dan Nurul juga menceritakan keadaan keluarga Abah Ilyas dan Umi Aisyah. Kata mereka, Abah dan Umi mempunyai dua orang Putra. Si sulung berusia 24 tahun sedangkan si bungsu 12 tahun.Aku segera menghidangkan makanan di atas meja makan ketika semua makanan telah matang. Sop jamur, tumis kangkung, tempe goreng, ayam goreng dan sambal terasi. Perfect. Oh jangan lupa lalapan sama petenya. Sementara Ipeh dan Nurul sedang mandi. Mereka harus segera ke pondok karena mereka juga memiliki tugas di sana."Wah ... Ini malah ngerepotin Caca." Umi Aisyah datang masih mengenakan mukena."Gak kok Umi. Caca malah seneng bisa bantu-bantu.""Ya sudah, sini makan bareng sama Umi, Abah dan Azzam sekalian.""Mboten usah Umi. Saya gak enak. Saya makan sama Nurul dan Ipeh saja.""Gak papa sini duduk! Umi masih kangen sama kamu."Tak lama kemudian datanglah sosok lelaki paruh baya yang penuh kharisma. Duh, kalau masih muda pasti tampan mempesona ini. Udah tua aja aku klepek-klepek. Hehehe."Abah ... Baru pulang Bah?" Umi menyambut tangan suaminya dan si Abah mengecup kening Umi Aisyah. Uwuwu ... Aku kok iri ya melihat pasangan tua tapi berjiwa muda ini."Ini Caca, anaknya Fatimah sama Ridwan ya?" tanya Abah Ilyas.Abah Ilyas tersenyum. Tampan. Aku pun membalas senyumnya sambil menjawab pertanyaan Abah."Nggih Abah," jawabku."Sini duduk sama Abah dan Umi. Kita makan bareng-bareng. Umi ... Azzam kok belum kelihatan?""Masih tidur kayaknya Bah? Tadi malam lembur kayaknya. Umi itu udah senewen udah gregetan pengin bongkar tuh kamarnya. Kamar kok kayak kapal pecah," curhat Umi."Mungkin dia masih ada kerjaan Umi. Lagian kan juga ngurusi tesisnya. Mungkin lagi ada job juga, mau bikin rumah, mushola, jembatan, hotel atau apalah," terang Abah."Hahaha. Padahal Umi ngarepnya Azzam segera bikin bayi biar kita bisa cepet punya cucu," kelakar umi."Hahaha. Kamu yakin mau ngarepin Azzam cepet nikah? Kayaknya daripada Umi ngarepin Azzam mending kita bikin sendiri aja Um?" sahut Abah sambil menarik turunkan alisnya.Sontak Umi memukul lengan Abah, "Abah mesum ih. Gak malu ada Caca apa?" pipi Umi memerah karena malu."Gak papa kok Umi, kan Caca serasa lagi nonton Drakor pas adegan suami istri yang bahagia. Hehehe.""Hahaha ... Kamu memang anaknya Fatimah. Pantes uminya Azzam langsung lengket sama kamu," celetuk Abah.Fokus kami teralihkan karena kedatangan seseorang. Seorang lelaki memakai kaos oblong hitam dan bersarung hitam datang ke meja makan. Rambutnya yang panjang nampak awut-awutan tapi tetap tampan haish. Sepertinya dia masih mengantuk dan tak menyadari sekelilingnya.Cara jalannya seperti seseorang yang mengalami tidur sambil berjalan. Kami bertiga terdiam dan sibuk mengamati tingkah lakunya.Dia duduk didekatku dan ... What? mataku melotot. Aku syok. Dia ndusel (meletakkan kepala) ke ketekku? Serius ini? Aduh jantungku malah jadi disco. Dua orang tua itu pun tak kalah syoknya denganku."Zam ...""Dalem Umi.""Lepas!""Pewe (nyaman) Umi, Azzam kan udah biasa kayak gini," rajuknya manja dan masih ndusel ke ketekku. Aku mematung dan bingung. Sisi otakku ingin menyudahi sedangkan sisi hatiku menikmati. Halah."Zam," kali ini Abah yang bersuara tegas."Nopo(apa) Bah?""Buka matamu, lihat kamu itu lagi ngapain? Bukan mahram!" bentaknya."Mahram Abah? Kan ndusel sama Umi.""Azzam!""Ckckck ... Ya kalau bukan Umi berarti calon istri Azzam." Pria itu berkata sambil mengangkat tubuhnya dariku kemudian matanya melebar saat menyadari keberadaanku."Kamu? Kamu siapa?" bentaknya."Caca." Aku menjawab sambil meringis."Ngapain kamu disini!" bentaknya. Ya Allah suaranya menggelegar sekali kayak singa."Mau makan," ucapku lirih dengan muka memerah.Dia memandangku kemudian menoleh kesekelilingnya dan mendapati kedua orangtuanya berada di seberang meja. Umi nampak tersenyum geli sedangkan raut muka Abah memerah campuran antara kesal, marah dan menahan tawa.Aku? Oh jangan tanyakan bagaimana denganku. Lelaki paling dekat denganku hanya Hasan dan dia tak pernah ndusel-ndusel manja kepadaku.Karena terlalu malu aku memilih berpamitan kepada Abah dan Umi. Berjalan pelan, dan ketika sampai dapur aku langsung melesat menuju kamarku. Aish ... Kok aku jadi keki setengah mati sih. Mana itu cowok walau belum mandi tapi wangi lagi. Oh tidakkkkk ....Aku berbaring dan kemudian menutup mukaku dengan bantal. Ya Allah, aku malu sekali. Huhuhu.*****Keesokan harinya, aku seperti biasa membantu Ipeh dan Nurul memasak di ndalem.Saat menyiapkan masakan di meja makan sesekali aku melirik ke kanan kiri. Takut bertemu dengan Gus Azzam. Sepagian ini aku berhasil menghindar dan sama sekali tak bertemu dengannya.Sayang, saat sedang membawa ember bekas mengepel aku kaget. Kami tanpa sengaja berpapasan di pintu depan. Hampir tabrakan. Aku gugup sedangkan Gus Azzam menatapku dengan muka datar. Aku segera bergeser ke kiri sayang dia malah geser ke kanan. Alhasil kami melangkah ke arah yang sama. Aku segera menggeser tubuh ke kanan, Gus Azzam malah geser ke arah kirinya. Oke Fixed, kami refleks geser lagi dan sekali lagi geser ke arah yang sama."Kita gak lagi dansa kan?" sinisnya."Gak Gus, kita lagi joget," sahutku asal.Dia mendelik dan aku meringis. Tanpa pamit aku segera mundur dan melangkah melewatinya sambil menunduk.Semenjak peristiwa salah ndusel dan hampir tabrakan, ada yang aneh dengan diriku. Aku merasa ada yang tak beres dengan hatiku. Dan jantung ini selalu saja berdetak lebih keras jika bertemu atau mendengar namanya disebut. Kenapa ya? Masa sih aku kena penyakit jantung?"Hai kamu!" Aku yang tengah sibuk mengiris wortel mendongak menatap si cowok angkuh.Seminggu semenjak kejadian salah ndusel praktis kami saling menghindar. Malu iya, marah iya tapi seneng juga iya. Aku sih yang seneng. Halah ...."Apa!" jawabku jutek."Kamu itu niat kesini mau ngapain sih?""Mbabu (jadi pembantu)," jawabku ngasal."Ckckck ... Katanya mau ngaji.""Gus. Ini kan masih jam 7 pagi, gak ada jadwal ngaji. Kalau ada jadwal ngaji aku ya ngaji."Dia bersidekap. "Memangnya kamu mau fokus ngaji kitab apa?""Kitab apa saja yang penting ngaji. Kenapa Gus Azzam repot sih?" Aku mengeluarkan sisi jutekku."Aku gak repot cuma jengah sama tingkah kamu, santri lain itu gak kayak kamu tahu." Dia menjawab tak kalah dingin.Aku memandangnya tajam. Kami bertatapan dengan waktu yang lama hingga saling membuang pandangan. Astaga. Ada yang tidak beres ini dengan jantungku. Jangan sampai kalah Ca. Akhirnya aku bertanya lebih dahulu sekaligus u
*Azzam Dafa Al Kaivan*Gadis itu benar-benar berisik sekali, suka cari muka dan menggangu. Aku tahu dia anak sahabat Umi yang bernama Fatimah. Dan saat ini dia yatim piatu. Tapi sungguh kehadirannya membuatku terganggu.Aku dikenal sebagai sosok Gus yang dingin, cuek, galak dan mungkin angkuh. Tapi jangan salah, sikapku akan berbeda jika bersama Umi, aku justru sangat manja padanya. Maklum saja 12 tahun aku baru dikasih adik. Jadi, jangan salahkan kalau aku menjadi anak manja hanya ketika bersama Umi.Aku pertama jumpa dengannya di pintu gerbang pesantren, kuakui dia sangat cantik. Tapi bagiku biasa saja, karena aku sudah terbiasa lihat cewek cantik. Bahkan mantan calon Ning yang gagal ta'aruf denganku juga cantik. Tapi cantikan Caca sih. Astaghfirullah.Walau begitu bukan berarti aku suka sama Caca ya. Aku nyari istri itu harus seperti Umi. Kalem, lembut, perhatian dan penurut. Dan semua itu tidak ada di Caca.Aku sulung dari dua bersaudara. Jarak kelahiran
*Cahaya Mustika*Tak terasa sudah dua bulan aku mondok plus jadi khadamah disini. Awalnya, aku kesusahan beradaptasi. Terutama masalah ngajinya, tapi alhamdulillah akhirnya terbiasa. Berhubung dulu aku dan Hasan hanya punya satu HP milik bersama dan jadul pula, praktis komunikasi kami lewat sosmed. Dan itupun hanya bisa kulakukan saat hari Minggu saja dimana kami boleh keluar itupun hanya di area dekat pondok.Syukurlah Hasan nampak bahagia dan menikmati kuliahnya. Aku lost kontak dengan keluarga Jepara. Paling Hasan yang rajin menghubungi Husna untuk menanyakan keadaan bapaknya."Kamu betah Ca?" tanya Kang Bimo kepadaku saat membantuku mengupas kelapa sedangkan aku bertugas memarutnya."Betah Kang." Aku memanggilnya sesuai panggilannya disini."Syukurlah, Hasan kayaknya juga betah disana. Senangnya dengar dia lagi kuliah." Kang Bimo menghembuskan nafasnya."Kenapa Kang?""Gak papa. Aku cuma nyesel dulu jadi anak badung. Sekolah gak tamat hid
Kali ini aku menemani Abah, Umi, dan Gus Azmi ke Bandung dengan disopiri oleh Kang Bimo. Gus Azzam sendiri satu minggu yang lalu sudah ada di Bandung. Besok adalah hari wisuda Gus Azzam untuk program magisternya. Kami menginap di hotel yang cukup dekat dengan kampus."Kampusnya keren ya Umi, besok Azmi mau disini juga," celoteh Gus Azmi saat mobil kami memasuki pelataran parkir hotel."Memangnya Azmi mau jadi apa?""Gamer Umi, pokoknya bisa pegang komputer sama HP. Hehehe.""Dasar kamu itu ya?"Semua tertawa termasuk aku. Selanjutnya aku lebih banyak diam, karena menikmati perjalanan. Wow, aku jadi rindu kampus. Aku rindu belajar. Aku menghembuskan nafasku pelan. Semoga suatu hari nanti aku bisa kuliah lagi dan semoga aku segera punya uang. Syukur dibiayai suami. Dan pertanyaan yang muncul emangnya suamiku siapa?*****Mataku terpana menatap objek di depanku. Perawakannya yang tinggi menjulang, kulit putih dengan seraut wajah nan rupawan tengah ber
"Mbak Caca dipanggil Umi ke ndalem," seru Fauziah salah satu khadamah yang masih kelas 12 SMA."Oh ... makasih Dek." Aku menemui umi di ruang keluarga."Umi manggil Caca? Wonten nopo nggih Umi.""Gini, kata Azzam kamu itu lulusan pendidikan Biologi benar kan?""Nggih Umi, pripun?""Guru Biologi kita mau ikut suaminya ke Malang, jadi kita butuh gantinya. Daripada kita bikin loker kan mending memberdayakan SDM yang sudah ada. Bener kan?""Nggih Umi.""Mau ya bantuin ngajar di SMA.""Tapi, Caca sudah lama gak ngajar Umi. Takutnya nanti pas dihadapan siswa malah kayak patung Umi.""Ya dicoba dulu makanya.""Nanti kalau nervous gimana Umi.""Ya makanya latihan.""Nanti kalau ....""Kalau gak sanggup ya nolak. Gak usah banyak alasan. Percuma katanya sarjana terbaik tapi disuruh ngajar aja banyak alasan," sinis Gus Azzam.Aku melotot kearahnya, dia malah memiringkan senyumnya. Dasar kurang garam ini orang. Awas ya! Aku b
Satu bulan lamanya aku menjadi pengajar di SMA Al-Hikam. Awalnya grogi, gugup dan takut menjadi satu. Tapi lama-kelamaan akhirnya bisa beradaptasi."Us Caca," sapa ustazah Shafa, guru kimia."Ustazah Shafa. Hati-hati Us. Ckckck. Njenengan ini lagi hamil juga tetep gak bisa diem.""Hehehe. Mau gimana lagi Us, udah bawaan dari orok hehehe." Ustazah Shafa adalah ustazah yang umurnya sebaya denganku sedangkan yang lain rata-rata sudah berusia di atas 30 tahun."Ustaz Ahmad gak jemput apa?""Nanti Us, katanya masih ada rapat dengan para Ustaz.""Owh."Suasana sepi, karena ini sudah pukul empat sore. Aku baru saja mendampingi ekskul Pramuka. Saat tengah melewati koridor kelas dua belas kulihat sekelebat anak yang tengah mengendap-ngendap seperti maling."Sebentar Us. Tunggu disini!"Aku langsung melesat menuju si penyusup yang menggunakan helm dan berjaket tebal."Hei, siapa kamu!" teriakku.Dia kaget dan akan berlari tapi kutarik jaketnya. Ter
"Ustazah, ini kita bikin patoknya ukuran 1m x 1m?""Iya, nanti kamu amati didalamnya individunya apa saja terus jumlah dan kemungkinan interaksi yang terjadi. Apa mutualisme, parasitisme, komensalisme atau netral," jawabku.Hari ini kelas 10 IPA 1 sedang praktek materi ekosistem. Aku sengaja membawa mereka menuju ke sawah penduduk yang jaraknya 10 menit dari sekolahan. Dalam praktek ini, kami belajar sambil bermain. Sesekali menyapa para petani yang sedang memanen padinya. Bahkan ternyata sebagian besar sawah disini milik abah Ilyas yang tengah dipanen dengan mempekerjakan penduduk sekitar. Saat sedang mengawasi kegiatan anak-anak. Segerombolan ibu-ibu menyapaku dan mengajakku ngobrol."Eh Ustazah cantik, njenengan Ustazah baru ya?" tanya salah seorang ibu sambil menggepyok padinya." Gepyok padi artinya merontokkan padi secara manual dengan memukulkannya pada sebuah alat khusus."Nggih Bu, nama saya Caca.""Asli mana Us?" tanya yang lain."K
*Azzam Daffa Al Kaivan*Aku memarkirkan mobilku di garasi. Aku baru menyelesaikan segala urusanku mengenai beasiswa S3-ku di RMIT University yang terletak di kota Melbourne. Insya Allah seminggu lagi aku berangkat ke sana. Alhamdulillah ya Allah, cita-citaku akan terlaksana sebentar lagi.Aku tertegun melihat sebuah mobil Avanza yang terparkir dihalaman berdampingan dengan mobil Xenia abah. Aku segera masuk ke rumah."Assalamu’alaikum""Wa’alaikumsalam."Kulihat Abah dan Umi sedang menerima tamu yang ternyata orang tua Ning Salima. Bahkan Ning Salima ikut. Aku pun menyalami Abah, Umi, Kyai Miftah dan menangkupkan kedua tangan kepada istri dan anak Kyai Miftah."Baru pulang Zam?" tanya Abah."Nggih Bah.""Lancar semua.""Lancar Bah."Abah tersenyum meneduhkan. Aku menoleh ke arah Kyai Miftah."Sampun dangu Pak Kyai?" tanyaku basa basi."Belum Gus, selamat atas wisudanya nggih Gus.""Matur nuwun P