Share

4. Gerbang Hati

Perjalanan dari Jogja menuju Purwokerto kutempuh dengan kereta. Selama perjalanan aku hanya sibuk menatap pemandangan di luar. Sesekali aku menarik nafasku, entah kenapa dadaku sesak sekali. Ada banyak ketakutan yang kurasakan. Salah satunya apa mungkin aku bisa beradaptasi dengan lingkungan pondok.

"Sudahlah Ca, mengalir saja. Ingat kamu sudah berjanji akan menjalankan wasiat ibumu. Bismillah," ucapku lirih.

Sampai di stasiun Purwokerto aku segera mencari taksi.

"Taksi Mbak." Salah satu supir taksi menawariku.

"Iya Mas."

"Mau ke mana?"

"Pondok Al Hikam Purwokerto, Mas."

"Yang kompleks putri ya?"

Aku hanya mengangguk saja.

"Mari Mbak."

Aku segera masuk ke dalam taksi. Perjalanan dari stasiun menuju Al Hikam hanya sekitar lima belas menit.

Asampai di gerbang pesantren Al-Hikam pukul tujuh malam dengan menumpang taksi. Setelah membayar dan menurunkan barangku yang hanya berupa tas punggung dan tas jinjing tanggung, aku mengamati gerbang pondok dengan penuh kekaguman.

Entah kenapa ada desir dihatiku ketika menatap gerbang pondok yang sangat megah dengan bentuk gapura yang simpel namun indah dan artistik. Belum lagi tulisan arabnya yang tersusun rapi dan indah dipandang. Jadi penasaran siapa yang merancang gerbangnya.

Aku bingung harus lewat mana. Aku dengar kalau pondok pesantren kan dipisah antara area putra dan putri. Lalu aku harus kemana ini? Kebetulan suasana juga begitu sepi. Apa mungkin karena musim liburan sekolah sehingga para santri pun liburan. 

Saat aku masih termenung menatap gerbang pondok, suara klakson mobil mengagetkanku. Sontak aku terlonjak dan menjauh kepinggir kanan. Tampak seorang pemuda berusia sekitar antara 25 sampai 30-an melihatku dari jendela mobil.

"Njenengan ngapain diem disitu? Ada keperluan disini?" 

Satu kata untuk si cowok. Ganteng. Meskipun rambutnya gondrong dan sedikit berjambang tapi justru menjadikannya sangat tampan dan mempesona. Tapi sayang wajah dingin, galak dan tegasnya kelihatan sekali.

"Mohon maaf, saya berniat mondok disini. Saya harus bertemu siapa ya?"

"Kamu?" dia melirikku sepintas lalu segera membuang pandangannya lagi. Ckkckck. Sombong pake gak mau melihat mukaku juga. Mentang-mentang ganteng. Eh ....

"Berapa usia kamu?" dia tanya tapi sama sekali tak menatapku.

"Bulan kemarin tepat 22 tahun."

Kulihat dia tersenyum tipis namun kesannya mengejekku.

"Masuk," lalu dia melajukan mobilnya. Astaga aku gak ditawarin buat ikut masuk mobilnya gitu.

Sambil jalan aku menggerutu dalam hati. Dasar manusia dingin, angkuh, sombong, demi apa coba ternyata jarak antara gerbang dengan rumah pengurus pondok jauh sekali. Harusnya kan dia memberikan tumpangan.

*****

Aku duduk di sofa ruang tamu. Ada dua mbak-mbak yang datang ke ruang tamu membawakan minuman dan camilan dengan cara ngesot. Hah .... Beneran ngesot. Aku melongo menatap tak percaya.

"Assalamu’alaikum," ucap seorang wanita ke arahku.

"Wa’alaikumsalam," jawabku.

Kulihat wanita paruh baya itu seperti kaget melihatku. Kemudian ia tersenyum lebar.

"Fatimah ... Kamu anak Fatimah."

"Iya Tante. Nama saya Cahaya Mustika biasa dipanggil Caca, Tante."

"Masya Allah, kamu cantik sekali seperti ibumu," beliau memeluk tubuhku.

"Ayo duduk Nduk. Kamu kemana saja? Saya itu nyari kabar kamu setelah ibumu meninggal tapi gak ada kabar."

"Caca ikut sama Lilik Caca, Tante, ke Jepara. Sekeluarga pindah kesana. Dua bulan yang lalu Eyang Putri meninggal jadi saya balik ke Kebumen terus saya tak sengaja membaca surat dari Tante ya sudah saya memutuskan kesini. Soalnya Ibu minta supaya saya mondok. Kebetulan saya gak tahu mau mondok dimana ya sudah daripada bingung saya mondok disini saja."

"Hehehe. Iya kamu disini saja. Oh iya berapa usiamu sekarang Nduk?"

"22 tahun Tante."

"Panggil Umi saja." 

"Baik Umi."

Kami banyak mengobrol bahkan seringkali tertawa. Ternyata Umi Aisyah ini kocak sekali, sebelas dua belas kayak Ibu, makanya mereka akrab.

"Kamu tinggal di kamar khadamah saja ya? Letaknya di samping. Biar gampang kamu lurus terus menuju ke dapur terus ada pintu keluar lalu kamu lewati koridor penghubung nah, itu tempatnya. Ada empat kamar disana. Nanti kamu sendiri saja kamarnya. Soalnya kebanyakan itu usia anak sekolah. Kalau yang sudah lulus mondok atau kuliah kebanyakan langsung ketemu jodoh makanya disini jarang ada khadamah yang usianya di atas 25 tahun hehehe."

"Oh ...." Kemudian aku ikut terkekeh.

"Mbak Syarifah?" panggil Umi pada salah satu khadamah.

"Anter Mbak Caca ke kamarnya. Yang paling pojok ya?"

"Nggih Umi," jawab gadis bernama Syarifah lalu dia berjalan ngesot lagi.

Aku melongo ... Aku harus ikut ngesot gak ya. Mungkin Umi Aisyah melihat kebingunganku. 

"Udah kamu gak usah ngesot, kamu juga Syarifah. Bantu Caca bawa tasnya," printah Umi sambil tertawa.

"Nggih Umi."

"Caca pamit Umi."

"Iya ... Istirahat ya. Anggap rumah sendiri."

"Nggih Umi."

Aku pun mengikuti Syarifah menuju kamar Khadamah.

*****

Kulihat Syarifah nampak gelisah. Karena penasaran aku pun bertanya.

"Kenapa Mbak?"

"Ehmm ... Anu ... Ehmm ... Anu ...."

"Udah ngomong aja kenapa?"

"Mbak Caca kita keluar aja yuk," wajahnya terlihat ketakutan.

"Ayuk."

Saat ini kami ada di kamar yang di tempati Syarifah. Ternyata disini ada empat kamar. Masing-masing kamar berisi dua orang. Khusus kamar paling pojok tidak ada yang mau menempati karena katanya ada penunggunya. Kebanyakan yang tidur disana pasti diganggu makanya tak ada yang mau tinggal di kamar pojok. Oh iya, empat khadamah rata-rata masih sekolah tingkat SMA. Sedangkan Mbak Syarifah dan temannya Mbak Nurul berusia 21 dan 18 tahun. Mereka memilih mengabdikan diri menjadi khadamah sekaligus masih ingin ngaji untuk mendalami hafalan qur’annya. 

Setelah cukup lama ngobrol dengan Mbak Syarifah dan Mbak Nurul aku memutuskan tidur. Kedua teman baruku ini khawatir dan menyuruhku tidur di salah satu kamar yang penghuninya sedang libur sekolah. Tapi aku memilih tidur di kamarku saja.

Aku merebahkan diri dan mencoba tidur. Aku bisa merasakan ada makhluk tak kasat mata berusaha menggodaku. Kamar ini memang ada penghuni alam lain, rupanya.

Sekedar informasi, baik aku dan Hasan memang memiliki kemampuan melihat sesuatu yang berbau ghaib. Kemampuan kami berasal dari Eyang Kakung dan bersifat menurun. Eyang Kakung kami dulunya seorang pandai besi. Kepandaian yang diturunkan dari generasi ke generasi. 

Walau begitu beliau seorang muslim yang taat. Beliau juga masih memegang adat kejawen yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Sayang keahliannya tak bisa diturunkan kepada kedua anaknya karena beliau meninggal saat kedua anaknya masih kecil.

"Gak usah ganggu aku ya? Aku capek. Lagian aku gak bakalan ganggu kamu. Kita hidup di alam berbeda. Oke. Selamat tidur. Bismillah."

Aku memejamkan mataku dan akhirnya terlelap ke dalam alam mimpi

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
wah mantap berbicara dengan yang tidak terlihat.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status