POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany
Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang
Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena
Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,
Cahaya mustika namaku. Usiaku kini 22 tahun. Gadis yatim piatu sejak berumur 12 tahun. Kedua orangtuaku tewas karena kecelakaan mobil saat akan mengunjungi nenek kami di Jepara. Bus yang kami tumpangi tertabrak truk kontainer yang membawa semen.Hingga akhirnya aku diasuh oleh adik ayahku. Aku memanggilnya Lik Marwan.Lik Marwan mempunyai 3 anak. Si sulung seumuran denganku, Hasan. Dia anak dari mendiang istri pertamanya. Sedang anak keduanya berumur 20 tahun. Namanya Ningrum, sedangkan anak ketiganya berumur 17 tahun bernama Naufal.Aku dan Hasan seperti anak terbuang dalam lingkungan keluarga ini. Maklum karena saat ini kami tinggal bersama keluarga besar istri kedua Lik Marwan yaitu Mirna. Meski Eyang Sosro, Ibu dari Bapak dan Lik Marwan ikut tinggal bersama tapi beliau sama seperti kami hanya penumpang saja dan tak dihargai.Untuk urusan sekolah saja, aku dan Hasan bisa sekolah dengan mengandalkan beasiswa. Untung otak kami agak encer. Tapi selalu
"Ca....""Hem," sahutku sambil menyetrika baju sedangkan Hasan tengah melipat baju yang tidak disetrika.Inilah aku dan Hasan, yang satu mantan ketua BEM MIPA sedangkan yang satu aktivis Pramuka sejati. Tapi sekarang kami hanyalah babu cuci. Ngenes."Awan kayaknya beneran suka sama kamu. Dia sepertinya serius pengen ngelamar kamu. Kamu gimana?""Gimana apanya?""Terima apa enggak?""Menurut kamu, aku harus gimana?""Kamu suka gak?""Enggak.""Cakep. Aku juga enggak.""Kayaknya kalian akrab. Kok gak suka sama dia, kenapa?""Bukan aku yang mengakrabkan diri. Dia aja yang sok akrab. Cih ... Gayaknya sok politikus banget. Emangnya dia aja yang bisa orasi.""Hahaha ... Kan dia gak tahu kalau yang dia ajak ngobrol mantan politikus walau kelas fakultas. Hahaha."Satu lagi, tak ada seorangpun di desa kami bahkan keluarga besar Lik Mirna yang tahu bahwa kami adalah sarjana. Karena Lik Mirna sengaja menyembunyikannya. 
Kami disambut tangis haru oleh keluarga dan tetangga. Bahkan beberapa sanak keluarga ada yang menangis histeris bahkan pingsan.Kata-kata penghibur menyertai kami, namun aku kurang begitu antusias dan hanya menanggapi dengan anggukan atau senyum lemah.Selanjutnya Eyang langsung di sholati dan dimakamkan. Eyang sudah dimandikan ketika di rumah sakit. Aku, Hasan dan Lik Marwan bahkan ikut memandikan jenazah Eyang saat masih di rumah sakit."Kamu yang sabar ya Ca," ucap salah satu kerabat, entah siapa aku tak tahu."Nggih."Hasan dan Lik Marwan ikut masuk ke liang lahat untuk membantu memakamkan Eyang. Terakhir Hasan mengazani Eyang untuk terakhir kalinya.********"Tempat ini nyaman ya Ca, adem."Aku menoleh ke arah Hasan dan tersenyum membenarkan perkataannya."Iya."Aku dan Hasan tengah duduk menikmati hamparan sawah di depan rumah Eyang. Hari ini adalah hari ketiga kematian Eyang."Ca.""Iya.""Eyang udah
Perjalanan dari Jogja menuju Purwokerto kutempuh dengan kereta. Selama perjalanan aku hanya sibuk menatap pemandangan di luar. Sesekali aku menarik nafasku, entah kenapa dadaku sesak sekali. Ada banyak ketakutan yang kurasakan. Salah satunya apa mungkin aku bisa beradaptasi dengan lingkungan pondok."Sudahlah Ca, mengalir saja. Ingat kamu sudah berjanji akan menjalankan wasiat ibumu. Bismillah," ucapku lirih.Sampai di stasiun Purwokerto aku segera mencari taksi."Taksi Mbak." Salah satu supir taksi menawariku."Iya Mas.""Mau ke mana?""Pondok Al Hikam Purwokerto, Mas.""Yang kompleks putri ya?"Aku hanya mengangguk saja."Mari Mbak."Aku segera masuk ke dalam taksi. Perjalanan dari stasiun menuju Al Hikam hanya sekitar lima belas menit.Asampai di gerbang pesantren Al-Hikam pukul tujuh malam dengan menumpang taksi. Setelah membayar dan menurunkan barangku yang hanya berupa tas punggung dan tas jinjing tanggung, aku mengamati g